Home / Lain / Menikahi Bu Manajer / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of Menikahi Bu Manajer: Chapter 11 - Chapter 20

162 Chapters

Melamar Pekerjaan

 Pancaran sinar matahari menembus tirai berwarna putih menyilaukan mata yang baru saja kubuka kelopaknya. Aku membalikkan badan, menghalangi cahaya dengan punggung.   Getar smartphone di atas nakas membuatku bangkit dari posisi yang sangat nyaman nan membangkitkan hasrat untuk rebahan ini.   Biar bagaimana pun aku harus melawan rasa malas untuk ke kedai setelah membaca pesan dari Dita yang mangatkan bahwa Yus mendadak demam pagi ini hingga tidak bisa pergi ke kedai.      Setelah bersiap dan berpakaian rapi, aku menyalakan mesin wagon, melajukan kendaraan hinga ke kedai.   Di dalam kedai, Dita terlihat sedikit kelabakan karena tidak ada yang membantu. Bahasa tubuhnya mengatakan, "Sekarang aku harus ngapain?" "Maaf merepotkan!" ucapku  begitu memasuki kedai. "Enggak apa, Kak. Mau gimana lagi, Yus lagi sakit soalnya." "Hari ini biar aku saja yang menyiapkan bahan di dapur.
Read more

Interview

      Apa aku tidak salah lihat? Masa tunanganku sendiri yang mewawancaraiku? Seolah meilihat benda antik, mata Erika berkelana dari ujung rambut hingga setengah badanku.     Sudah sekitar lima belas menit waktu berlalu sejak Erika masuk ke ruangan ini. Seharusnya suasana wawancara berjalan selayaknya wawancara tetapi, Erika hanya duduk melipat kaki sambil melipat tangan ke dada. Atmosfir pun terasa dingin melebihi dinginnya suhu AC. Pengalaman pertama saat wawancara kerja tanpa ditanya apa-apa. Hingga akhirnya aku mencoba memecah suasana canggung di dalam ruangan ini."Anu-"Tangan Erika meraih stopmap di atas meja, kemudian membukanya dengan malas.  "Prastu Eka Dipayana. Lulusan D3 Administrasi Rumah Sakit Universitas Sewaka Widya. Nilai IPK biasa saja."  Suara parau khas Erika yang beberapa hari ini tidak kudengar sejak dia pulang ke rumah orang tuanya. "Pengalaman kerja tidak ada," imbuhnya.&n
Read more

Pertengkaran

   “Kalau bukan karena kekayaan, lalu karena apa?”     Rey mendelik, sorot matanya yang sipit itu menantang.“Memangnya kamu tahu apa tentang pertunanganku dengan Erika?” Nadaku meninggi, balas menantang.“Tentu saja aku tahu. Kamu hanya ingin kekayaan Erika. Dimana harga dirimu sebagai laki-laki?”      Rey mendorong pundakku.“Jangan menyentuhku!” Aku mengusap bekas sentuhan Rey di pundak. Aku mulai geram pada pria oriental di hadapanku ini. Seenaknya saja menuduh d
Read more

Belajar Masak

   “Benar-benar deh, aku gak habis pikir. Kok Kak Pras mau sama cewek kayak gitu?” tanya Dita.“Yah, mau gimana lagi. Aku juga gak  punya pilihan. Atas nama tunanganku, aku minta maaf udah gak sopan sama kamu.” ucapku. “Kak Pras cowok lemah!” Dita melenggang, meninggalkanku dan Yus di belakang.“Manajer Erika kelihatannya bertolak belakang denganmu, ya,” bisik Yus.“Kalau menikah, inget undangannya!” imbuh Yus sembari menepuk pundakku. Dia menyusul Dita, kemudian membantu Dita merapikan meja.      Padahal, sekarang in
Read more

Pengumunan Hari Pernikahan

 Sebelum jam sepuluh, aku sudah sampai di rumah orang tua. Hari ini aku mengenakan kaos abu-abu dilapisi blazer navy hadiah dari Gayatri, mantanku. Bahawan jeans berwarna navi serasi dengan warna blazzer yang kubeli di mall dengan harga diskon saat jelang hari raya idul fitri tahun lalu. Meskipun aku ini anak orang kaya, aku dituntut hidup hemat oleh Papa.   Di ruang tamu, Mama dan Papa duduk berdampingan di kursi kayu dengan sandaran berpatri  ukiran khas Bali bermotif burung merak. Kami duduk berhadapan.“Erika mana?” tanya Papa, sembari menoleh ke arah pintu masuk rumah. Berharap sosok calon menantunya itu segera datang.“Mungkin gak akan datang karena sibuk,” jawabku.
Read more

Masakan Erika

    Walaupun aku ingin membantu Erika di dapur, aku tidak bisa melakukannya karena Papa berkata kalau urusan dapur adalah urusan para wanita. Padahal, Papa sudah tahu kalau aku, putranya ini pandai memasak. Akhirnya aku terpaksa hanya duduk di sebelah Papa yang memainkan smarthphonenya. Bukan untuk bermain jejaring sosial tapi, Papa lebih banyak menggunakan benda pipih itu untuk urusan bisnis.“Papa, memangnya bisnis Papa masih lancar?”“Lancar!”      Papa menjawab dengan santai. “Sebenarnya Pras cuma mau tahu, kenapa Papa mau saja mengikat janji dengan Om Jayanta untuk menikahkan anak kalian?” ta
Read more

Merajuk

   “Asin!” komentar Mama. Dia bergegas ke dapur kemudian dalam sekejap keluar dengan membawa dua gelas air. Satunya disodorkan kepada Papa yang terlihat megusap bibir dengan lidah.  Kemudian mengapusnya dengan punggung tangan. Perlahan Papa meneguk cairan bening, merasakan kelegaan di mulutnya setelah rasa di mulut papaku itu tersapu oleh cairan bening. “Ayam sayurmu keasinan,” komentarnya kemudian.    Mama bersedekap, mengela napas berat.“Kalau makanannya  begini, tekanan darah papa bisa naik terus. Kamu gak pakai takaran, ya?” Nada mama terdengar kesal. Kulirik Erika. Tangan kanannya embali me
Read more

Galau

  Papa sudah memberitahu apa yang terjadi kepada bisnisnya sehingga aku harus menikahi Erika. Meski sebelumnya aku sudah menduga  bahwa pertunanganku ini bukan semata-mata janji antar orang tua. Papa bukanlah sosok yang memaksa kehendaknya kepadaku sejak aku beranjak remaja. Akan tetapi, kali ini sepertinya aku dipaksa membuang cinta demi menyelamatkan bisnisnya.        Aku melajukan kendaraanku dengan kecepatan standar, di tengah matahari  yang sudah mulai membiaskan cahaya kekuningan, menerpa dahan pohon perindang kota. Bayang wajah dingin Erika pun mendadak melintas di kepalaku, wajah kecil dengan bentuk bibir indah itu. Mendadak harga diriku sebagai seorang lelaki seperti seolah ditampar oleh karisma Bu Manajer.    
Read more

Postugram

  Sudah berapa lama sejak aku memeratikan dua orang di balik konter itu tahu-tahu, tanpa kusadari Dwi sudah duduk di depanku, menopang dagunya dengan kedua tangan. Dalam balutan kaos putih polos yang ditutupi oleh bomber jacket berwarna gelap, Dwi memandangku seperti sebuah benda antik dengan senyum imut. Senyumnya bertambah lebar saat aku menunjukkan ekspresi kaget. “Manis sekali kalau bengong begitu!” kelakarnya sembari melebarkan senyum. “Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku.      Dwi kemudian menurunkan tangan, memerikasa benda yang melingkar di tangannya.“Sekitar lima menit yang lalu, sih.”
Read more

Mi Ayam Rasa Kecamuk

   Secara tidak langsung, Dwi sudah mengembalikanku ke dunia postugram sejak postingan mi ayam bercaption Bahasa Jepang.  Hari ini aku menyuruh Yus dan Dita untuk memasak semua menu yang ada. Tanganku tidak berhenti mengabadikan setiap menu yang sudah tersaji , satu-persatu. Dari minuman dan makanan. Satu makanan bisa memakan waktu sampai lima menit hanya untuk dipotret dengan menggunakan kamera ponsel.“Sebaiknya ubah akunmu menjadi akun bisnis!” saran Yus. “Memang apa bedanya dengan akun pribadi?” tanyaku. Sesaat kemudian terdengar suara ‘cekrek’ setelah aku menekan tombol captured. Mataku memeriksa kembali kualitas foto mulai dari resulosi hingga pencahayaan. “Nih, bedanya!” Yus memperlih
Read more
PREV
123456
...
17
DMCA.com Protection Status