Beranda / CEO / Terpaksa Menikahi CEO / Bab 101 - Bab 110

Semua Bab Terpaksa Menikahi CEO: Bab 101 - Bab 110

159 Bab

S2 : 67. Tidak Siap Berpisah

"Dimana dia sekarang?" tanya Hans, merujuk pada Monika, menantunya. Dia tengah membicarakan tentang hubungan Rio dan Monika yang harus kandas ditengah jalan."Nona sedang dalam perjalanan kemari. Saya meminta Maria menunda kedatangannya."Hans tidak banyak berkomentar. Dia belum pernah melihat gadis yang berstatus sebagai menantunya. Dia belum bisa membaca seperti apa sifat dan perangai wanita yang satu itu. Apakah sama seperti gadis-gadis di luar sana yang materialistis, egois, dan ingin dimanja? Atau justru sebaliknya?"Katakan semua yang kamu ketahui." Hans kembali duduk, ingin mendengar lebih banyak tentang wanita muda yang telah berhasil mengambil hati anaknya. Dia pastilah memiliki keistimewaan sendiri."Nona Monika wanita yang mandiri. Dia menolak dengan tegas perjanjian yang Tuan Muda tawarkan. Jika tidak tersangkut masalah uang dua miliar tersebut, bisa dipastikan dia tidak akan menandatanganinya."Dari penjelasan Leo, Hans setidaknya tahu
Baca selengkapnya

S2 : 68. Menantuku Sayang

Audi R8 yang Maria kendarai terhenti di depan perusahaan. Dua orang wanita beda usia itu segera turun dari pintu yang berbeda."Aku bisa masuk sendiri. Kamu pergilah, cari makanan untuk Leo."Permintaan Monika membuat wajah Maria merah merona. Dia mengakui perasaannya yang menyukai Leo diam-diam tapi tidak berani mengungkapkannya.Langkah kaki mereka terpisah di ujung koridor. Monika naik lift menuju lantai atas tempat Leo berada dan Maria kembali pergi melaksanakan permintaan nonanya."Ada tuan Hans di kantor. Bagaimana caraku memanggilnya?" gumam Monika sambil menatap angka yang terus bergerak di atas pintu lift. Ini pertama kalinya dia bertemu dengan pria yang katanya lebih mengerikan dari Rio. Apa yang akan terjadi nantinya? Entahlah, Monika tidak ingin terlalu memikirkannya."Apa yang terjadi, terjadilah," lirihnya bersamaan dengan denting yang terdengar. Pintu mengilat itu terbuka, mempersilakan Monika untuk keluar dari dalam sana.Sej
Baca selengkapnya

S2 : 69. Ketakutan Luar Biasa

Monika melangkahkan kakinya, menyusuri anak tangga di hadapannya dengan pandangan kosong. Sesekali ia menatap arloji di pergelangan tangannya. Masih terlalu awal untuk berangkat kerja. Tapi, semakin lama di dalam kamar kostnya, dia justru semakin merasa kesepian. Monika mengingat bagaimana pertengkaran mereka saat Rio menyusup diam-diam ke dalam kamar. Dia juga ingat bagaimana Rio kepayahan hanya karena mie instan yang dimasaknya. Ya, ia dan pria mesum itu telah resmi berpisah dua minggu yang lalu. Mereka memutuskan untuk mengakhiri pernikahan yang tak seharusnya terjadi. Dia bahkan kembali ke Indonesia seorang diri, meninggalkan Rio bersama ibunya di Jepang. "Nona," panggil Maria, membuyarkan lamunan wanita di hadapannya. Dia terkejut melihat rambut panjang Monika sudah dipangkas sebatas bahunya. Padahal kemarin masih panjang seperti biasanya. "Oh, Maria." Maria menundukkan kepala sekilas, sebelum kembali mengamati wajah pucat nonanya.
Baca selengkapnya

S2 : 70. Kembali ke Indonesia

Audi R8 yang Maria kendarai kini melaju dari bandara menuju salah satu bangunan apartemen mewah di pusat kota. Di kursi belakang tampak Rio dan nyonya Evalia yang masih setia menatap ke luar jendela.Diam-diam Maria bersyukur karena Monika menolak ikut menjemput ke bandara. Jika saja wanita blasteran itu ikut serta, dia akan merasa bersalah. Sebelumnya dia mengatakan bahwa Rio tidak kembali, hanya nyonya Eva yang datang seorang diri. Namun kenyataannya, ternyata Rio ada bersamanya."Maria, katakan pada Leo untuk menemuiku secepatnya," pinta Rio tanpa mengalihkan pandangan dari luar kaca."Ba-baik." Nada bicara tuannya yang terdengar dingin sungguh membuat Maria tidak nyaman. Dia salah tingkah dan sedikit tergagap.'Ada apa dengan Tuan Muda?' batin Maria.Aura di sekitar Rio sungguh gelap. Pria yang sangat ia segani terlihat menakutkan. Juga wajah tanpa senyum itu, membuatnya ingat hari-hari tuannya sebelum kedatangan Monika.Ya, semenjak Jon
Baca selengkapnya

S2 : 71. Rio Frustrasi

"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" Maria bertanya setelah meletakkan koper hitam milik Eva di ruang tengah ruangan ini. Dia cukup tahu diri, tidak sok kerajinan membantu nyonya rumah ini untuk merapikan pakaiannya ke lemari. "Nothing to do. Kamu bisa pulang sekarang." Eva tersenyum, menatap asisten pribadi kepercayaan putranya dengan pandangan ramah. Maria melirik ke arah Rio yang kini merebahkan badannya di atas sofa bed. Ruang tengah ini begitu luas, hanya berisi satu set home teatre dan sepasang kursi empuk warna hitam. Tanpa dekorasi atau hiasan lainnya. Rio sungguh suka ruangan yang lega. "Kalau begitu, saya permisi." Maria menundukkan kepala, tepat sebelum berbalik badan. "Ah, tunggu sebentar." Eva meraih tas kain yang sejak beberapa menit lalu ia letakkan di meja. "Tolong berikan ini untuk Monika." Deg! Maria ragu menerimanya. Lagi-lagi dia melirik Rio melalui ekor matanya. Dia ingin melihat respon tuan mudanya. Melihat
Baca selengkapnya

S2 : 72. Semua Pria Sama Saja

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Monika keluar dari dalam tempat kerjanya dengan langkah lemah. Berkali-kali dia keluar masuk kamar mandi saat mual. Jarak meja kasir dengan ruangan belakang cukup jauh, membuat tenaganya cukup terkuras.Belum lagi dia harus berjalan menuju halte bus tiga ratus meter dari minimarket. Itu semakin membuat tubuhnya kepayahan. Dan sekarang masih harus menapaki satu per satu anak tangga yang ada di hadapannya.Rasanya ingin sekali ia tidak naik. Kakinya sudah gemetar tak karuan, ingin segera terlelap di atas ranjang tanpa harus menapaki satu per satu anak tangga sialan itu."Mungkin bulan depan aku harus pindah ke bawah saja," gumam wanita yang memenahi anak rambut di depan wajahnya. Mau tak mau dia naik dengan berpegangan pada besi di samping kanannya."Baby..."Deg!Langkah kaki Monika terhenti di anak tangga teratas. Dia terhenyak mendengar suara yang sangat dikenalnya ini. Devan Mahendra, berdiri
Baca selengkapnya

S2 : 73. Monika Hamil?

Devan terduduk seorang diri di sebuah kursi panjang di koridor rumah sakit. Kepanikan yang sebelumnya menyelimuti, kini telah terlewati. Namun, pemikiran lain justru kini menghantuinya."Tolong, Suster. Dia pingsan." Ingatan Devan masih terbayang jelas begitu dia mengangkat tubuh lemah Monika memasuki ruangan gawat darurat rumah sakit swasta ini."Sebelah sini, Tuan." Wanita dengan pakaian serba hijau memberi arahan, meminta Devan meletakkan wanita dalam gendongannya ke atas ranjang."Silakan Anda tunggu di luar. Kami akan segera memeriksanya."Dua orang perawat tampak mendekat saat Devan keluar dari ruangan. Dia hanya bisa memandangi tubuh mungil wanitanya yang kini tengah ditangani para praktisi medis itu.Mereka memasang cairan infus di punggung tangan Monika setelah selesai mengobservasi pasien yang baru datang tadi. Salah seorang dari mereka pergi mengambil dokumen pasien dan membawanya ke arah Devan."Selamat malam, Tuan," sapa pria de
Baca selengkapnya

