Semua Bab Dating with Celebrity: Bab 21 - Bab 30

175 Bab

Ambidextrous Versus Perengut [2]

Seingat Kendra, ini kali pertama dia harus melewati proses memilih kriteria calon pasangan yang begitu bertele-tele. Para pesohor yang lain umumnya sudah menyiapkan daftar lengkap yang akan dikirim via surat elektronik. Kalaupun ada yang harus bertemu muka dengan Kendra seperti Maxim sekarang, biasanya tak butuh waktu lama bagi gadis itu untuk mencatat poin-poinnya. Maxim memang selalu antimainstream.“Ini kali pertama aku terlibat dalam hal menentukan kriteria pasangan yang diinginkan. Bukan bermaksud mengkritikmu, tapi menurutku kamu itu terlalu perfeksionis. Semua salah.” Kendra memindahkan pulpennya ke tangan kanan seraya menggerak-gerakkan jari-jari kirinya. Menunjukkan bahwa tangannya lumayan pegal karena menulis.“Kamu memang mengkritikku,” timpal Maxim. “Aku kan sudah bilang, aku tidak punya kriteria tertentu sebelum memilih pasangan. Prinsipku, kalau suka pada seseorang, ya sudah. Tidak ada poin khusus yang harus dipatuhi
Baca selengkapnya

Ambidextrous Versus Perengut [3]

“Seharusnya, aku yang mengajukan pertanyaan itu padamu,” balas Kendra. “Omong-omong, kenapa kamu mudah sekali menyatakan persetujuan? Ini bukan perangkap, kan? Tapi, kenapa aku punya firasat akan menyesali semua ini?”“Aku bukan pelaku kriminal. Lagi pula, untuk apa memerangkap atau menjebakmu? Seolah ada untungnya saja.” Maxim tampak tersinggung. Namun entah kenapa Kendra merasa pria itu hanya berpura-pura.“Oh, oke. Kamu memang bukan pelaku kriminal. Cuma seorang laki-laki menyebalkan yang tidak tahu caranya tersenyum.” oOo Maxim meninggalkan kantor The Matchmaker dengan perasaan aneh yang menggumpal di dadanya. Dia tidak pernah mengira akan ada suatu pagi saat dia bukannya buru-buru berangkat ke kantor. Melainkan mendatangi kantor lain untuk menyetujui acara kencan bodoh yang ditayangkan televisi.Selama ini Maxim menilai dirinya adalah orang yang tidak nyaman berada di
Baca selengkapnya

Kerewelan Tak Cuma Milik Perempuan [1]

Niat Kendra untuk mengunjungi ibunya di akhir pekan ini pun terpaksa ditunda lagi. Dua minggu lalu, dia harus datang ke kantor Maxim. Sabtu selanjutnya, Kendra masih disibukkan dengan urusan pekerjaan. Kali ini, karena ikut mengurusi syuting pra kencan yang melibatkan sepuluh peserta terpilih dengan si selebritas. Yang harus menjalani syuting adalah seorang model majalah pria dewasa, Tessa Marris.Bagaimana dengan hari Sabtu ini? Tidak ada pekerjaan yang membuatnya sibuk. Akan tetapi,  Kendra meringkuk di kasur karena radang tenggorokan yang cukup mencemaskan dan membuatnya tak leluasa makan dan minum.Sejak Jumat siang, gadis itu sudah merasakan tanda-tanda ketidaknyamanan di tenggorokannya. Namun hal itu terabaikan karena dia harus fokus pada pekerjaan. Begitu tiba di rumah sekitar pukul setengah tujuh malam, barulah Kendra yakin bahwa dia akan kesulitan menyetir ke Bandung jika tak segera meminum obat.“Kamu agak pucat lho, Ken. Sakit, ya?” t
Baca selengkapnya

Kerewelan Tak Cuma Milik Perempuan [2]

Kendra menggeleng sambil menggumamkan terima kasih. Suci punya keluarga yang harus diprioritaskan. Namun perempuan itu selalu menyempatkan diri untuk ikut mengurus Kendra. Gadis itu tahu, dia berutang terlalu banyak pada Suci.“Nanti Tante buatkan bubur untukmu ya, Ken. Harus dimakan sampai habis,” ucap Suci sebelum meninggalkan rumah Kendra.“Terima kasih ya, Tan. Aku selalu saja membuat Tante repot,” balas Kendra.“Hush! Siapa yang repot? Tante tidak merasa begitu, kok!”Kendra sempat khawatir jika dia terpaksa tidak masuk kantor karena radang tenggorokannya. Terutama karena ini akan menjadi minggu yang sibuk. Rossa sudah mengisyaratkan agar syuting pra kencan untuk Maxim harus sudah dimulai minggu depan. Hari Senin ini dijadwalkan untuk seleksi peserta secara langsung. Kendra tidak ingin penyakitnya malah membuat pekerjaannya ikut tertunda.Entah keinginannya untuk sembuh atau obat manjur yang diberikan oleh d
Baca selengkapnya

Kerewelan Tak Cuma Milik Perempuan [3]

Di mata Kendra, lelaki itu sangat kekanakan karena menampik sepuluh perempuan menawan dengan alasan yang dirasa tidak masuk akal. Ketertarikan seperti apa yang dimaksudnya? Kendra curiga, jangan-jangan dugaan yang dilemparkannya asal-asalan pada Maxim, memang benar adanya. Bahwa pria ini adalah penyuka sesama jenis. Namun, tentu saja dia tak boleh mengulangi tudingan semacam itu di depan Maxim.“Kamu sengaja mau membuatku kesal, ya?” Kendra tidak tahan lagi. Tangan kanannya diletakkan di pinggang. Senyum Kendra runtuh sudah. Wajahnya berubah kaku, dengan warna merah yang mulai menyebar. Marah dan kesal menjadi satu. Dia merasa Maxim sedang mempermainkan dan sengaja menyulitkan.“Aku mau kamu melakukan seleksi ulang karena tidak sesuai dengan harapanku. Apa untungnya kalau aku cuma mau membuatmu kesal? Kamu kira aku suka situasi ini? Aku akan menjalani kencan dengan salah satu di antara sepuluh orang itu. Dan tidak ada satu pun yang menarik buatku!&rdq
Baca selengkapnya

Hari yang Abstrak [1]

“Kamu benar-benar gila kalau mengira aku akan menerima tawaranmu. Semakin aku jauh darimu, semakin tenang hidupku,” geram Kendra dengan nada tajam. Gadis itu menjaga suaranya agar tak didengar orang lain kecuali Maxim. “Kalau bisa, aku tak ingin lagi berurusan denganmu. Aku sangat menantikan segala hal yang melibatkanmu, berakhir. Supaya aku bisa hidup bahagia seperti dulu lagi.”Membiarkan Maxim mengantarnya ke Bandung adalah hal terakhir yang akan dilakukan gadis itu dalam hidupnya. Setelah bicara seperti itu, Kendra pun segera mengabaikan Maxim. Dia sibuk membereskan berkas-berkas di mejanya. Setelahnya, Kendra bersiap untuk meninggalkan kantor.“Ken, Bandung itu jauh, lho!” Entah mengapa, secara ajaib, Maxim masih bertahan di sebelah Kendra. Lelaki itu menunggunya merapikan meja dengan sabar. Diam-diam gadis itu bertanya dalam hati, apakah Maxim memiliki kepribadian ganda? Belum sampai lima belas menit silam mereka bersitegang.
Baca selengkapnya

Hari yang Abstrak [2]

“Untuk apa kamu membawa baju ganti? Kamu kan bisa langsung pulang setelah mengantarku,” kata Kendra curiga. Dia menatap tas bepergian berukuran sedang yang diletakkan Maxim di jok belakang.“Cuma untuk berjaga-jaga,” Maxim beralasan.“Aku cuma merasa kalau kamu ini sedang ... merencanakan sesuatu. Berpura-pura baik untuk membuatku marah. Karena tadinya aku mengira kita sudah tidak ada masalah lagi sejak kamu datang ke kantorku pagi itu. Tapi,” Kendra mengernyit, “nyatanya tadi kamu masih tetap saja orang menyebalkan yang sama. Maaf ya kalau kamu tidak suka mendengar kata-kataku. Tapi aku memang sudah tidak bisa menoleransi sikapmu,” aku gadis itu lagi.Maxim tampak tidak siap dihujani kritik seperti itu. Tangannya yang sedang bersiap menyalakan mesin mobil, berhenti bergerak. Selama tiga detik yang terasa panjang bagi Kendra, mereka saling menantang mata.“Kenapa? Belum pernah ada yang mengucapkan kata
Baca selengkapnya

Hari yang Abstrak [3]

“Radang tenggorokanmu sudah sembuh?” tanya Maxim tidak terduga, mengabaikan kata-kata Kendra barusan. “Kamu sudah berobat ke dokter, kan?”“Perhatian sekali,” sindir Kendra. Namun sesaat kemudian dia segera menyesali sikap buruknya. Paling tidak, selama nyaris satu jam terakhir, Maxim menunjukkan niat baik. Meskipun Kendra tidak tahu apa motivasinya.“Aku sudah ke dokter, dan sekarang sudah agak membaik,” ucap Kendra  dengan nada kaku.“Saranku, lebih baik kamu tidur dulu. Nanti kalau sudah tiba di Bandung, aku akan membangunkanmu,” balas Maxim. "Perjalanan kita masih jauh."Meski ingin, mana bisa Kendra memejamkan mata dalam kondisi seperti itu? Rasa takut terlalu besar mencengkeram dadanya. Dia mencemaskan kondisi ibunya. Namun Kendra tidak punya kesempatan untuk meluapkan emosinya.“Aku ... meski sejak tadi mengomel, aku mau berterima kasih padamu. Karena sudah mengantarku. K
Baca selengkapnya

Masa Lalu dan Kegetirannya [1]

Saat itu, Kendra benar-benar membenci Maxim. Kenapa lelaki itu harus bicara dengan nada lembut yang membuat air matanya kembali meruah? Belum lagi harapan Maxim yang diucapkan kemudian. Semua itu kembali menjebol pertahanan Kendra yang sedang berada di salah satu titik terendah hidupnya.Kapan kali terakhir ada orang yang mendoakan ibunya? Apalagi telinga Kendra menangkap ketulusan di suara Maxim, meski penilaiannya patut dipertanyakan juga. Bahkan, Arthur dan Tina sudah terlalu lama mengabaikan sang bunda, Gayatri. Jadi, ketika ada orang lain yang melakukannya, meski itu adalah si arogan Maxim, Kendra benar-benar merasa terharu.“Kamu sering mengunjungi ibumu, Ken?” tanya Maxim setelah Kendra bisa bernapas normal lagi. “Ada jadwal khusus ke sana?”“Aku berusaha ke Bandung dua minggu sekali. Hanya di hari Sabtu. Karena kalau hari Minggu, aku khawatir dengan lalu lintasnya. Aku tidak mau membolos. Kadang aku menginap, tapi itu 
Baca selengkapnya

Masa Lalu dan Kegetirannya [2]

Menjelang tiba di rumah sakit, Kendra sudah menelepon perawat yang biasa menangani ibunya. Perempuan berusia pertengahan empat puluhan itu, Inge, menunggu Kendra di lobi rumah sakit yang lumayan sibuk.“Suster, bagaimana kondisi Ibu?” Kendra memegang lengan Inge dengan napas memburu. Wajahnya terasa membeku, napasnya agak terengah, dan matanya berkaca-kaca.Inge berusaha menenangkan Kendra, menghadiahi gadis di depannya dengan seulas senyum dan elusan lembut di punggung tangan.“Kondisi Bu Gayatri sudah stabil. Tapi saya rasa tetap harus menghubungi kamu. Hanya saja, saya tidak mengira kamu akan langsung datang ke sini.”Seseorang menghentikan langkah di sebelah Kendra. Suara napas Maxim yang lebih cepat dari biasa pun menerpa telinga gadis itu.“Ini teman saya, Suster,” Kendra merasa dia punya kewajiban memperkenalkan Maxim dengan Inge. Meski dia tidak tahu apakah label “teman” yang baru disematkanny
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
18
DMCA.com Protection Status