***
Terdengar teriakan dari dalam ruang interogasi, suara seorang wanita yang begitu tak terima dengan perlakuan yang ia dapatkan. Kubiarkan Stefano mendengarnya agar ia bisa menyadari kalau hidup Larissa tak lagi berarti kecuali sebagai alat untuk pelaksana tugasku.
“Ia tersiksa, terpaksa memilih jalan kotor ini karena memilih untuk mengikutimu. Apa kamu sama sekali tidak merasa bersalah atas hidupnya?” tanyaku dengan perlahan, aku berdiri di samping Stefano dan melirik kepadanya dengan sorot mata penuh arti.
“Aku tidak ingin melakukan ini. Ia bisa menjadi kaki tanganku yang sempurna untuk rencana-rencana Cincin Hitam di Indonesia.”
Kuputar tubuhku dan kini kami berdua kembali saling berhadapan satu sama lain, beradu pandang dalam pusaran emosi yang menggebu-gebu. Aku memilih bersikap tenang agar ia merasa terpojok atas ucapannya sendiri.
“Jadi, kamu menyalahkanku atas pilihannya mengikutiku?” tanya Stefano.
***“T-Tunggu dulu, Presiden? Jangan bercanda!” bentakku.Memang momen tertangkapnya Stefano berbarengan dengan masa kampanye dari kedua pasangan calon presiden. Mendengar perkataan pria tua barusan yang mengatakan Presiden dengan tegas, maka bisa dipastikan pria yang dimaksud adalah si calon petahana.“Apa kamu melihat ekspresiku tengah bercanda?” tanya Stefano, tajam.Violet menenangkan hatiku yang tiba-tiba tersulut olehnya. Tidak mungkin jika Presiden yang memerintahkan pembunuhan Luqman, setahuku dia adalah orang yang baik, peduli kepada rakyat dan memiliki tujuan mulia untuk memakmurkan kehidupan masyarakat.Aku memilih diam bisu dan duduk di atas sofa yang berada di belakang punggung Stefano. Kubiarkan Violet yang berbicara kepadanya, aku percaya wanita itu jauh lebih ahli dalam mengendalikan emosi ketika berbincang kepada Stefano.“Tidak mungkin,” ucap Violet.Kedua matanya membelalak, tanga
***“Silakan duduk,” pintaku, Stefano dan Larissa duduk bersebelahan di depan meja makan berbahan dasar kayu jati.“Aku tidak melihat sekretarismu, apa dia sedang ada urusan?” tanya Larissa.Kulirik arah kursi kosong di sebelahku, aku harus mengakui kalau informasi yang Stefano berikan padanya sungguh mengguncang mentalnya. Ia mungkin yang paling merasa bersedih jika Cincin Hitam harus kembali vakum bila pemerintahan yang baru ada dan terwujud.“Iya, ia banyak mengerjakan pekerjaanku belakangan ini. Jadi, aku memberikannya waktu untuk istirahat,” jawabku dengan datar, tak lama kami bertiga saling melempar senyum satu sama lain.Hidangan tersaji di atas meja makan, aku mempersilakan keduanya menikmati makan malam yang tersuguhkan. Aku yakin, para pelayan sudah mempersiapkan semuanya hingga aku tak harus mengotori tanganku secara langsung.Masakan yang kusediakan begitu mewah, dan tentunya mahal. Berbahan da
***Jasad Stefano langsung dikirim ke rumahnya, peti mati itu pergi bersama dengan iringan mobil hitam yang memanjang. Tak hanya karena permintaan dari Stefano, tapi aku juga mementingkan hal berkaitan dengan perasaan emosional Larissa.Stefano sudah menjadi sosok yang berjasa baginya, jalan hidupnya kini didasarkan pada pilihannya mengikuti jejak pamannya. Sungguh egois jika aku bersikukuh untuk menolak Larissa dan membiarkan Stefano menghilang tanpa diketahui oleh keluarganya.“Apa langkah kita selanjutnya?” tanya Nathan, ia menemaniku ketika melepas iring-iringan mobil yang membawa jasad Stefano dari kediamanku.“Kita akan membicarakan terkait kejahatan Presiden sesuai informasi yang diberikan oleh Stefano,” jawabku, singkat.Nathan mendekatkan tubuhnya kepadaku, ia sama sekali belum mengetahui perihal dalang dari seluruh kekacauan di negeri ini. Kedua matanya membelalak kaget tatkala mendengar Presiden dan kejahatan yang
***Kami berkumpul, membentuk sebuah lingkaran di ruanganku. Mereka semua datang hari ini, mulai dari Sutan, Cavid, Nathan, Violet, hingga para anggota parlemen yang sejalan denganku.Kami membahas seputar kejahatan Presiden sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Stefano, Larissa masih belum kembali dan aku memakluminya. Tatkala kuceritakan semuanya, para tamuku tersentak, melongo, dan bergeming di tempatnya berada.“Aku tidak akan bergabung, mengorbankan seluruh anggotaku untuk membalaskan dendam pribadimu,” jelas Sutan, pria itu menolak dengan tegas seraya menghentakkan ujung kayu penopang tubuhnya ke lantai beberapa kali.“Dia benar. Kami bisa saja melakukan kejahatan lain, perampokan, penculikan, dan transaksi obat-obatan dengan tujuan yang jelas. Dengan membunuh Presiden, maka kami tidak akan mendapat apa-apa selain kekacauan dan kecurigaan dari pihak istana.”Penyataan Sutan disambut baik oleh beberapa anggota parlemen
***“Mereka sedang memanggil Hasan kemari,” ucapku.Malam itu, Larissa berdiri menemaniku di atas balkon yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Di tempat itu, aku bersama Nathan menyaksikan momen ketika jasad Stefano pergi bersama para pengawalku, wanita itu ikut dalam rombongan mereka.“Bagaimana respon keluarga Stefano?” tanyaku.Ia menghela napas pelan, kedua matanya memandang cakrawala ibukota yang bersinar berkat pantulan rembulan. Seketika kulihat sebuah senyuman terulas dari wajah wanita di sampingku.“Mereka sama sekali tidak terkejut,” jawab singkat Larissa.“Mereka mengenal Stefano sebagai sosok yang keras dan tak segan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya. Mendengarnya terbunuh, mereka semua sama sekali tidak terkejut,” sambung Larissa, ia mengeluarkan sebuah benda dan memandang lekat-lekat benda yang ternyata kalung tersebut.“Kalung yang bagus,
***Selama sebulan ini, kuperintahkan Larissa untuk pergi mengintai dan mempersiapkan tempat yang strategis untuk kami menculik Presiden. Semarang akan menjadi tempat paling berkesan bagiku, di sana aku terjebak dalam karut marut rencana Stefano, dan di sana juga aku akan mengakhiri kekacauan yang selama ini terjadi.“Apa semalam kamu tertidur dengan nyenyak?” tanya Nathan, ia berjalan menghampiri dan ikut dalam peregangan yang kulakukan.“Kebetulan kamu bertanya, aku merasakan tidur yang tak biasa semalam,” balasku.“Tidur yang tak biasa? Seperti apakah itu?” tanya Nathan, kebingungan.“Betul, aku merasakan seperti ada yang mencekikku,” jawabku, singkat.Apa yang baru saja kukatakan sungguh terjadi, malam itu aku merasakan ada yang berbeda dengan malam sebelumnya. Aku sempat berpikir kalau hal ini terjadi karena fisik dan pikiranku yang kelelahan.“Mungkin kamu hanya kelelah
***Beberapa minggu kemudian.“Situasi sudah terkendali, menurut rekan terpercayaku, Presiden akan datang tepat pekan depan di kota ini,” jawab Larissa.Kami saling berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan media video conferencei. Ia menjelaskan dengan detail setiap inci rencana yang sudah ia susun, mulai dari kedatangan hingga perginya Presiden.“Mereka akan berkunjung ke pemda dan setelahnya melakukan serangkaian kegiatan kenegaraan,” ujar Larissa.Ia menampilkan rute khusus yang sudah ia buat, memprediksi alur tersebut melalui informasi-informasi yang didapatkannya.“Bagaimana menurutmu?” tanyaku.“Akan lebih strategis jika rombongan mobil Presiden kita ledakan di sini, mengingat jalur mobil yang luas dan memiliki berbagai jalan lain untuk pelarian,” jawab Larissa.Ia menunjuk sebuah jalan besar yang berada di kota tersebut, memang benar jika kuteliti lebih jauh
“Tapi kenapa kamu mempercayakan jabatan itu kepadaku? Bukankah Nathan atau Cavid lebih cocok sebagai pemimpin?” tanya Violet. Pelayan tiba, tercium wewangian harum dari rempah-rempah yang digunakan dalam masakan yang ia bawa. Ia langsung meletakan makanan tersebut di atas meja dan mempersilakan kami memakannya. “Apa kamu tidak memesan risotto?” tanyaku, Violet menggeleng tanda tidak. “Makanlah,” pintaku. Kami saling terdiam satu sama lain, ia menikmati makanannya begitu juga denganku. Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa perasaan nyaman dan sejuk ke raga ini, dentingan pisau yang bergesekan dengan piring menghiasi kesunyian yang tercipta di antara kami. “Mereka memang pandai, tetapi aku masih tidak yakin menyerahkan kekuasaan ini padanya,” ujarku membuka perbincangan kembali. Violet meletakan sendok dan garpunya secara lurus vertikal di atas piring. Makanannya sama sekali belum habis dan ia memutuskan untuk menyudahinya dengan