Beranda / Romansa / Partner In Crime / Bab 101 - Bab 110

Semua Bab Partner In Crime: Bab 101 - Bab 110

131 Bab

Pengkhianat terkubur dalam debu

“Lepaskan ikatannya,” ujarku, Nathan segera mengambil pisau yang ada di atas meja dan memutus tali yang mengikat tangan dan kaki Tiara. Tiara terjatuh di dekapanku, segera kuangkat dan kubawa pergi dari gubuk kayu tersebut. Mereka, orang-orang yang menyekap Tiara hanya bisa melongo kikuk melihatku membawanya. “Kemana kita akan membawanya?” tanya Nathan. Pertanyaannya menghentikan langkahku, aku tidak mungkin membiarkannya berada di salah satu markas cincin hitam, ia bisa saja bertindak lebih nekat dengan menyusup ke kediamanku. “Kita bawa saja dia ke rumahnya, ia tidak akan menyadari kalau kitalah yang menyelamatkannya,” ucapku, Nathan mengangguk tanpa membantah. Nathan langsung melajukan mobilnya, melintasi gelapnya malam ibukota menuju daerah tempat Tiara tinggal. Kuletakan wanita itu di belakang dan masih dalam keadaan yang tak sadarkan diri. Setengah jalan menuju rumahnya, mobil Nathan berhenti tatkala aku memerintahkannya. Pria it
Baca selengkapnya

Antara rekan dan kawan

*** Kami langsung melaju dengan kencang menuju kantor polisi, menjenguk dua orang yang sangat kunantikan raut mereka, Soo dan Reno. Cavid tidak banyak bertanya tentang alasanku, ia juga akan menyadarinya ketika mendengar percakapanku dengan kedua orang tersebut. Nathan mengirimkanku pesan teks, di dalamnya mengatakan kalau dia sudah mengantar Tiara sampai ke depan rumahnya. Ia bisa mengetahui alamat yang kukasih dengan baik karena dia sudah beberapa tahun di Jakarta tatkala menemani Violet. “Kerja bagus,” tulisku dalam pesan yang terkirim ke Nathan. “Tentang kunjungan kita ke kantor polisi, apa mereka tidak akan mencurigaimu?” tanya Cavid, kedua matanya masih fokus mengamati jalanan di depannya. Itu sama sekali tidak menjadi kekhawatiran bagiku, Soo dan Reno tidak dibawa ke Markas besar polisi. Mereka berdua masih ditahan di kantor polisi tingkat kota, sehingga para perwira polisi itu tentu tidak akan mengenal diriku dengan pasti. “Tid
Baca selengkapnya

Hasil dari usaha

*** “Apa kalian menikmati sel ini?” tanyaku dengan wajah sinis. Reno bangkit dan menatapku sedari dekat, hanya jeruji besi yang dingin yang hanya membatasi jarakku dengannya. Kutatap matanya seraya melipat kedua tanganku di hadapan pria pengkhianat tersebut, ekspresi Reno begitu mengkerut, memandangku dengan arti kebencian yang terpendam. “Bagaimana kamu masih hidup?!” tanya Reno, tegas. “Panjang kisahnya, satu hal penting yang perlu kamu tahu,” jawabku, kumelangkah maju mendekati telinga Reno. “Aku memiliki rekan setia yang mau berkorban untukku,” timpalku berbisik. Mendengar kalimat satire dariku membuatnya semakin berang, tangannya yang besar langsung mencengkeram kerah bajuku dan menariknya mendekat. Alhasil kepalaku terbentur jeruji besi dengan keras hingga orang-orang di belakangku tersentak kaget. “Sialan! Apa kamu mencari mati?!” bentak Cavid. Ia melepaskan cengkeraman Reno dan justru berbalik menarik tubuh pria
Baca selengkapnya

Pembenaran pelaku

***Terdengar teriakan dari dalam ruang interogasi, suara seorang wanita yang begitu tak terima dengan perlakuan yang ia dapatkan. Kubiarkan Stefano mendengarnya agar ia bisa menyadari kalau hidup Larissa tak lagi berarti kecuali sebagai alat untuk pelaksana tugasku.“Ia tersiksa, terpaksa memilih jalan kotor ini karena memilih untuk mengikutimu. Apa kamu sama sekali tidak merasa bersalah atas hidupnya?” tanyaku dengan perlahan, aku berdiri di samping Stefano dan melirik kepadanya dengan sorot mata penuh arti.“Aku tidak ingin melakukan ini. Ia bisa menjadi kaki tanganku yang sempurna untuk rencana-rencana Cincin Hitam di Indonesia.”Kuputar tubuhku dan kini kami berdua kembali saling berhadapan satu sama lain, beradu pandang dalam pusaran emosi yang menggebu-gebu. Aku memilih bersikap tenang agar ia merasa terpojok atas ucapannya sendiri.“Jadi, kamu menyalahkanku atas pilihannya mengikutiku?” tanya Stefano.
Baca selengkapnya

Kudeta

***“T-Tunggu dulu, Presiden? Jangan bercanda!” bentakku.Memang momen tertangkapnya Stefano berbarengan dengan masa kampanye dari kedua pasangan calon presiden. Mendengar perkataan pria tua barusan yang mengatakan Presiden dengan tegas, maka bisa dipastikan pria yang dimaksud adalah si calon petahana.“Apa kamu melihat ekspresiku tengah bercanda?” tanya Stefano, tajam.Violet menenangkan hatiku yang tiba-tiba tersulut olehnya. Tidak mungkin jika Presiden yang memerintahkan pembunuhan Luqman, setahuku dia adalah orang yang baik, peduli kepada rakyat dan memiliki tujuan mulia untuk memakmurkan kehidupan masyarakat.Aku memilih diam bisu dan duduk di atas sofa yang berada di belakang punggung Stefano. Kubiarkan Violet yang berbicara kepadanya, aku percaya wanita itu jauh lebih ahli dalam mengendalikan emosi ketika berbincang kepada Stefano.“Tidak mungkin,” ucap Violet.Kedua matanya membelalak, tanga
Baca selengkapnya

Kematian yang tak perlu

***“Silakan duduk,” pintaku, Stefano dan Larissa duduk bersebelahan di depan meja makan berbahan dasar kayu jati.“Aku tidak melihat sekretarismu, apa dia sedang ada urusan?” tanya Larissa.Kulirik arah kursi kosong di sebelahku, aku harus mengakui kalau informasi yang Stefano berikan padanya sungguh mengguncang mentalnya. Ia mungkin yang paling merasa bersedih jika Cincin Hitam harus kembali vakum bila pemerintahan yang baru ada dan terwujud.“Iya, ia banyak mengerjakan pekerjaanku belakangan ini. Jadi, aku memberikannya waktu untuk istirahat,” jawabku dengan datar, tak lama kami bertiga saling melempar senyum satu sama lain.Hidangan tersaji di atas meja makan, aku mempersilakan keduanya menikmati makan malam yang tersuguhkan. Aku yakin, para pelayan sudah mempersiapkan semuanya hingga aku tak harus mengotori tanganku secara langsung.Masakan yang kusediakan begitu mewah, dan tentunya mahal. Berbahan da
Baca selengkapnya

Kenangan untuk memotivasi

***Jasad Stefano langsung dikirim ke rumahnya, peti mati itu pergi bersama dengan iringan mobil hitam yang memanjang. Tak hanya karena permintaan dari Stefano, tapi aku juga mementingkan hal berkaitan dengan perasaan emosional Larissa.Stefano sudah menjadi sosok yang berjasa baginya, jalan hidupnya kini didasarkan pada pilihannya mengikuti jejak pamannya. Sungguh egois jika aku bersikukuh untuk menolak Larissa dan membiarkan Stefano menghilang tanpa diketahui oleh keluarganya.“Apa langkah kita selanjutnya?” tanya Nathan, ia menemaniku ketika melepas iring-iringan mobil yang membawa jasad Stefano dari kediamanku.“Kita akan membicarakan terkait kejahatan Presiden sesuai informasi yang diberikan oleh Stefano,” jawabku, singkat.Nathan mendekatkan tubuhnya kepadaku, ia sama sekali belum mengetahui perihal dalang dari seluruh kekacauan di negeri ini. Kedua matanya membelalak kaget tatkala mendengar Presiden dan kejahatan yang
Baca selengkapnya

Rencana penculikan

***Kami berkumpul, membentuk sebuah lingkaran di ruanganku. Mereka semua datang hari ini, mulai dari Sutan, Cavid, Nathan, Violet, hingga para anggota parlemen yang sejalan denganku.Kami membahas seputar kejahatan Presiden sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Stefano, Larissa masih belum kembali dan aku memakluminya. Tatkala kuceritakan semuanya, para tamuku tersentak, melongo, dan bergeming di tempatnya berada.“Aku tidak akan bergabung, mengorbankan seluruh anggotaku untuk membalaskan dendam pribadimu,” jelas Sutan, pria itu menolak dengan tegas seraya menghentakkan ujung kayu penopang tubuhnya ke lantai beberapa kali.“Dia benar. Kami bisa saja melakukan kejahatan lain, perampokan, penculikan, dan transaksi obat-obatan dengan tujuan yang jelas. Dengan membunuh Presiden, maka kami tidak akan mendapat apa-apa selain kekacauan dan kecurigaan dari pihak istana.”Penyataan Sutan disambut baik oleh beberapa anggota parlemen
Baca selengkapnya

Rekam jejak kebebasan

***“Mereka sedang memanggil Hasan kemari,” ucapku.Malam itu, Larissa berdiri menemaniku di atas balkon yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Di tempat itu, aku bersama Nathan menyaksikan momen ketika jasad Stefano pergi bersama para pengawalku, wanita itu ikut dalam rombongan mereka.“Bagaimana respon keluarga Stefano?” tanyaku.Ia menghela napas pelan, kedua matanya memandang cakrawala ibukota yang bersinar berkat pantulan rembulan. Seketika kulihat sebuah senyuman terulas dari wajah wanita di sampingku.“Mereka sama sekali tidak terkejut,” jawab singkat Larissa.“Mereka mengenal Stefano sebagai sosok yang keras dan tak segan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya. Mendengarnya terbunuh, mereka semua sama sekali tidak terkejut,” sambung Larissa, ia mengeluarkan sebuah benda dan memandang lekat-lekat benda yang ternyata kalung tersebut.“Kalung yang bagus,
Baca selengkapnya

Jiwa kepemimpinan

***Selama sebulan ini, kuperintahkan Larissa untuk pergi mengintai dan mempersiapkan tempat  yang strategis untuk kami menculik Presiden. Semarang akan menjadi tempat paling berkesan bagiku, di sana aku terjebak dalam karut marut rencana Stefano, dan di sana juga aku akan mengakhiri kekacauan yang selama ini terjadi.“Apa semalam kamu tertidur dengan nyenyak?” tanya Nathan, ia berjalan menghampiri dan ikut dalam peregangan yang kulakukan.“Kebetulan kamu bertanya, aku merasakan tidur yang tak biasa semalam,” balasku.“Tidur yang tak biasa? Seperti apakah itu?” tanya Nathan, kebingungan.“Betul, aku merasakan seperti ada yang mencekikku,” jawabku, singkat.Apa yang baru saja kukatakan sungguh terjadi, malam itu aku merasakan ada yang berbeda dengan malam sebelumnya. Aku sempat berpikir kalau hal ini terjadi karena fisik dan pikiranku yang kelelahan.“Mungkin kamu hanya kelelah
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
91011121314
DMCA.com Protection Status