“Seharusnya, aku yang mengajukan pertanyaan itu padamu,” balas Kendra. “Omong-omong, kenapa kamu mudah sekali menyatakan persetujuan? Ini bukan perangkap, kan? Tapi, kenapa aku punya firasat akan menyesali semua ini?”
“Aku bukan pelaku kriminal. Lagi pula, untuk apa memerangkap atau menjebakmu? Seolah ada untungnya saja.” Maxim tampak tersinggung. Namun entah kenapa Kendra merasa pria itu hanya berpura-pura.
“Oh, oke. Kamu memang bukan pelaku kriminal. Cuma seorang laki-laki menyebalkan yang tidak tahu caranya tersenyum.”
oOo
Maxim meninggalkan kantor The Matchmaker dengan perasaan aneh yang menggumpal di dadanya. Dia tidak pernah mengira akan ada suatu pagi saat dia bukannya buru-buru berangkat ke kantor. Melainkan mendatangi kantor lain untuk menyetujui acara kencan bodoh yang ditayangkan televisi.
Selama ini Maxim menilai dirinya adalah orang yang tidak nyaman berada di
Niat Kendra untuk mengunjungi ibunya di akhir pekan ini pun terpaksa ditunda lagi. Dua minggu lalu, dia harus datang ke kantor Maxim. Sabtu selanjutnya, Kendra masih disibukkan dengan urusan pekerjaan. Kali ini, karena ikut mengurusi syuting pra kencan yang melibatkan sepuluh peserta terpilih dengan si selebritas. Yang harus menjalani syuting adalah seorang model majalah pria dewasa, Tessa Marris.Bagaimana dengan hari Sabtu ini? Tidak ada pekerjaan yang membuatnya sibuk. Akan tetapi, Kendra meringkuk di kasur karena radang tenggorokan yang cukup mencemaskan dan membuatnya tak leluasa makan dan minum.Sejak Jumat siang, gadis itu sudah merasakan tanda-tanda ketidaknyamanan di tenggorokannya. Namun hal itu terabaikan karena dia harus fokus pada pekerjaan. Begitu tiba di rumah sekitar pukul setengah tujuh malam, barulah Kendra yakin bahwa dia akan kesulitan menyetir ke Bandung jika tak segera meminum obat.“Kamu agak pucat lho, Ken. Sakit, ya?” t
Kendra menggeleng sambil menggumamkan terima kasih. Suci punya keluarga yang harus diprioritaskan. Namun perempuan itu selalu menyempatkan diri untuk ikut mengurus Kendra. Gadis itu tahu, dia berutang terlalu banyak pada Suci.“Nanti Tante buatkan bubur untukmu ya, Ken. Harus dimakan sampai habis,” ucap Suci sebelum meninggalkan rumah Kendra.“Terima kasih ya, Tan. Aku selalu saja membuat Tante repot,” balas Kendra.“Hush! Siapa yang repot? Tante tidak merasa begitu, kok!”Kendra sempat khawatir jika dia terpaksa tidak masuk kantor karena radang tenggorokannya. Terutama karena ini akan menjadi minggu yang sibuk. Rossa sudah mengisyaratkan agar syuting pra kencan untuk Maxim harus sudah dimulai minggu depan. Hari Senin ini dijadwalkan untuk seleksi peserta secara langsung. Kendra tidak ingin penyakitnya malah membuat pekerjaannya ikut tertunda.Entah keinginannya untuk sembuh atau obat manjur yang diberikan oleh d
Di mata Kendra, lelaki itu sangat kekanakan karena menampik sepuluh perempuan menawan dengan alasan yang dirasa tidak masuk akal. Ketertarikan seperti apa yang dimaksudnya? Kendra curiga, jangan-jangan dugaan yang dilemparkannya asal-asalan pada Maxim, memang benar adanya. Bahwa pria ini adalah penyuka sesama jenis. Namun, tentu saja dia tak boleh mengulangi tudingan semacam itu di depan Maxim.“Kamu sengaja mau membuatku kesal, ya?” Kendra tidak tahan lagi. Tangan kanannya diletakkan di pinggang. Senyum Kendra runtuh sudah. Wajahnya berubah kaku, dengan warna merah yang mulai menyebar. Marah dan kesal menjadi satu. Dia merasa Maxim sedang mempermainkan dan sengaja menyulitkan.“Aku mau kamu melakukan seleksi ulang karena tidak sesuai dengan harapanku. Apa untungnya kalau aku cuma mau membuatmu kesal? Kamu kira aku suka situasi ini? Aku akan menjalani kencan dengan salah satu di antara sepuluh orang itu. Dan tidak ada satu pun yang menarik buatku!&rdq
“Kamu benar-benar gila kalau mengira aku akan menerima tawaranmu. Semakin aku jauh darimu, semakin tenang hidupku,” geram Kendra dengan nada tajam. Gadis itu menjaga suaranya agar tak didengar orang lain kecuali Maxim. “Kalau bisa, aku tak ingin lagi berurusan denganmu. Aku sangat menantikan segala hal yang melibatkanmu, berakhir. Supaya aku bisa hidup bahagia seperti dulu lagi.”Membiarkan Maxim mengantarnya ke Bandung adalah hal terakhir yang akan dilakukan gadis itu dalam hidupnya. Setelah bicara seperti itu, Kendra pun segera mengabaikan Maxim. Dia sibuk membereskan berkas-berkas di mejanya. Setelahnya, Kendra bersiap untuk meninggalkan kantor.“Ken, Bandung itu jauh, lho!” Entah mengapa, secara ajaib, Maxim masih bertahan di sebelah Kendra. Lelaki itu menunggunya merapikan meja dengan sabar. Diam-diam gadis itu bertanya dalam hati, apakah Maxim memiliki kepribadian ganda? Belum sampai lima belas menit silam mereka bersitegang.
“Untuk apa kamu membawa baju ganti? Kamu kan bisa langsung pulang setelah mengantarku,” kata Kendra curiga. Dia menatap tas bepergian berukuran sedang yang diletakkan Maxim di jok belakang.“Cuma untuk berjaga-jaga,” Maxim beralasan.“Aku cuma merasa kalau kamu ini sedang ... merencanakan sesuatu. Berpura-pura baik untuk membuatku marah. Karena tadinya aku mengira kita sudah tidak ada masalah lagi sejak kamu datang ke kantorku pagi itu. Tapi,” Kendra mengernyit, “nyatanya tadi kamu masih tetap saja orang menyebalkan yang sama. Maaf ya kalau kamu tidak suka mendengar kata-kataku. Tapi aku memang sudah tidak bisa menoleransi sikapmu,” aku gadis itu lagi.Maxim tampak tidak siap dihujani kritik seperti itu. Tangannya yang sedang bersiap menyalakan mesin mobil, berhenti bergerak. Selama tiga detik yang terasa panjang bagi Kendra, mereka saling menantang mata.“Kenapa? Belum pernah ada yang mengucapkan kata
“Radang tenggorokanmu sudah sembuh?” tanya Maxim tidak terduga, mengabaikan kata-kata Kendra barusan. “Kamu sudah berobat ke dokter, kan?”“Perhatian sekali,” sindir Kendra. Namun sesaat kemudian dia segera menyesali sikap buruknya. Paling tidak, selama nyaris satu jam terakhir, Maxim menunjukkan niat baik. Meskipun Kendra tidak tahu apa motivasinya.“Aku sudah ke dokter, dan sekarang sudah agak membaik,” ucap Kendra dengan nada kaku.“Saranku, lebih baik kamu tidur dulu. Nanti kalau sudah tiba di Bandung, aku akan membangunkanmu,” balas Maxim. "Perjalanan kita masih jauh."Meski ingin, mana bisa Kendra memejamkan mata dalam kondisi seperti itu? Rasa takut terlalu besar mencengkeram dadanya. Dia mencemaskan kondisi ibunya. Namun Kendra tidak punya kesempatan untuk meluapkan emosinya.“Aku ... meski sejak tadi mengomel, aku mau berterima kasih padamu. Karena sudah mengantarku. K
Saat itu, Kendra benar-benar membenci Maxim. Kenapa lelaki itu harus bicara dengan nada lembut yang membuat air matanya kembali meruah? Belum lagi harapan Maxim yang diucapkan kemudian. Semua itu kembali menjebol pertahanan Kendra yang sedang berada di salah satu titik terendah hidupnya.Kapan kali terakhir ada orang yang mendoakan ibunya? Apalagi telinga Kendra menangkap ketulusan di suara Maxim, meski penilaiannya patut dipertanyakan juga. Bahkan, Arthur dan Tina sudah terlalu lama mengabaikan sang bunda, Gayatri. Jadi, ketika ada orang lain yang melakukannya, meski itu adalah si arogan Maxim, Kendra benar-benar merasa terharu.“Kamu sering mengunjungi ibumu, Ken?” tanya Maxim setelah Kendra bisa bernapas normal lagi. “Ada jadwal khusus ke sana?”“Aku berusaha ke Bandung dua minggu sekali. Hanya di hari Sabtu. Karena kalau hari Minggu, aku khawatir dengan lalu lintasnya. Aku tidak mau membolos. Kadang aku menginap, tapi itu
Menjelang tiba di rumah sakit, Kendra sudah menelepon perawat yang biasa menangani ibunya. Perempuan berusia pertengahan empat puluhan itu, Inge, menunggu Kendra di lobi rumah sakit yang lumayan sibuk.“Suster, bagaimana kondisi Ibu?” Kendra memegang lengan Inge dengan napas memburu. Wajahnya terasa membeku, napasnya agak terengah, dan matanya berkaca-kaca.Inge berusaha menenangkan Kendra, menghadiahi gadis di depannya dengan seulas senyum dan elusan lembut di punggung tangan.“Kondisi Bu Gayatri sudah stabil. Tapi saya rasa tetap harus menghubungi kamu. Hanya saja, saya tidak mengira kamu akan langsung datang ke sini.”Seseorang menghentikan langkah di sebelah Kendra. Suara napas Maxim yang lebih cepat dari biasa pun menerpa telinga gadis itu.“Ini teman saya, Suster,” Kendra merasa dia punya kewajiban memperkenalkan Maxim dengan Inge. Meski dia tidak tahu apakah label “teman” yang baru disematkanny
Seperti dugaan Sean, Maxim meradang sepulang dari Singapura dan mendapati kekasihnya sudah berkantor di tempat Sean. Lelaki itu berusaha keras membuat Kendra mempertimbangkan tawaran untuk bergabung di Buana Bayi. Ketika ditolak, Maxim mulai mengomel. Dia bahkan merasa bahwa Kendra sok idealis. Juga pemilik The Matchmaker yang sudah membuat keputusan tidak masuk akal. Bla bla bla.Kendra sampai merasa pelipisnya berdenyut. Padahal, gadis itu sudah berjuang untuk memberi tahu Maxim dengan bahasa seringan mungkin. Dia pun sengaja menunda mengabari sang kekasih setelah Maxim kembali bekerja di hari Senin. Kendra mendatangi ruang kerja Maxim setelah jam kantor usai.Awalnya, Maxim begitu senang karena pacarnya datang berkunjung. Namun begitu diberi tahu bahwa Kendra sudah empat hari bekerja di kantor Sean, Maxim pun langsung menunjukkan kekesalannya. Lelaki itu juga tak senang karena Kendra tak mengatakan apa pun saat didesak Rossa untuk mengundurkan diri. Sean yang menyus
Kendra terpana mendengar kata-kata Sean barusan. “Kamu ... apa?”Sean tidak buru-buru menjawab. Lelaki itu bersandar di kursinya dengan gaya santai. “Sebelumnya, aku cuma bilang kalau aku melakukan ini bukan karena Maxim. Tapi karena kamu sendiri, Ken.”Kendra yang tak paham maksud lelaki itu, mengerutkan glabelanya. “Maksudmu?”“Begini. Selama kamu mewakili The Matchmaker, aku menilai bahwa kamu adalah orang yang berkomitmen pada pekerjaan. Punya kemauan keras juga. Contoh nyata yang tak terbantahkan adalah bagaimana kamu bisa membujuk Maxim sehingga akhirnya bersedia mengikuti acara kencan yang masih diejeknya sebagai acara norak sampai detik ini. Buatku, itu adalah poin plus, Ken.”“Aku boleh menganggap itu sebagai pujian?” gurau Kendra.“Tentu saja! Karena itu memang pujian, kok!” sahut Sean. “Nah, sekarang kita sampai pada poin utamanya, yaitu tawaran pekerjaan yang
“Oke. Memangnya kamu kira aku ini laki-laki bawel yang akan melapor ini-itu pada Maxim? Nanti juga dia akan tahu,” kata Sean. “Tapi memang berita ini bikin aku kaget setengah mati. Tidak menyangka ada drama baru hanya karena kamu dan Maxim berpacaran. Lalu, masih ditambah lagi dengan Aiden. Ck ck ck.” Sean geleng-geleng kepala.“Itu bukan salahku,” Kendra membela diri, merujuk pada Aiden.Sean menyeringai. “Kamu ternyata penuh pesona ya, Ken. Aku tak bisa membayangkan seperti apa reaksi Maxim kalau dia tahu bahwa ada laki-laki kelas kakap yang jadi pesaingnya. Siap-siap saja diikuti pengawal pribadi yang akan memastikan kamu tidak diganggu oleh laki-laki mana pun,” guraunya.Kendra mencebik tapi akhirnya dia malah tertawa. Gadis itu merasa geli membayangkan Maxim yang pencemburu itu mengetahui jika ada pria lain yang menyukai Kendra. Namun di sisi lain, Kendra tahu Maxim sudah berjuang untuk sedikit berubah sehingg
Pertanyaan Sean itu mengagetkan Kendra. Tadinya dia mengira lelaki itu menelepon cuma untuk menganggunya karena Maxim sedang berada di Singapura. Atau sekadar memamerkan hubungan dengan pasangan kencan pilihan Sean di acara Dating with Celebrity yang masih berlanjut hingga kini.“Kamu tahu dari mana?” Kendra balik bertanya. Dia merasa heran karena Sean bisa mengetahui informasi itu.“Bisakah kamu datang ke kantorku, Ken? Kurang nyaman kalau harus bicara di telepon. Sementara sepuluh menit lagi aku harus bertemu dengan salah satu klien,” pinta Sean. “Aku punya waktu luang di atas jam tiga.”Kendra menjawab tanpa pikir panjang, “Oke. Aku akan ke kantormu. Mumpung sedang jadi pengangguran dan tak punya jadwal meeting dengan klien,” guraunya.“Sip, kutunggu ya, Ken.”“Eh iya, tolong jangan dulu ngomong apa pun soal ini pada Maxim ya, Sean,” sergah Kendra sebelum l
Setelah meninggalkan mantan kantornya, Kendra langsung pulang. Dia sempat mampir ke supermarket untuk berbelanja beberapa kebutuhan. Gadis itu juga membeli camilan dalam jumlah lumayan banyak. Mungkin dia akan menghabiskan satu minggu ke depan dengan bersantai di depan televisi sembari menikmati aneka makanan kecil.Selama ini, Kendra memang ingin mencari pekerjaan yang sesuai dengan disiplin ilmunya. Namun, itu menjadi cita-cita yang sengaja ditangguhkannya. Hingga detik ini, Kendra sama sekali belum serius berusaha untuk mencari pekerjaan lain di luar The Matchmaker. Akan tetapi hari ini dia harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tak pernah terbayangkan. Jauh lebih mudah berimajinasi bahwa dirinya akan meninggalkan The Matchmaker atas keinginan sendiri, bukan karena dipaksa untuk membuat pilihan.Membayangkan dia sudah resmi menjadi pengangguran, Kendra pun menjadi luar biasa cemas. Mendadak, masa depannya terlihat buram dan gelap. Apa yang akan dilakukann
