Home / Romansa / Serpihan Hati / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Serpihan Hati: Chapter 1 - Chapter 10

59 Chapters

Patah

Bagian 1Malam begitu mencekam mendung hitam begitu pekat menyelimuti langit, suara petir datang bergilir menyambar  ke segala arah. Sepertinya langit pun murka. Shinta duduk termenung di dalam taksi. Perjalanannya dari rumah kekasihnya menyimpan luka yang mendalam. Mungkin ini terakhir kalinya dia mengemis cinta. Kemarin pagi, dirinya mendapati jika dia tengah mengandung buah cinta antara dia dan kekasihnya yang bernama Arya. Dengan yakin dia pun pergi ke apartemen Arya, berharap mendapatkan pertanggungjawaban atas perbuatan yang seharusnya tidak mereka lakukan. "Aku harus tetap mengatakannya, biar bagaimanapun, janin ini tetap anaknya," ucap Shinta memantapkan hati. Selama di perjalanan dia merangkai kata dan juga mimpi akan membesarkan anak mereka layaknya keluarga kecil yang bahagia."Sabar, ya, Sayang, sebentar lagi kita akan bertemu dengan ayahmu." Shinta mengusap perutnya yang masih rata. Dia berdiri di depan gedung apartem
Read more

Pergi

Bagian 2Seketika langkah Shinta terhenti. Nampak ayahnya menuruni tangga disusul oleh ibu dari belakang. Raut wajah kedua orang tua itu sangat berbeda. Ayahnya terlihat menahan amarah, sedangkan sang mama nampak khawatir, beberapa kali meraih tangan suaminya, tapi dengan kasar dihempaskan oleh sang empu."Ayah! Dengarkanlah dahulu penjelasannya jangan kebawa amarah," ucap ibunya Shinta yang bernama Rena, yang masih setia membuntuti Romi."Bisakah kau jelaskan kepada kami apa maksud dari semua ini?" Romi melempar tiga buah benda kecil yang semuanya menunjukkan dua garis. Shinta memang membeli banyak alat seperti itu, untuk menyakinkan kondisinya. "Ayah!" Banyak rasa yang ingin diungkapkan kepada orang tuanya. Dia ingin meminta maaf, dia ingin merebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu, menceritakan segala keluh kesah sebab nasibnya kini yang benar-benar telah hancur. Tapi, sepertinya itu hanya angan konyol yang mustahil terjadi."Katakan!" bentak R
Read more

Memilih pergi

Bagian 3"Apa ...?Kedua gadis itu menoleh ke sumber suara. Shinta malu bukan kepalang. Ibunya Aisyah kini datang secara tiba-tiba."Ibu, kapan pulangnya? Kok nggak kedengaran suara mobilnya?" Aisyah meraih tangan ibunya untuk bersalaman. "Dari tadi, ibu juga melihat kalian di dapur, namun ibu ganti baju dahulu sebelum menemui kalian." Ibu Aisyah duduk di samping Shinta."Nak, apakah benar apa yang ibu dengar tadi? Dan kenapa semua tubuhmu merah merah begini?" Shinta malah meremas kedua tangannya tanpa membuka suara. Matanya mulai berkaca-kaca. "Benar, Bu! Dan soal luka memar di punggung, saya memang pantas mendapatkan nya." Shinta sudah mulai terisak kembali. Ibunya Aisyah yang bernama Fitri itu tidak tega melihat punggung Shinta yang telah berubah menjadi merah bahkan kulitnya ada yang mengelupas."Tenanglah, Nak! semua akan baik-baik saja. Tenangkan fikiranmu di sini setelah tenang kamu bisa pulang." Fitri mengelus lembut pipi
Read more

Amarah

Shinta kembali meratapi nasibnya menyusuri taman yang lebih sepi dari biasanya. "Ya Tuhan, kuatkan aku dalam menghadapi cobaan ini." Shinta menangkupkan kedua tangannya di wajah. Sesal tiada berguna ibarat nasi sudah menjadi bubur.  Hamil tanpa seorang suami dan kini dia terlunta-lunta di jalanan. Shinta sudah berusaha sebisa mungkin berhemat. Tetap saja uang itu habis untuk biaya kehidupannya yang beberapa hari ini kurang fit. Dia memegang nanar satu satunya kalung pemberian orang tuanya. "Haruskah aku jual ini?" pikirnya. "Ampun! Ampun maafkan saya, saya tidak akan mengulanginya lagi.""Hajar saja dia!" "Ampun pak, ampun," remaja itu tersungkur, darah segar mengalir diujung bibirnya."Hajar!" "Masih kecil, sudah jadi pencopet!""Rasakan ini, matilah kau!" Tendangan terakhir diberikan oleh pria berkepala botak. Shinta hanya bisa menatap nanar tiga orang dewasa meninggalkan anak remaja itu dalam keadaan babak belur.
Read more

Sampai

Bagian 5Shinta dan Azam sampai di terminal menjelang subuh. Mereka harus menanti bis kedua, yang kata kondektur sebentar lagi pasti akan datang. "Kak! Apakah kakak baik-baik saja?" Azam begitu cemas melihat Shinta mengeluarkan keringat dingin sambil memegang perutnya. "Ada apa, Dek?" Seorang warga yang kebetulan lewat di depan mereka berada berhenti. "Ini, kakak saya sepertinya kesakitan, Bang." Azam bingung harus berbuat apa. Sedangkan Shinta menggigit bibir bawah, tangannya mencengkram lengan Azam sebab menahan rasa kram di perutnya. "Owh, Adek sedang hamil, ya? Kita rebahan saja di sana." Menunjuk bangku panjang di emperan toko. Tanpa permisi pemuda itu membopong tubuh Shinta ala bridal style. "Adek rebahan sebentar di sini, biar saya ambil mobil. Kita ke klinik terdekat," ucap pemuda itu sambil meletakkan tubuh Shinta. Terkadang kita tidak menduga, bahwa orang asing terlihat begitu baik dimata kita.Tidak b
Read more

Sebenarnya

Bagian 6Destra dan Arya tanpa sengaja bertemu di depan kontrakan yang beberapa hari lalu ditempati oleh Shinta. Destra mendapat kabar bahwa Shinta menginap disana dari sumber terpercaya yaitu Aisyah. Aisyah tanpa sengaja bertemu dengan Destra di sebuah Mall. Aisyah juga bercerita jika dirinya tidak pernah lagi bertemu dengan Shinta, sebab dia masih di Pesantren.Destra menatap benci mobil yang juga bersamaan parkir di hadapannya.   Destra tahu benar bahwa pemuda itu ikut andil dalam rusaknya kehidupan sang adik. "Untuk apa Kau kemari? Tidak level Kau mendatangi tempat kumuh seperti ini. Atau, kau kurang puas hanya satu orang yang meninggalkan rumahnya, sehingga kau akan menggusur rumah mereka?" tuduh Destra sambil tertawa meledek. Dia masih sakit hati sebab Arya juga ikut andil dalam kepergian adiknya yang sampai saat ini belum ketemu."Berhentilah menuduhku terus Destra, bukankah Kau tahu bahwa aku tidak ada kaitannya dengan semua ini? Aku bahkan
Read more

Kontraksi

Bagian 7Suasana pagi begitu mempesona, embun basah menetes perlahan dari dedaunan, kilaunya bagai permata, indah dan menyejukkan mata. Hamparan alam tercipta begitu sempurna. Membuat Shinta enggan beranjak dari tempatnya. Dia kini berada di ujung halaman rumah. Sudah lima bulan lamanya setiap pagi, Shinta akan mematung di tempat itu untuk beberapa lama. Membiarkan tubuhnya tertimpa sorot mentari pagi yang menghangatkan. Shinta memejamkan mata, merasakan sejuknya udara pagi dan belaian cahaya yang berwarna kekuningan merambat melalui pori-pori kulit."Seperti mentari yang selalu menyinari bumi meski tidak dinanti, aku akan selalu hadir di hati ini." Shinta tersentak. Dia langsung membelalakkan matanya. Sadar, jika itu hanya sebuah serpihan kecil kenangannya bersama Arya. Kenangan yang sulit sekali bagi Shinta untuk melupakan.Bukannya Shinta tidak pernah mencoba, dia sudah mencobanya dengan cara menyibukkan diri mengembangkan usaha Fatma, tapi apa daya,
Read more

Kelahiran

Bagian 8"Ya, saya, Mbak!" jawab Ujang, yang langsung paham apa maksud Shinta menunjuk koper masih berada di dalam rumah Dengan sigap Ujang berbalik arah  menyambar koper itu segera. Lalu dia masukkan koper itu ke bagasi mobil. Shinta semakin meringis sambil mengatur pernafasan, dengan susah payah dia masuk ke dalam mobil. Dadanya mendadak sesak, deru nafasnya mulai memburu, dia berusaha menarik udara sebanyak-banyaknya melalui hidung lalu menghembuskan lewat mulut. Begitu berulang kali sesuai dengan apa yang dia pelajari saat mengikuti kelas ibu hamil. Sedangkan Fatma duduk di sampingnya disertai rasa panik dan cemas juga tidak tega. Wajah Shinta yang bersih kini berubah merah dengan peluh keringat bercucuran di seluruh wajah, atau mungkin juga di seluruh tubuhnya."Tahan, ya, Sayang! Sebentar lagi kita akan sampai." Sebisa mungkin Fatma menenangkan Shinta. Semua orang di mobil terlihat cemas bahkan Ujang tidak henti-hentinya menoleh ke belakang. Udin s
Read more

Terkejut

Bagian 9Shinta meneteskan air mata kebahagiaan. Rasa sakit dan juga penderitaan yang dialaminya hilang sudah bersama tangisan kedua bayi mungil itu. Perutnya masih terasa nyeri akibat operasi yang dia jalani beberapa jam yang lalu, tidak menyurutkan niatnya untuk memberikan asi eksklusif kepada si buah hati. Meski yang keluar hanyalah cairan bening yang sedikit kekuning-kuningan."Sayang, kamu tampan sekali." Shinta membelai lembut wajah anak laki-laki-nya yang terlihat rakus menyedot ASI.  Sedangkan anak perempuannya anteng saja di dalam gendongan Fatma. "Apakah ASI-nya sudah keluar?" Fatma masih menimang cicit perempuan-nya. "Sudah keluar tapi sedikit sekali, Nek." Shinta masih setia menatap wajah tampan anaknya. Wajah mungil yang terlihat mirip dengan wajah kekasihnya. "Ndak apa-apa nanti juga keluar banyak kalau dirangsang terus," nasihat Fatma yang tidak ditanggapi oleh Shinta. Fatma sering melihat Shinta seperti ini. Melamu
Read more

Pulang

Bagian 10."Hai, malaikat kecil yang tampan yang manis. Lihatlah, papa bawa apa untuk kalian." Azam datang dengan menenteng kresek berisi buah-buahan di tangan kiri. Dan finger puppet yang memenuhi jari di tangan kanannya. Diletakkan kresek itu di meja dekat Shinta berbaring. Setelah itu, Azam langsung menggoda bayi kecil di pangkuan neneknya. "Hai, Sayang! Pasti Kau sangat merindukan papa, ya!," ucap Azam lebih semangat dari sebelumnya. Dia menggerakkan jarinya yang dipenuhi oleh finger puppet."Belajar yang giat, Papa! Papa! Ndasmu gundul kui. Kalau mau jadi papa harus lulus ujian nilai paling unggul setelah itu kuliah dan kerja keras, agar jadi orang yang sukses, baru jadi papa." Azam seketika nyengir kuda sambil mengusap kepalanya yang kena tampol dari sang nenek."Ini kan sudah giat belajar, Nek. Belajar jadi orang tua. Jadi, kalau nanti ada yang butuh seorang suami yang tampan dan menawan seperti Azam, Azam siap sepenuh jiwa dan raga." Sombong
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status