"Kakak?" “Luna?” Devin hampir tak bisa berdiri, ia bertumpu pada pelukan Luna untuk tetap pada posisinya. Matanya basah, berkunang-kunang dan tak bisa fokus. Namun senyuman ia berikan tatkala mendengarkan suara gadis itu. Ia menyadari pelukannya, begitu senang karena ia berhasil sampai dan menemukan gadis itu dengan keadaan yang baik. Dugaannya tepat, Luna berada di apartemen Colin. "Kakak ... Kakak sedang apa di sini?" Namun kesenangan yang dirasakannya tak berlangsung lama, hatinya sakit ketika mendengar suara Luna yang serak. Jelas sekali ia habis menangis. Devin membersihkan air di sekitar matanya agar bisa melihat dengan baik. Ketika ia berhasil, ia semakin sedih. Mata gadis itu sembap, bahkan ada bekas linangan air mata di sudutnya. Tidak sampai di sana, Devin menemukan sebuah luka dengan darah mengering di sisi bibirnya. "Bukankah Kakak masih sakit? Kakak kenapa ada di sini?" "K—kau... kau tidak apa-apa? Ada apa dengan bibirmu?"
Read more