GELAP malam sudah membayang saat mobil MPV putih milik Pak Wardoyo yang dikendarai Tiara memasuki halaman rumah. Tak seperti biasa, pintu pagar terbuka lebar. Mang Udin duduk-duduk tak jauh dari gerbang bersama seorang tetangga.
"Kok dibuka, Mang?" tanya Tiara pada tukang kebun keluarganya.
Mang Udin buru-buru berdiri lalu mendekat ke mobil. "Kan nanti mau ada tamu, Mbak. Ibu bilang pagarnya dibuka saja, saya disuruh nunggu di sini," jawab Mang Udin.
"Oh." Hanya itu jawaban Tiara. Tamu yang dimaksud tentulah Budi Wijaya dan istrinya. Ibunya tadi mengatakan acara makan malam antara kedua keluarga bakal diadakan selepas waktu isya.
Gadis itu lantas mengucapkan terima kasih pada Mang Udin, mengangguk pada tetangga yang menemani tukang kebunnya itu, selanjutnya memasukkan mobil ke dalam garasi.
Baru saja menginjakkan kaki di ruang tamu, Tiara berpapasan dengan ayahnya. Lelaki paruh baya itu sepertinya hendak keluar. Pak Wardoyo langsung hentikan l
TIARA kaget bukan main sewaktu mendapati mamanya berdiri di depan pintu. Gadis itu baru saja hendak keluar kamar untuk menuju ke ruang makan. Kalau lalu lintas bersahabat, Budi Wijaya dan Wieke istrinya bakal tiba dalam kurang-lebih sepuluh menit lagi. "Aduh, Mama ngagetin aja, ih!" pekik Tiara seraya terlangkah mundur beberapa tindak. Dadanya seketika berdegup tidak karuan. Kagetnya bukan alang kepalang. "Mama juga kaget, Tiara," balas Bu Wardoyo tak mau kalah. Tapi kemudian wanita paruh baya itu mendorong puterinya agar kembali masuk ke dalam kamar. Pintu ditutupnya rapat. "Ada apa sih, Ma? Bukannya Om Budi sebentar lagi sampai?" tanya Tiara keheranan. "Mama cuma mau tanya satu hal. Sebentar saja," jawab Bu Wardoyo sembari memastikan pintu sudah tertutup. "Soal apa?" Tiara sebetulnya sudah dapat menebak, namun ia butuh kepastian. "Soal hubungan kamu sama Ryan," jawab Bu Wardoyo, yang disambut helaan napas Tiara. "Papa barusan k
"Eh, Ryan sedang sibuk, ya? Saya baru sadar kalau dia tidak ikut malam ini," tanya Bu Wardoyo, yang segera membuatnya mendapat tatapan tajam dari suaminya.Yang ditanyai tampak saling pandang sesaat. Dari tempatnya duduk Tiara dapat menangkap ada sesuatu yang berusaha disembunyikan pasangan Budi dan Wieke Wijaya. Namun gadis itu hanya memperhatikan dengan perasaan geli.Di dalam hatinya Tiara jadi membatin, jangan-jangan Ryan sendiri sudah menceritakan putusnya hubungan mereka kepada orang tuanya? Kalau memang iya, tentu itu lebih baik."Iya, Bu. Katanya sedang mengurus pembukaan usaha baru, dan rencana makan malam kita ini berbenturan dengan agenda dia. Makanya, dengan sangat menyesal sekali Ryan izin tidak bisa ikut," jawab Wieke Wijaya kemudian, tampak sekali wanita itu berusaha menutupi perasaan tidak enak yang seketika menyembul."Oh, ya sudah, tidak apa-apa kalau begitu. Anak laki-laki memang harus rajin bekerja," timpal Pak Wardoyo dengan nada meng
BEGITU panggilan tersambung, Tiara kaget sekaligus malu karena yang menjawab bukan Abdi. Yang terdengar suara perempuan, tapi gadis itu yakin betul bukan ibu Abdi. Tiara tak pernah mendengar suara itu sebelumnya.Seketika rasa penasaran bercampur cemburu menggerayangi Tiara. Siapa perempuan yang memegang handphone Abdi itu? Mungkinkah Atisaya? Tapi Tiara masih ingat betul suara tunangan Abdi tersebut, dan ia yakin ini bukan Atisaya.“Halo? Mau bicara sama Abdi, ya?” pertanyaan perempuan di seberang panggilan membuyarkan monolog di dalam kepala Tiara.“I-iya, Mbak. Abdi di mana, ya?” sahut Tiara dengan kegugupan yang tak mampu ia redam.“Abdi sedang dirawat di rumah sakit. Kemarin dia mengalami kecelakaan....”Tiara tak dapat menangkap apa kelanjutan ucapan dari bibir perempuan di seberang telepon. Ia merasakan kepalanya tiba-tiba saja puyeng, keseimbangannya seolah lepas sehingga tubuhnya nyaris jatuh terduduk.
SESUAI yang ia janjikan pada Tiara, pagi-pagi sekali Pardi sudah membawa mobilnya keluar rumah. Sebelum berangkat, pada Minah istrinya lelaki tersebut menceritakan apa yang diceritakan padany oleh Tiara kemarin.Seperti halnya sang suami, Minah juga sampai pada kesimpulan jika Tiara tengah jatuh cinta pada Abdi. Sebagai sesama perempuan, Minah tentu dapat membaca gerak-gerik dan sikap Tiara pada Abdi selama mereka berdua berada di rumah Batang."Kalau Mbak Tiara beneran seneng sama Abdi, kira-kira sama Bapak dan Ibu dikasih izin nggak ya, Mas?" tanya Minah pada suaminya saat mereka sarapan tadi."Ya nggak tahu, kok malah tanya aku?" sahut Pardi asal, menirukan jawaban seorang tokoh politik terkenal yang sering dijadikan meme. "Tapi yang jelas Abdi itu sudah punya tunangan. Kalau nggak salah segera menikah dalam waktu dekat.""Waduh!" seru Minah tanpa bisa ditahan-tahan. Kekagetannya demikian nyata."Kenapa memangnya? Kok malah kamu yang kaget mende
ATISAYA keluar dari dalam kamar mandi dengan ekspresi kaget. Gadis itu tak menyangka ada orang lain di dalam ruang rawat inap selain Abdi. Namun dengan cepat ia tutupi kekagetan tersebut dengan satu senyum ramah. Abdi cepat tanggap, memperkenalkan Pardi pada tunangannya yang tengah melangkah ke tepi ranjang pasien. Meski untuk itu ia harus sangat hati-hati memilih kata-kata agar Atisaya tidak menduga yang bukan-bukan. "Ini Mas Pardi, kenalan Akang...." "Teman di Jakarta," sambar Pardi, yang agaknya tahu kebingungan Abdi dalam memilih kata-kata. Terbukti kemudian prakarsa tersebut mujarab, sempat Atisaya tidak mempertanyakan lebih lanjut hubungan pertemanan di antara dua lelaki tersebut. "Kebetulan sedang ada tugas ke Jawa Tengah, jadi sekalian mampir ke sini sewaktu dapat kabar Abdi kecelakaan," tambah Pardi seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Abdi. "Oh, iya," sahut Atisaya yang kebingungan sendiri hendak menanggapi bagaimana. "Saya Ati
SUASANA berubah hening. Baik Abdi maupun Pardi sama-sama tercenung. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Kopi yang dibawa Atisaya kemudian menjadi penghangat kebisuan yang melanda dua lelaki di ruang rawat inap itu.Setelah mengucap salam dan memberi senyum, tanpa banyak kata Atisaya larut dalam kesibukan memindahkan kopi yang ia beli. Abdi hanya memandangi gerak-gerik tunangannya itu dengan tatapan mata. Sedangkan Pardi terlihat memejamkan mata, bersandar pada sofa.Dalam lemari besi di sebelah ranjang pasien terdapat beberapa gelas, sengaja disediakan pihak rumah sakit bagi pasien yang dirawat. Kopi dipindahkan dari bungkusan plastik ke dalam gelas-gelas tersebut. Lantas dihidangkan pada Pardi dan Abdi."Kopinya diminum, Mas Pardi. Mumpung masih panas," ujar Atisaya saat meletakkan gelas kopi untuk Pardi ke atas meja rendah di sebelah sofa.Pardi tergeragap, agaknya kaget oleh panggilan itu. Buru-buru ia tegakkan posisi tubuh, dan meng
MAKAN siang bersama yang berlangsung setelahnya berlangsung dengan canggung. Baik Abdi, Pardi, lebih-lebih Atisaya sama-sama tidak banyak bersuara selama menyantap makanan masing-masing. Obrolan yang baru saja berlalu benar-benar membuat suasana cair berubah drastis.Tadi Atisaya rupanya sekalian membeli makan siang di warung. Gadis itu memesan menu simpel namun nikmat, nasi uduk. Tambahannya kerupuk dan sambal telur goreng yang dibungkus terpisah. Sedangkan untuk minum ia memilih tiga botol air minum dalam kemasan.Namun begitu kembali ke ruangan tempat Abdi dirawat, Atisaya langsung dapat merasakan ada yang berubah. Pardi memang menyambutnya dengan senyum, demikian pula Abdi. Akan tetapi ekspresi wajah keduanya terlihat sangat berbeda dari sebelumnya."Beli di mana ini, Neng?" tanya Abdi kemudian, berusaha memecah keheningan yang telah menyungkup selama bermenit-menit."Di dekat toko buah yang di sebelah pintu masuk," jawab Atisaya, seraya angkat wajah
SELAMA beberapa helaan napas Abdi hanya dapat terbengong-bengong. Pikirannya seolah-olah serta merta menjadi kosong melompong. Tak satu kata pun yang muncul untuk membantunya memberi jawaban pada Atisaya.Sementara gadis itu terus menunggu, dengan tatapan menuntut yang tersorot dari sepasang mata legamnya. Juga dilengkapi ekspresi penuh tanya pada wajahnya nan ayu."Emm ... Mas Pardi itu memang sopir pribadinya ibu bos," jawab Abdi kemudian. Pada akhirnya ia berkeputusan tak ada guna lagi terus-terusan menutupi siapa sebenarnya Pardi dari Atisaya."Hmm, terus?" desak Atisaya, yang yakin sekali jawaban itu jauh dari kata tuntas."Lebih tepatnya lagi, Mas Pardi itu sopir pribadi keluarga Pak Wardoyo," tambah Abdi buru-buru. "Makanya dia bisa dekat sekali dengan ibu bos, karena sudah bekerja di keluarga itu sejak masih bujang dan ibu bos masih sekolah. Kalau tidak paham siapa mereka, bisa-bisa kita bakal menganggap keduanya sebagai saudara."Atisaya h
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra