Audi R8 yang Maria kendarai kini melaju dari bandara menuju salah satu bangunan apartemen mewah di pusat kota. Di kursi belakang tampak Rio dan nyonya Evalia yang masih setia menatap ke luar jendela.
Diam-diam Maria bersyukur karena Monika menolak ikut menjemput ke bandara. Jika saja wanita blasteran itu ikut serta, dia akan merasa bersalah. Sebelumnya dia mengatakan bahwa Rio tidak kembali, hanya nyonya Eva yang datang seorang diri. Namun kenyataannya, ternyata Rio ada bersamanya.
"Maria, katakan pada Leo untuk menemuiku secepatnya," pinta Rio tanpa mengalihkan pandangan dari luar kaca.
"Ba-baik." Nada bicara tuannya yang terdengar dingin sungguh membuat Maria tidak nyaman. Dia salah tingkah dan sedikit tergagap.
'Ada apa dengan Tuan Muda?' batin Maria.
Aura di sekitar Rio sungguh gelap. Pria yang sangat ia segani terlihat menakutkan. Juga wajah tanpa senyum itu, membuatnya ingat hari-hari tuannya sebelum kedatangan Monika.
Ya, semenjak Jon
"Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?" Maria bertanya setelah meletakkan koper hitam milik Eva di ruang tengah ruangan ini. Dia cukup tahu diri, tidak sok kerajinan membantu nyonya rumah ini untuk merapikan pakaiannya ke lemari. "Nothing to do. Kamu bisa pulang sekarang." Eva tersenyum, menatap asisten pribadi kepercayaan putranya dengan pandangan ramah. Maria melirik ke arah Rio yang kini merebahkan badannya di atas sofa bed. Ruang tengah ini begitu luas, hanya berisi satu set home teatre dan sepasang kursi empuk warna hitam. Tanpa dekorasi atau hiasan lainnya. Rio sungguh suka ruangan yang lega. "Kalau begitu, saya permisi." Maria menundukkan kepala, tepat sebelum berbalik badan. "Ah, tunggu sebentar." Eva meraih tas kain yang sejak beberapa menit lalu ia letakkan di meja. "Tolong berikan ini untuk Monika." Deg! Maria ragu menerimanya. Lagi-lagi dia melirik Rio melalui ekor matanya. Dia ingin melihat respon tuan mudanya. Melihat
Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam saat Monika keluar dari dalam tempat kerjanya dengan langkah lemah. Berkali-kali dia keluar masuk kamar mandi saat mual. Jarak meja kasir dengan ruangan belakang cukup jauh, membuat tenaganya cukup terkuras.Belum lagi dia harus berjalan menuju halte bus tiga ratus meter dari minimarket. Itu semakin membuat tubuhnya kepayahan. Dan sekarang masih harus menapaki satu per satu anak tangga yang ada di hadapannya.Rasanya ingin sekali ia tidak naik. Kakinya sudah gemetar tak karuan, ingin segera terlelap di atas ranjang tanpa harus menapaki satu per satu anak tangga sialan itu."Mungkin bulan depan aku harus pindah ke bawah saja," gumam wanita yang memenahi anak rambut di depan wajahnya. Mau tak mau dia naik dengan berpegangan pada besi di samping kanannya."Baby..."Deg!Langkah kaki Monika terhenti di anak tangga teratas. Dia terhenyak mendengar suara yang sangat dikenalnya ini. Devan Mahendra, berdiri
Devan terduduk seorang diri di sebuah kursi panjang di koridor rumah sakit. Kepanikan yang sebelumnya menyelimuti, kini telah terlewati. Namun, pemikiran lain justru kini menghantuinya."Tolong, Suster. Dia pingsan." Ingatan Devan masih terbayang jelas begitu dia mengangkat tubuh lemah Monika memasuki ruangan gawat darurat rumah sakit swasta ini."Sebelah sini, Tuan." Wanita dengan pakaian serba hijau memberi arahan, meminta Devan meletakkan wanita dalam gendongannya ke atas ranjang."Silakan Anda tunggu di luar. Kami akan segera memeriksanya."Dua orang perawat tampak mendekat saat Devan keluar dari ruangan. Dia hanya bisa memandangi tubuh mungil wanitanya yang kini tengah ditangani para praktisi medis itu.Mereka memasang cairan infus di punggung tangan Monika setelah selesai mengobservasi pasien yang baru datang tadi. Salah seorang dari mereka pergi mengambil dokumen pasien dan membawanya ke arah Devan."Selamat malam, Tuan," sapa pria de
"Tolong ambilkan bantal lain untukku," pinta Lidya pada Pram yang baru saja keluar dari dalam kamar mandi. Satu tangannya sibuk mengeringkan rambut dengan handuk, sementara tangan lainnya memijat tengkuknya yang terasa sedikit lelah.Tanpa bantahan, pria yang terbiasa memakai kacamata tebal itu menuruti permintaan istrinya. Sebuah bantal warna pink ia ambilkan dari dalam lemari."Sudah lewat tengah malam. Kenapa belum tidur juga?"Lidya tersenyum. "Sebentar lagi. Aku belum selesai melihat drama ini. Masih ada sisa empat episode."Pram menggelengkan kepala. Kebiasaan baru istrinya sejak cuti hamil dan tidak bekerja adalah menghabiskan hari-harinya dengan melihat drama melalui laptop miliknya. Entah itu yang berasal dari Jepang, Korea, atau China. Bahkan kali ini drama Turki menjadi pilihannya."Apa kamu ingin anak kita menjadi artis? Bukan dokter?" Pram mengeluarkan kalimat tanya yang cukup menohok reputasinya dan Lidya sebagai seorang dokter.
Sinar matahari masuk melalui celah jendela saat Rio menguap dan mulai membuka matanya. Tubuhnya terasa lemah tak berdaya, tidak bisa tidur dengan nyenyak beberapa hari ini. Setelah Monika meninggalkannya, tak ada yang bisa ia lakukan kecuali bermalas-malasan.Tok tokDua kali ketukan pintu terdengar sebelum Eva masuk ke dalam kamar pribadi putranya. "Sudah bangun, Sayang?" sapa wanita yang kini meletakkan segelas susu coklat hangat lengkap dengan dua lembar roti bakar. Aromanya cukup menggoda selera, membuat Rio terduduk seketika."Lihat wajahmu. Jelek sekali," cibir wanita yang kini mengacak puncak kepala pria di hadapannya.Tak mengindahkan perlakuan manis ibunya, Rio segera melahap roti bakar miliknya. Baru satu suapan, dia kembali teringat pada Monika. Pagi itu dia juga membuatkan menu yang sama untuknya. Itu pertama kalinya dia sarapan pagi, bahkan Monika juga menyuapinya."Ada apa? Kamu tidak suka selainya?" tanya Eva yang melihat Rio kini di
Monika menatap pantulan wajahnya di depan cermin hias. Pipinya semakin terlihat tirus meski rambut panjangnya telah ia pangkas dua hari yang lalu. Ya, Monika ingin mengakhiri kesedihannya karena berpisah dari Rio dengan memotong pendek rambutnya sebatas bahu. Tapi, nyatanya itu tidak bisa mengubah perasaan di dalam hatinya yang masih merasakan lara. "Monika, apa yang sebenarnya kamu inginkan?" tanya wanita cantik ini pada dirinya sendiri. Satu bulir hangat turun di wajahnya, menganak sungai hingga ke ujung dagunya. Perlahan Monika menyentuh ujung rambutnya. Bertahun-tahun dia menolak memotongnya, dan sekarang keputusan bodoh dia ambil begitu saja. Dia berharap bisa menjalani hari-harinya yang baru dengan perasaan yang lebih tenang. Nyatanya, dia tidak juga bisa melupakan Rio. Terlebih lagi sekarang ada kehidupan baru di dalam perutnya. "Sudahlah. Semua sudah berakhir. Aku bisa mengurusmu seorang diri." Monika mengelus perutnya yang masih rata. Dia mel
Monika menautkan jemarinya satu sama lain. Dia tidak tahu apa yang akan dilihatnya beberapa menit kedepan. Ajakan ibu mertuanya tak bisa ia elakkan dan membuatnya mau tak mau duduk bersama dengannya, berbagi udara yang sama di dalam mobil seharga miliaran ini."Monika, maafkan ibu, ya." Eva terlihat tidak enak hati, meraih jemari tangan Monika dengan wajah sungkan.Mengangguk lemah, Monika mengiyakan permintaan maaf ibu mertuanya. Mereka sempat berbincang sejenak. Eva mengatakan kalau kondisi Rio semakin memburuk setelah dia pergi. Dan terakhir kali, pria itu bahkan tidak makan dan minum sama sekali."Ibu tidak ingin ikut campur pada hubungan kalian," tukas Eva, menatap manik mata biru Monika dengan penuh cinta. "Tapi, tidak ada yang bisa ibu lakukan. Dia seperti tidak ada di dunia ini. Mungkin kamu bisa menyadarkannya."Seketika perasaan sesak menyelimuti dada Monika Alexandra. Susah payah dia berusaha melupakan bayang-bayang Rio dan kini menguatkan hati
Rio menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak bisa berkutik di hadapan Monika. Dramanya sudah berakhir, tertangkap basah jika infus di tangannya hanya menempel saja."Kenapa kamu ingin menipuku?" tanya Monika, berkacak pinggang sambil memasang wajah sebal. Dia melewatkan sidang perceraian pertamanya. Ternyata, Rio tidak benar-benar depresi seperti perkataan Maria dan ibu mertuanya."Sweety, maafkan aku," lirih Rio, sesekali melirik wanita yang berjarak dua langkah di depannya. "Aku hanya tidak ingin berpisah denganmu."Mau tak mau Monika mengembuskan napas kasar dari mulutnya. Rio jujur padanya, seperti biasanya. Pria ini memang tidak pandai berbohong, pantas saja aktingnya benar-benar payah dan langsung ketahuan."Sejak kamu meninggalkanku dua minggu yang lalu, aku benar-benar menyesal karena memintamu memutuskan hubungan kita. Aku tidak bisa menjilat kata-kata yang aku ucapkan malam itu. Tapi, aku sungguh tidak rela melepaskanmu."Kening Monika be
Tiga tahun kemudian ...."Daddy," panggil gadis dua setengah tahun yang kini memanjat dada bidang ayahnya."Hmm. Alea?" Rio mengerjapkan mata, namun belum membukanya. Dia masih dikuasai kantuk dan ingin terpejam sebentar lagi.Mentari bersinar hangat di musim semi, bersamaan dengan aroma bunga sakura yang diam-diam menelisik hidung. Di sebuah hunian mewah dengan dekorasi minimalis, seorang pria tidur terlentang di atas sofa bed bersama putrinya."Dad ...." Jemari mungil Alea meraba dada bidang Rio yang tertutup kaus putih. Aroma bayi yang menyegarkan menguar, menyapa indera penciuman sang ayah.Tiruan Monika itu mengulurkan tangannya, mengelus pelipis pria yang menjadi cinta pertama dalam hidupnya. Sama seperti sang ibu yang suka mencium pipi Rio diam-diam saat tidur, Alea juga melakukan hal yang sama. Dia mendaratkan kecupan sayangnya sekedip mata di rahang kokoh ayahnya yang ditumbuhi cambang tipis.Rio mengangkat kedua alis sebelum balas
"Sweety, ada dua bayi di dalam perutmu?" tanya Rio tidak percaya, menatap Monika dengan pandangan yang penuh binar bahagia. "Kita akan punya twins baby?"Anggukan kepala terlihat, membuat kebahagiaan yang Rio rasakan semakin berlipat-lipat. Dia tidak pernah menyangka kalau dalam satu waktu akan ada dua buah cinta yang melengkapi kebahagiaannya dengan Monika. Seolah semua hanya mimpi, tidak pernah terjadi."Aku juga baru tahu."Rio memeluk istrinya, menyalurkan rasa cinta yang begitu luar biasa. Mereka baru sempat melakukan pemeriksaan kandungan setelah kondisi Rio benar-benar membaik. Observasi lanjutan pasca siuman harus dijalaninya selama dua minggu."Kondisi istri Anda baik, kedua janin di dalam perutnya juga sangat baik. Namun, alangkah baiknya jika porsi makannya ditambah lagi. Kebutuhan gizi dua anak tentu berbeda dengan kehamilan tunggal.""Saya akan memperhatikannya, Dok." Rio menjawab penuturan dokter kandungan di hadapannya dengan bahasa
"Sweety, aku merindukanmu."Suara Rio yang lirih dan dalam berhasil membuat bulu roma Monika meremang seketika. Dia tidak tahu bagaimana bisikan itu bisa membuatnya jadi seperti sekarang ini, hang, blank, tidak bisa berpikir sama sekali."Apa kamu tidak merindukanku?"Melihat Monika tak merespon, Rio sengaja menggelitik perut istrinya, membuat bola mata sipitnya membulat seketika. Dua tangannya langsung menahan tangan Rio yang masih ada di dalam blouse putih yang dipakainya."Hubby?!" Kali ini tatapan tajam yang ia hadiahkan pada suaminya. Tak cukup sampai di sana, Monika juga segera berdiri, menjauh dari jangkauan tangan suaminya yang nakal.Gelak tawa Rio terdengar menggema, merasa bahagia melihat istrinya kembali sadar. Entah pergi ke mana akal sehatnya beberapa saat lalu, terlihat dari wajah cantik yang tampak bodoh."Berhenti bermain-main. Kamu koma satu minggu dan hampir meregang nyawa. Semua orang panik saat detak jantungmu berhenti k
"Rio," panggil Eva, memeriksa Respon putranya yang tampak mengerjapkan mata namun tak membukanya. Jemari tangan Rio bergerak perlahan, menunjukkan kalau kesadarannya sudah mulai kembali. Dia mendengar panggilan ibunya, tapi masih berat untuk melihat dunia di hadapannya. "Rio, kamu dengar ibu?" ulang Eva, menyentuh pipi putra semata wayangnya yang dilaporkan mengalami tanda-tanda akan bangun dari koma. Tak sia-sia dia dibawa ke Jepang dan mendapat perawatan intensif selama satu pekan. Wajah cantik Evalia menjadi pemandangan pertama yang Rio lihat begitu ia membuka mata. Namun, terlihat buram bersamaan rasa nyeri yang terasa di pangkal hidungnya seperti orang bangun tidur. "Dok, kondisi pasien sudah stabil," lapor perawat yang bertugas melakukan observasi lanjutan pada Rio. Eva mengangguk, sekilas melihat angka yang terpampang di monitor. Pandangan selanjutnya tertuju pada tabung ventilator yang tampak berembun semakin banyak, menunjukkan
"Dear," panggil Eva, memeluk bahu menantunya dari samping. Dia menemui Monika di ruangan khusus yang disediakan oleh pihak rumah sakit untuk keluarga pasien. Kondisi Rio yang semakin menurun memaksa Eva harus menyetujui saran suaminya, membawa anak mereka ke negeri sakura untuk mendapat perawatan lebih lanjut. Tidak ada jalan lain. Dia harus mengupayakan penyelamatan yang terbaik untuk putranya."Ayo temui Rio," ajaknya, "kondisinya sudah semakin baik. Kemungkinan hari ini dia akan siuman."Namun, hanya gelengan kepala yang terlihat dari wajah cantik Monika. Pipinya tampak semakin tirus. Dia tidak makan, juga tidak istirahat dengan baik seminggu ke belakang. Pemikirannya tertuju pada Rio. Rasa bersalah masih terus membayang, membuatnya bungkam seribu bahasa."Sayang, sudahi kesedihanmu. Jika kamu terus seperti ini, tidak baik untuk buah hatimu. Dia ikut tertekan dan tidak bahagia di dalam sana."Lagi-lagi gelengan kepala yang tampak di wajah Monika, bersa
"Mommy," panggil Clara, menggoyangkan lengan Liliana dengan gerakan yang cepat dan tidak sabar. Netranya menatap sekeliling, menyadari kalau mereka berada di tempat antah berantah yang sepi dan lengang. Rumput ilalang yang tinggi mengepung mereka yang masih ada di dalam mobil."Ada apa?" Liliana mengerjap matanya dua kali, merasa enggan meladeni panggilan tadi. Tubuhnya terlalu lelah, ingin istirahat sedikit lebih lama lagi. Mereka berkejaran dengan sesuatu yang entah apa, seperti kriminal yang lari dari kejaran polisi. Meski kenyataannya, justru Hans dan orang-orangnya lebih mengerikan dari para petugas berseragam coklat muda itu."Kita ada di mana?""Hmm? Di mana?" Liliana mengambil alih kesadarannya, menatap Clara dengan pandangan heran. Isi kepalanya berputar, mencoba mengingat apa yang terngah terjadi pada mereka. Bukankah Clara yang memesan taksi online ini? Kenapa dia terlihat panik?Dengan enggan Liliana menatap arloji di tangannya, mendapati jaru
"Mom, ayo cepat!" Clara menyeret koper di tangannya dengan tergesa. Dua langkah di belakangnya, tampak Liliana melakukan hal yang sama. Namun, wanita yang tak lagi muda itu tampak kerepotan. Beberapa kali kakinya hampir tersandung kakinya sendiri. "Mommy!" teriak Clara, segera berpindah ke taksi yang lainnya. Dia tidak ingin membuang waktu dan membuat orang-orang suruhan Hans mengejarnya. "Tunggu!" Liliana harus melepas sepatu hak tinggi yang dipakainya dan berjalan tanpa alas kaki untuk menyusul calon menantu kesayangannya. Keduanya kini duduk di kursi belakang taksi yang mereka pesan online sesaat lalu. "Sayang, sebenarnya apa yang kamu dengar? Apa sesuatu yang buruk terjadi? Kenapa kita harus lari?" Liliana yang semakin heran dengan perilaku Clara, tak ayal mengeluarkan pertanyaannya juga. "Kamu gagal menyingkirkan Monika?" Clara langsung membekap mulut Liliana dengan tangannya, takut supir taksi yang ada di balik kemudi mendengarkan percak
"Silakan, Nyona." Perawat yang pergi bersama Monika mempersilakan wanita blasteran yang Eva percayakan padanya untuk masuk ke dalam ruangan ICU. Baju hijau menempel di tubuhnya yang tetap terlihat kurus meski berbadan dua. "Aku boleh masuk?" Monika masih setengah tak percaya bisa menemui suaminya. "Sebenarnya, belum diizinkan jika kondisi pasien belum lepas dari kondisi kritis. Tapi, karena ini permintaan dokter Eva, kami tidak bisa menyangkalnya. Beliau pasti lebih tahu. Mungkin Anda bisa membuat suami Anda bangun dari komanya." "Dia koma?! Tapi ibu tidak ... " Bulir hangat luruh di wajah Monika, bersamaan dengan tangan yang menutup rapat mulutnya. Dia tidak bisa berkomentar lebih banyak. Eva tidak mengatakan hal itu, bahkan terlihat tenang dan tidak menitikkan air mata sama sekali. Perawat dengan pakaian hijau itu tampak terhenyak di posisinya. Dia tidak tahu jika pernyataan yang terlontar dari mulutnya akan melukai Monika. "Maaf, Ny
"Kamu siap mendengar penjelasanku, Sayang?" Eva menatap Monika, berharap menantunya cukup tegar dan tidak tumbang. Ada hal yang harus ia sampaikan sebagai seorang dokter kepada keluarga pasien."Katakan saja! Jangan membuatku penasaran!" Bukannya Monika yang menjawab, tapi suara Hans-lah yang terdengar menggema di ruang konsultasi.Eva mengembuskan napas berat. Dia tahu tabiat dan temperamen suaminya, to the point dan tidak suka berbelit-belit. Berbeda dengan pembawaan Monika yang cenderung lemah dan mulai terlihat pucat wajahnya."Sayang?" Eva masih bersikeras, memastikan kesiapan hati dan indera pendengaran wanita cantik yang lagi-lagi meneteskan air mata tanpa suara."Aku baik-baik saja, Bu." Suara bergetar dari mulut Monika berhasil membuat Hans menoleh. Lagi-lagi dia melihat sisi lemah wanita, membuatnya membuang muka karena tidak nyaman. Hatinya terasa sakit, merasa tidak bisa menjaga mereka dengan baik. Seolah-olah tangisan Monika ini disebabkan ol