Bagian 8
"Ya, saya, Mbak!" jawab Ujang, yang langsung paham apa maksud Shinta menunjuk koper masih berada di dalam rumah Dengan sigap Ujang berbalik arah menyambar koper itu segera. Lalu dia masukkan koper itu ke bagasi mobil.
Shinta semakin meringis sambil mengatur pernafasan, dengan susah payah dia masuk ke dalam mobil. Dadanya mendadak sesak, deru nafasnya mulai memburu, dia berusaha menarik udara sebanyak-banyaknya melalui hidung lalu menghembuskan lewat mulut. Begitu berulang kali sesuai dengan apa yang dia pelajari saat mengikuti kelas ibu hamil. Sedangkan Fatma duduk di sampingnya disertai rasa panik dan cemas juga tidak tega. Wajah Shinta yang bersih kini berubah merah dengan peluh keringat bercucuran di seluruh wajah, atau mungkin juga di seluruh tubuhnya.
"Tahan, ya, Sayang! Sebentar lagi kita akan sampai." Sebisa mungkin Fatma menenangkan Shinta. Semua orang di mobil terlihat cemas bahkan Ujang tidak henti-hentinya menoleh ke belakang. Udin si sopir berusaha tenang demi keselamatan semua orang, padahal di hatinya juga tidak tenang, beberapa kali dia mengintai keadaan Shinta melalui kaca spion.
"Ujang, kenapa Azam tidak ikut?" Disaat tegang begini Fatma masih ingat akan cucu nakalnya itu.
"Dia sudah pergi latihan, Nyonya." Ujang ingat jika pagi tadi Azam pamit kepadanya.
"Bocah itu memang tidak bisa diandalkan," gerutu Fatma sambil mengelus perut Shinta. Dia komat kamit sibuk melafalkan sholawat dan doa-doa. Sedangkan Shinta sibuk menata hati dan pikirannya mengingat segala apa yang diucapkan oleh bidan saat menjelang kontraksi.
"Ayo ngebut, Din! Diklakson gitu lho biar pada minggir tuh, Mereka! Kalau tetep ngeyel nggak mau menepi, tabrak saja. Nanti kita ganti rugi kalau ada kerusakan." Fatma kenapa kalau ngomong nggak difilter dulu seh? Bukannya kalau ngebut di jalan itu sangat berbahaya bagi keselamatan diri sendiri dan pengguna jalan lainnya.
"Tapi ini urusannya sama nyawa orang, Nyonya," kata Ujang dengan maksud agar majikannya itu mau sedikit bersabar. Ujang juga menebak kemungkinan majikannya sedang panik jadi bicaranya ngawur.Fatma menghembuskan nafasnya kasar. Sebenarnya dia juga ingin bersabar, tapi keadaan membuatnya tidak tenang, melunturkan rasa sabarnya.Shinta sudah tidak mampu menyimak apalagi menimpali obrolan mereka. Yang dia rasakan hanyalah sakit luar biasa yang tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata. Punggung, pinggang, perut dan semua anggota tubuhnya terasa sakit. Bahkan dia kesulitan untuk hanya mengatur pernafasan. Sepertinya perjuangannya baru akan dimulai.
"Ayo, Din, ngebut! Apa perlu besok ganti mobil, ya. Kayaknya mobil yang ini sudah bobrok deh, lelet banget jalannya." Udin si supir hanya geleng-geleng kepala mendengar titah majikannya yang tidak bermanfaat itu.
"Sakiiit, Nek ... !" Shinta tanpa sadar meremas kuat tangan Fatma.
"Auwwhh ... !" Shinta yang sadar jika terlalu kuat menekan tangan nenek renta itu segera melepaskan-nya.
"Maaf, Nek!" ucapnya disela-sela rasa sakitnya.
"Tidak apa." Fatma kembali mengusap perut buncit Shinta yang buncit. Benar saja, sebab ada dua bayi di sana yang tengah berebut untuk keluar, agar bisa melihat gemerlapnya dunia.
"Nek, apakah nanti Shinta harus menjalani operasi seperti apa yang dianjurkan oleh dokter beberapa hari yang lalu?" Mata Shinta nampak berkaca-kaca wajahnya juga nampak menahan rasa sakit.
"Apapun keputusan dokter nanti, kita harus menurut. Yang terpenting adalah, Kamu harus kuat berjuang demi mereka agar terlahir dengan selamat, jadi jangan terlalu dipikirkan, ya." Shinta mengangguk lemah, kontraksi di perutnya semakin sering dan dalam jangka waktu yang lebih lama dari sebelumnya.
"Akhirnya kita sampai juga di sini," kini mereka berada di rumah sakit. Fatma langsung berteriak meminta bantuan. Dengan cekatan para perawat jaga menolong mereka."Maaf Nyonya, anda hanya diperbolehkan mengantar sampai di sini saja." Seorang perawat menghentikan langkah Fatma. Mau tidak mau akhirnya Fatma berhenti. Ujang tidak kalah sibuknya, meski panik dia tetap membawa koper yang berisi baju-baju bayi dan pakaian ganti untuk Shinta.
"Tolong selamatkan cucu saya! Dokter tolong selamatkan cucu saya." Fatma mencekal seorang dokter yang hendak masuk ke dalam ruang operasi."Tenanglah, Nyonya, kami akan berusaha semampu yang kami bisa," ucap dokter itu, kemudian masuk ke dalam.
"Dokter, air ketubannya tinggal sedikit,Dok! tapi posisi bayi sungsang.""Kita lakukan tindakan operasi," ucap dokter setelah mengecek kondisi pasien, sehingga menurutnya caesar adalah jalan terbaik. Apalagi Shinta tengah hamil anak kembar.
Setelah segala sesuatunya siap, operasi pun dimulai.
Dirumah sakit lain kini juga ada seorang pasien bernama Ari tengah berjuang melawan maut. Entah apa yang membuatnya tiba-tiba denyut jantung pasien itu melemah dan merasakan sakit yang luar biasa.
Ari yang tengah mengalami koma, mengalami penurunan denyut jantung. Jauh di alam bawah sadarnya, dia melihat dua anak kecil berbeda genre berlari-lari di taman ditemani oleh seorang bidadari cantik. Dengan riangnya kedua anak itu berlarian ke sana dan kemari. Ari diam di tempat menatap keceriaan yang mereka ciptakan. Bibirnya mengembang sempurna ikut merasakan betapa bahagianya anak-anak itu bermain. Hingga dia memutuskan untuk beranjak dari tempat itu, takut kehadirannya mengganggu kebahagiaan mereka.
"Kenapa pergi, ayo kita bermain bersama. Jangan pergi! Temani kami bermain. Kami janji, akan menjadi anak yang baik dan penurut." Kedua anak itu memegang tangan Ari, yang anak lelaki di tangan kanan dan anak perempuan di tangan kiri. Ari menatap wajah mereka bergantian keduanya memiliki wajah yang sama.
"Jangan pergi, ya!" Keduanya mengatakan itu berulang kali sambil menggoyangkan lengan kokoh Ari. Mimik muka sendu keduanya membuat Ari tanpa sadar mengangguk. Ari kemudian memposisikan tubuhnya sejajar dengan mereka berdua. Anak kembar itupun menghambur ke dalam pelukan Ari.
Setelah itu, semuanya terlihat gelap kembali. Kemudian sayup-sayup dia mendengar suara. "Detak jantungnya normal kembali, Dok. Denyut nadinya juga normal kembali."Ari perlahan membuka matanya bersamaan dengan lahirnya kedua buah hati Shinta. Ruangan operasi itupun dipenuhi oleh tangisan kedua bayi yang baru saja lahir kedunia.
"Hubungi keluarga Satya, dan katakan kepada mereka bahwa tuan Ari sudah bangun dari koma-nya," titah dokter yang menangani Ari.
"Baik, Dok!"
