USAI salat Dzuhur berjemaah di masjid, Abdi mendekati Haji Sobirin untuk menyalami orang tua itu. Lebih tepatnya mencium tangan. Begitu takzim pemuda tersebut melakukannya, tak peduli pada lalu-lalang jemaah lain yang hendak pulang ke rumah masing-masing.
Bertepatan saat Abdi menyudahi ciumannya pada tangan Haji Sobirin, muncul Ustadz Salim mendekat. Belum-belum ustadz yang biasa menjadi imam di masjid tersebut menebar senyum lebar.
"Wah, calon mantu Pak Haji ini benar-benar bagus adabnya sama orang tua," puji Ustadz Salim. Sebelah tangannya terulur menyalami Haji Sobirin.
Yang dipuji hanya bisa tersenyum dan bersikap serba salah.
"Ya, mana mungkinlah aku salah pilih, Pak Ustadz. Bobot, bibit, bebet," sahut sang haji seraya terkekeh. Selepas keduanya bersalaman, sesaat kemudian ganti Abdi yang bersalaman dengan ustadz tersebut.
"Belum lama saya ada ngobrol-ngobrol sedikit sama Nang Abdi. Terkait rencana pernikahannya itu, lho. Kebetulan sekali seka
DITUNGGU sekian lama Abdi hanya diam, Ustadz Salim dan Haji Sobirin kembali saling pandang. Mereka sungguh tak mengerti apa sebenarnya yang mengganduli pemuda itu. Mengapa tampak begitu berat untuk melisankan persetujuan.Tentu saja sulit bagi kedua orang tua tersebut untuk dapat menebak isi kepala Abdi. Sebab tak satu pun di antara keduanya yang tahu mengenai Tiara. Apatah lagi seperti apa hubungan antara Abdi dan atasannya itu.Abdi tentu saja tak menginginkan dua orang tua di hadapannya tahu mengenai perasaannya terhadap Tiara. Lebih-lebih Haji Sobirin. Toh, ia masih punya waktu beberapa hari lagi sebelum harus memberi jawaban final pada Atisaya."Anak muda zaman sekarang memang hobinya melamun apa, ya?" gumam Haji Sobirin berkelakar, yang langsung disambut tawa oleh Ustadz Salim.Mau tak mau Abdi turut tertawa pula, meski lebih mirip senyuman tanggung tanpa suara. Di dalam hatinya masih mencari-cari cara untuk lari dari pembicaraan ini. Namun tanpa me
SELEPAS makan siang Abdi pamit hendak keluar sebentar. Ketika ditanya ibunya mau ke mana, Abdi juga tidak bisa menjawab pasti. Tapi yang kemudian ia jadikan alasan adalah ke rumah Andi."Mumpung Andi masih di sini, Mak. Dia rencana mau balik ke Jakarta lusa nanti." Itu yang dikatakan Abdi sewaktu ibunya bertanya untuk kali kedua."Oh, ya sudah. Kamu memang musti baik-baik sama dia. Kalau bukan karena dia yang ngasih tahu, kamu nggak bakalan dapet kerjaan waktu itu," balas ibunya."Iya, Mak." Abdi hanya menjawab singkat lalu keluar rumah.Setibanya di halaman, sepeda motor butut peninggalan mendiang ayahnya diengkol sepenuh tenaga. Mesin motor tua itu tak mengenal starter otomatis. Karenanya butuh diengkol agar mesinnya menyala.Begitu meninggalkan rumah, pikiran pemuda itu seketika melayang entah ke mana. Kembali terngiang di telinganya ucapan sang ibu. Mengenai kegalauannya sebagai seorang ibu yang tahu anaknya menikah hanya karena ingin membebask
KABAR mengenai kecelakaan yang melibatkan Abdi segera menyebar. Namun sampai kemudian pemuda itu dilarikan ke rumah sakit, tak ada yang tahu siapa dirinya. Ditambah lagi Abdi bepergian tanpa membawa dompet dan handphone.Warga yang mengantar ke rumah sakit sempat memeriksa seluruh isi kantung celana Abdi. Namun yang ditemukan hanya selembar uang seratus ribu rupiah. Ketiadaan dompet, yang biasanya berisi kartu tanda pengenal, membuat identitas Abdi tidak terkuak selama beberapa lama.Barulah ketika pick up sampai di rumah sakit, kehebohan yang dibawa rombongan pengantar menarik perhatian para perawat hingga tukang parkir. Salah satu perawat yang tengah bertugas rupanya mengenali Abdi, kakak kelasnya saat SMA."Orang mana, Wid? Namanya siapa tadi?" Pertanyaan itu mengudara ketika Abdi hendak dibawa ke Unit Gawat Darurat menggunakan brankar dorong. Petugas administrasi kebingungan sendiri mengumpulkan informasi mengenai si pasien."Abdi, Yu. Aku tahunya cum
ATISAYA dan Haji Sobirin masuk selepas mengucap salam. Agaknya mereka tadi juga keluar untuk membeli minuman dan makanan, sebab di tangan Atisaya tertenteng beberapa plastik besar.Abdi palingkan kepala ke arah calon mertua dan calon istrinya. Dipaksakannya tersenyum sebagai sambutan bagi kedua orang tersebut. Haji Sobirin langsung mendekat ke bibir ranjang. Sedangkan Atisaya meletakkan bawaannya ke atas lemari besi di samping ranjang pasien, baru bergabung dengan ayahnya kemudian."Kejadiannya di mana, Kang?" tanya Atisaya dengan wajah cemas.Yang ditanya menggeleng lemah. "Nggak ingat. Cuma ingat tadi habis makan siang terus pamitan sama Emak mau ke tempat Andi," sahut Abdi lemah."Padahal belum lama kita ngobrol-ngobrol di mesjid sehabis salat Dzuhur. Eh, tahu-tahu kejadian begini," timpal Haji Sobirin yang juga terlihat cemas, meski tak sekentara Atisaya maupun ibu Abdi."Tapi Akang nggak kenapa-kenapa, kan?" Kembali Atisaya bertanya.
ENTAH berapa lama Abdi terdiam melongo begitu. Ia baru tersadar pada kekinian setelah Atisaya menjawil tangannya. Seulas senyum buru-buru dikembangkannya untuk menutupi rona kekagetan."Akang ditanyain malah ngelamun, ih!" ujar Atisaya sembari cemberut."Eh, iya, maaf, Neng," sahut Abdi, senyumnya yang lebar menunjukkan deretan gigi rapi."Ini, mau pilih yang mana tadi? Akang mau teh apa susu minumnya?" ulang Atisaya seraya menunjukkan minuman kemasan kotak di kedua tangannya berganti-ganti.Abdi tampak pandangi dua benda di tangan Atisaya berganti-ganti. "Susu saja deh, biar kenyang sekalin," sahutnya kemudian."Oke." Atisaya meletakkan teh kotak ke dalam lemari, lalu tangannya berganti mengambil sebatang sedotan. Dicobloskannya sedotan itu ke bagian atas kotak. Baru kemudian disodorkannya minuman tersebut pada Abdi.Sebelah tangan Abdi terulur hendak menyambut minuman kemasan tersebut. Namun kemudian pemuda itu malah menjerit kesakitan, se
KEBERUNTUNGAN Abdi bertambah ketika Atisaya kembali membawa kabar bagus. Ruang perawatan yang mereka inginkan tersedia. Kebetulan sekali pasien yang tadinya berada di sana sudah pulang.Ukuran ruangannya memang lebih kecil, karena hanya diperuntukkan bagi satu pasien. Namun di sebelah kanan ranjang, tepat di bawah jendela kaca lebar, terdapat sofa panjang bersanding meja rendah. Sedangkan di sisi lain terletak lemari dengan ukuran lebih besar dari ruang rawat inap sebelumnya.Di sudut ada pintu berbahan PVC yang biasa digunakan sebagai pintu kamar mandi. Di balik pintu itu memang terdapat kamar kecil, lengkap dengan bak air ukuran sedang dan kloset jongkok. Sementara di dinding yang berhadapan dengan pasien tertempel televisi layar datar.Dua perawat membawa Abdi pindah ruangan saat itu juga. Atisaya mengikuti dari belakang sembari menenteng plastik-plastik berisi buah, makanan, juga minuman. Letak ruang rawat inap yang baru lebih dekat dengan pintu masuk. Udara
GELAP malam sudah membayang saat mobil MPV putih milik Pak Wardoyo yang dikendarai Tiara memasuki halaman rumah. Tak seperti biasa, pintu pagar terbuka lebar. Mang Udin duduk-duduk tak jauh dari gerbang bersama seorang tetangga."Kok dibuka, Mang?" tanya Tiara pada tukang kebun keluarganya.Mang Udin buru-buru berdiri lalu mendekat ke mobil. "Kan nanti mau ada tamu, Mbak. Ibu bilang pagarnya dibuka saja, saya disuruh nunggu di sini," jawab Mang Udin."Oh." Hanya itu jawaban Tiara.Tamu yang dimaksud tentulah Budi Wijaya dan istrinya. Ibunya tadi mengatakan acara makan malam antara kedua keluarga bakal diadakan selepas waktu isya.Gadis itu lantas mengucapkan terima kasih pada Mang Udin, mengangguk pada tetangga yang menemani tukang kebunnya itu, selanjutnya memasukkan mobil ke dalam garasi.Baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, Tiara berpapasan dengan ayahnya. Lelaki paruh baya itu sepertinya hendak keluar. Pak Wardoyo langsung hentikan l
TIARA kaget bukan main sewaktu mendapati mamanya berdiri di depan pintu. Gadis itu baru saja hendak keluar kamar untuk menuju ke ruang makan. Kalau lalu lintas bersahabat, Budi Wijaya dan Wieke istrinya bakal tiba dalam kurang-lebih sepuluh menit lagi. "Aduh, Mama ngagetin aja, ih!" pekik Tiara seraya terlangkah mundur beberapa tindak. Dadanya seketika berdegup tidak karuan. Kagetnya bukan alang kepalang. "Mama juga kaget, Tiara," balas Bu Wardoyo tak mau kalah. Tapi kemudian wanita paruh baya itu mendorong puterinya agar kembali masuk ke dalam kamar. Pintu ditutupnya rapat. "Ada apa sih, Ma? Bukannya Om Budi sebentar lagi sampai?" tanya Tiara keheranan. "Mama cuma mau tanya satu hal. Sebentar saja," jawab Bu Wardoyo sembari memastikan pintu sudah tertutup. "Soal apa?" Tiara sebetulnya sudah dapat menebak, namun ia butuh kepastian. "Soal hubungan kamu sama Ryan," jawab Bu Wardoyo, yang disambut helaan napas Tiara. "Papa barusan k
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra