PERTEMUAN dengan Theo siang itu benar-benar menjadi penyelamat bagi Tiara. Setelah pagi harinya diisi dengan emosi bertumpuk dan urat leher mengeras saat bertemu Ryan, lalu disusul pertemuan tak terduga dengan Anita di lift, makan siang bersama Theo menjadi pelipur ampuh.
Sembari menyantap pesanan masing-masing, seperti sebelum-sebelumnya mereka berbincang tentang banyak hal. Dari pertemuan kesekian inilah mereka sama-sama baru tahu kalau punya idola yang sama: Michael Learns To Rock.
Generasi kiwari pastilah asing dengan band pop rock asal Denmark ini. Namun tidak demikian dengan Tiara yang lahir di akhir periode Generasi Milenial. Ditulari oleh sang ayah, gadis tersebut sangat menggandrungi kelompok yang namanya sering disingkat menjadi MLTR.
"Lagu MLTR favorit?" tanya Theo setelah beberapa saat sebelumnya saling bertukar cerita mengenai perkenalan dengan MLTR.
Tiara tampak berpikir sejenak. Baginya semua lagu MLTR adalah favorit. Karenanya ia bakal san
SATU jam terasa berlalu dengan cepat bagi Tiara. Gadis itu sebenarnya masih ingin mengobrol lebih lama dengan Theo. Tapi pukul dua nanti ia sudah harus berada di kantor. Ada satu meeting untuk membahas rencana pembukaan kantor cabang di Sumatera.Berpikir sampai di sana, Tiara jadi ingat pula jika Ryan bakal turut serta dalam rapat tersebut. Dan tanpa dapat dicegah ia teringat pada Anita yang tadi berpapasan dengannya di lift. Jangan-jangan perempuan itu sebetulnya datang untuk bertemu dengan Ryan?Pikiran Tiara seketika menjadi kusut. Entah mengapa dirinya masih belum bisa sepenuhnya lepas dari perasaan-perasaan tersakiti setiap kali terbayang pada dua sosok tersebut. Bahkan hanya mendengar nama Anita dan Ryan saja sudah membuatnya geram bukan main."Biar aku yang bayar, ya?"Ucapan serta sentuhan tak sengaja Theo saat mereka beranjak meninggalkan meja membuat Tiara kembali pada kekinian. Buru-buru ia berusaha menyembunyikan perasaan tak enak tadi. Janga
THEO agaknya tahu apa yang ada di pikiran Tiara. Karenanya pemuda tersebut mendekat, lalu tanyannya menggamit lengan si gadis untuk mengajak pergi."Sudah, Tiara. Jangan buang-buang waktu untuk meladeni mereka. Kamu bilang ada meeting sebentar lagi." Perkataan Theo mencegah Tiara yang sudah bersiap hendak berkata lagi. Gadis itu hela napas panjang sembari pejamkan mata beberapa detik sebagai gantinya."Thanks, Theo. Kamu benar," sahut Tiara sembari menengok arloji di tangannya. "Dan seharusnya lelaki yang mengganggu kita ini ikut dalam rapat tersebut. Bukannya malah kelayapan dengan perempuan nggak jelas seperti ini.""Tiara! Keterlaluan kamu!" geram Ryan yang tampak sangat kesal.Tak mampu menahan kekesalan, pemuda itu bergerak maju hendak memukul Tiara. Tapi Theo bergerak cepat menangkap tinju Ryan. Theo bahkan ayunkan tangannya yang lain seperti hendak menampar, tapi gerakannya terhenti hanya satu jengkal dari pipi Ryan."Berani kamu menyakiti T
USAI salat Dzuhur berjemaah di masjid, Abdi mendekati Haji Sobirin untuk menyalami orang tua itu. Lebih tepatnya mencium tangan. Begitu takzim pemuda tersebut melakukannya, tak peduli pada lalu-lalang jemaah lain yang hendak pulang ke rumah masing-masing.Bertepatan saat Abdi menyudahi ciumannya pada tangan Haji Sobirin, muncul Ustadz Salim mendekat. Belum-belum ustadz yang biasa menjadi imam di masjid tersebut menebar senyum lebar."Wah, calon mantu Pak Haji ini benar-benar bagus adabnya sama orang tua," puji Ustadz Salim. Sebelah tangannya terulur menyalami Haji Sobirin.Yang dipuji hanya bisa tersenyum dan bersikap serba salah."Ya, mana mungkinlah aku salah pilih, Pak Ustadz. Bobot, bibit, bebet," sahut sang haji seraya terkekeh. Selepas keduanya bersalaman, sesaat kemudian ganti Abdi yang bersalaman dengan ustadz tersebut."Belum lama saya ada ngobrol-ngobrol sedikit sama Nang Abdi. Terkait rencana pernikahannya itu, lho. Kebetulan sekali seka
DITUNGGU sekian lama Abdi hanya diam, Ustadz Salim dan Haji Sobirin kembali saling pandang. Mereka sungguh tak mengerti apa sebenarnya yang mengganduli pemuda itu. Mengapa tampak begitu berat untuk melisankan persetujuan.Tentu saja sulit bagi kedua orang tua tersebut untuk dapat menebak isi kepala Abdi. Sebab tak satu pun di antara keduanya yang tahu mengenai Tiara. Apatah lagi seperti apa hubungan antara Abdi dan atasannya itu.Abdi tentu saja tak menginginkan dua orang tua di hadapannya tahu mengenai perasaannya terhadap Tiara. Lebih-lebih Haji Sobirin. Toh, ia masih punya waktu beberapa hari lagi sebelum harus memberi jawaban final pada Atisaya."Anak muda zaman sekarang memang hobinya melamun apa, ya?" gumam Haji Sobirin berkelakar, yang langsung disambut tawa oleh Ustadz Salim.Mau tak mau Abdi turut tertawa pula, meski lebih mirip senyuman tanggung tanpa suara. Di dalam hatinya masih mencari-cari cara untuk lari dari pembicaraan ini. Namun tanpa me
SELEPAS makan siang Abdi pamit hendak keluar sebentar. Ketika ditanya ibunya mau ke mana, Abdi juga tidak bisa menjawab pasti. Tapi yang kemudian ia jadikan alasan adalah ke rumah Andi."Mumpung Andi masih di sini, Mak. Dia rencana mau balik ke Jakarta lusa nanti." Itu yang dikatakan Abdi sewaktu ibunya bertanya untuk kali kedua."Oh, ya sudah. Kamu memang musti baik-baik sama dia. Kalau bukan karena dia yang ngasih tahu, kamu nggak bakalan dapet kerjaan waktu itu," balas ibunya."Iya, Mak." Abdi hanya menjawab singkat lalu keluar rumah.Setibanya di halaman, sepeda motor butut peninggalan mendiang ayahnya diengkol sepenuh tenaga. Mesin motor tua itu tak mengenal starter otomatis. Karenanya butuh diengkol agar mesinnya menyala.Begitu meninggalkan rumah, pikiran pemuda itu seketika melayang entah ke mana. Kembali terngiang di telinganya ucapan sang ibu. Mengenai kegalauannya sebagai seorang ibu yang tahu anaknya menikah hanya karena ingin membebask
KABAR mengenai kecelakaan yang melibatkan Abdi segera menyebar. Namun sampai kemudian pemuda itu dilarikan ke rumah sakit, tak ada yang tahu siapa dirinya. Ditambah lagi Abdi bepergian tanpa membawa dompet dan handphone.Warga yang mengantar ke rumah sakit sempat memeriksa seluruh isi kantung celana Abdi. Namun yang ditemukan hanya selembar uang seratus ribu rupiah. Ketiadaan dompet, yang biasanya berisi kartu tanda pengenal, membuat identitas Abdi tidak terkuak selama beberapa lama.Barulah ketika pick up sampai di rumah sakit, kehebohan yang dibawa rombongan pengantar menarik perhatian para perawat hingga tukang parkir. Salah satu perawat yang tengah bertugas rupanya mengenali Abdi, kakak kelasnya saat SMA."Orang mana, Wid? Namanya siapa tadi?" Pertanyaan itu mengudara ketika Abdi hendak dibawa ke Unit Gawat Darurat menggunakan brankar dorong. Petugas administrasi kebingungan sendiri mengumpulkan informasi mengenai si pasien."Abdi, Yu. Aku tahunya cum
ATISAYA dan Haji Sobirin masuk selepas mengucap salam. Agaknya mereka tadi juga keluar untuk membeli minuman dan makanan, sebab di tangan Atisaya tertenteng beberapa plastik besar.Abdi palingkan kepala ke arah calon mertua dan calon istrinya. Dipaksakannya tersenyum sebagai sambutan bagi kedua orang tersebut. Haji Sobirin langsung mendekat ke bibir ranjang. Sedangkan Atisaya meletakkan bawaannya ke atas lemari besi di samping ranjang pasien, baru bergabung dengan ayahnya kemudian."Kejadiannya di mana, Kang?" tanya Atisaya dengan wajah cemas.Yang ditanya menggeleng lemah. "Nggak ingat. Cuma ingat tadi habis makan siang terus pamitan sama Emak mau ke tempat Andi," sahut Abdi lemah."Padahal belum lama kita ngobrol-ngobrol di mesjid sehabis salat Dzuhur. Eh, tahu-tahu kejadian begini," timpal Haji Sobirin yang juga terlihat cemas, meski tak sekentara Atisaya maupun ibu Abdi."Tapi Akang nggak kenapa-kenapa, kan?" Kembali Atisaya bertanya.
ENTAH berapa lama Abdi terdiam melongo begitu. Ia baru tersadar pada kekinian setelah Atisaya menjawil tangannya. Seulas senyum buru-buru dikembangkannya untuk menutupi rona kekagetan."Akang ditanyain malah ngelamun, ih!" ujar Atisaya sembari cemberut."Eh, iya, maaf, Neng," sahut Abdi, senyumnya yang lebar menunjukkan deretan gigi rapi."Ini, mau pilih yang mana tadi? Akang mau teh apa susu minumnya?" ulang Atisaya seraya menunjukkan minuman kemasan kotak di kedua tangannya berganti-ganti.Abdi tampak pandangi dua benda di tangan Atisaya berganti-ganti. "Susu saja deh, biar kenyang sekalin," sahutnya kemudian."Oke." Atisaya meletakkan teh kotak ke dalam lemari, lalu tangannya berganti mengambil sebatang sedotan. Dicobloskannya sedotan itu ke bagian atas kotak. Baru kemudian disodorkannya minuman tersebut pada Abdi.Sebelah tangan Abdi terulur hendak menyambut minuman kemasan tersebut. Namun kemudian pemuda itu malah menjerit kesakitan, se