Monika menatap pantulan wajahnya di depan cermin hias. Pipinya semakin terlihat tirus meski rambut panjangnya telah ia pangkas dua hari yang lalu.
Ya, Monika ingin mengakhiri kesedihannya karena berpisah dari Rio dengan memotong pendek rambutnya sebatas bahu. Tapi, nyatanya itu tidak bisa mengubah perasaan di dalam hatinya yang masih merasakan lara.
"Monika, apa yang sebenarnya kamu inginkan?" tanya wanita cantik ini pada dirinya sendiri. Satu bulir hangat turun di wajahnya, menganak sungai hingga ke ujung dagunya.
Perlahan Monika menyentuh ujung rambutnya. Bertahun-tahun dia menolak memotongnya, dan sekarang keputusan bodoh dia ambil begitu saja. Dia berharap bisa menjalani hari-harinya yang baru dengan perasaan yang lebih tenang. Nyatanya, dia tidak juga bisa melupakan Rio. Terlebih lagi sekarang ada kehidupan baru di dalam perutnya.
"Sudahlah. Semua sudah berakhir. Aku bisa mengurusmu seorang diri." Monika mengelus perutnya yang masih rata. Dia mel
Monika menautkan jemarinya satu sama lain. Dia tidak tahu apa yang akan dilihatnya beberapa menit kedepan. Ajakan ibu mertuanya tak bisa ia elakkan dan membuatnya mau tak mau duduk bersama dengannya, berbagi udara yang sama di dalam mobil seharga miliaran ini."Monika, maafkan ibu, ya." Eva terlihat tidak enak hati, meraih jemari tangan Monika dengan wajah sungkan.Mengangguk lemah, Monika mengiyakan permintaan maaf ibu mertuanya. Mereka sempat berbincang sejenak. Eva mengatakan kalau kondisi Rio semakin memburuk setelah dia pergi. Dan terakhir kali, pria itu bahkan tidak makan dan minum sama sekali."Ibu tidak ingin ikut campur pada hubungan kalian," tukas Eva, menatap manik mata biru Monika dengan penuh cinta. "Tapi, tidak ada yang bisa ibu lakukan. Dia seperti tidak ada di dunia ini. Mungkin kamu bisa menyadarkannya."Seketika perasaan sesak menyelimuti dada Monika Alexandra. Susah payah dia berusaha melupakan bayang-bayang Rio dan kini menguatkan hati
Rio menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak bisa berkutik di hadapan Monika. Dramanya sudah berakhir, tertangkap basah jika infus di tangannya hanya menempel saja."Kenapa kamu ingin menipuku?" tanya Monika, berkacak pinggang sambil memasang wajah sebal. Dia melewatkan sidang perceraian pertamanya. Ternyata, Rio tidak benar-benar depresi seperti perkataan Maria dan ibu mertuanya."Sweety, maafkan aku," lirih Rio, sesekali melirik wanita yang berjarak dua langkah di depannya. "Aku hanya tidak ingin berpisah denganmu."Mau tak mau Monika mengembuskan napas kasar dari mulutnya. Rio jujur padanya, seperti biasanya. Pria ini memang tidak pandai berbohong, pantas saja aktingnya benar-benar payah dan langsung ketahuan."Sejak kamu meninggalkanku dua minggu yang lalu, aku benar-benar menyesal karena memintamu memutuskan hubungan kita. Aku tidak bisa menjilat kata-kata yang aku ucapkan malam itu. Tapi, aku sungguh tidak rela melepaskanmu."Kening Monika be
Jam digital di atas nakas menunjukkan angka 10.30 saat Rio membawa Monika masuk ke dalam kamar pribadinya. Tubuh ramping itu ia baringkan di atas ranjang dengan hati-hati.Lenguhan Monika terdengar, bersamaan dengan tubuhnya yang bergerak menyamping. Itu refleks otomatis tubuhnya, memosisikan diri agar lebih nyaman. Nyawanya ada dalam genggaman Tuhan, tidak menyadari tubuhnya sudah berpindah tempat.Ya, Rio sudah menyelesaikan masaknya dan tidak tega melihat Monika tertidur di atas sofa bed. Jadilah dia memindahkan Monika."Lama tidak berjumpa, Sweety," ucap Rio, mengelus pipi Monika yang semakin terlihat tirus sekarang ini. Kelopak matanya yang indah tertutup, tak mengedip atau bahkan merespon perlakuan yang diterimanya. Dia sungguh lelap dalam tidurnya."Maaf membuatmu ada di posisi seperti sekarang ini." Rio tidak bisa mengendalikan diri, dia mengecup bibir tipis istrinya yang berwarna peach pucat. Luapan rasa cinta seketika menjalar di dalam hatinya.