Fatma begitu bahagia mendengar suara tangisan bayi. Hingga tanpa sadar memeluk Ujang. "Akhirnya cucuku sudah melahirkan, Jang." Fatma berjingkrak seperti anak kecil yang mendapatkan hadiah."Selamat, ya, Nyonya. Anda sekarang menjadi Nenek Buyut," Ujang tidak kalah girangnya. Dia membayangkan hari-harinya akan diramaikan oleh kehadiran dua malaikat kecil. Dia harus bersiap mengeluarkan banyak tenaga ke depannya.
Di ruang kantor seseorang tengah mendapat panggilan lewat sambungan telepon bahwa saudaranya sudah sadarkan diri. Wajah tampan pemuda itu mendadak bersinar terang. Akhirnya, Tuhan mengabulkan doanya.
"Ari, kau sudah kembali. Ya, Kau memang harus kembali. Tugasmu belum selesai, tanggung jawabmu menanti kedatangan dirimu. Kau harus menebus segala dosa yang pernah Kau lakukan terhadap gadis malang itu," ucap Arya sambil memegang sebuah foto.
To be continue
Bagian 9Shinta meneteskan air mata kebahagiaan. Rasa sakit dan juga penderitaan yang dialaminya hilang sudah bersama tangisan kedua bayi mungil itu. Perutnya masih terasa nyeri akibat operasi yang dia jalani beberapa jam yang lalu, tidak menyurutkan niatnya untuk memberikan asi eksklusif kepada si buah hati. Meski yang keluar hanyalah cairan bening yang sedikit kekuning-kuningan."Sayang, kamu tampan sekali." Shinta membelai lembut wajah anak laki-laki-nya yang terlihat rakus menyedot ASI. Sedangkan anak perempuannya anteng saja di dalam gendongan Fatma."Apakah ASI-nya sudah keluar?" Fatma masih menimang cicit perempuan-nya."Sudah keluar tapi sedikit sekali, Nek." Shinta masih setia menatap wajah tampan anaknya. Wajah mungil yang terlihat mirip dengan wajah kekasihnya."Ndak apa-apa nanti juga keluar banyak kalau dirangsang terus," nasihat Fatma yang tidak ditanggapi oleh Shinta. Fatma sering melihat Shinta seperti ini. Melamu
Bagian 10."Hai, malaikat kecil yang tampan yang manis. Lihatlah, papa bawa apa untuk kalian." Azam datang dengan menenteng kresek berisi buah-buahan di tangan kiri. Dan finger puppet yang memenuhi jari di tangan kanannya. Diletakkan kresek itu di meja dekat Shinta berbaring. Setelah itu, Azam langsung menggoda bayi kecil di pangkuan neneknya."Hai, Sayang! Pasti Kau sangat merindukan papa, ya!," ucap Azam lebih semangat dari sebelumnya. Dia menggerakkan jarinya yang dipenuhi oleh finger puppet."Belajar yang giat, Papa! Papa! Ndasmu gundul kui. Kalau mau jadi papa harus lulus ujian nilai paling unggul setelah itu kuliah dan kerja keras, agar jadi orang yang sukses, baru jadi papa." Azam seketika nyengir kuda sambil mengusap kepalanya yang kena tampol dari sang nenek."Ini kan sudah giat belajar, Nek. Belajar jadi orang tua. Jadi, kalau nanti ada yang butuh seorang suami yang tampan dan menawan seperti Azam, Azam siap sepenuh jiwa dan raga." Sombong
Bagian 11Seperti kata pepatah "Anak adalah pembawa rezeki" dan kita juga tidak akan pernah menyangka datangnya darimana. Hari ini terbukti saat rumah tiba-tiba ramai dengan puluhan warga membuat Nenek Fatma melongo sendiri. Bagaimana tidak coba? Segala jenis buah-buahan segar, kue, dan beberapa camilan kering. Tersedia dengan sendirinya tanpa Nenek Fatma perintah apalagi minta. Pantang, ya, bagi orang kaya minta-minta. Semua terjajar rapi di atas karpet tebal juga ucapan "SELAMAT DATANG SI KEMBAR" menggantung sempurna di dinding."Nek, siapa yang membuat ini semua?" Shinta masih tidak percaya jika akan mendapatkan sambutan semeriah ini."Para warga tadi yang bawa, mereka sengaja mengadakan syukuran untuk kelahiran si kembar," terang Mirna sambil tersenyum tulus. Mirna pun meletakkan bayi Shinta ke dalam box."Box, ini bukannya belum ada, ya? Kenapa sekarang sudah ada di sini? Dan kenapa warnanya berubah?" Shinta menunjuk dua box bayi ya
Bagian 12"Hai, perempuan tidak tahu diri," bariton suara itu membuat Jamilah menjatuhkan gorengan yang hampir saja mendarat di mulutnya."Kalau Kau hanya ingin membuat masalah dan menggosip lebih baik cepat pergi dari sini! atau, aku akan berbuat hal yang kurang baik terhadap dirimu." Mata elang Udin memindai tubuh Jamilah. Mata itu bagaikan busur beracun yang siap membidikkan anak panahnya kapan saja."Maaf! Maaf saya tidak ber_." Mendadak Jamilah yang super jago bersilat lidah itu kehabisan stok kata-kata. Dia mundur ke belakang hingga mencapai motor yang tadi sempat dia tinggalkan. Sedangkan mata elang Udin semakin melebar. Membuat Jamilah gugup dan gemetar, bahkan dia kesulitan mencari kunci motornya. Dengan gugup dia meraba saku tapi tidak ada. Ternyata masih menempel di tempatnya."Cepat pergi atau_." Belum selesai Udin berucap, Jamilah segera kabur bersama motornya. Para ibu-ibu yang tadi melihat menahan tawa yang hampir saja meledak, untung mer
Bagian 13Delapan bulan telah berlalu.Saat itu, setelah luka bekas jahitannya mengering, Shinta mulai beraktivitas kembali membantu pembukuan toko. Shinta menemukan banyak kejanggalan tentang pendapatan dan pengeluaran. Sebab memang Nenek Fatma kurang memperhatikan hal yang seperti itu. Nenek Fatma hanya tahunya berjualan hingga barang habis, baru dia akan membeli lagi. Sehingga para pelanggan yang tidak mendapatkan barang dari toko Nenek Fatma, mereka langsung pindah ke toko lainnya untuk mendapatkan barang yang mereka perlukan. Alhasil, banyak pelanggan yang pindah sebab kecewa.Meski Shinta sudah membenahinya sewaktu hamil, tapi sepertinya tidak ada yang meneruskannya lagi di saat Shinta libur dua bulan untuk pemulihan tubuhnya. Sehingga toko terbengkalai lagi.Shinta lalu membuat pembukuan toko, mencatat semua pengeluaran juga pemasukan, sehingga barang-barang persediaan di dalam toko tetap stabil. Shinta gigih berjuang agar
Bagian 14"Bagaimana dengan stok bahan baku kita? Apakah masih bisa mencapai target?" Seorang pria mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jari-jarinya. Ada tiga orang tengah duduk di hadapannya. Dua jam yang lalu dia mendapat laporan dari kepala bagian produksi bahwa beberapa hari terakhir bahan baku tersendat sebab pengiriman bahan baku terkendala cuaca selain itu, hasil panen di beberapa tempat yang mengalami kegagalan karna faktor alam."Persediaan barang di gudang sudah menipis Pak. Dan supplier kita bilang jika pengiriman bahan masih membutuhkan waktu lima sampai satu minggu lagi." Seorang pria berkemeja putih itu menyampaikan informasi."Harga barang lagi bagus-bagusnya, dan permintaan konsumen meningkat Pak! Tapi kita kekurangan stok bahan baku.""Saya meminta kalian berkumpul di sini untuk mencari solusi, bukan hanya untuk membuat kepalaku semakin pusing." Gertak Adi selaku pemimpin utama di pabrik. Dia tidak menyangka akan mengalami kendal
Bagian 15Senyum terpancar jelas dari bibir Shinta. Dengan diantar oleh Udin, dia datang ke tempat yang telah diberitahukan oleh Budi. Sebuah kantor yang tidak terlalu besar, namun begitu bersih dan rapi. Halamannya di hiasi oleh taman yang begitu sedap dipandang."Masih seperti 10 tahun yang lalu," ucap Shinta tanpa sadar. Dia ingat jika dia dan teman-temannya pernah mengunjungi pabrik ini bersama guru saat masih sekolah. Industri makanan ringan ini terkenal akan cita rasa yang enak dan nikmat selain itu, pabrik ini juga lebih mengutamakan kebersihannya."Apa kau pernah kemari?""Iya, aku dan teman-teman satu kelas. Kami di beri peci bergambar logo pabrik itu," Shinta menunjuk logo yang terpampang begitu jelas di sana. "Tapi sepertinya logo itu telah berubah," ucap Shinta kemudian. Dia menunjuk sebuah bangunan yang berada di dalam pagar, yang jaraknya lumayan jauh dari tempatnya berdiri. Seorang satpam tampak duduk santai di dalam gerbang.&nb
Bagian 16"Maaf, Tuan! Adikku tidak sengaja." Aisyah memegang lengan Azam dan meremasnya pelan, agar acara menyalahkan itu tidak ada. Bukannya tidak mampu melawan, tapi Aisyah tidak mau menjadi pusat perhatian dengan menciptakan keributan di mall ITU.Pria berjas hitam, rapi dan bersih itu malah sibuk dengan benda pipih di. Dilihat dari baju yang melekat pada tubuhnya dari atas sampai bawah, sudah bisa dipastikan jika orang itu dari kalangan yang berada. Dia berulang kali menoleh ke kanan dan ke kiri celingukan seperti mencari
Bibi menggeleng lemah. Sungguh tabiat menantu kedua ini sangatlah arogan. Juga tidak tahu diri. "Apa maksudmu?" Arya memberi kode pada Bibi untuk meninggalkan mereka berdua. Tidak disuruhpun sebenarnya Bibi juga ingin pergi. "Maksudku? Heh, kau belum mengerti juga? Tuan Arya, bukankah aku katakan sebelumnya untuk berpisah tempat tinggal dari orang tuamu?" Arya menoleh ke seluruh penjuru ruang tamu. Meski tidak ada siapapun di sana, tapi sepertinya bukan tempat yang nyaman untuk memperdebatkan sesuatu yang bersifat pribadi."Kita bicarakan ini di kamar saja." Arya menarik jemari Amara.Ini bukan pertama kalinya Amara meminta pisah rumah dari orang tua dengan alasan ingin mandiri. Arya cukup maklum dengan sifat Amara yang mnandiri. Tapi bukan itu masalahnya, sejak Ari mengalami kecelakaan, Arya lah yang menggantikan posisi Ari di perusahaan. Jadi sudah dipastikan jika dia akan lebih sibuk dari biasanya. Tidak mungkin bagi seorang suami membiarkan istrinya sendiri di apartemen. Terle
"Kau terlihat begitu bersemangat!" ketus Shinta dengan muka manyunnya.Ari lebih melebarkan bibirnya meski tidak sampai menampakkan gigi. Segala trik jahat dan menyebalkan sengaja dia gunakan untuk bisa memenuhi segala keinginannya termasuk ancaman memisahkan Shinta dari anak-anak."Tentu saja! Aku bersama bidadari seharian. Sungguh nikmat yang luar biasa. Hatiku amatlah gembira. Setelah ini, aku akan banyak bersedekah dan berdoa." "Wajib kau lakukan karena kau banyak dosa." Gumam Shinta membuang muka."Yah, aku memang banyak berdosa. Dan sebisaku bertaubat." timpal Ari. Wajah yang tadinya secerah mentari pagi kini tertutup awan hitam. Suasana menjadi canggung. Bahkan hening untuk beberapa waktu."Maaf! Karena kau menjadi korban dari dosa-dosa yang ku perbuat."Satu kalimat yang tulus itu mampu membuat Shinta Jadi merasa tidak enak hati. Jika semakin dipikir-pikir lagi yang salah disini bukanlah hanya Ari. Tapi juga dirinya. Andai dulu dia benar-benar bisa menjaga diri. Tentu peristi
Bagian 57"Berhentilah membujukku, Ar! Atau aku semakin benci padamu!"HeningBanyak hal yang ingin Ari sampaikan. Permintaan maaf dan juga penyesalan yang mendalam. Ari tidak ada niat untuk menggoreskan luka dalam hati Shinta terlebih menjebak Shinta agar menjalani hidup yang sulit. Tidak! Semua itu bukanlah keinginannya. Ari telah jatuh cinta dan setiap orang menginginkan kebahagiaan dalam cintanya. Jika pun Tuhan berkehendak lain dia bisa apa?Ibarat kata, manusia hanya bisa berusaha tapi Tuhan yang menentukan. Sungguh lihai Dia memainkan takdir. Manusia hanyalah mainan hidup yang berjalan berdasar kehendak-Nya. Tanpa tahu ada apa dibalik pintu hari esok. Dan kunci pembukanya hanyalah keimanan, ketaqwaan, kesabaran.Mobil membelah jalan ibu kota sesekali berhenti menunggu lampu berubah hijau. Deru mesin sahut menyahut. Dalam keadaan ini, dua orang yang tengah berada dalam satu mobil itu tetap saja bungkam. Hingga sa
Bagian 56"Shinta, kau baik-baik saja?" tanya Aisyah sambil merampas sisir yang sejak tadi dipegang oleh Shinta. Ibu dari dua anak itu terlihat tertegun, sejak pagi pikirannya jauh berkelana. Wajahnya terlihat jelas menggambarkan isi hati yang tengah risau.Aisyah menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya membuang nafas panjang. Kembali pada Anin yang asyik memainkan boneka."Seharusnya kau ambil hikmah dari semua ini. Berarti kedua anakmu bukanlah anak haram. Hubungan Kalian halal." Aisyah membawa Anin ke sofa, gadis kecil itu diabaikan ibunya sejak pagi. Aisyah lah yang memandikan dan mendandaninya hingga tampil cantik. Aisyah melabuhkan ciuman terakhir di kening dan juga kedua pipi. "Sekarang ponakan tante sudah sangat cantik dan wangi," ujar Aisyah.Dokter telah memberi izin pada Shinta dan Anin untuk pulang. Mereka tengah bersiap sambil menunggu jemputan."Meski dengan kebohongan?" lirih Shinta. Aisy
Bagian 55Setelah beberapa menit kemudian, Joe datang dengan sebuah map di tangan. Joe membuka isinya dan menunjukkan kepada semua orang."Apa yang kau lakukan? Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi?" Shinta bahkan sampai tidak mengerti akan kehidupannya ini. Ayahnya sampai tega menikahkan dia dengan seseorang tanpa sepengetahuannya. Apakah ini bisa dipercaya?Malam itu, ayahnya sangat marah, sampai-sampai Shinta harus menahan rasa perih dan sakit akibat cambukan. Bukan itu saja, Shinta harus keluar dari rumah. Menjauh dari orang-orang yang menyanyangi dirinya. Hidup terlunta-lunta, menahan setiap duka dan lara sendiri."Tuan Ari, Anda jangan coba-coba memalsukan data. Bagaimana bisa menikahi seorang gadis tanpa sepengetahuan dirinya?" Azam juga heran. Buku berwarna merah dan hijau kini menjadi bahan kecurigaan semua orang. Bahkan Shinta tidak mengerti kapan dia menandatangani buku kecil itu."Mengapa saya harus memalsuka
Bagian 54Setengah berlari, Ari menyusuri lorong rumah sakit. Entah apa yang sebenarnya dia khawatirkan. Anaknya, ataukah wanita yang sampai sekarang masih memenuhi segala ruang dalam hatinya.Tersengal-sengal, peluh memenuhi setiap bagian dari tubuhnya, Ari tetap melangkah menuju tempat dimana anak dan pujaan hatinya berada."Semoga kau tidak marah dengan keputusanku Ros, aku lakukan semua itu hanya untuk anak kita."Ruang rawat inap khusus itu nampak sepi, Ari masih berdebar-debar saat masuk ke dalamnya."Tidurlah, Nak! Semua baik-baik saja. Jangan menangis lagi ya!" Suara menenangkan jiwa itu membuat langkah Ari terhenti.Rossi dengan penuh kasih sayang, mengelus pelan punggung Anin yang tengah terlelap berada dalam pelukannya."Cepatlah sehat anak Mama, kau harus tertawa ceria lagi seperti biasanya."Sungguh pemandangan yang mempesona. Andai setiap hari dia melihat kenyataan i
Bagian 53Berbincang-bincang dengan Azam, membuat mood booster Shinta kembali membaik. Kini dia duduk pada kursi roda di dorong pelan oleh Azam, menuju ruang rawat inap Anin. Tentunya setelah melalui perdebatan panjang dengan perawat agar mau melepas infus yang terpasang sempurna di tangan Shinta."Nanti Ari bisa marah kak." Ucap Azam enggan menuruti kemauan Shinta. Dasar keras kepala, bukannya menyerah Shinta malah menyakinkan Azam dengan berbagai alasan."Aku sudah sembuh, Ari juga tidak akan berani marah kepadaku, dia sangat mencintaiku." ucap Shinta penuh percaya diri. Dalam hati masih gamang, demi bisa segera melihat Anin, dia harus terlihat menyakinkan."Baiklah, akan aku hadapi si pria bernama Ari, demi dirimu kakakku tersayang.""Panggil dia dengan sebutan yang benar Azam, dia lebih tua darimu." Wajah Azam berubah kecut.Bisakah dia melihatku sekali saja. Selalu saja pria sialan itu yang ada di otaknya.
Bagian 52"Ar, kenapa kau tidak mengatakannya?""Maaf!" Udin dan Azam menatap tak percaya kepada Ari. Bukankah info yang beredar adalah pria ini angkuh dan sombong, tapi dengan mudahnya meminta maaf kepada Shinta."Tata, ini kami lakukan sebab kau belum sadar sejak kemarin. Ari ingin agar kau fokus pada kesehatanmu terlebih dahulu." Udin merasa perlu menjelaskan, Azam jadi kesal dibuatnya. Untuk apa membela laki-laki yang kurang bertanggung jawab.Kasihan juga melihat kondisi Shinta yang nampak pucat tak berdaya."Iya kak, lagian Anin juga hanya demam biasa." Mata ketiga pria saling bersitatap. Azam juga ikutan bicara? Benarkah, meski ragu Shinta mencoba percaya. Pantas saja naluri keibuannya merasa gelisah."Bisakah aku bertemu anakku?" Shinta seolah meminta persetujuan Ari."Bo-boleh!" Aku akan mengantarmu. "Kapan kita menemuinya?""Bisakah nanti saja? Aku baru sampai, dan kau mengacuhkan aku
Bagian 51Aku lelah akan rasa iniTerlalu lama aku menahan beban derita berbalut kerinduan, mencoba bertahan dan mengikhlaskan. Berusaha bangkit meski hati masih terpuruk. Bukannya tidak mau untuk memulai, hanya saja aku terlalu takut untuk terluka kembali.Mungkin kau masih perlu ruang untuk sekedar melepas lelah, tapi ketahuilah tempat ternyaman untuk melakukannya adalah bersandar pada bahuku. Aku peluk, agar lelahmu terobati."Ar, aku ingin pulang!" Pria yang semula memangku laptopnya kini terdiam beberapa saat. Dia meletakkan benda pipih di meja, mendekati Shinta yang masih terbaring."Baru bangun tapi meminta pulang. Kau baik-baik saja?" Ari tidak menyadari kapan mata lentik nan indah itu terbuka sempurna. Dia cukup sibuk dengan pekerjaannya."Aku tidak bisa tidur." Astaga, jadi dari tadi dia hanya pura-pura."Tapi kamu harus istirahat cukup, agar tubuhmu lekas kembali pulih." Bujuk Ari membelai lembut pucuk kepal