“Apa kamu baru saja mengancamku?” tanya Cavid.
Matanya menatap tajam kearahku, dengan kepalan tangan yang tampak mengerat dan kuat. Situasi yang ia hadapi benar-benar buruk, sebuah peluru tajam bisa saja menembus kepalanya jika satu gerakan tiba-tiba muncul dan mengagetkan anggotaku yang bersiaga.
“Ya, aku tidak punya pilihan lain. Di setiap rencana cadangan pasti memiliki rencana cadangan lagi,” jelasku.
“Turutilah apa yang ia katakan, Cavid,” ungkap Sutan, suaranya terdengar rendah berbeda dengan dirinya yang kukenal.
“Bagaimana bisa aku mengikuti bajingan tak berperasaan sepertinya?!” kecam Cavid.
Ia masih mengacungkan ujung senapan yang genggam padaku, kedua mata kami tak lagi beradu pandang. Kuperhatikan ia kerap melirik ke arah Sutan dan tampak gelisah seperti mengkhawatirkan pria tua tersebut.
“Ikutilah dia! Itu perintah dariku,” balas Sutan.
Pria di depanku sedikit membentak dengan nada bicara yang terkesan memaksa. Bag
***Aku langsung memerintahkan anggotaku untuk membubarkan diri, begitu juga dengan Nathan yang ikut denganku.“Kemana kita akan membawa jasadnya?” tanya Nathan, ia tidak pernah tahu kalau pria yang berada di dalam kantung jenazah adalah orang yang masih bernapas.“Aku akan membuangnya seorang diri, biarkan tulang dan dagingnya di makan oleh anjing liar.”“Baiklah,” ucap Nathan.Ia bersama anggota lain membawa dan memasukan jasad Sutan ke dalam mobilku. Ketika hendak keluar, langkahku terhenti oleh panggilan dari Cavid yang berjalan dengan cepat menghampiri.“Ada apa?” tanyaku, datar.“Apa yang akan kamu lakukan kepada 55 orang kelompokku yang berada di luar?” tanya Cavid.Meski ia baru saja menjabat menjadi ketua, tetapi rasa khawatir dan cemas sudah muncul sejak beberapa tahun pengabdiannya. Bahkan ketika Sutan dibawa keluar dengan dibungkus oleh kantung jenazah, ia
Malam itu, aku begitu penasaran terhadap keduanya. Sepasang kekasih berduaan di sebuah penginapan yang identik dengan pijat khususnya, aku tidak mengerti apa yang sebenarnya ada di pikiran pria tersebut.Tembok yang membatasi kamarku dengan mereka cukup tebal, tidak bisa kudengar apa pun dari balik dinding. Hanya suara AC yang menyala dan dan kibasan tirai yang tertiup angin karena aku sedikit membukakan jendela kamar.Hanya memikirkan kalau mereka akan berbuat demikian membuat kepalaku diisi dengan pikiran negatif sepanjang malam.“Apa yang kupikirkan? Seharusnya aku senang karena ia melakukannya dengan pria yang ia sukai,” ujarku.Kunyalakan televisi di depanku dan memutarkan suaranya keras-keras, mencoba mengalahkan suara yang siapa tahu muncul dan mengusik ketenanganku.Tiba-tiba ponselku berdering, kulihat malam itu Misa mengabari. Aneh bagiku, pasalnya perbedaan waktu di Filipina dengan waktu di Indonesia hanya berbeda satu jam. S
***Aku sudah memberitahukannya terkait rencana terhadap Wakil Presiden. Cavid tidak membantah atau menolak perintahku. Ia langsung melaksanakannya dengan cepat dan senyap, aku mengirim 200 orang anggotaku untuk membantunya.“Aktifkan spycam kalian, jangan sampai Cavid tahu kalau aku ikut dalam operasi secara tidak langsung.”Mereka mengangguk, teriakan lantang tanda paham meraung di seisi halaman rumah tersebut. Violet kini menemaniku di sisi kananku, begitu juga dengan Nathan yang menemani di sisi lainnya.Violet akan memahami bagaimana peranan ketua kelompok untuk mengontrol, mengawasi, dan merencanakan semua hal yang berkaitan agar tujuan kelompok bisa tercapai dengan lancar. Ia perlu tahu kalau menjadi ketua berarti siap mengorbankan semua yang ia miliki.Ke-200 orang itu langsung pergi meninggalkan kediamanku, pergi dengan beriringan menggunakan mobil besar sebanyak 20 buah. Kini, di tempat itu hanya menyisakan aku, Natha
***Kengerian baru saja tercipta di depan mataku. Cavid memerintahkan semua anggotanya untuk membunuh orang-orang yang bukan keluarga besar Wakil Presiden. Mereka mulai menembaki dengan membabi buta seluruh orang tanpa memandang belas kasih, mulai dari pelayan hingga anak-anak para pelayan.Anak-anak itu, mereka terbunuh bersama kedua orang tua mereka. Tubuh mungil mereka bergeletakan jatuh di atas tanah dengan tubuh yang penuh lubang.Darah merah segera menggenangi seluruh tempat tersebut, membuat keluarga Wakil Presiden berteriak kencang ketakutan.“Bawa mereka ke hadapanku.” Aku langsung berbicara tanpa mengedipkan kedua mataku, nada bicaraku juga ikut merendah selepas melihat kebrutalan Cavid dan anak buahnya.“Baik, Tuan.”Aku langsung menonaktifkan kamera yang terhubung dengan spycam milik seluruh anggotaku. Meski aku sudah terbiasa, tetapi entah kenapa melihat orang tak bersalah terbunuh membuat hatiku
***Di hadapanku, sudah duduk dengan nyaman seorang pejabat istana yang sangat menginginkan kekuasaan di negeri ini. Jayakarta, pria itu mengenal betul seluk beluk permasalahan negeri ini, bahkan ketika dirinya masih menyandang status sebagai mahasiswa.“Apa anak dan istriku aman di sana?” tanya Jayakarta.Kutuang botol wine yang berada di tanganku ke gelas kecil berbahan kaca yang kusediakan untuknya. Sebagai seorang pejabat elite, aku yakin dia pasti tidak akan menolak tawaranku.“Mereka akan tetap hidup selama kamu hidup, jika kamu mati, mereka juga akan ikut bersamamu,” balasku.Kaki Jayakarta masih terikat, tangan kanannya terborgol dengan salah satu bagian kursi yang lain. Ia benar-benar seperti tangkapan hewan liarku kali ini, jika aku seorang maniak darah, mungkin aku akan memajangkan kepalanya di dinding sebagai bentuk pencapaianku.“Bukan tergantung aku hidup atau tidak, itu semua tergantung pada peras
***“Mereka sudah bersiap di tempat penculikan,” balas Nathan.Kulihat pria itu terlihat tengah mengintip dari balik jendela kamar, kedua matanya memandang kerumunan orang di pasar rakyat yang sangat ingin bertemu dengan Presiden. Aku masih berdiri di dekat cermin besar yang menempel dengan lemari kayu, memeriksa apakah pakaianku sudah rapi atau belum.“Orang-orang yang menyambut itu, mereka tidak tahu siapa sebenarnya pria yang mereka elu-elukan tersebut,” sambung Nathan, suaranya terdengar meninggi sembari sesekali mencengkeram tirai jendela tersebut dengan tangan kanannya.“Jangan salahkan mereka, orang-orang itu tidak mengetahui kejadian yang terjadi selama ini. Mereka hanya tahu bekerja untuk mencari uang dan mengisi perut mereka dengan makanan sehari-hari,” jelasku.Pria itu tiba-tiba membalikan tubuhnya dan memandangku, kulemparkan earphone wireless untuknya berkomunikasi. Ia menangkap benda itu dengan sig
***“Ini akan sulit.”Nathan yang duduk di jok depan, bersebelahan dengan pengemudi melihat pemeriksaan yang ketat di pintu keluar Provinsi. Mereka sudah menempatkan banyak tentara dan polisi untuk menemukan penculik Presiden.“Apa kita tidak bisa pergi melewati jalan alternatif lain?” tanyaku.Pria itu terlihat menggelengkan kepala seraya menghela napas panjang. Di sampingku, David sudah tertidur dengan keadaan tangan dan kakinya yang terikat.“Mereka bergerak cepat, provinsi ini sudah benar-benar terkepung,” jawab Nathan, hal itu masuk akal dilakukan mengingat penculikan yang terjadi dilakukan terhadap pemimpin sebuah negara, bukan orang biasa.Kami masih terdiam di dalam mobil, terparkir di depan warung makan untuk beristirahat seraya memerhatikan polisi dan tentara yang berjaga di pintu perbatasan.Aku keluar, bersama dengan Nathan dan Larissa. Mereka bukanlah tentara yang berada di Kota Semaran
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa
Kamis, 21 Oktober 2021 Setelah menghabiskan kurang lebih lima bulan menulis –terkendala tugas perkuliahan dan sebagainya. Serial PARTNER IN CRIME resmi tamat kemarin malam, rasanya begitu lega dan menyenangkan bisa memberikan hasil akhir yang sesuai dengan keinginanku. Namun, cerita ini masih menyimpan beberapa kekurangan dan plothole di berbagai sisi. Oleh karena itu, penulis meminta maaf sebesar-besarnya jika ada cerita atau scene yang tidak dijelaskan secara detail. Tentu hal ini berkaitan dengan alur cerita agar tidak melenceng dan tetap di jalur utama kisah Revan dan Tiara. Dasar dari ide saya membuat cerita perselisihan ditambah dengan romansa antara Mafia dan Polisi tak lain adalah nuansa yang baru, menciptakan kisah baru yang segar dan anti mainstream di kalangan pembaca yang banyak didominasi oleh cerita-cerita CEO, silat, dan sebagainya. Saya memang tipikal orang yang menyukai perbedaan dalam suatu perkumpulan, platform membaca online adalah perkum
*** Satu minggu kemudian Pergantian kepemimpinan di Cincin Hitam terjadi. Tanpa hadirnya aku, dewan komite yang sudah kubentuk mengesahkan Violet sebagai penerus organisasi Cincin Hitam yang terselubung sebagai organisasi masyarakat pembela rakyat kecil. Mereka katanya menyambut dengan baik pergantian kepemimpinan tersebut, bersuka cita dan membuat pesta meriah untuk merayakannya. Itulah yang kudengar dari Nathan yang belakangan sering mengunjungiku, lebih sering ketimbang Violet. “Baguslah. Keadaan pemerintah juga semakin membaik, meski Yudha tidak naik menjadi Plt Presiden, tetapi ia tetap memegang kendali parlemen menggantikan Stefano,” balasku. Perkembangan tubuhku semakin membaik dari hari ke hari, Dokter sudah memperbolehkanku makan-makanan keras dengan syarat harus dikunyah secara halus. Bahkan dengan kondisiku yang seperti ini, dalam beberapa hari ke depan aku mungkin diperbolehkan untuk pulang. Pagi itu, udara hangat m
***Sudah dua hari aku terbaring di kasur rumah sakit. Dokter yang memeriksaku sudah melakukan CT-scan dan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perkiraan dokter pribadi yang kupanggil tempo hari.Tukak lambung, penyakit yang terjadi karena adanya infeksi di dinding lambung akibat bakteri. Ia menjelaskan penyebab terjadinya penyakit tersebut, salah satunya adalah konsumsi minuman beralkohol.Aku sadar. Belakangan ini, aku banyak minum-minuman beralkohol, aku kira aku baik-baik saja hingga kejadian ini terjadi.Untuk menjaga kesehatanku agar semakin membaik, Violet terus menemaniku di ruang perawatan ini, terkadang Nathan yang berjaga menggantikannya.“Parlemen sedang sibuk-sibuknya saat ini,” ucapku tatkala melihat pemberitaan di tv yang banyak mengulas seputar penunjukan Presiden pengganti David.Hingga saat ini, mereka masih belum menemukan keberadaan pria tua itu. Jika pun mereka berhasil, mereka hanya akan menemukan jasadnya y
“Mengorbankan hidup kalian untuk orang lain? Apa semudah itu kalian menyerahkan nyawa pemberian dari tuhan?!” bentakku.Aku benar-benar marah saat ini, tak hanya keluarga David tetapi Tiara juga ikut memohon ampun untuk nyawa pria tua penjahat tersebut.Aku berpikir, apa bagusnya dia dibandingkan dengan nyawanya? Dia juga tidak akan mengingat Tiara yang sudah menyelamatkan nyawanya.Sungguh sia-sia.Tiba-tiba kepalaku begitu pusing, telingaku berdengung dan pandanganku mulai berat. Tanganku bertumpu pada sudut meja untuk menahan agar badanku tidak ikut terjatuh.Sontak aku melepaskan senapan dari genggamanku dan langsung diraih oleh Tiara, wanita yang tadi memohon ampun kepadaku, kini berbalik mengacungkan senapannya padaku, mengancamku atas kejahatan yang jauh lebih banyak dibandingkan David.“Semua kejahatan di negeri ini berawal darimu. Aku tidak akan keberatan membunuhmu saat ini juga,” ancam Tiara.Wanita
“Kenapa aku harus pergi dari sini?” tanya David, bingung.“Aku tidak ingin orang-orang mengira kamu masih hidup. Aku akan memalsukan kematianmu dan kamu bebas hidup dengan identitas yang baru,” balasku. David terdiam mendengar penjelasanku, hanya itu satu-satunya pilihan yang kuberikan padanya jika dia ingin tetap hidup.Aku ajak dirinya keluar dari ruang tersebut dan berjalan menuju meja makan yang berada di lantai dasar. Namun, ketika hendak menuruni tangga, ia menolak ajakanku dan meminta waktu untuk memikirkan itu sendiri.Itu yang ia pinta dan aku menghargai keputusannya, lagi pula aku juga banyak berterima kasih atas pengakuannya di siaran tadi, tidak banyak orang berani yang mampu melakukan dan mengakui kesalahannya sendiri.Ia berjalan ditemani seorang pengawal yang sudah kutugaskan untuk tetap bersama David. Ketika aku tengah fokus memandang pria tua itu dari bawah, Nathan tiba-tiba mengejutkanku dengan ditemani beberapa o
***Pagi itu, terpaksa aku harus membawa Tiara ikut bersamaku. Ia tidak bisa memberikanku jaminan pasti kalau dia tidak akan memberikan pernyataan tersebut. Alhasil, semua rencana yang sudah kususun sejak awal tak berjalan lancar.“Kamu membawa lagi orang kemari?” tanya Nathan, pria itu datang menghampiri tatkala melihatku berjalan seraya menggendong seorang wanita, Tiara di dekapanku.“Kamu pasti mengenalnya,” ujarku.Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, wajahnya menegang dan kedua bola matanya membulat tajam. Ia melihat kehadiran Tiara yang tak sadarkan diri di hadapan wajahnya, ia mengingat betul kalau aku tidak ingin bertemu dengan Tiara secara langsung.“Apa dia mengetahui identitasmu?” tanya Nathan, kesal menatapku tajam.“Ya begitulah, aku perlu melakukannya untuk membungkan mulut Tiara,” jawabku, lirih.“Apa kamu gila?! Dia bisa saja membocorkan keberadaan Pres
***Kedua mata Tiara membelalak tajam, mulutnya tak henti menutup tatkala mendapati aku muncul hidup-hidup di depan matanya. Kucoba raih lengan Violet dan membantu wanita itu untuk kembali bangkit dan berdiri.“R-Revan … apakah itu kamu?” tanya Tiara, ia menjatuhkan selang air yang sedari tadi ia genggam dan menumpahkan aliran air itu terbuang sia-sia.“Aku senang bisa melihatmu lagi, Tiara,” ungkapku.Kudekati pagar rumah Tiara, wanita itu tersentak kaget dan segera mengambil sebuah sapu untuk membela diri. Melihat responnya yang demikian, membuat diriku kebingungan, apakah dia benar-benar merindukanku atau tidak?“Jangan sekali-kali mencoba membodohiku! Aku tidak akan tertipu dengan wajah palsunya,” erang Violet, ia bersikap aneh menganggap aku adalah orang lain yang memakai wajah palsu di mukanya.Tidak pernah terpikirkan aku akan melakukan hal seperti itu, bahkan aku sendiri tidak memiliki alat
“Bawa mereka menjauh dari sini.” Aku langsung memerintahkan beberapa anggotaku untuk membawa mereka berpisah, wajah David sudah dipenuhi oleh lebam, begitu juga sama dengan Jayakarta.Mereka, kedua orang yang sudah bekerja sama selama beberapa tahun, hancur seketika oleh sebuah kepercayaan yang terkhianati. Mereka bertengkar, bergaduh layaknya anak kecil yang memperebutkan layangan.Keluarga Jayakarta, istri dan anak-anaknya begitu ketakutan dan sedih melihat suami dan ayah bagi anak-anaknya babak belur dihajar secara brutal oleh David, yang notabene mereka kenal sebagai rekan kerja Jayakarta.“Apa yang akan kamu lakukan pada suami saya?” tanya istri Jayakarta, menangis tersedu-sedu dalam dekapanku.Kulepaskan wanita paruh baya tersebut dan menyuruhnya untuk tidak ikut campur. Nasib mereka bergantung pada sikap dan ucapan Jayakarta, jika Jayakarta mati, maka mereka juga demikian.“Jika begitu, kalian juga harus menangk
***David terus terdiam, terus menatap lurus ke arah jalanan dengan pandangan yang kosong. Sikapnya berubah tepat ketika aku sudah menjelaskan tentang ambisi tersembunyi dari Jayakarta, David mungkin masih syok mendengarnya.“Apa dia baik-baik saja?” tanya Nathan, ia kini memegang kendali kemudi dan aku duduk tepat di sebelahnya.“Sebelum dia mati, aku pikir dia baik-baik saja.”“Pasti mengejutkan baginya, orang yang bersama-sama sejak dulu malah mengkhianatinya,” jelas Nathan, aku hanya berdeham seraya terus memerhatikan jalanan di depanku.Setengah perjalanan menuju Ibukota sudah terlewati. Mobil kami melaju dengan kecepatan stabil di ruas jalan tol yang cukup lengang malam itu, kuperhatikan melalui kaca spion depan, Larissa dan anggota lain yang duduk di belakang sudah tertidur dengan pulas.Begitu juga dengan David, ia tak lagi termenung dalam pikirannya yang kalut. Matanya terpejam dan kepalanya bersa