All Chapters of Jungle Love: Chapter 161 - Chapter 170
227 Chapters
Bayangan Kejam
TIARA langsung membuka laptop. Foto-foto dan video yang barusan diterimanya ia pindahkan ke layanan komputasi awan. Selain agar lebih aman, juga supaya sewaktu-waktu dapat diakses melalui berbagai perangkat.Setelah memastikan tak ada lagi yang harus ia kerjakan hari itu, serta menanyakan pada Sinta apa saja agendanya besok, Tiara pamit pulang. Ia bahkan mempersilakan Sinta ikut pulang, tapi gadis itu mengatakan masih ada beberapa hal yang harus dibereskan.Lantunan She Will Be Loved milik Maroon 5 mengiringi perjalanan Tiara meninggalkan kantor. Lalu menyusul suara Barbra Streisand menembangkan Woman in Love. Selera musik gadis itu benar-benar acak.Rumah tampak sepi ketika Tiara memasukkan mobil ke dalam garasi. Mang Udin tergopoh-gopoh membukakan pagar untuknya."Kok sepi sekali, Mang?" tanya Tiara sembari melongokkan kepalanya setelah menurunkan kaca pintu."Bapak masih belum pulang dari kantor, Mbak. Kalau Nyonya seperti
Read more
Pertanyaan Trisna
ADZAN waktu salat Isya baru saja selesai berkumandang ketika kakak sulung Abdi dan istrinya tiba. Pemuda itu menyambut ucapan salam dari pasangan tersebut dengan senyum semringah."Anak-anak nggak ada yang mau ikut, Kang?" tanya Abdi begitu melihat pasangan itu hanya datang berdua. Ia pun berdiri, melangkah ke ambang pintu untuk melongok ke halaman. Sebuah sepeda motor terparkir di sana."Si Nono lagi garap PR sama temannya, jadi adiknya ikutan pilih di rumah saja," sahut kakak ipar Abdi. Di tangan perempuan itu tergenggam bungkusan.Dengan cepat tangan Abdi meminta bungkusan dari tangan sang kakak ipar. Lalu mempersilakan perempuan itu berjalan mendahului ke arah dalam, membuntuti suaminya menuju kamar di mana ibu mereka berada."Ibu gimana kondisinya hari-hari belakangan, Nang? Sudah lebih baik atau sama saja seperti pas balik dari rumah sakit?" tanya Murni, kakak ipar Abdi."Ya agak baikan sedikit, Yu. Mudah-mudahan sih sudah nggak pernah kumat
Read more
Pertanyaan Trisna II
TRISNA dapat melihat jelas keraguan di wajah Abdi. Atau lebih tepat disebut sebagai kekhawatiran. Wajar saja jika Abdi merasa khawatir atau pun takut. Sebab membatalkan pertunangan dengan Atisaya bisa membawa konsekuensi besar bagi keluarga.Meski demikian Abdi merasa belum siap untuk berterus terang. Lagi pula ia masih belum mengambil keputusan final. Ia akan memanfaatkan baik-baik waktu sepekan yang diberikan Atisaya padanya untuk memikirkan hal ini baik-baik, matang-matang."Kamu tiba-tiba merasa nggak sreg sama si Ati?" desak Trisna yang tak sabar menunggu jawaban.Abdi menyeringai lebar dibuatnya. Masih belum tahu harus berkata apa. Tiba-tiba saja satu pemikiran merasuk ke kepalanya, membuatnya berbalik melemparkan tanya."Kalau menurut Akang sendiri, Neng Ati itu cocok nggak sih sama saya? Maksudnya, ke depannya kami bakal jadi keluarga yang rukun dan bahagia nggak sih?"Balik ditanyai begitu membuat Trisna tertawa lepas. Tapi hanya sebentar.
Read more
Menjenguk Atisaya
RUMAH Haji Sobirin tampak sepi saat Abdi tiba. Tak ada seorang pun di teras, padahal semua warga desa juga tahu kalau Pak Haji selalu kedatangan tamu. Rata-rata membicarakan urusan kebun, sawah, atau beberapa pabrik milik tuan rumah.Abdi langsung mematikan mesin sepeda motornya begitu memasuki halaman rumah Haji Sobirin. Kendaraan itu bahkan masih meluncur, sebelum akhirnya berhenti di muka teras. Ia hanya tidak mau kedatangannya mengganggu penghuni rumah.Tapi meski Abdi sudah berusaha datang sehening mungkin, masih ada yang keluar menyambut juga. Tepat saat pemuda itu turun dari sepeda motor, pintu yang tadinya tertutup menganga.Seorang lelaki berwajah gempal, mengenakan baju koko dan peci yang agak miring, berdiri di ambang pintu dengan wajah mengembangkan senyum lebar. Haji Sobirin sendiri yang menyambut kedatangan calon mantunya."Eh, Abdi rupanya ya? Wah, kebetulan sekali nih yang dikangenin datang menjenguk," celetuk Haji Sobirin, membuat Abdi ma
Read more
Tangis Atisaya
BEGITU Haji Sobirin menghilang di balik tirai pemisah ruangan, Atisaya letakkan standing pouch camilan yang sedari tadi ia pegang ke atas meja. Mulut gadis itu juga sudah berhenti mengunyah. Punggungnya disandarkan ke punggung sofa seraya menghela napas dalam-dalam.Abdi tak berbicara apa-apa. Lebih tepatnya lagi tak tahu harus mengatakan apa. Masih terbayang jelas pertengkaran mereka hari itu. Yang berujung pada ucapan tegas Atisaya yang memberinya waktu sepekan untuk menentukan sikap.Keheningan menggantung di udara. Yang terdengar hanya suara denging nyamuk, diseling embusan angin menderu. Hawa dingin membuat Abdi tanpa sadar rangkapkan kedua tangannya ke depan dada."Tadi Bapak datang ke rumah Akang, ya?" tanya Atisaya tiba-tiba."I-iya, tadi habis dari mesjid Pak Haji mampir," sahut Abdi agak tergeragap. Kepalanya menoleh ke samping, menatap Atisaya. Namun gadis itu tampak tengah menerawang ke kegelapan malam di depan sana."Terus, Ba
Read more
Alasan Mencinta
OBROLAN tiga orang itu lantas berlangsung agak canggung setelahnya. Hanya Haji Sobirin yang terlihat begitu lepas dan bebas bercerita. Membicarakan apa saja yang selama dikenal sebagai pekerjaan serta hobinya.Berstatus calon menantu, Abdi tentu harus bersikap sopan dan mendengarkan baik-baik. Sesekali menanggapi. Ketika diminta ganti bercerita, sebisa mungkin ia turuti meski buru-buru dikembalikan pada Pak Haji.Atisaya sendiri lebih banyak diam. Juga tidak terlihat menyatu dalam obrolan dua lelaki di hadapannya. Gadis itu seperti asyik dengan pikirannya sendiri. Tatapannya kerap menerawang entah ke mana. Dan setiap kali disenggol atau disebut oleh ayahnya, selalu menanggapi dengan tergeragap.Tak terasa malam semakin larut. Kopi di dalam gelas Abdi juga sudah tidak bersisa lagi. Haji Sobirin yang mengetahui itu langsung menawarkan isi ulang, bahkan sudah bersiap memanggil wanita pembantunya tadi."Nggak perlu, Pak Haji. Saya mau pamit saja, sudah terlal
Read more
Yang Terpilih
PAGI itu Abdi melihat ibunya tampak jauh lebih segar dari sebelum-sebelumnya. Mungkin karena tenaganya sudah pulih seperti sedia kala. Bisa juga karena tengah bersemangat, tapi entah karena apa pemuda itu tak dapat menebak.Tidak seperti sebelumnya yang hanya terbaring di atas tempat tidur, atau paling jauh duduk di kursi di dalam kamarnya, selepas subuh ibu Abdi sudah mengitari rumah. Mengecek tanaman hias yang berjejer mengitari teras.Abdi baru saja mengeluarkan sepeda motor dan hendak memanaskan mesin kendaraan itu ketika ibunya asyik menyiram tanaman. Tak ada tanda-tanda baru saja menderita sakit pada diri wanita paruh baya tersebut."Jangan terlalu capek, lho, Mak," ujar Abdi mengingatkan, sebelum mengogleng pedal mesin sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Suara berderum segera terdengar, diikuti mengepulnya asap putih dari lubang knalpot."Aduh, Abdi, udara pagi yang sejernih ini kok malah kamu kotori dengan polusi, sih?" seru ibu Abdi, lalu terse
Read more
Tak Ada Alasan
ANDI tidak pernah mengajak Abdi pergi memancing ke kolam Mang Dul pagi itu. Mereka melewati satu setengah jam berikutnya untuk mengobrolkan berbagai hal. Dari kehidupan di Jakarta yang menurutnya tidak sehat, sampai pemilihan calon kepala desa yang akan segera digelar.Sebetulnya Andi ingin memperpanjang pembahasan mengenai segala macam keberuntungan  Abdi karena telah menjadi tambatan hati Atisaya. Terlebih Haji Sobirin pun setuju pada pilihan anak gadisnya. Setengah mati Abdi berusaha membelokkan pembicaraan ke topik lain."Kamu ini aneh, Di. Kok malah kaya nggak seneng sih aku ngomongin soal kamu dan Atisaya," cerocos Andi, seolah tahu keengganan Abdi."Sudah terlalu banyak orang yang menceramahiku soal ini, Ndi. Beruntunglah, terpilihlah, enaklah, entah apa lagi. Kalau kamu juga ngomongin hal yang sama seperti orang-orang, nyesel aku ke sini karena cuma kaya dengerin kaset kusut yang diulang-ulang terus," sahut Abdi, menyampaikan keberatan dalam ucapan
Read more
Ryan yang Menyebalkan
"SAYA sudah dekat kantor. Nggak sampai sepuluh menit lagi sampai," ujar Tiara pada seseorang di seberang telepon. Smartphone-nya ia jepitkan di antara bahu kanan dan pipi. Sedangkan pandangannya tertuju lurus pada jalanan padat di hadapan."Ya, sudah, biarin kalau dia mau nunggu di ruangan saya," kata Tiara lagi. Setelah itu ia menggumamkan beberapa kata lagi dan panggilan itu terputus.Tiara lempar smartphone-nya begitu saja ke jok sebelah sembari mengembuskan napas panjang. Sinta yang barusan meneleponnya. Sekretarisnya itu memberi tahu jika Ryan sudah menunggu di kantor. Tiara jadi merutuk sendiri karena bangun kesiangan dan berangkat lebih siang ke kantor.Tadi malam Tiara tidur lewat tengah malam. Entah pukul dua atau tiga dini hari, gadis itu tak terlalu ingat. Satu-satunya yang ia ingat, bayangan buruk mengenai Anita dan Ryan, juga sosok Atisaya dan Abdi, terus-terusan menghantui pikirannya.Selama di Indramayu, Tiara menganggap sikap Atis
Read more
Keputusan Tiara
RYAN seolah baru menyadari ada gumpalan magma yang berkumpul dan siap meledak dalam diri Tiara. Dilihatnya wajah gadis itu merah padam, pertanda tengah diselimuti amarah membara."Oh, please, Tiara." Ryan tak tahu harus berkata apa selain kata itu. Nada suaranya campuran antara kaget dan bingung. "Begini, dengar dulu penjelasanku....""Nggak! Kamu yang sekarang harus dengar penjelasanku," tukas Tiara kasar. Gadis itu sudah tak mampu lagi mengontrol nada bicaranya."Oke, oke, aku akan dengar," sahut Ryan cepat. Ia merasa akan lebih baik baginya untuk mengalah saja saat ini."Aku nggak tahu kamu ini pikun atau pura-pura lupa, tapi Anita masih harus mempertanggung-jawabkan revisi laporan keuangan tahun lalu. Itu artinya, sampai revisi yang dia buat aku setujui, dia nggak boleh keluar dulu."Lagi pula ada beberapa akun yang memancing kecurigaanku. Sekali pun laporan keuangannya sudah direvisi, masih terbuka peluang terjadi kecurangan yang bukan ti
Read more
PREV
1
...
1516171819
...
23
DMCA.com Protection Status