Sudah berapa lama sejak aku memeratikan dua orang di balik konter itu tahu-tahu, tanpa kusadari Dwi sudah duduk di depanku, menopang dagunya dengan kedua tangan. Dalam balutan kaos putih polos yang ditutupi oleh bomber jacket berwarna gelap, Dwi memandangku seperti sebuah benda antik dengan senyum imut. Senyumnya bertambah lebar saat aku menunjukkan ekspresi kaget.
“Manis sekali kalau bengong begitu!” kelakarnya sembari melebarkan senyum.
“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku. Dwi kemudian menurunkan tangan, memerikasa benda yang melingkar di tangannya.“Sekitar lima menit yang lalu, sih.”Secara tidak langsung, Dwi sudah mengembalikanku ke dunia postugram sejak postingan mi ayam bercaption Bahasa Jepang. Hari ini aku menyuruh Yus dan Dita untuk memasak semua menu yang ada. Tanganku tidak berhenti mengabadikan setiap menu yang sudah tersaji , satu-persatu. Dari minuman dan makanan. Satu makanan bisa memakan waktu sampai lima menit hanya untuk dipotret dengan menggunakan kamera ponsel.“Sebaiknya ubah akunmu menjadi akun bisnis!” saran Yus. “Memang apa bedanya dengan akun pribadi?” tanyaku. Sesaat kemudian terdengar suara ‘cekrek’ setelah aku menekan tombol captured. Mataku memeriksa kembali kualitas foto mulai dari resulosi hingga pencahayaan. “Nih, bedanya!” Yus memperlih
Tahu-tahu sore sudah merangkak menjadi malam. Setelah menutup kedai dan pulang ke rumah, aku merebahkan badan di atas kasur. Hari ini, penjualan dari kedai masih mengkhawatirkan seperti kata Dita. Pelanggan kami pun hanya Erika dan pacarnya. Aku membuka Postugram, melihat kembali postingan profil. Ada sekitar dua puluh tanda hati di pojok kanan atas, itu berarti yang menyukai postinganku masih sedikit. Sekarang, isi Postugramku hanya makanan dari kedai. Terlihat seperti iklan akun bisnis profesional saja. Mataku menangkap komentar pada postingan mi ayam, menu andalan kedai kami. Ada seseorang yang menulis komentar di bawah gambar. Dia tak lain adalah Dwi. ‘Mie ayam rasa kecamuk itu kayak gimana? Pasti cocok dimakan saat sedang cemburu kare
Jam biologisku selalu diatur oleh tubuhku untuk bangun jam sembilan pagi. Tapi, kali ini aku memaksakan diri untuk bangun lebih pagi. Memasak sarapan sebelum bersiap. Hari ini aku harus datang lebih pagi ke kantor Erika. Akan gawat kalau aku sampai terlambat di hari pertama. Tidak bisa kubayangkan bagaimana Erika akan mendampratku jika semenit saja aku telat. Selain jam biologis yang harus kuatur, aku juga harus memerhatikan penampilanku. Aku mengenakan kaos turtle neck warna putih dilapisi dengan blazzer warna biru cerah. Agar senada dengan atasan aku juga memilih celana kain berwarna sama dengan warna blazzer. Sebagai sentuhan terakhir aku melingkarkan jam tangan tanpa merk yang kubeli dengan harga diskon di mall. Setelah menyisir rambut potongan undercut, aku duduk di meja mak
Aku dan Bu Dewi serius menganailisa kadar siklamat di dalam sampel bersama beberapa rekan lainnya. Pekerjaan kami selesai sebelum masuk jam makan siang. Hasilnya pun ditemukan beberapa sampel bahan yang positif mengandung siklamat.“Lagi-lagi dari sampel ini. Kemarin juga sama!” seru Bu Dewi.“Apa sampel ini datang dari suplier yang diragukan itu?” tanyaku. Bu Dewi mengangguk pelan. Memandang jejeran sampel di dalam tabung reaksi yang dipenuhi gumpalan putih di dasarnya.“Jadi, selanjutnya bagaiamana?”“Ini harus dilaporkan kepada Bu Erika sebagai Mana
Percakapanku dengan Dwi berhenti saat dia memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku juga kembali ke kantor karena sudah jam. Hari pertama bekerja aku tidak ingin terlambat semenit saja setelah waktu istirahat siang berakhir. Aku tidak ingin diomeli Erika hanya karena masalah disiplin. Pintu otomatis langsung terbuka begitu mendeteksi tubuhku lalu benda yang terbuat dari kaca dengan sensor pintar itu menutup begitu tubuhku sudah masuk ke dalam. Melewati meja resepsionis, kemudian berjalan di lorong menuju ruang analisa. Sepatuku mengeluarkan bunyi berdecit saat berpadu dengan permukaan lantai. Aku menghentikan langkah, berbarengan dengan mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan begitu lewat di depan ruangan “Manajer." Pintu tidak ditutup rapat seperti tadi pagi saat aku menyerahkan hasi
Tangan Bu Dewi begitu cekatan menganalisa setiap sampel yang datang dari suplier. Aku yang duduk di samping wanita bertubuh kurus ini juga tidak kalah aktif membantu menimbang sampel. Sesekali suara bibir tabung reaksi beradu dengan tabung reaksi lainnya sehingga mengeluarkan dentingan.“Tadi itu kayaknya gawat banget, ya?” celoteh Bu Dewi. Suaranya tedekap oleh masker yang menutupi mulutnya.“Apanya?” tanganku terus mengaduk tabung reaksi.“Es batu!”“Oh, hanya ada sedikit insiden saja. Selanjutnya gak terlalu parah kok,” jawabku.“Pasti tetang Bu
Erika sudah tidak ada di meja makan saat aku muncul di kamar mandi. Akan tetapi, makanan yang kusajikan sudah habis tak tersisa. Aku mengintip ke kamar tidur, kudapati dia sedang duduk di atas kasur, bersandar pada bantal yang ditumpuk. Matanya hampir tidak berkedip memandang selembar benda di tangannya. Aku mengelap air yang menetes dari rambut ke pelipis dengan handuk yang kukalungkan di leher kemudian masuk ke kamar, duduk di kursi terdekat.“Selain pakaian dalam, entah bagaimana foto itu juga tertinggal di kamar ini.” Aku melipat kedua tangan ke dada, mengambi posisi duduk senyaman mungkin. “Kalau kamu mencintainya, kamu masih bisa membatalkan pernikahan ini,” ucapku.
Erika terpaksa menelan makanan di mulutnya. Dia kemudian meneguk air mineral dalam botol di atas meja. “Bagaimana?” tanya Bu Dewi. Erika tidak langsung menjawab meski air itu sudah melewati tenggorokannya yang kurus, sekali lagi dai mencoba sampel dari kemasan yang sama. Menelannya setelah mengunyah.“Tidak ada rasa sama sekali,” jawabnya. Bu Dewi dan empat orang lainnya saling bertukar pandang. Tanganku mulai menjerumbai, meraih kemasan yang sudah dibuka oleh Bu Dewi. Merogoh sesuatu di dalam kemasan. Setelah mendapatkannya, aku memasukkannya ke dalam mulut, mengunya