TRISNA dapat melihat jelas keraguan di wajah Abdi. Atau lebih tepat disebut sebagai kekhawatiran. Wajar saja jika Abdi merasa khawatir atau pun takut. Sebab membatalkan pertunangan dengan Atisaya bisa membawa konsekuensi besar bagi keluarga.
Meski demikian Abdi merasa belum siap untuk berterus terang. Lagi pula ia masih belum mengambil keputusan final. Ia akan memanfaatkan baik-baik waktu sepekan yang diberikan Atisaya padanya untuk memikirkan hal ini baik-baik, matang-matang.
"Kamu tiba-tiba merasa nggak sreg sama si Ati?" desak Trisna yang tak sabar menunggu jawaban.
Abdi menyeringai lebar dibuatnya. Masih belum tahu harus berkata apa. Tiba-tiba saja satu pemikiran merasuk ke kepalanya, membuatnya berbalik melemparkan tanya.
"Kalau menurut Akang sendiri, Neng Ati itu cocok nggak sih sama saya? Maksudnya, ke depannya kami bakal jadi keluarga yang rukun dan bahagia nggak sih?"
Balik ditanyai begitu membuat Trisna tertawa lepas. Tapi hanya sebentar.
RUMAH Haji Sobirin tampak sepi saat Abdi tiba. Tak ada seorang pun di teras, padahal semua warga desa juga tahu kalau Pak Haji selalu kedatangan tamu. Rata-rata membicarakan urusan kebun, sawah, atau beberapa pabrik milik tuan rumah.Abdi langsung mematikan mesin sepeda motornya begitu memasuki halaman rumah Haji Sobirin. Kendaraan itu bahkan masih meluncur, sebelum akhirnya berhenti di muka teras. Ia hanya tidak mau kedatangannya mengganggu penghuni rumah.Tapi meski Abdi sudah berusaha datang sehening mungkin, masih ada yang keluar menyambut juga. Tepat saat pemuda itu turun dari sepeda motor, pintu yang tadinya tertutup menganga.Seorang lelaki berwajah gempal, mengenakan baju koko dan peci yang agak miring, berdiri di ambang pintu dengan wajah mengembangkan senyum lebar. Haji Sobirin sendiri yang menyambut kedatangan calon mantunya."Eh, Abdi rupanya ya? Wah, kebetulan sekali nih yang dikangenin datang menjenguk," celetuk Haji Sobirin, membuat Abdi ma
BEGITU Haji Sobirin menghilang di balik tirai pemisah ruangan, Atisaya letakkan standing pouch camilan yang sedari tadi ia pegang ke atas meja. Mulut gadis itu juga sudah berhenti mengunyah. Punggungnya disandarkan ke punggung sofa seraya menghela napas dalam-dalam.Abdi tak berbicara apa-apa. Lebih tepatnya lagi tak tahu harus mengatakan apa. Masih terbayang jelas pertengkaran mereka hari itu. Yang berujung pada ucapan tegas Atisaya yang memberinya waktu sepekan untuk menentukan sikap.Keheningan menggantung di udara. Yang terdengar hanya suara denging nyamuk, diseling embusan angin menderu. Hawa dingin membuat Abdi tanpa sadar rangkapkan kedua tangannya ke depan dada."Tadi Bapak datang ke rumah Akang, ya?" tanya Atisaya tiba-tiba."I-iya, tadi habis dari mesjid Pak Haji mampir," sahut Abdi agak tergeragap. Kepalanya menoleh ke samping, menatap Atisaya. Namun gadis itu tampak tengah menerawang ke kegelapan malam di depan sana."Terus, Ba
OBROLAN tiga orang itu lantas berlangsung agak canggung setelahnya. Hanya Haji Sobirin yang terlihat begitu lepas dan bebas bercerita. Membicarakan apa saja yang selama dikenal sebagai pekerjaan serta hobinya.Berstatus calon menantu, Abdi tentu harus bersikap sopan dan mendengarkan baik-baik. Sesekali menanggapi. Ketika diminta ganti bercerita, sebisa mungkin ia turuti meski buru-buru dikembalikan pada Pak Haji.Atisaya sendiri lebih banyak diam. Juga tidak terlihat menyatu dalam obrolan dua lelaki di hadapannya. Gadis itu seperti asyik dengan pikirannya sendiri. Tatapannya kerap menerawang entah ke mana. Dan setiap kali disenggol atau disebut oleh ayahnya, selalu menanggapi dengan tergeragap.Tak terasa malam semakin larut. Kopi di dalam gelas Abdi juga sudah tidak bersisa lagi. Haji Sobirin yang mengetahui itu langsung menawarkan isi ulang, bahkan sudah bersiap memanggil wanita pembantunya tadi."Nggak perlu, Pak Haji. Saya mau pamit saja, sudah terlal
PAGI itu Abdi melihat ibunya tampak jauh lebih segar dari sebelum-sebelumnya. Mungkin karena tenaganya sudah pulih seperti sedia kala. Bisa juga karena tengah bersemangat, tapi entah karena apa pemuda itu tak dapat menebak.Tidak seperti sebelumnya yang hanya terbaring di atas tempat tidur, atau paling jauh duduk di kursi di dalam kamarnya, selepas subuh ibu Abdi sudah mengitari rumah. Mengecek tanaman hias yang berjejer mengitari teras.Abdi baru saja mengeluarkan sepeda motor dan hendak memanaskan mesin kendaraan itu ketika ibunya asyik menyiram tanaman. Tak ada tanda-tanda baru saja menderita sakit pada diri wanita paruh baya tersebut."Jangan terlalu capek, lho, Mak," ujar Abdi mengingatkan, sebelum mengogleng pedal mesin sepeda motor tua peninggalan ayahnya. Suara berderum segera terdengar, diikuti mengepulnya asap putih dari lubang knalpot."Aduh, Abdi, udara pagi yang sejernih ini kok malah kamu kotori dengan polusi, sih?" seru ibu Abdi, lalu terse
ANDI tidak pernah mengajak Abdi pergi memancing ke kolam Mang Dul pagi itu. Mereka melewati satu setengah jam berikutnya untuk mengobrolkan berbagai hal. Dari kehidupan di Jakarta yang menurutnya tidak sehat, sampai pemilihan calon kepala desa yang akan segera digelar.Sebetulnya Andi ingin memperpanjang pembahasan mengenai segala macam keberuntungan Abdi karena telah menjadi tambatan hati Atisaya. Terlebih Haji Sobirin pun setuju pada pilihan anak gadisnya. Setengah mati Abdi berusaha membelokkan pembicaraan ke topik lain."Kamu ini aneh, Di. Kok malah kaya nggak seneng sih aku ngomongin soal kamu dan Atisaya," cerocos Andi, seolah tahu keengganan Abdi."Sudah terlalu banyak orang yang menceramahiku soal ini, Ndi. Beruntunglah, terpilihlah, enaklah, entah apa lagi. Kalau kamu juga ngomongin hal yang sama seperti orang-orang, nyesel aku ke sini karena cuma kaya dengerin kaset kusut yang diulang-ulang terus," sahut Abdi, menyampaikan keberatan dalam ucapan
"SAYA sudah dekat kantor. Nggak sampai sepuluh menit lagi sampai," ujar Tiara pada seseorang di seberang telepon. Smartphone-nya ia jepitkan di antara bahu kanan dan pipi. Sedangkan pandangannya tertuju lurus pada jalanan padat di hadapan."Ya, sudah, biarin kalau dia mau nunggu di ruangan saya," kata Tiara lagi. Setelah itu ia menggumamkan beberapa kata lagi dan panggilan itu terputus.Tiara lempar smartphone-nya begitu saja ke jok sebelah sembari mengembuskan napas panjang. Sinta yang barusan meneleponnya. Sekretarisnya itu memberi tahu jika Ryan sudah menunggu di kantor. Tiara jadi merutuk sendiri karena bangun kesiangan dan berangkat lebih siang ke kantor.Tadi malam Tiara tidur lewat tengah malam. Entah pukul dua atau tiga dini hari, gadis itu tak terlalu ingat. Satu-satunya yang ia ingat, bayangan buruk mengenai Anita dan Ryan, juga sosok Atisaya dan Abdi, terus-terusan menghantui pikirannya.Selama di Indramayu, Tiara menganggap sikap Atis
RYAN seolah baru menyadari ada gumpalan magma yang berkumpul dan siap meledak dalam diri Tiara. Dilihatnya wajah gadis itu merah padam, pertanda tengah diselimuti amarah membara."Oh, please, Tiara." Ryan tak tahu harus berkata apa selain kata itu. Nada suaranya campuran antara kaget dan bingung."Begini, dengar dulu penjelasanku....""Nggak! Kamu yang sekarang harus dengar penjelasanku," tukas Tiara kasar. Gadis itu sudah tak mampu lagi mengontrol nada bicaranya."Oke, oke, aku akan dengar," sahut Ryan cepat. Ia merasa akan lebih baik baginya untuk mengalah saja saat ini."Aku nggak tahu kamu ini pikun atau pura-pura lupa, tapi Anita masih harus mempertanggung-jawabkan revisi laporan keuangan tahun lalu. Itu artinya, sampai revisi yang dia buat aku setujui, dia nggak boleh keluar dulu."Lagi pula ada beberapa akun yang memancing kecurigaanku. Sekali pun laporan keuangannya sudah direvisi, masih terbuka peluang terjadi kecurangan yang bukan ti
RYAN terpaku mendengar ucapan Tiara tersebut. Ia sama sekali tak menyangka jika tunangannya tersebut dapat mengambil keputusan seperti itu. Selama ini ia percaya Tiara lambat laun akan memaafkannya, serta pernikahan mereka tetap terlaksana.Pemuda itu sadar perbuatannya telah melukai Tiara, bahkan membuat komitmen di antara mereka koyak moyak. Tapi, Ryan juga tak mau melepaskan Anita. Gadis itu sudah mirip candu baginya. Benar dugaan Tiara, Anita dengan gampang memberikan apa yang tidak pernah ia dapatkan dari tunangannya itu.Celakanya, Ryan sadar dirinya tak mungkin melepas Tiara demi Anita. Papanya tak akan membiarkan itu terjadi. Apalagi jika kedua orang tuanya tahu dirinya menyelingkuhi Tiara. Bisa-bisa ia ditendang dari daftar keluarga besar Wijaya jika melakukannya."Nggak bisa begitu, Tiara. Kamu nggak bisa...." Ucapan tergagap Ryan langsung terpotong oleh sambaran Tiara."Bisa. Kenapa nggak? Sangat bisa sekali, kok," tukas Tiara. Gadis itu terlih
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra