PADA akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut Tiara. Ia tak mau Anita, wanita yang tengah berdiri di hadapannya saat ini, beranggapan kemarahannya tumpah karena apa yang pernah ia lihat di apartemen Ryan. Ya, walaupun sebenarnya memang itu yang jadi penyebab.
Sementara Anita tampak menyunggingkan seringai tipis. Wajah perempuan itu datar saja. Namun sorot matanya sinis.
"Mohon maaf sekali, Bu Tiara. Saya rasa persoalan laporan keuangan itu sudah selesai. Dan, ingat, saya juga sudah bukan karyawan perusahaan Ibu lagi. Saya tidak mau diomeli orang yang sudah bukan atasan saya," sahut Anita dingin. Sikapnya sungguh membuat Tiara semakin jengkel.
"Ya, kamu boleh saja bukan lagi karyawan di sini. Tapi ini tetap saja kantorku, dan aku berhak membolehkan ataupun melarang orang seperti kamu untuk masuk ke sini. Jelas?" desis Tiara tak mau kalah.
Anita menyeringai. "Anda agaknya lupa kalau Anda bukan satu-satunya pemimpin di sini. Please deh, kurang-kurangi sif
PERTEMUAN dengan Theo siang itu benar-benar menjadi penyelamat bagi Tiara. Setelah pagi harinya diisi dengan emosi bertumpuk dan urat leher mengeras saat bertemu Ryan, lalu disusul pertemuan tak terduga dengan Anita di lift, makan siang bersama Theo menjadi pelipur ampuh.Sembari menyantap pesanan masing-masing, seperti sebelum-sebelumnya mereka berbincang tentang banyak hal. Dari pertemuan kesekian inilah mereka sama-sama baru tahu kalau punya idola yang sama: Michael Learns To Rock.Generasi kiwari pastilah asing dengan band pop rock asal Denmark ini. Namun tidak demikian dengan Tiara yang lahir di akhir periode Generasi Milenial. Ditulari oleh sang ayah, gadis tersebut sangat menggandrungi kelompok yang namanya sering disingkat menjadi MLTR."Lagu MLTR favorit?" tanya Theo setelah beberapa saat sebelumnya saling bertukar cerita mengenai perkenalan dengan MLTR.Tiara tampak berpikir sejenak. Baginya semua lagu MLTR adalah favorit. Karenanya ia bakal san
SATU jam terasa berlalu dengan cepat bagi Tiara. Gadis itu sebenarnya masih ingin mengobrol lebih lama dengan Theo. Tapi pukul dua nanti ia sudah harus berada di kantor. Ada satu meeting untuk membahas rencana pembukaan kantor cabang di Sumatera.Berpikir sampai di sana, Tiara jadi ingat pula jika Ryan bakal turut serta dalam rapat tersebut. Dan tanpa dapat dicegah ia teringat pada Anita yang tadi berpapasan dengannya di lift. Jangan-jangan perempuan itu sebetulnya datang untuk bertemu dengan Ryan?Pikiran Tiara seketika menjadi kusut. Entah mengapa dirinya masih belum bisa sepenuhnya lepas dari perasaan-perasaan tersakiti setiap kali terbayang pada dua sosok tersebut. Bahkan hanya mendengar nama Anita dan Ryan saja sudah membuatnya geram bukan main."Biar aku yang bayar, ya?"Ucapan serta sentuhan tak sengaja Theo saat mereka beranjak meninggalkan meja membuat Tiara kembali pada kekinian. Buru-buru ia berusaha menyembunyikan perasaan tak enak tadi. Janga
THEO agaknya tahu apa yang ada di pikiran Tiara. Karenanya pemuda tersebut mendekat, lalu tanyannya menggamit lengan si gadis untuk mengajak pergi."Sudah, Tiara. Jangan buang-buang waktu untuk meladeni mereka. Kamu bilang ada meeting sebentar lagi." Perkataan Theo mencegah Tiara yang sudah bersiap hendak berkata lagi. Gadis itu hela napas panjang sembari pejamkan mata beberapa detik sebagai gantinya."Thanks, Theo. Kamu benar," sahut Tiara sembari menengok arloji di tangannya. "Dan seharusnya lelaki yang mengganggu kita ini ikut dalam rapat tersebut. Bukannya malah kelayapan dengan perempuan nggak jelas seperti ini.""Tiara! Keterlaluan kamu!" geram Ryan yang tampak sangat kesal.Tak mampu menahan kekesalan, pemuda itu bergerak maju hendak memukul Tiara. Tapi Theo bergerak cepat menangkap tinju Ryan. Theo bahkan ayunkan tangannya yang lain seperti hendak menampar, tapi gerakannya terhenti hanya satu jengkal dari pipi Ryan."Berani kamu menyakiti T
USAI salat Dzuhur berjemaah di masjid, Abdi mendekati Haji Sobirin untuk menyalami orang tua itu. Lebih tepatnya mencium tangan. Begitu takzim pemuda tersebut melakukannya, tak peduli pada lalu-lalang jemaah lain yang hendak pulang ke rumah masing-masing.Bertepatan saat Abdi menyudahi ciumannya pada tangan Haji Sobirin, muncul Ustadz Salim mendekat. Belum-belum ustadz yang biasa menjadi imam di masjid tersebut menebar senyum lebar."Wah, calon mantu Pak Haji ini benar-benar bagus adabnya sama orang tua," puji Ustadz Salim. Sebelah tangannya terulur menyalami Haji Sobirin.Yang dipuji hanya bisa tersenyum dan bersikap serba salah."Ya, mana mungkinlah aku salah pilih, Pak Ustadz. Bobot, bibit, bebet," sahut sang haji seraya terkekeh. Selepas keduanya bersalaman, sesaat kemudian ganti Abdi yang bersalaman dengan ustadz tersebut."Belum lama saya ada ngobrol-ngobrol sedikit sama Nang Abdi. Terkait rencana pernikahannya itu, lho. Kebetulan sekali seka
