***
Kami berkumpul, membentuk sebuah lingkaran di ruanganku. Mereka semua datang hari ini, mulai dari Sutan, Cavid, Nathan, Violet, hingga para anggota parlemen yang sejalan denganku.
Kami membahas seputar kejahatan Presiden sesuai dengan apa yang diutarakan oleh Stefano, Larissa masih belum kembali dan aku memakluminya. Tatkala kuceritakan semuanya, para tamuku tersentak, melongo, dan bergeming di tempatnya berada.
“Aku tidak akan bergabung, mengorbankan seluruh anggotaku untuk membalaskan dendam pribadimu,” jelas Sutan, pria itu menolak dengan tegas seraya menghentakkan ujung kayu penopang tubuhnya ke lantai beberapa kali.
“Dia benar. Kami bisa saja melakukan kejahatan lain, perampokan, penculikan, dan transaksi obat-obatan dengan tujuan yang jelas. Dengan membunuh Presiden, maka kami tidak akan mendapat apa-apa selain kekacauan dan kecurigaan dari pihak istana.”
Penyataan Sutan disambut baik oleh beberapa anggota parlemen
***“Mereka sedang memanggil Hasan kemari,” ucapku.Malam itu, Larissa berdiri menemaniku di atas balkon yang menghadap langsung ke arah jalan raya. Di tempat itu, aku bersama Nathan menyaksikan momen ketika jasad Stefano pergi bersama para pengawalku, wanita itu ikut dalam rombongan mereka.“Bagaimana respon keluarga Stefano?” tanyaku.Ia menghela napas pelan, kedua matanya memandang cakrawala ibukota yang bersinar berkat pantulan rembulan. Seketika kulihat sebuah senyuman terulas dari wajah wanita di sampingku.“Mereka sama sekali tidak terkejut,” jawab singkat Larissa.“Mereka mengenal Stefano sebagai sosok yang keras dan tak segan menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan keinginannya. Mendengarnya terbunuh, mereka semua sama sekali tidak terkejut,” sambung Larissa, ia mengeluarkan sebuah benda dan memandang lekat-lekat benda yang ternyata kalung tersebut.“Kalung yang bagus,
***Selama sebulan ini, kuperintahkan Larissa untuk pergi mengintai dan mempersiapkan tempat yang strategis untuk kami menculik Presiden. Semarang akan menjadi tempat paling berkesan bagiku, di sana aku terjebak dalam karut marut rencana Stefano, dan di sana juga aku akan mengakhiri kekacauan yang selama ini terjadi.“Apa semalam kamu tertidur dengan nyenyak?” tanya Nathan, ia berjalan menghampiri dan ikut dalam peregangan yang kulakukan.“Kebetulan kamu bertanya, aku merasakan tidur yang tak biasa semalam,” balasku.“Tidur yang tak biasa? Seperti apakah itu?” tanya Nathan, kebingungan.“Betul, aku merasakan seperti ada yang mencekikku,” jawabku, singkat.Apa yang baru saja kukatakan sungguh terjadi, malam itu aku merasakan ada yang berbeda dengan malam sebelumnya. Aku sempat berpikir kalau hal ini terjadi karena fisik dan pikiranku yang kelelahan.“Mungkin kamu hanya kelelah
***Beberapa minggu kemudian.“Situasi sudah terkendali, menurut rekan terpercayaku, Presiden akan datang tepat pekan depan di kota ini,” jawab Larissa.Kami saling berkomunikasi satu sama lain dengan menggunakan media video conferencei. Ia menjelaskan dengan detail setiap inci rencana yang sudah ia susun, mulai dari kedatangan hingga perginya Presiden.“Mereka akan berkunjung ke pemda dan setelahnya melakukan serangkaian kegiatan kenegaraan,” ujar Larissa.Ia menampilkan rute khusus yang sudah ia buat, memprediksi alur tersebut melalui informasi-informasi yang didapatkannya.“Bagaimana menurutmu?” tanyaku.“Akan lebih strategis jika rombongan mobil Presiden kita ledakan di sini, mengingat jalur mobil yang luas dan memiliki berbagai jalan lain untuk pelarian,” jawab Larissa.Ia menunjuk sebuah jalan besar yang berada di kota tersebut, memang benar jika kuteliti lebih jauh
“Tapi kenapa kamu mempercayakan jabatan itu kepadaku? Bukankah Nathan atau Cavid lebih cocok sebagai pemimpin?” tanya Violet. Pelayan tiba, tercium wewangian harum dari rempah-rempah yang digunakan dalam masakan yang ia bawa. Ia langsung meletakan makanan tersebut di atas meja dan mempersilakan kami memakannya. “Apa kamu tidak memesan risotto?” tanyaku, Violet menggeleng tanda tidak. “Makanlah,” pintaku. Kami saling terdiam satu sama lain, ia menikmati makanannya begitu juga denganku. Angin berhembus sepoi-sepoi, membawa perasaan nyaman dan sejuk ke raga ini, dentingan pisau yang bergesekan dengan piring menghiasi kesunyian yang tercipta di antara kami. “Mereka memang pandai, tetapi aku masih tidak yakin menyerahkan kekuasaan ini padanya,” ujarku membuka perbincangan kembali. Violet meletakan sendok dan garpunya secara lurus vertikal di atas piring. Makanannya sama sekali belum habis dan ia memutuskan untuk menyudahinya dengan
“Sungguh tak pernah saya duga akan bertemu dengan orang yang dikatakan sudah mati beberapa tahun lalu,” jawab Jayakarta, ia berjalan dengan langkah tegas menghampiriku seraya menggenggam tanganku dalam genggamannya.“Sungguh suatu kehormatan bisa bertemu dengan anda, Pak,” pujiku, kulihat ia tersenyum tatkala aku menundukan kepalanya di hadapan pria tersebut.Beberapa minggu belakangan, media banyak menyorot perilaku pemimpin negara ini yang sama sekali tidak akur. Hal ini terjadi disebabkan bocornya rekaman percakapan yang menjelaskan pertengkaran keduanya perihal perusahaan asing di salah satu daerah hutan lindung.Akibatnya begitu fatal, calon petahana mendapatkan citra yang buruk di mata masyarakat. Presiden banyak pergi ke daerah untuk menggalang suara. Alhasil, suara mereka jauh lebih baik dari sebelumnya.“Apa kamu sudah mematangkan rencanamu?” tanya Jayakarta, aku tersentak kaget tanpa melepas pegangan tanganku
***“Ini adalah operasi rahasia. Aku harap kalian melakukannya dengan senyap dan cepat,” ujarku dengan tegas, mereka serentak mengangguk dan mematuhi perintahku.Kukumpulkan 500 orang anggotaku yang masih tersisa di Jabodetabek dan mengerahkan mereka menggeruduk markas kelompok Sutan. Bersama dengan Nathan dan Cavid, malam ini akan kupastikan kekuasaannya akan jatuh dan Sutan akan terbunuh.Setiap 100 orang dipimpin oleh seorang ketua divisi yang kupilih, mereka terkenal loyalitasnya bahkan ketika Cincin Hitam berada dalam ambang kehancuran di tangan Soo. Mereka terkenal dengan gaya penculikan dan interogasi yang keras, siapa pun tidak akan berani untuk berhadapan atau melawan mereka.Nathan sudah mengenakan perlengkapan lengkap, setelan jas hitam dengan bagian atasnya terlindungi oleh rompi antipeluru. Cavid datang menghampiri dan memberikanku sebuah kertas yang ketika kubuka, ternyata adalah map terbaru dari denah kediaman Sutan.&ldq
“Apa kamu baru saja mengancamku?” tanya Cavid. Matanya menatap tajam kearahku, dengan kepalan tangan yang tampak mengerat dan kuat. Situasi yang ia hadapi benar-benar buruk, sebuah peluru tajam bisa saja menembus kepalanya jika satu gerakan tiba-tiba muncul dan mengagetkan anggotaku yang bersiaga. “Ya, aku tidak punya pilihan lain. Di setiap rencana cadangan pasti memiliki rencana cadangan lagi,” jelasku. “Turutilah apa yang ia katakan, Cavid,” ungkap Sutan, suaranya terdengar rendah berbeda dengan dirinya yang kukenal. “Bagaimana bisa aku mengikuti bajingan tak berperasaan sepertinya?!” kecam Cavid. Ia masih mengacungkan ujung senapan yang genggam padaku, kedua mata kami tak lagi beradu pandang. Kuperhatikan ia kerap melirik ke arah Sutan dan tampak gelisah seperti mengkhawatirkan pria tua tersebut. “Ikutilah dia! Itu perintah dariku,” balas Sutan. Pria di depanku sedikit membentak dengan nada bicara yang terkesan memaksa. Bag
***Aku langsung memerintahkan anggotaku untuk membubarkan diri, begitu juga dengan Nathan yang ikut denganku.“Kemana kita akan membawa jasadnya?” tanya Nathan, ia tidak pernah tahu kalau pria yang berada di dalam kantung jenazah adalah orang yang masih bernapas.“Aku akan membuangnya seorang diri, biarkan tulang dan dagingnya di makan oleh anjing liar.”“Baiklah,” ucap Nathan.Ia bersama anggota lain membawa dan memasukan jasad Sutan ke dalam mobilku. Ketika hendak keluar, langkahku terhenti oleh panggilan dari Cavid yang berjalan dengan cepat menghampiri.“Ada apa?” tanyaku, datar.“Apa yang akan kamu lakukan kepada 55 orang kelompokku yang berada di luar?” tanya Cavid.Meski ia baru saja menjabat menjadi ketua, tetapi rasa khawatir dan cemas sudah muncul sejak beberapa tahun pengabdiannya. Bahkan ketika Sutan dibawa keluar dengan dibungkus oleh kantung jenazah, ia