Beranda / Romansa / Good Sister / Bab 21 - Bab 30

Semua Bab Good Sister: Bab 21 - Bab 30

55 Bab

20. California

"Dia orangnya. Orang yang memperkosaku. Ayah dari janinku. Kak Colin."Semua orang tentu saja terkejut. Raut kekecewaan menghampiri kedua orang tua mereka. Colin, jelas sekali ekspresi wajah kesalnya terlihat. Ia mungkin mengumpat kecil, sampai akhirnya hanya bisa terkekeh kecil untuk mengungkapkan perasaannya.Kedua bahu Luna dipegang erat oleh sang ayah. Pria itu mungkin tidak sadar melakukannya, karena terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. “Colin? Colin yang— Kakakmu Colin?” Pria itu akhirnya mengeluarkan air mata yang seperti sudah lama sekali tertahan di ujung matanya. “Colin? Dia ayah dari janinmu? Kau bersungguh-sungguh?”Devin juga muak dengan kenyataan yang ia ketahui itu, perlahan ia berdiri, ikut menunjuk wajah Colin yang entah sejak kapan menjadi sangat menjengkelkan bagi semua orang.“Benar, Ayah. Colin, anak kesayangan dan kebanggaan Ayah. Dia orang yang menghamili Luna. Ayah berpikir dia a
Baca selengkapnya

21. Runaway

Devin dan kedua orang tuanya berlari secepat yang mereka bisa menyusuri koridor rumah sakit setelah mereka mendapat telepon dari seseorang yang mengetahui keberadaan Luna. Bukan Colin, tentu saja. Pria itu menghilang. Mereka terengah masih dengan pakaian tidur. Walau dia yang menghilang telah ditemukan, mereka belum bisa berhenti khawatir.Devin mengenali seseorang yang sedang berdiri di depan ruang IGD. Dia mengenali orang itu sebagai orang yang pernah dilihatnya di sekolah Luna. Sang ibu juga mengenalnya. Dia yang tidak tenang, juga masih dengan baju tidur yang dilapisi cardigan panjang berwarna hijau pucat begitu lega melihat keluarga Luna sudah datang."Linda," Ibu Luna segera memimpin menghampirinya."Bibi,"Ibu Luna langsung menyerbu gadis itu dengan pertanyaan. "Bagaimana dengan Luna? Apa yang terjadi padanya?" Adalah Linda, orang yang menghubungi dan memberitahu mereka jika Luna ia bawa ke rumah sakit.Linda menggeleng sambil memel
Baca selengkapnya

22. Pinkie Promise

Awal yang kurang begitu baik bagi pagi yang cerah hari ini. Luna masih belum sadar dari tidur, terlihat begitu lemah dengan luka-luka kecil di tangan dan kakinya. Mereka yang melihatnya seperti itu hanya bisa khawatir dan menunggu. Tubuh lemah itu tengah mengandung janin berusia lima minggu.Luna mesti bersyukur karena janinnya masih bisa bertahan setelah guncangan fisik dan batin yang dialaminya semalam. Diagnosa dokter adalah terlalu stres, kelelahan dan terlambat makan. Memang sangat sulit hamil di usia muda. Setidaknya mereka bersyukur tidak ada sesuatu yang menakutkan terjadi dengan ia dan janinnya.Devin menemani Luna yang masih tertidur di rumah sakit. Ia menggenggam tangannya yang dibalut perban, mencoba membuat kontak batin pada si adik agar segera bangun. Sudah bukan rahasia lagi jika Devin benar-benar menyayangi Luna. Sebagai kakak atau lebih, ia hanya ingin gadis itu tidak tersakiti lagi. Ia mungkin bukan tipe anak penurut yang selalu mendengarkan kata oran
Baca selengkapnya

23. The Third Wheel

"Lalu, janin sialan itu, apa sudah musnah?"Ketakutan Luna pada pria itu bukan tanpa alasan. Cara dia menatap seraya mengucapkan kalimat sekejam itu sangatlah mengerikan. Kata-katanya tak disaring, bagaikan petir yang langsung menghantam hati. Luna hanya meremas selimutnya, ia tak berani memandang pria itu lebih lama. Ia ingin sekali menangis dan berteriak meminta bantuan, hanya saja tak punya keberanian. Ia gemetar, hanya dengan berada dalam ruangan bersama pria tu."Belum, ya?" Colin menjawab pertanyaannya sendiri. Ia kecewa, walau raut wajahnya cenderung terlihat senang. "Aku membiarkanmu kabur, karena aku berpikir kau mungkin keguguran karena itu. Tapi ternyata tidak. Dia kuat juga, ya?" Pria itu bicara sendiri, dia tertawa seakan pembicaraan sepihak ini adalah lelucon.Luna tak habis pikir, di mana logika pria ini? Atas dasar apa dia berpikiran segila itu? Ia mempertanyakan kecerdasan yang selalu dipuji sang Ayah. Karakter Colin sangatlah jomplang, antara k
Baca selengkapnya

24. Meet the Jekyll

Terasa sulit untuk melangkahkan kaki. Jangankan untuk menjauh, membawa diri sedikit untuk jarak yang sedikit saja ia seakan-akan tak sanggup. Kakinya terasa lunglai, ia lemas. Napasnya sulit, namun bukan karena terdapat masalah pada tubuhnya. Tujuan yang seharusnya berada sejauh mungkin hanya berakhir pada sebuah kursi pada koridor kosong yang hanya berjarak kurang dari sepuluh meter dari ruangan Luna. Kepalanya tersandar pada tembok, terasa pening dengan masalah yang membuat urat-urat bermunculan. Ia ingin marah. Ia merasa hancur. Ia ingin merobohkan dinding yang terlalu kokoh, dirundung rasa iri karena tak bisa menata hati sekeras benda itu. Air mata mungkin bisa mengurangi rasa sakit, namun tidak ada yang bisa ia keluarkan. Perasaan buruk memupuk dalam dada menyisakan sesak dan perih. Semua tak pernah berjalan baik untuknya. Sebuah cobaan yang tak kunjung berhenti datang tanpa alasan. Ibunya, orang yang melahirkannya ke dunia telah pergi, segera setelah ia lahir.
Baca selengkapnya

25. Chocolate Ice Cream

Perjalanan pulang tanpa diduga tidak berlangsung senyap. Luna, Sang Ibu, dan Devin mengunci mulut mereka dengan rapat. Satu-satunya orang yang sedang bersuara saat ini adalah si pengemudi. Dia mengejutkan semua orang dengan bersenandung santai mengikuti lagu yang ia putar di mobilnya. Para penonton terpana, tidak pernah menyangka pemandangan ini adalah kenyataan; terutama bagi Devin.Colin, pria dingin dengan reputasi buruk, seorang melankolis dengan pola pikir yang tak bisa diduga-duga, tengah bersenandung ria. Devin tak bisa berhenti meliriknya, terkejut dengan sebuah perbedaan ini. Meski hubungan di antara mereka tidak baik, ia tahu bahwa hal ini adalah sesuatu yang berbeda.Belum sampai di situ, perbedaan yang mengejutkan juga ditunjukkan oleh Colin tadi. Posisi duduk mereka saat ini adalah idenya. Luna, ia biarkan duduk di kursi belakang bersama ibunya, sedangkan Devin berada di kursi depan.“Biarkan Luna bersama Ibu. Jika dia merasa sesuatu yang tida
Baca selengkapnya

26. Jealousy

Devin sama sekali tidak bisa menenangkan hatinya walau sebentar. Ia sungguh khawatir, saat mendorong troli mengelilingi rak bahan makanan. Setiap ada kesempatan, ia menoleh ke arah pintu masuk, mencari-cari keberadaan mobil si Colin dan memastikan mereka masih di tempat yang sama. Ketakutannya bukan tak berdasar. Ia tak ingin Colin berulah lagi. Dia merasa mengenal baik sang kakak hingga tahu perubahan drastis itu bukanlah sesuatu yang baik. Ia tak ingin lelaki gila itu membawa Luna kabur dan mencoba menyakiti dia dan janinnya.Sialan, ia mengumpat pelan ketika pikiran yang tak bisa terkendali itu memberikan visualisasi dari ketakutan yang ia alami. Dia tidak akan bisa tenang, sampai ia memastikan Luna baik-baik saja. Jika terjadi sesuatu, ia tak akan segan membunuh si Colin itu.Devin mempercepat langkahnya untuk menuju tempat parkir setelah tak tahan menunggu lebih lama. Ia mungkin sedikit menjaga harga diri, terlihat tenang di luar. Namun ekspresinya tak bisa menipu
Baca selengkapnya

27. Date Time!

"Lalu bagaimana dengan perasaanku? Tidakkah kau peduli dengan perasaanku? Melihatmu seharian bersamanya, kau tidak ingin tahu perasaanku? Aku cemburu, Luna. Aku cemburu."Luna dan Devin saling menatap."Tidakkah kau memikirkan perasaanku?""Kak, bukankah sudah aku katakan aku ingin—""Tidak semudah itu! Aku tidak mungkin secepat itu melupakan perasaanku padamu."Luna membuang wajahnya, tak mau menatap Devin. Jika ia terus melakukan itu, hal yang pasti adalah ia akan menangis lagi. Tidak boleh ada tangis lagi. Dia tidak mau menangis lagi. Terutama di hadapan Devin. "Maaf, Kak. Aku membuat Kakak merasa tidak nyaman. Kalau begitu aku ingin ke kamar saja. Selamat malam."Tanpa menatap Devin, Luna melangkah pergi meninggalkan pria itu sendiri di depan pintu. Bagaimanapun perasaan Devin padanya, ia tidak akan pernah bisa membalas perasaan itu. Dia hanya akan menyakiti Devin jika memberi harapan padanya. Harapan tentang betapa perasaan itu ak
Baca selengkapnya

28. It is a Secret

Matahari sore bersinar cerah hari ini, walaupun tidak begitu terik lagi dan juga eksistensinya tidak sepenuh tadi siang. Cahaya berwarna putih yang terbias seakan-akan berwarna oranye itu benar-benar menghangatkan, membawa suasana siapapun yang berada di bawahnya terasa begitu nyaman.Colin memarkir mobilnya di lapangan parkir sebuah pusat perbelanjaan. Mereka memutuskan untuk melakukan kencan pertama di sini. Sebenarnya Luna memilih tempat yang sedikit kekanakan bagi Colin—taman bermain, tetapi mereka tidak jadi pergi ke sana dengan alasan sudah hampir tutup. Tidak ideal datang ke sana di waktu sesore ini.Sepanjang perjalanan, mereka sudah merencanakan agenda kencan hari ini. Pertama, menonton film di bioskop. Setelah itu, makan malam di salah satu restoran. Lalu, mereka akan berbelanja sesuatu. Colin berkata ia harus membeli beberapa barang dan menginginkan Luna untuk menemaninya. Rencana ini lekas disetujui oleh keduanya dan mereka langsung meluncur menuju bi
Baca selengkapnya

29. Cupcake

Devin turun dari kamarnya menuju ruang makan setelah mendengar ketukan dari sang ibu untuk makan malam. Ia seharian mengurung diri di kamar karena ia sama sekali tidak punya niat untuk pergi ke manapun. Ia masih merasa resah sejak semalam. Soal keretakan hubungannya dengan Luna, ia begitu merasa terbebani. Ia membuat Luna membencinya karena kecurigaan dan ketidakpercayaannya pada Colin yang berlebihan. Dan soal cemburu itu, dia seakan menyesal mengatakannya. Itu adalah senjata makan tuan. Hal yang akan sangat menyakitkan jika terus disimpan, tetapi akan lebih menyakitkan lagi setelah diungkapkan: cemburu.Ia berkali-kali menoleh ke belakang, mencari sosok Luna yang ia tidak lihat seharian. Ia berharap di makan malam kali ini bisa melihatnya. Satu hari tidak melihatnya saja, ia merindukannya. Dia yang mulai menjauh karena kesalahan yang ia perbuat sendiri.Devin sampai di meja makan dengan disuguhi makanan lezat buatan ibunya yang sangat menggugah selera, setidaknya bag
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
DMCA.com Protection Status