Kendra meninggalkan kantor The Matchmaker dengan kehebohan di belakangnya. Karena gadis itu memang tak menyembunyikan fakta yang sebenarnya. Dia tak mau kelak pengunduran dirinya malah diikuti dengan tuduhan ini-itu yang sama sekali tak benar. Karena tentunya Kendra tak lagi ada di biro jodoh itu untuk membela diri.Paling tidak, Kendra merasa berhak memberi tahu kebenaran versi dirinya. Terserah saja jika dianggap sikapnya kekanakan. Apakah setelah ini Rossa akan berkoar-koar tentang versinya yang bisa saja berbeda, itu masalah lain. Kendra tak mau memikirkan hal itu dan memusingkan sesuatu yang tak bisa dikontrolnya.“Kamu betul-betul harus mengundurkan diri?” Neala masih tak percaya. Kendra sengaja mengajak Neala dan Pritha ke ruang rapat supaya mereka bisa bicara bertiga dengan leluasa. Gadis itu merasa berutang penjelasan pada keduanya, orang-orang terdekat Kendra di The Matchmaker.“Iya. Untuk apa aku bohong?” komentar Kendra dengan
Keluar dari ruangan Rossa, kepala Kendra terasa berputar. Dia berharap semuanya cuma mimpi buruk yang kebetulan datang bertandang tanpa aba-aba. Akan tetapi, Kendra tahu yang ini bukan mimpi.Demi menenangkan diri, gadis itu buru-buru menuju toilet yang bersebelahan dengan pantri. Dia butuh waktu untuk memikirkan apa yang akan dilakukan saat ini. Langsung pulang atau menunggu hingga jam kerja berakhir? Masing-masing ada risikonya.Jika Kendra langsung pulang, pasti dia akan menghadapi banyak pertanyaan dari rekan sejawatnya. Padahal, Kendra merasa saat ini dia butuh ruang untuk bernapas. Karena ada banyak sekali kejutan yang didapatnya hari ini. Bertubi-tubi pula.Sementara jika gadis itu menunggu hingga jam kantor berakhir dan berpura-pura tak terjadi sesuatu, sisa hari ini mungkin akan berjalan lancar dan aman. Dia bisa menghindari hujan pertanyaan mengapa harus mengundurkan diri hari ini. Kecuali Rossa memutuskan untuk meminta Kendra meninggalkan kantor secep
Tubuh Kendra menegang selama beberapa sekon. Dia menatap Rossa dengan kening berkerut. “Ini serius, Mbak?” Kendra mencari tahu. “Saya harus putus dari Maxim?”“Tidak ada yang mengharuskan,” sahut Rossa cepat. “Tadi kan saya cuma bertanya. Kalau saya memintamu putus dari Maxim, bagaimana? Apa kamu bersedia?”Kendra menjawab di detik yang sama, “Tidak, Mbak. Maaf. Saya tidak melihat alasan kenapa saya dan Maxim harus putus. Kami tidak melanggar kontrak apa pun. Selain itu secara etika, saya juga tidak merasa ada masalah. Karena saya dan Maxim berpacaran berbulan-bulan setelah syuting Dating with Celebrity selesai. Tidak ada ‘cinta lokasi’ selama saya mengurusi Maxim sebagai klien kita.” Kendra membuat tanda petik di udara.Rossa beranjak dari tempat duduknya. Perempuan itu melangkah ke arah kulkas kecil di sudut ruang kerjanya. Rossa mengambil dua kaleng soda. Salah satunya diserahkan
Rossa tersenyum masam. “Tapi versi Judith tidak seperti itu. Kamu menjadi orang ketiga yang membuat hubungannya dengan Maxim menjadi jauh. Intinya, Judith mengkritik keras kebijakan-kebijakan The Matchmaker sehingga ada klien yang akhirnya malah berpacaran dengan pegawai di sini dan meninggalkan pasangan kencan yang sudah dipilih. Menurut kamu, mendengar tuduhan semacam itu dilontarkan oleh salah satu peserta kencan sekaligus sponsor acara Dating with Celebrity, apa yang harus saya lakukan?”Pertanyaan Rossa itu sungguh sulit untuk dijawab. Karena bukan kapasitas Kendra untuk mengajari perempuan itu apa yang harus dilakukan atau sebaliknya. Namun kalimat-kalimat bosnya yang menempatkan Kendra sebagai si penggoda, menyedot konsentrasi gadis itu lebih besar. Dia mustahil diam saja tanpa membela diri.“Tuduhan Judith sama sekali tidak benar, Mbak. Saya tak pernah menjadi orang ketiga yang merusak hubungannya dengan Maxim. Seperti yang saya bilang tadi, k