Monika mengerjapkan matanya dua kali. Aroma citrus segera tercium indera penciumannya. Selimut yang terasa hangat juga melingkupi tubuhnya. "Hmm, dimana ini?" Netra sipit Monika berkeliling, menatap keadaan sekitar yang cukup lengang. Tirai hitam tergantung di salah satu sisi ruangan yang full terbuat dari kaca. Sinar matahari yang menyengat di luar sana terlihat membara. Perlahan namun pasti Monika mendudukkan diri. Dia melihat jam tangannya yang kini menunjukkan pukul sebelas. "Kenapa aku..." Kata-kata Monika terhenti seketika saat kedua pasang netranya menangkap potret besar di depan sana. Foto pernikahannya dengan Rio menempel di dinding. Gaun putih yang dikenakannya waktu itu, terlihat sangat pas di tubuhnya yang ramping. Monika menggelengkan kepalanya dua kali, menyangkal hal yang dianggapnya tidak masuk akal. Dia masih berusaha mengingat kenapa dia ada di tempat asing ini. Hanya dalam hitungan detik, Monika sudah mendapatkan kembali sel
WARNING! 18+NOT FOR CHILD!* * *"Sweety, aku ingin kamu," bisik Rio, sengaja mengembuskan napas dari mulutnya di telinga Monika. Itu adalah salah satu titik terlemah istrinya, Rio paham betul.Seketika itu juga geleyar aneh menyapa seorang Monika Alexandra. Tubuhnya merespon dengan cepat semua perlakuan Rio yang tengah mencumbu tubuh bagian atasnya. Kemampuan pria ini begitu lihai, membuatnya mabuk kepayang seperti biasanya."Rio! Jangan!" Monika menangkap tangan Rio yang bersiap menarik pita baju di bawah lehernya. Pria ini sepertinya tak bisa membendung lagi hasrat liar yang selalu mendominasi saat mereka hanya berdua."Kenapa? Bukankah kita sudah biasa melakukan ini sebelumnya?" Rio menahan kedua tangan Monika di samping kepala, tak mengizinkan wanita ini mengganggu kegiatan mengasikkan yang tengah dilakukannya."Aku lapar!" ketus Monika yang merasakan perutnya seperti dipelintir. Dia belum makan apapun sejak semalam. Dan ini ham
"Hubungan percobaan?" Rio menatap Monika dengan pandangan penuh tanda tanya. "Umm. Kita lihat kesungguhanmu. Selama ini kamu menganggap pernikahan kita seperti apa? Apa aku hanya pemuas nafsu binatangmu saja? Kalau seperti itu, hubungan kita tidak perlu dilanjutkan. Kamu bisa tidur dengan wanita mana saja setelahnya. Aku tidak akan peduli." Rio menelan salivanya dengan paksa, membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering seketika. Dia tidak menyangka Monika akan membahas hal ini. "Aku tahu sejak awal tubuhku sudah kamu beli. Tapi, seperti yang kamu katakan malam itu, sejak kamu tidak lagi menjabat posisi CEO, maka perjanjian dua miliar itu juga otomatis berakhir. Apa aku keliru menafsirkannya?" "Benar. Aku memang mengatakannya." Monika mengangguk. Itulah yang menjadi dasar pertimbangan Rio mempersilakannya menandatangani surat gugatan cerai. Namun kenyataannya, Rio tidak bisa melepaskan istrinya begitu saja. Pun sama dengan Monika, di
Devan berjalan keluar dari dalam mobilnya dengan langkah lemah. Dia menatap lantai atas tempat kost Monika. Dia ingin bertemu dengan mantan kekasihnya. Walaupun sejenak saja, tidak masalah. Dia ingin meminta bantuannya. "Semoga saja dia ada di kamarnya." Satu per satu anak tangga Rio lalui di bawah terik matahari yang masih terasa menyengat.Kata teman-teman Monika di supermarket, gadis itu off. Pasti dia ada di kamarnya seperti biasa, entah melakukan apa. Monika tipikal gadis yang lebih suka berdiam diri di dalam rumahnya. Devan mengetuk pintu di hadapannya tiga kali, menunggu jawaban dari dalam sana. "Monika, apa kamu di dalam?" Hening. Beberapa detik berlalu tapi tak ada jawaban. Pun sama saat Devan mengulanginya. "Apa dia tidak ada di rumah? Lalu di mana?" Devan mengerutkan keningnya. Dia harus menelan kekecewaannya lagi. Kontrak kerjasama untuk menyelamatkan perusahaan elektronik ayahnya sudah gagal. Sekarang ia gag
Monika keluar dari dalam kamar mandi. Dia baru saja membersihkan badannya dari keringat yang menempel di tubuh. "Sudah selesai, Sweety?" tanya Rio yang mengamati penampilan istrinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Diam-diam dia meneguk ludah, menelan hasrat mesumnya pada Sang Istri. Lagi-lagi Rio mengagumi pahatan indah yang kini tersembunyi di balik kimono mandi warna hitam. Potongan baju dengan leher berbentuk V membuat dada Monika sedikit terlihat. "Hmm," gumaman Monika terdengar lirih. Langkahnya terhenti di depan pintu, tak lagi melanjutkan langkahnya. "Ada apa?" Rasa mual kembali menggelitik perutnya, dia mual. "Hoek." Dalam hitungan sepersekian detik, Monika kembali masuk ke dalam kamar mandi. Dia memuntahkan seluruh makanan yang ia santap bersama Rio satu jam lalu. Rasa pahit dan getir segera menyambangi mulutnya. "Sweety, are you okay?" Rio segera beranjak dari ranjangnya, menyusul Monika yang kini sibuk m
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol