Devan berjalan keluar dari dalam mobilnya dengan langkah lemah. Dia menatap lantai atas tempat kost Monika. Dia ingin bertemu dengan mantan kekasihnya. Walaupun sejenak saja, tidak masalah. Dia ingin meminta bantuannya.
"Semoga saja dia ada di kamarnya."
Satu per satu anak tangga Rio lalui di bawah terik matahari yang masih terasa menyengat.Kata teman-teman Monika di supermarket, gadis itu off. Pasti dia ada di kamarnya seperti biasa, entah melakukan apa. Monika tipikal gadis yang lebih suka berdiam diri di dalam rumahnya.
Devan mengetuk pintu di hadapannya tiga kali, menunggu jawaban dari dalam sana.
"Monika, apa kamu di dalam?"
Hening.
Beberapa detik berlalu tapi tak ada jawaban. Pun sama saat Devan mengulanginya.
"Apa dia tidak ada di rumah? Lalu di mana?"
Devan mengerutkan keningnya. Dia harus menelan kekecewaannya lagi. Kontrak kerjasama untuk menyelamatkan perusahaan elektronik ayahnya sudah gagal. Sekarang ia gag
Terima kasih untuk apresiasi kalian semua. Terkait give away, author akan bagiakan 100 koin untuk tujuh orang yang beruntung. Penasaran gimana caranya? Ayo ayo follow sosmed Author di inst*gr*m hanazawa.easzy See you there...
Monika keluar dari dalam kamar mandi. Dia baru saja membersihkan badannya dari keringat yang menempel di tubuh. "Sudah selesai, Sweety?" tanya Rio yang mengamati penampilan istrinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Diam-diam dia meneguk ludah, menelan hasrat mesumnya pada Sang Istri. Lagi-lagi Rio mengagumi pahatan indah yang kini tersembunyi di balik kimono mandi warna hitam. Potongan baju dengan leher berbentuk V membuat dada Monika sedikit terlihat. "Hmm," gumaman Monika terdengar lirih. Langkahnya terhenti di depan pintu, tak lagi melanjutkan langkahnya. "Ada apa?" Rasa mual kembali menggelitik perutnya, dia mual. "Hoek." Dalam hitungan sepersekian detik, Monika kembali masuk ke dalam kamar mandi. Dia memuntahkan seluruh makanan yang ia santap bersama Rio satu jam lalu. Rasa pahit dan getir segera menyambangi mulutnya. "Sweety, are you okay?" Rio segera beranjak dari ranjangnya, menyusul Monika yang kini sibuk m
"Sweety, jujur saja. Kamu sudah jatuh cinta padaku. Benar 'kan?" Rio menatap manik mata biru di hadapannya dengan penuh cinta. Monika bungkam. Dia tidak tahu apa yang ada di dalam hatinya. Satu sisi dia marah jika memang benar Rio nekat menjadi seorang host di kelab malam. Sisi lain, dia merasa tidak berhak melibatkan perasaan di sini. Toh, hubungan mereka tidak se-intens itu. "Ayolah, kita sudah sama-sama dewasa, Sayangku. Walaupun kamu tidak mengiyakannya, aku bisa melihatnya dari matamu yang indah ini." Jemari tangan Rio mengelus kelopak mata Monika, memainkannya dari ujung ke ujung. Dia sungguh menyukai mata sipit milik istrinya. Bukankah sejak awal pertemuan mereka dulu, mata itu pula yang ia kecup tanpa ragu? "Kamu mencintaiku," bisik Rio, sengaja mendekatkan bibirnya pada telinga sensitif Monika. "Bukan begitu, istriku?" Bulu kuduk wanita hamil ini meremang. Dia mencengkeram kaus hitam yang Rio kenakan. Geleyar aneh seketika menyapa, me
GIVE AWAY TIME! 🎉🎉🎉 Akhirnya, bisa bikin ending bahagia untuk Rio dan Monika. Eh? Ending? Sudah tamat? Masih ada lanjutannya nggak? Tenang, Sweety. Masih ada lanjutannya kok, season 3. Sekaligus author mau umumkan ketentuan give away yang kemarin dijanjikan. Jadi, ada rules-nya yaa kalau mau dapat GA 100 koin itu. Pertama, masukkan buku ini ke daftar library kalian. Pastinya udah dong, ya! Kedua, berikan rate bintang lima dan komentar paling menarik menurut versi kalian. Boom komen juga boleh. Satu doang juga gapapa sii. Pokoknya bakalan Author pilih yang paling menarik (menurut author,hehe) Ketiga, follow akun sosial media hanazawa.easzy Rules keempat, bagikan storygram jangan lupa tag akun author sama tag akun good novel indonesia official Author tunggu sampai tanggal 23 September yaa. Tujuh orang beruntung masing-mas
WARNING! 18+BUKAN UNTUK DITIRU!!* * *Monika membuka matanya perlahan karena merasa geli di sekitar perutnya. Tampak Rio di sana, sedang menciuminya tanpa henti."Apa yang kamu lakukan?" tanya Monika, melirik jam di atas nakas yang menunjukkan pukul tiga pagi. Tidurnya terusik."Ah, apa aku membangunkanmu, Sweety? Aku hanya ingin mencium putraku." Rio melebarkan senyum, menunjukkan lesung pipi yang dimilikinya.Memutar bola mata, Monika menarik diri. Dia duduk bersandar di kepala ranjang dengan cepat, membuat wajah Rio kini justru menghadap lututnya."Berhenti bertingkah. Ini sudah malam, waktunya istirahat. Kalau seperti ini terus kamu bisa sakit. Kalau sakit, siapa yang akan kerepotan mengurusmu? Aku masih harus bekerja. Jadi, jangan sakit!" Monika menatap wajah suaminya dengan pandangan sebal. Dia tidak suka jika Rio bersikap seperti ini. Untuk apa menciumi perutnya sepanjang malam. Itu sudah ia lakukan sejak berhari-hari lalu, s
Rio menarik selimut, merasa sedikit terusik karena hawa dingin dari air conditioner yang menyapa punggungnya. "Sweety?" panggil Rio, meraba tempat tidur di sebelahnya. Dia mengerjapkan mata berkali-kali, berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retina. "Sweety?" ulang Rio, semakin semangat memeriksa ruang kosong di samping badannya. Dia ingat betul jika semalam Monika tidur bersamanya. Hubungannya dengan wanita itu sudah membaik sejak satu bulan yang lalu. Dia melirik jam digital di atas nakas yang menunjukkan angka 4. Masih terlalu pagi untuk bangun. Dimana istrinya berada? Mau tak mau Rio bangun dari tidurnya. Dia penasaran dimana istrinya sekarang. "Sweety, apa kamu di dalam?" Rio membuka pintu kamar mandi di hadapannya, namun tak ada seorang pun di sana. Seketika keningnya berkerut, kemana perginya tambatan hatinya itu? "Umm? Bau apa ini?" Indera penciuman Rio menangkap aroma yang tidak biasa. Terlebih lagi
Monika dan Rio terdiam sambil menundukkan kepala. Keduanya hampir lupa diri jika saja Eva tidak menghentikan kegiatan panas yang terjadi."Bukankah ibu sudah mengingatkan kalian? Untuk sementara jangan berhubungan lebih dulu!" ketus Eva sambil menatap putra semata wayangnya. "Tunggu sampai istrimu benar-benar pulih kesehatannya."Rio menelan saliva. Dia juga tidak menyadari apa yang terjadi. Semua diluar kendali. Hasratnya sebagai laki-laki kembali datang setelah sebulan terakhir tidak mendapat haknya."Rio, angkat wajahmu!" tegas Eva, memaku pandang pada putranya. "Kamu ingat janji kamu?"Pria dengan lesung pipi di kedua sisi wajahnya itu mengangguk perlahan, menyadari kekhilafannya sesaat lalu.Eva mengembuskan napas berat dari mulutnya. Dia paham seberapa liar seorang Rio Dirgantara. Sifat itu diturunkan oleh Hans yang selalu meminta haknya setiap malam saat masih bersamanya dulu. Makanya dia memutuskan untuk pergi daripada selalu menanggung der
Sudah satu jam berlalu sejak Rio masuk ke dalam kamar mandi. Dan sampai sekarang, suara gemericik air masih tetap terdengar. Hal itu tentu saja membuat Monika khawatir. Suaminya bisa sakit jika terus ada di dalam sana.Tok tok tok"Hubby," panggil Monika sambil mengetuk pintu warna putih yang menjadi penghalang antara dirinya dan Rio. Tapi, tak ada sahutan sama sekali. Rio mungkin tidak mendengarnya. Atau dia memang sengaja menulikan diri. Entahlah."Hubby, apa kamu belum selesai?" Sama seperti sebelumnya, tetap gemericik air yang menjadi jawabannya.Karena tak kunjung mendapat kepastian, Monika melangkah tergesa keluar kamar untuk menemui ibunya. Dia akan meminta pendapat pada wanita itu. Apa yang sebaiknya dia lakukan."Sayang, ada apa?" sergap Eva, menghentikan langkah kaki Monika di depan anak tangga pendek yang menghubungkan ruang tengah dan dapur tempat ibunya berada.Tanpa membuang waktu, Monika mengatakan apa yang terjadi. Termasuk k
Rio sedang berkutat dengan laptop di atas meja. Matanya yang tajam terus menelisik jauh ke dalam rencana bisnis yang tengah disiapkannya. Kesepuluh jemarinya terus menari di atas keyboard, mencetak satu per satu huruf ke dalam monitor.Punggung tangannya sedikit biru, bekas memukul tembok di kamar mandi kemarin. Rasa nyeri dan berat tak bisa ia tepiskan saat mengetuk mouse di sisi kanan laptop. Tapi, dia mengabaikan hal itu dan menganggapnya baik-baik saja. Untuk menetralisir rasa yang ada, Rio mengibaskan tangannya."Hubby," panggil Monika, membuat Rio terperanjat dan segera menyembunyikan tangan kanannya di balik meja. Dia tidak ingin istrinya tahu dia terluka. Memalukan.Rio bungkam, jantungnya berdetak dua kali lebih kencang dibandingkan biasanya. Dia tidak tahu kapan Monika datang kemari karena terlalu fokus melihat layar dan tidak awas pada keadaan sekitar."Waktu makan siang sudah lewat. Apa pekerjaanmu masih banyak?" Monika mencoba mengak
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol