Percakapanku dengan Dwi berhenti saat dia memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku juga kembali ke kantor karena sudah jam. Hari pertama bekerja aku tidak ingin terlambat semenit saja setelah waktu istirahat siang berakhir. Aku tidak ingin diomeli Erika hanya karena masalah disiplin.
Pintu otomatis langsung terbuka begitu mendeteksi tubuhku lalu benda yang terbuat dari kaca dengan sensor pintar itu menutup begitu tubuhku sudah masuk ke dalam. Melewati meja resepsionis, kemudian berjalan di lorong menuju ruang analisa. Sepatuku mengeluarkan bunyi berdecit saat berpadu dengan permukaan lantai.
Aku menghentikan langkah, berbarengan dengan mataku tanpa sengaja menangkap pemandangan begitu lewat di depan ruangan “Manajer." Pintu tidak ditutup rapat seperti tadi pagi saat aku menyerahkan hasiTangan Bu Dewi begitu cekatan menganalisa setiap sampel yang datang dari suplier. Aku yang duduk di samping wanita bertubuh kurus ini juga tidak kalah aktif membantu menimbang sampel. Sesekali suara bibir tabung reaksi beradu dengan tabung reaksi lainnya sehingga mengeluarkan dentingan.“Tadi itu kayaknya gawat banget, ya?” celoteh Bu Dewi. Suaranya tedekap oleh masker yang menutupi mulutnya.“Apanya?” tanganku terus mengaduk tabung reaksi.“Es batu!”“Oh, hanya ada sedikit insiden saja. Selanjutnya gak terlalu parah kok,” jawabku.“Pasti tetang Bu
Erika sudah tidak ada di meja makan saat aku muncul di kamar mandi. Akan tetapi, makanan yang kusajikan sudah habis tak tersisa. Aku mengintip ke kamar tidur, kudapati dia sedang duduk di atas kasur, bersandar pada bantal yang ditumpuk. Matanya hampir tidak berkedip memandang selembar benda di tangannya. Aku mengelap air yang menetes dari rambut ke pelipis dengan handuk yang kukalungkan di leher kemudian masuk ke kamar, duduk di kursi terdekat.“Selain pakaian dalam, entah bagaimana foto itu juga tertinggal di kamar ini.” Aku melipat kedua tangan ke dada, mengambi posisi duduk senyaman mungkin. “Kalau kamu mencintainya, kamu masih bisa membatalkan pernikahan ini,” ucapku.
Erika terpaksa menelan makanan di mulutnya. Dia kemudian meneguk air mineral dalam botol di atas meja. “Bagaimana?” tanya Bu Dewi. Erika tidak langsung menjawab meski air itu sudah melewati tenggorokannya yang kurus, sekali lagi dai mencoba sampel dari kemasan yang sama. Menelannya setelah mengunyah.“Tidak ada rasa sama sekali,” jawabnya. Bu Dewi dan empat orang lainnya saling bertukar pandang. Tanganku mulai menjerumbai, meraih kemasan yang sudah dibuka oleh Bu Dewi. Merogoh sesuatu di dalam kemasan. Setelah mendapatkannya, aku memasukkannya ke dalam mulut, mengunya
Begitu aku membuka mata karena dering smartphone di atas meja, aku segera menjauhkan tubuhku dari tubuh Erika. Entah sejak kapan aku bertelanjang dada. Seingatku, aku tidak melepaskan pakaian waktu aku mulai berbaring di sebelah Erika. Buru-buru aku memeriksa smarthphone yang sudah berhenti berdering. Satu panggilan tak terjawab dari mama. Semoga saja aku tidak melakukan apa-apa pada tubuh Erika dalam ketidaksadaranku tadi. Erika kemudian menggeliat, menggerakkan kakinya yang jenjang. “Kyaaaaaa!” Erika menendang punggunggu sampai aku terjungkal ke lantai.“Aduh!” Aku meringis, memegangi pinggangku.
"Papa, aku gak bisa menikah dengan Erika." Aku duduk di sebelah papa. Bangku panjang taman ini memanjakan tubuh kami yang sedikit mengeluarkan keringat setelah berjalan-jalan mengelilingi Tugu Bajera Sandhi. "Kamu harus!" Papa menyunggingkan senyum, memandang langit. "Tapi, aku gak mencintai Erika." "Pras, sekarang ini gak ada pilihan untuk bisnis Papa selain menikahkan kamu dengan Erika." "Tuh, kan! Pernikahan ini bukan sekedar janji antar sahabat saja," batinku. "Maaf ,ya. Kamu jadi repot dan mengorbankan kisah cintamu." Papa mengerjap. Peluh menetes dari pelipisnya yang kerut. "Papa ingin kamu mengurus bisnis setelah itu bersama Erika nanti. Bahkan jika bisa kamu bisa menurunkannya ke cucuku." Nada papa merendah. "Apanya yang bisnis? Papa tahu sendiri kan, aku itu udah tiga kali gagal dalam membuat bisnis. Bahkan kedai mi ayam pun gak bisa memberikan Papa profit," sanggahku. "Maka dar
Langit utara pagi ini agak mendung, ikut berkabung dalam kedukaan yang kami rasakan. Orang-orang yang datang ke rumah duka semua mengenakan pakaian serba hitam. Rekan bisnis papa, keluarga dan teman-temanku juga ikut merasakan kedukaan di hati ini. Yus dan Dita juga datang. Katanya, mereka menutup kedai khusus untuk hari ini. Aku dan mama, berdiri di balai, memberikan penghormatan terakhir kepada mendiang. Mendoakan yang terbaik untuk roh ayah kandungku itu. Sejak kemarin, mama tidak bisa berhenti menangis. Kantung matanya terbentuk karena tidak bisa tidur dengan tenang. Sementara, meskipun aku ingin menangis aku tetap menahannya. Membiarkannya keluar di dalam hati saja meski dadaku ini jadi sesak. Kalau aku ikut menangis, mama akan lebih lemah. Jadi, kata-kata yang keluar dari mulutku untuk menguatkan mama hanyalah. “Ikhlaskan saja. Papa s
Seminggu setelah kematian papa, aku tinggal di rumah orang tua untuk menemani mama. Mama bangkit dari keterpurukan pasca ditinggal papa dengan cepat meskipun tatapan matanya masih kosong sesekali waktu mengenang suami tercinta. Akhir-akhir ini pun aku harus pulang lebih awal dari kantor Erika dan hanya singgah ke kedai saat makan siang. Membiarkan mama sendirian dan kesepian untuk waktu yang lama rasanya masih sulit pasca kematian papa. Hari ini pun begitu, aku meminta ijin Erika untuk pulang lebih cepat di ruangannya.“Maaf, hari ini saya harus pulang lebih cepat lagi. Apa masih boleh?” tanyaku pada Erika yang sedang sibuk di meja kerjanya. Erika tidak l
Pernikahan yang dipercepat membuatku jadi memikirkan banyak hal. Memikirkan kehidupan rumah tangga dengan wanita yang usianya lima tahun lebih tua, masalah keuangan dan yang paling membebaniku adalah cara untuk menyelamatkan kedai yang sudah diambang kebangkrutan itu. Siang ini, saat jam istirahat aku dan Erika duduk di kedai. Membicarakan kehidupan masa depan kami. Dua es kopi sudah tersuguh di meja sebagai pendingin kepala jikalau nanti pembicaraannya jadi memanas. Dua mangkuk mie ayam di hadapanku yang sudah dingin mulai mendingin. "Mulai sekarang kehidupan kita sudah diatur oleh para orang tua." Erika memulai percakapan. "Yah, aku juga tidak menduganya." Aku menyesap kopiku. Erika mengeluarkan dua lebar kertas dari dalam tas bermerek dengan huruf L dan V yang didesain menyatu."Silakan dibaca!" perintahnya. Dia mengulurkan kedua benda putih ringan itu kepadaku. Pada bagian atas kertas tertulis "Perjanjia
Kepada Pembaca, Kepada pembaca, dengan ini penulis menyatakan novel Menikahi Bu Manajer sudah tamat pertanggal 23 Desember 2021. Hampir 7 bulan menyelesaikannya karena kesibukan bekerja dan kadang juga dilanda malas. Menikahi Bu Manajer mungkin bukan karya yang sempurna tetapi, author berharap semua bisa menikmati karya yang tidak sempurna ini dan para pembaca bisa turut menikmati prosesnya. Author sangat berharap bisa membuat karya yang lebih sempurna lagi tentunya dengan kritik, saran dan masukan dari para pembaca. Jadi, silakan tuangkan sarannya di sini mengenai kekurangan dalam novel Menikahi Bu Manajer. Nantikan karya selanjutnya yang lebih baik, ya. Semangat semuanya.Salam dari langit utara,Ursa Mayor, Jangan lupa follow akun media sosial penulisF*: Omang YayuzI*: @mang_yayus
Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Erika berangsur akur. Kami menjalankan semua kesibukan kami bersama dan yang menggembirakan adalah aku mendapat berita bahwa Rey masuk bui dengan pasal berlapis. Kabar itu kudapat dari Rahayu melalui pesan singkat Waktuchat. Ayahnya dipecat dari Jayanta Tambang. Dan hari ini, aku tidak sengaja bertemu Dita di sebuah kafetaria. Gadis ceria itu sangat senang melayaniku dan menguarkan keceriaannya kembali. Di sela-sela senggangnya, dia bahkan mendampingku seperti sekarang, duduk satu meja. “Kak Pras, aku sangat senang karena Yus sudah bebas. Padahal, aku juga sebenarnya tidak punya bukti apa-apa tentang kasus kedai itu.” Dita memulai pembicaraan. “Lupakan masalah itu. Aku tidak akan membiarkan dia di sana terlalu lama.” “Tapi, bagaimana Kak Pras membebaskannya tanpa syarat?” tanya Dita. Aku menyedot es capucino di depanku. “Rahasia!” jawabku kemudian sambil terse
Aku malah jadi frustasi karena semua ini. Mendadak jadi pemimpin hanya karena ancaman yang kulakukan. “Sebenarnya Papa mau aku gimana?” Aku mengumpat kepada papa yang sudah tidak ada dan tentu saja sudah tidak bisa mendengar keluh kesahku. Pernikahan dengan Erika yang membuat hidup berantakan, cerita-cerita yang tidak masuk akal dari ayah mertua, Erika atau mungkin juga dari Tante yang tidak masuk ke logikaku dan sekarang menjadikanku pemegang Jayanta Tambang. Sekarang aku baru menyadari sesuatu, pemicu sebenarnya dari kehidupanku yang berantakan bukanlah pernikahanku dengan Erika, tetapi kepemilikan saham. Aku tidak bisa mengatakan diriku ini alat untuk merebut kekuasaan karena di sisi lain aku juga yang diuntungkan, tetapi aku menyayangkan keputusan mereka. “Kamu ini gak sopan banget, malah melenggang gitu aja!” Erika sudah duduk di kursi di sebelahku, menutup pintu wagon dengan kesal. “Kenapa sih, Pras!” tanyanya sembari melipat t
Suara TV dari ruang tamu membuat mataku terbuka padahal seingatku sebelum aku tidur semalam, aku sudah mematikannya. Namun, agaknya Erika bangun sebelum aku bangun. Bukan tanpa alasan mataku jadi terbuka tetapi, karena telingaku menangkap suara seorang pewarta yang membawakan berita pagi ini. “CEO Jayanta Tambang melaporkan kasus putranya….” Kalimat itulah alasan utama. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan peregangan pada bagian badan, menguap melepaskan sisa kantuk. Badanku terisi ulang dengan energi, tapi tenggorokan yang kering memaksa untuk pergi ke dapur dan mengambil minum. “Sebenarnya, apa yang kamu lakukan kemarin?” Erika masih dengan pakaian yang dia kenakan semalam, duduk bersila di sofa sambil menatap layar. Di layar TV terpampang highlight bertuliskan, “Putra Jayanta Tambang Tersandung Kasus.” Ternyata, secepat ini beritanya tersiar. “Jawab, Pras!” Erika menurunkan hodie telinga kucing, memand
Puas menghabiskan sisa hari ini bersama Tante dan Ryan, aku pulang ke rumah dengan bekal masakan hasil karya Tante ketika langit sudah mulai gelap. “Aku pulang!” Kudapati istriku itu sedang duduk di sofa mengenakan piyama putih sembari bersila. Ekspresinya sangat serius menonton tayangan luar negeri, seakan dia tidak menyadari kehadiranku dia sama sekali tidak menoleh atau bahkan membalas salam. Tetapi satu hal yang membuat aku terenyum adalah atasan tambahan yang dia kenakan. Atasan yang dia kenakan sangat kontras dengan kepribadiannya. Jaket rajut warna cokelat dengan hodie bertelinga mirip seperti hewan kucing atau semacamnya. Saking seriusnya menonton dan suara TV yang mengalahkan derap langkahku, aku berjalan mendekat, menarik salah satu telinga kucing pada hodienya. Masih belum juga menyadari kehadiranku dan mengira hodienya melorot aku ikut bersenandung ketika iklan dengan soundtrack anak-anak muncul. “
Meski rumah ini sudah ditinggal oleh orang tuaku, pintu rumah yang selalu terbuka seakan selalu menyambutku kapan saja aku datang. Bagaimana pun keadaanku dan sesulit apapun masalah yang menghampiri, rumah ini adalah tempat aku meletakkan semua lelah untuk sesaat. Sekarang pun masih tetap sama hanya saja, dengan kasih yang datang dari orang berbeda. Kasih seorang ibu juga. Aku memasuki ruang tamu, kudapati Tante sedang membuka sebuah benda seperti buku. “Aku pulang!” Aku memberi salam. Tante pun menoleh untuk sesaat. “Eh, Pras,” sahutnya. “Lihat apa, Tante?” tanyaku sembari mendongak. Tampak beberapa foto nostalgia di dalam album foto yang dipangku Tante. “Mendadak Tante kangen sama orang tuamu. Juga beberapa fotomu waktu kecil.” Tante tersenyum sembari membalik album. “Oh ya, sebelum lupa-,” Aku mengeluarkan dokumen dari dalam saku jass kemudian memberikannya pada Tante-.”tolong disimpan dengan baik lagi, ya1"
“Selanjutnya, saya serahkan kepada Rahayu dan Bapak.” Aku bangkit dari posisiku. “Saya tunggu di law firm.” Rahayu menyodorkan kartu namanya kemudian menepuk pundakku memberi tanda untuk segera pergi. Kami berdua berjalan bergantian dengan derap langkah yang tegas. “Kok bisa-bisanya kamu berpikir tentang rencana ini?” tanya Rahayu ketika kami menuruni tangga, keluar dari gedung. “Yah, mau bagaimana lagi. Aku juga gak ada cara lain. Dengan begini pun firma hukummu seharusnya diuntungkan,” jawabku. “Apa Erika tahu tentang ini?” tanyanya lagi. “Ini tidak ada hubungannya lagi dengan Erika. Aku pun gak perlu validasi dari istriku.” Kami berhenti di depan mobil wagonku. Rahayu pun tersenyum untuk pertama kalinya kepadaku. “Kali ini, aku serahkan padamu.” Aku berbalik, membuka pintu mobil. “Tunggu!” “Apalagi?” “K
Aku duduk di sofa, menyilangkan kakiku dan merentangkan tangan di atas daun sofa. Pria paruh baya yang kulihat di TV pasca Rey dijebloskan dipenjara untuk pertama kalinya sekarang ada di di depanku. “Kamu siapa? Kenapa lancang masuk ke ruangan ini tanpa izin?” tanyanya. “Dia Pras, Ayah!” sahut Rey. “Salam, Pak!” Aku menangkupkan tangan sambil tersenyum. “Jadi kamu yang telah merebut Erika dari anak saya?" Pria itu mendekat sembari mengarahkan telunjuknya kepadaku. “Tenanglah, Pak!” ucapku santai. “Apa maksudmu datang ke sini tiba-tiba begini? Belum puas kamu membawa penderitaan kepada anakku?” Senyum di bibirku luntur seketika. Aku bangkit berdiri di hadapan pria yang sudah membesarkan Rey hingga dia menjadi seberengsek itu. “Penderitaan katamu, wahai Tuan CEO yang terhormat?” Kupandang wajahnya yang berkerut. Sesaat kemudian, aku beralih pandang ke Rey yang berdiri di depan meja kerja mewah ayahnya.
Sesaat kemudian, Tante turun membawa dokumen yang kuminta. Dia mengeluarkan seluruh isinya di hadapanku. “Kamu hanya perlu dokumen pailit, jadi Tante akan memberikan itu saja. Sisanya, Tante akan menyimpannya untukmu nanti.” Tante memasukan dokumen yang kuperlukan ke dalam amplop kemudian merapikan sisanya. “Ini.” Tante mengulurkan benda pipih cokelat itu kepadaku. Aku mengambilnya kemudian menyimpan di kantong bagian dalam jasku. “Sebenarnya Tante mengkhawatirkanmu. Maafkan, Tante atas tamparan itu. Kamu sudah seperti putraku sendiri, Nak.” Tante mulai terisak. Aku berjongkok di hadapan tante, meletakkan kepalaku di pahanya. “Tante, aku mencintaimu. Cuma Tante yang bisa gantiin sosok Mama dan orang tua untukku. Aku minta maaf karena lancang dan merepotkan selama ini. Terima kasih.” Aku kembali merasakan kehangat seorang ibu ketika tangan tante mengelus lembut kepalaku. A