S2 : 74. Dimabuk Cinta

"Tolong ambilkan bantal lain untukku," pinta Lidya pada Pram yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Satu tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk, sementara tangan lainnya memijat tengkuknya yang terasa sedikit lelah.Tanpa bantahan, pria yang terbiasa memakai kacamata tebal itu menuruti permintaan istrinya. Sebuah bantal warna pink ia ambilkan dari dalam lemari."Sudah lewat tengah malam. Kenapa belum tidur juga?"Lidya tersenyum. "Sebentar lagi. Aku belum selesai melihat drama ini. Masih ada sisa empat episode."Pram menggelengkan kepala. Kebiasaan baru istrinya sejak cuti hamil dan tidak bekerja adalah menghabiskan hari-harinya dengan melihat drama melalui laptop miliknya. Entah itu yang berasal dari Jepang, Korea, atau China. Bahkan kali ini drama Turki menjadi pilihannya."Apa kamu ingin anak kita menjadi artis? Bukan dokter?" Pram mengeluarkan kalimat tanya yang cukup menohok reputasinya dan Lidya sebagai seorang dokter.
Baca selengkapnya

S2 : 75. Secercah Harapan

Sinar matahari masuk melalui celah jendela saat Rio menguap dan mulai membuka matanya. Tubuhnya terasa lemah tak berdaya, tidak bisa tidur dengan nyenyak beberapa hari ini. Setelah Monika meninggalkannya, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali bermalas-malasan.Tok tokDua kali ketukan pintu terdengar sebelum Eva masuk ke dalam kamar pribadi putranya. "Sudah bangun, Sayang?" sapa wanita yang kini meletakkan segelas susu coklat hangat lengkap dengan dua lembar roti bakar. Aromanya cukup menggoda selera, membuat Rio terduduk seketika."Lihat wajahmu. Jelek sekali," cibir wanita yang kini mengacak puncak kepala pria di hadapannya.Tak mengindahkan perlakuan manis ibunya, Rio segera melahap roti bakar miliknya. Baru satu suapan, dia kembali teringat pada Monika. Pagi itu dia juga membuatkan menu yang sama untuknya. Itu pertama kalinya dia sarapan pagi, bahkan Monika juga menyuapinya."Ada apa? Kamu tidak suka selainya?" tanya Eva yang melihat Rio kini di
Baca selengkapnya

S2 : 76. Morning Sickness

Monika menatap pantulan wajahnya di depan cermin hias. Pipinya semakin terlihat tirus meski rambut panjangnya telah ia pangkas dua hari yang lalu. Ya, Monika ingin mengakhiri kesedihannya karena berpisah dari Rio dengan memotong pendek rambutnya sebatas bahu. Tapi, nyatanya itu tidak bisa mengubah perasaan di dalam hatinya yang masih merasakan lara. "Monika, apa yang sebenarnya kamu inginkan?" tanya wanita cantik ini pada dirinya sendiri. Satu bulir hangat turun di wajahnya, menganak sungai hingga ke ujung dagunya. Perlahan Monika menyentuh ujung rambutnya. Bertahun-tahun dia menolak memotongnya, dan sekarang keputusan bodoh dia ambil begitu saja. Dia berharap bisa menjalani hari-harinya yang baru dengan perasaan yang lebih tenang. Nyatanya, dia tidak juga bisa melupakan Rio. Terlebih lagi sekarang ada kehidupan baru di dalam perutnya. "Sudahlah. Semua sudah berakhir. Aku bisa mengurusmu seorang diri." Monika mengelus perutnya yang masih rata. Dia mel
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
910111213
...
16
DMCA.com Protection Status