DITUNGGU sekian lama Abdi hanya diam, Ustadz Salim dan Haji Sobirin kembali saling pandang. Mereka sungguh tak mengerti apa sebenarnya yang mengganduli pemuda itu. Mengapa tampak begitu berat untuk melisankan persetujuan.Tentu saja sulit bagi kedua orang tua tersebut untuk dapat menebak isi kepala Abdi. Sebab tak satu pun di antara keduanya yang tahu mengenai Tiara. Apatah lagi seperti apa hubungan antara Abdi dan atasannya itu.Abdi tentu saja tak menginginkan dua orang tua di hadapannya tahu mengenai perasaannya terhadap Tiara. Lebih-lebih Haji Sobirin. Toh, ia masih punya waktu beberapa hari lagi sebelum harus memberi jawaban final pada Atisaya."Anak muda zaman sekarang memang hobinya melamun apa, ya?" gumam Haji Sobirin berkelakar, yang langsung disambut tawa oleh Ustadz Salim.Mau tak mau Abdi turut tertawa pula, meski lebih mirip senyuman tanggung tanpa suara. Di dalam hatinya masih mencari-cari cara untuk lari dari pembicaraan ini. Namun tanpa me
SELEPAS makan siang Abdi pamit hendak keluar sebentar. Ketika ditanya ibunya mau ke mana, Abdi juga tidak bisa menjawab pasti. Tapi yang kemudian ia jadikan alasan adalah ke rumah Andi."Mumpung Andi masih di sini, Mak. Dia rencana mau balik ke Jakarta lusa nanti." Itu yang dikatakan Abdi sewaktu ibunya bertanya untuk kali kedua."Oh, ya sudah. Kamu memang musti baik-baik sama dia. Kalau bukan karena dia yang ngasih tahu, kamu nggak bakalan dapet kerjaan waktu itu," balas ibunya."Iya, Mak." Abdi hanya menjawab singkat lalu keluar rumah.Setibanya di halaman, sepeda motor butut peninggalan mendiang ayahnya diengkol sepenuh tenaga. Mesin motor tua itu tak mengenal starter otomatis. Karenanya butuh diengkol agar mesinnya menyala.Begitu meninggalkan rumah, pikiran pemuda itu seketika melayang entah ke mana. Kembali terngiang di telinganya ucapan sang ibu. Mengenai kegalauannya sebagai seorang ibu yang tahu anaknya menikah hanya karena ingin membebask
KABAR mengenai kecelakaan yang melibatkan Abdi segera menyebar. Namun sampai kemudian pemuda itu dilarikan ke rumah sakit, tak ada yang tahu siapa dirinya. Ditambah lagi Abdi bepergian tanpa membawa dompet dan handphone.Warga yang mengantar ke rumah sakit sempat memeriksa seluruh isi kantung celana Abdi. Namun yang ditemukan hanya selembar uang seratus ribu rupiah. Ketiadaan dompet, yang biasanya berisi kartu tanda pengenal, membuat identitas Abdi tidak terkuak selama beberapa lama.Barulah ketika pick up sampai di rumah sakit, kehebohan yang dibawa rombongan pengantar menarik perhatian para perawat hingga tukang parkir. Salah satu perawat yang tengah bertugas rupanya mengenali Abdi, kakak kelasnya saat SMA."Orang mana, Wid? Namanya siapa tadi?" Pertanyaan itu mengudara ketika Abdi hendak dibawa ke Unit Gawat Darurat menggunakan brankar dorong. Petugas administrasi kebingungan sendiri mengumpulkan informasi mengenai si pasien."Abdi, Yu. Aku tahunya cum
ATISAYA dan Haji Sobirin masuk selepas mengucap salam. Agaknya mereka tadi juga keluar untuk membeli minuman dan makanan, sebab di tangan Atisaya tertenteng beberapa plastik besar.Abdi palingkan kepala ke arah calon mertua dan calon istrinya. Dipaksakannya tersenyum sebagai sambutan bagi kedua orang tersebut. Haji Sobirin langsung mendekat ke bibir ranjang. Sedangkan Atisaya meletakkan bawaannya ke atas lemari besi di samping ranjang pasien, baru bergabung dengan ayahnya kemudian."Kejadiannya di mana, Kang?" tanya Atisaya dengan wajah cemas.Yang ditanya menggeleng lemah. "Nggak ingat. Cuma ingat tadi habis makan siang terus pamitan sama Emak mau ke tempat Andi," sahut Abdi lemah."Padahal belum lama kita ngobrol-ngobrol di mesjid sehabis salat Dzuhur. Eh, tahu-tahu kejadian begini," timpal Haji Sobirin yang juga terlihat cemas, meski tak sekentara Atisaya maupun ibu Abdi."Tapi Akang nggak kenapa-kenapa, kan?" Kembali Atisaya bertanya.
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra