"SAYA sudah dekat kantor. Nggak sampai sepuluh menit lagi sampai," ujar Tiara pada seseorang di seberang telepon. Smartphone-nya ia jepitkan di antara bahu kanan dan pipi. Sedangkan pandangannya tertuju lurus pada jalanan padat di hadapan.
"Ya, sudah, biarin kalau dia mau nunggu di ruangan saya," kata Tiara lagi. Setelah itu ia menggumamkan beberapa kata lagi dan panggilan itu terputus.
Tiara lempar smartphone-nya begitu saja ke jok sebelah sembari mengembuskan napas panjang. Sinta yang barusan meneleponnya. Sekretarisnya itu memberi tahu jika Ryan sudah menunggu di kantor. Tiara jadi merutuk sendiri karena bangun kesiangan dan berangkat lebih siang ke kantor.
Tadi malam Tiara tidur lewat tengah malam. Entah pukul dua atau tiga dini hari, gadis itu tak terlalu ingat. Satu-satunya yang ia ingat, bayangan buruk mengenai Anita dan Ryan, juga sosok Atisaya dan Abdi, terus-terusan menghantui pikirannya.
Selama di Indramayu, Tiara menganggap sikap Atis
RYAN seolah baru menyadari ada gumpalan magma yang berkumpul dan siap meledak dalam diri Tiara. Dilihatnya wajah gadis itu merah padam, pertanda tengah diselimuti amarah membara."Oh, please, Tiara." Ryan tak tahu harus berkata apa selain kata itu. Nada suaranya campuran antara kaget dan bingung."Begini, dengar dulu penjelasanku....""Nggak! Kamu yang sekarang harus dengar penjelasanku," tukas Tiara kasar. Gadis itu sudah tak mampu lagi mengontrol nada bicaranya."Oke, oke, aku akan dengar," sahut Ryan cepat. Ia merasa akan lebih baik baginya untuk mengalah saja saat ini."Aku nggak tahu kamu ini pikun atau pura-pura lupa, tapi Anita masih harus mempertanggung-jawabkan revisi laporan keuangan tahun lalu. Itu artinya, sampai revisi yang dia buat aku setujui, dia nggak boleh keluar dulu."Lagi pula ada beberapa akun yang memancing kecurigaanku. Sekali pun laporan keuangannya sudah direvisi, masih terbuka peluang terjadi kecurangan yang bukan ti
RYAN terpaku mendengar ucapan Tiara tersebut. Ia sama sekali tak menyangka jika tunangannya tersebut dapat mengambil keputusan seperti itu. Selama ini ia percaya Tiara lambat laun akan memaafkannya, serta pernikahan mereka tetap terlaksana.Pemuda itu sadar perbuatannya telah melukai Tiara, bahkan membuat komitmen di antara mereka koyak moyak. Tapi, Ryan juga tak mau melepaskan Anita. Gadis itu sudah mirip candu baginya. Benar dugaan Tiara, Anita dengan gampang memberikan apa yang tidak pernah ia dapatkan dari tunangannya itu.Celakanya, Ryan sadar dirinya tak mungkin melepas Tiara demi Anita. Papanya tak akan membiarkan itu terjadi. Apalagi jika kedua orang tuanya tahu dirinya menyelingkuhi Tiara. Bisa-bisa ia ditendang dari daftar keluarga besar Wijaya jika melakukannya."Nggak bisa begitu, Tiara. Kamu nggak bisa...." Ucapan tergagap Ryan langsung terpotong oleh sambaran Tiara."Bisa. Kenapa nggak? Sangat bisa sekali, kok," tukas Tiara. Gadis itu terlih
AGAKNYA perasaan Tiara satu frekuensi dengan Theo. Belum lama panggilan Bu Wardoyo berakhir, pemuda yang dikenalnya di Indramayu itu ganti menelepon. Dan, tepat seperti dugaan Tiara, ajakan makan siang bersama kembali diajukan."Aku mau ngajak kamu ke restoran tepi sungai yang belum lama dibuka di Kuningan. Kata Alan suasananya asyik, makanannya juga enak," ujar Theo setelah berbasa-basi sebentar.Tiara sedikit serba salah menerima tawaran tersebut. Bukan apa-apa, sebagai perempuan dewasa ia tahu ajakan Theo bukan tanpa maksud. Ia tidaklah bodoh sampai-sampai tidak memahami jika pemuda itu tengah melakukan pendekatan terhadapnya.Harus diakui Tiara merasa senang bersama Theo. Meski ceplas-ceplosnya kadang menjurus ke sikap sok tahu, tapi keterbukaan serta keterus-terangannya sangat Tiara hargai. Lalu, mereka juga dapat membicarakan apa saja dengan seru.Masalahnya, Tiara sedang bingung saat ini. Hati dan perasaannya tengah galau berat. Ia tidak mungkin me
PADA akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Tiara. Ia tak mau Anita, wanita yang tengah berdiri di hadapannya saat ini, beranggapan kemarahannya tumpah karena apa yang pernah ia lihat di apartemen Ryan. Ya, walaupun sebenarnya memang itu yang jadi penyebab.Sementara Anita tampak menyunggingkan seringai tipis. Wajah perempuan itu datar saja. Namun sorot matanya sinis."Mohon maaf sekali, Bu Tiara. Saya rasa persoalan laporan keuangan itu sudah selesai. Dan, ingat, saya juga sudah bukan karyawan perusahaan Ibu lagi. Saya tidak mau diomeli orang yang sudah bukan atasan saya," sahut Anita dingin. Sikapnya sungguh membuat Tiara semakin jengkel."Ya, kamu boleh saja bukan lagi karyawan di sini. Tapi ini tetap saja kantorku, dan aku berhak membolehkan ataupun melarang orang seperti kamu untuk masuk ke sini. Jelas?" desis Tiara tak mau kalah.Anita menyeringai. "Anda agaknya lupa kalau Anda bukan satu-satunya pemimpin di sini. Please deh, kurang-kurangi sif
PERTEMUAN dengan Theo siang itu benar-benar menjadi penyelamat bagi Tiara. Setelah pagi harinya diisi dengan emosi bertumpuk dan urat leher mengeras saat bertemu Ryan, lalu disusul pertemuan tak terduga dengan Anita di lift, makan siang bersama Theo menjadi pelipur ampuh.Sembari menyantap pesanan masing-masing, seperti sebelum-sebelumnya mereka berbincang tentang banyak hal. Dari pertemuan kesekian inilah mereka sama-sama baru tahu kalau punya idola yang sama: Michael Learns To Rock.Generasi kiwari pastilah asing dengan band pop rock asal Denmark ini. Namun tidak demikian dengan Tiara yang lahir di akhir periode Generasi Milenial. Ditulari oleh sang ayah, gadis tersebut sangat menggandrungi kelompok yang namanya sering disingkat menjadi MLTR."Lagu MLTR favorit?" tanya Theo setelah beberapa saat sebelumnya saling bertukar cerita mengenai perkenalan dengan MLTR.Tiara tampak berpikir sejenak. Baginya semua lagu MLTR adalah favorit. Karenanya ia bakal san
SATU jam terasa berlalu dengan cepat bagi Tiara. Gadis itu sebenarnya masih ingin mengobrol lebih lama dengan Theo. Tapi pukul dua nanti ia sudah harus berada di kantor. Ada satu meeting untuk membahas rencana pembukaan kantor cabang di Sumatera.Berpikir sampai di sana, Tiara jadi ingat pula jika Ryan bakal turut serta dalam rapat tersebut. Dan tanpa dapat dicegah ia teringat pada Anita yang tadi berpapasan dengannya di lift. Jangan-jangan perempuan itu sebetulnya datang untuk bertemu dengan Ryan?Pikiran Tiara seketika menjadi kusut. Entah mengapa dirinya masih belum bisa sepenuhnya lepas dari perasaan-perasaan tersakiti setiap kali terbayang pada dua sosok tersebut. Bahkan hanya mendengar nama Anita dan Ryan saja sudah membuatnya geram bukan main."Biar aku yang bayar, ya?"Ucapan serta sentuhan tak sengaja Theo saat mereka beranjak meninggalkan meja membuat Tiara kembali pada kekinian. Buru-buru ia berusaha menyembunyikan perasaan tak enak tadi. Janga
THEO agaknya tahu apa yang ada di pikiran Tiara. Karenanya pemuda tersebut mendekat, lalu tanyannya menggamit lengan si gadis untuk mengajak pergi."Sudah, Tiara. Jangan buang-buang waktu untuk meladeni mereka. Kamu bilang ada meeting sebentar lagi." Perkataan Theo mencegah Tiara yang sudah bersiap hendak berkata lagi. Gadis itu hela napas panjang sembari pejamkan mata beberapa detik sebagai gantinya."Thanks, Theo. Kamu benar," sahut Tiara sembari menengok arloji di tangannya. "Dan seharusnya lelaki yang mengganggu kita ini ikut dalam rapat tersebut. Bukannya malah kelayapan dengan perempuan nggak jelas seperti ini.""Tiara! Keterlaluan kamu!" geram Ryan yang tampak sangat kesal.Tak mampu menahan kekesalan, pemuda itu bergerak maju hendak memukul Tiara. Tapi Theo bergerak cepat menangkap tinju Ryan. Theo bahkan ayunkan tangannya yang lain seperti hendak menampar, tapi gerakannya terhenti hanya satu jengkal dari pipi Ryan."Berani kamu menyakiti T
USAI salat Dzuhur berjemaah di masjid, Abdi mendekati Haji Sobirin untuk menyalami orang tua itu. Lebih tepatnya mencium tangan. Begitu takzim pemuda tersebut melakukannya, tak peduli pada lalu-lalang jemaah lain yang hendak pulang ke rumah masing-masing.Bertepatan saat Abdi menyudahi ciumannya pada tangan Haji Sobirin, muncul Ustadz Salim mendekat. Belum-belum ustadz yang biasa menjadi imam di masjid tersebut menebar senyum lebar."Wah, calon mantu Pak Haji ini benar-benar bagus adabnya sama orang tua," puji Ustadz Salim. Sebelah tangannya terulur menyalami Haji Sobirin.Yang dipuji hanya bisa tersenyum dan bersikap serba salah."Ya, mana mungkinlah aku salah pilih, Pak Ustadz. Bobot, bibit, bebet," sahut sang haji seraya terkekeh. Selepas keduanya bersalaman, sesaat kemudian ganti Abdi yang bersalaman dengan ustadz tersebut."Belum lama saya ada ngobrol-ngobrol sedikit sama Nang Abdi. Terkait rencana pernikahannya itu, lho. Kebetulan sekali seka