Home / Urban / The First and Only One / Chapter 11 - Chapter 20

All Chapters of The First and Only One: Chapter 11 - Chapter 20

70 Chapters

11. Bangun di Tempat Asing

Dimas mengerjap pelan menyesuaiakan cahaya yang masuk ke matanya. Setelahnya ia mengedarkan pandangannya. Keningnya mengerut melihat kamar yang tampak asing baginya ini. Di mana ia saat ini? Bukankah ia sedang dalam perjalanan pulang, tapi mengapa ia berada di tempat asing ini?"Mama ingin kau pulang hari ini juga! Jika tidak, kau tahu akibatnya!"Dimas mendesah lelah setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh ibunya. Ia meletakkan ponselnya begitu saja di jok di samping kemudi. Selalu seperti ini, selalu dihadapkan pada tuntutan yang tidak dapat ia tolak. Kenapa ibunya tidak pernah mau mengerti? Ia hanya ingin menenangkan diri sebentar, menghilangkan penat akibat rutinitas yang dijalaninya. Namun, kenapa sulit sekali untuk mendapatkan hal itu? Kenapa ia tidak bisa tenang sebentar saja? Tidak bisakah lepas dari segala semua yang terasa mengimpitnya selama ini?Sibuk dengan pikirannya, membuat Dimas ti
Read more

12. Kebohongan

Pertanyaan yang keluar dari bibir Dimas membuat Danu menghela napas lelah karena sedari tadi berarti penjelasan yang ia jabarkan sia-sia saja. Tidak satu pun didengar oleh pemuda yang baru bangun setelah dua minggu lebih tidak sadarkan diri ini. Namun terlepas dari itu, ia merasa lega di saat yang bersamaan. Ini berarti pemuda yang ia tolong tidak ada kaitannya sama sekali dengan Andrea."Kau benar-benar tidak mendengar perkataan Danu?" tanya Galang dengan suara rendah tapi penuh penekanan. Berulang kali ia mengembuskan napas, guna menahan emosi. Ia sadar, yang mereka ajak bicara adalah orang baru sadar dari tidur panjangnya. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri, pun mengembalikan fokus. Namun apa semua yang mereka katakan terlewat begitu saja? Tidak satu pun yang disimak? Termasuk saat Danu memperkenalkan mereka tadi? Setidaknya pemuda ini pasti menyimak saat Danu menyebut nama mereka satu persatu, 'kan?Dimas yang mendengar pertanyaan itu membuatnya merasa bersalah. "
Read more

13. Percakapan di Ruang Makan

"Bagaimana, Paman?""Mau bagaimana lagi? Sepertinya pemuda itu memang harus tinggal lebih lama di sini," ujar Danu menjawab pertanyaan Andrea. Tidak ada pilihan bagi mereka bukan? Tidak mungkin juga untuk membiarkan pemuda itu luntang-lantung tanpa tujuan sementara pemuda itu tidak mengingat apa pun.Pada akhirnya mereka membawa pemuda itu ke rumah sakit untuk memeriksa dan memastikan kondisinya. Hasilnya pun tidak berbeda dengan yang dikatakan oleh Dokter Dania beberapa hari yang lalu. Pemuda itu benar-benar hilang ingatan. Beruntung kondisi fisiknya sudah membaik. Hanya butuh beberapa hari untuk memulihkan kondisinya seperti sedia kala."Kau tidak keberatan bukan? Dia tinggal di sini lebih lama lagi?" tanya Danu. Meski ia tahu Andrea gadis yang baik dan tidak akan tega menolak permintaannya, tapi ia tetap menghargai gadis ini. Tidak mungkin ia memaksa Andrea untuk terus merawat orang asing, terlebih seorang pria.
Read more

14. Perasaan Tidak Asing

"Maaf terlambat. Sudah waktunya makan siang," ujar Andrea mengejutkan Dimas yang duduk bersandar di kepala ranjang. "Oh maafkan aku mengejutkanmu! Aku hanya membawakan makan siang untukmu," tukas Andrea sambil meletakkan nampan di atas nakas di samping ranjang. "Ayo makan dulu. Kau harus minum obatmu," ucapnya lagi sambil menyendok sesuap nasi berisi lauk ke arah Dimas yang masih menatapnya dengan lekat. "Aku ... aku bisa sendiri," ujar Dimas dengan tergugu menolak saat Andrea hendak  menyuapinya. "Sudah! Jangan menolak, ayo cepat dimakan." Dimas masih menatap ragu dan diam, enggan membuka mulutnya. Tentu saja itu membuat Andrea jengkel. "Mau sembuh atau tidak?" ketus Andrea. "Ayo buka mulutmu dan makan!" lanjutnya. Mendengar nada ketus dari Andrea membuat Dimas mau tidak mau membuka mulutnya. Menerima suapan dari Andrea. Satu suap, dua suap ... Andrea terus men
Read more

15. Identitas Baru?

Tidak ingin percakapan Dimas dan Andrea semakin dalam, akhirnya Danu dan Galang memutuskan masuk. Mengejutkan Andrea dan Dimas yang masih memaku pandangan dengan dehaman. "Ekhm!" "Eh Paman?" seru Andrea kaget menoleh ke arah kedua pamannya. "Sejak kapan kalian berdiri di sana?" "Cukup lama untuk mendengar percakapan seru kalian! Apa kedatangan kami mengganggu kalian?" tanya Galang seraya memberikan tatapan penuh arti pada Dimas dan Andrea. Dengan cepat Andrea menggeleng. "Tentu saja tidak!" jawabnya mengelak. Apanya yang seru? Ia merasa tidak ada yang seru, justru yang ada sebaliknya, percakapan mereka terasa kaku. "Ini tidak seperti yang kalian pikirkan." "Memangnya apa yang kami pikirkan?" "Maafkan aku, tapi yang dikatakan Andrea benar. Tidak ada pembahasan spesial di antara kami seperti yang paman kira," ujar Dimas menimpali perkataan Andrea sekaligus menjawab pertanyaan Galang. Tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman di antara
Read more

16. Kekhawatiran

Bagaimana keadaannya?"Danu menghentikan gerakannya, ia mengalihkan pandangannya dari tanah yang ia cangkul ke arah Galang. "Dia baik-baik saja."Galag mendengkus "Bukan pemuda itu yang kumaksud, tapi ..." ia menggantung perkataannya dan itu membuat Danu menampilkan senyum sendu saat melihat tatapan ragu Galang menyebut nama nona muda mereka. "Dia pun baik. Tidak sesedih seperti tahun kemarin saat ia melewati hari ulang tahunnya sendiri."Galang menghela napasnya. Tiga tahun selalu seperti ini. Andrea, nona muda yang sebenarnya majikan mereka akan berubah murung dan sedih saat harus melewati ulang tahunnya sendirian tanpa ditemani sanak keluarga. Itulah mengapa ia menanyakan hal ini. Biasanya ia dan Danu akan menemani Andrea melewati ulang tahun gadis itu. Dirayakan dengan tiup lilin ditemani dengan seloyang kue atau nasi kuning yang mereka buat bersama. Namun sayang, tahun ini tidak bisa ia lakukan. Beberapa hari sebelumnya ia harus menemani istrinya untuk menj
Read more

17. Kehangatan di Pagi Hari

"Terima kasih.""Kau sudah mengatakan hal itu sejak pertama kau siuman. Apa kau tidak bosan mengatakannya, Kak," tanya Andrea. Ia menghampiri Dimas yang sudah duduk di meja makan. Sejak tiga minggu yang lalu, Andrea memanggil Dimas dengan sebutan kakak. Rasanya tidak etis memanggil Dimas hanya dengan nama saja. Dilihat dari mana pun Dimas tampak lebih tua darinya hingga ia menyematkan panggilan kakak saat memanggil Dimas.Andrea meletakkan sepiring nasi goreng di depan Dimas. "Makanlah!" ujarnya sebelum duduk diseberang Dimas yang masih menampilkan senyumnya. Hari-harinya terasa berbeda kini. Dulu hanya kesunyian yang ia temui saat sarapan bersama orang tuanya. Sekarang ia bisa merasakan hangatnya suasana sarapan yang diselingi obrolan ringan dengan Andrea. Terlebih jika Danu, Galang, dan Alfi serta yang lainnya bergabung, suasana akan lebih terasa hidup dan menyenangkan.Dimas tersenyum saat menerima nasi goreng yang disodor
Read more

18. Sebuah Alasan

"Ini sudah dua bulan berlalu tapi tidak ada sama sekali titik terang keberadaan Dimas. Apa kau tidak curiga ini hanya akal-akalan Revan saja? Dia mau membohongi kita. Dia membantu Dimas untuk bersembunyi dari kita," ujar Sarah. "Apa papa tidak mau mencari tahu hal ini?"Adrian meletakkan kembali majalah bisnis yang tadi sempat ia baca lalu menoleh ke arah istrinya yang sedari tadi mengomel. Mencercanya dengan hal yang tidak masuk di akal. Meski kemungkinan itu selalu ada, tetapi bukan berarti ia berpikiran yang sama. Revan tidaklah berbohong. Terlihat jelas dari sikap Revan, pun tatapan sahabat putranya itu menunjukkan keseriusan. Tidak ada kebohongan sedikit pun."Apa yang harus papa cari tahu? Tentang Revan yang kemungkinan berbohong?"Pertanyaan Adrian diangguki dengan antusias oleh Sarah. Namun berbeda dengan Adrian yang mendengkus melihat reaksi Sarah. Ia menghela napasnya dengan berat. Tidakkah Sarah sadar jika ini bukanlah kesalahan Revan? Ini salah merek
Read more

19. Mengingat Sesuatu

"Ini yang terakhir?""Ya direktur, ini yang terakhir."Revan mengembuskan napas pelan setelah membubuhkan tanda tangannya pada dokumen terakhir di depannya sebelum menyerahkannya kembali pada seorang wanita yang merupakan sekretarisnya. Ia memejamkan matanya setelah sekretarisnya itu keluar dari ruangannya. Bayangan Dimas kembali memenuhi pikirannya.Hampir dua bulan sahabatnya itu menghilang entah ke mana dan sampai sekarang keberadaan sahabatnya itu masih menjadi misteri. Ia berharap orang-orangnya mampu menemukan jejak Dimas. Setidaknya ia ingin mengetahui sahabatnya itu baik-baik saja.Ia membuka matanya dan berjalan ke arah jendela ruangannya. Ia memandang pemandangan kota Jakarta yang tersaji di hadapannya. Sesuatu yang sering ia lakukan bersama Dimas saat membicarakan sesuatu hal atau sekadar untuk menghilangkan sedikit saja keletihan karena terlalu lama berkutat dengan kertas dan dokumen.
Read more

20. Alasan Lainnya

"Sepertinya kau banyak belajar, Dimas."Dimas terkekeh pelan sebelum kembali memilih dan mencabut bawang di depannya. "Ini menyenangkan, Paman. Aku suka melakukannya."Galang terbahak. Untuk kesekian kalinya, Dimas mampu menghilangkan kekhawatirannya akan identitas Dimas. Pemuda yang sedang sibuk memanen bawang itu nyatanya bisa mengambil hatinya dengan tingkahnya yang tampak polos. Seakan Dimas terlahir lagi dan baru mengenal dunia."Kau persis seperti Andrea saat dia pertama datang ke desa ini," ujar Galang tanpa sadar.Dimas menghentikan aktivitasnya. Dahinya mengernyit saat mendengar perkataan Galang. Jadi Andrea itu pendatang? "Maksud paman, Andrea tidak berasal dari desa ini?"Galang terpaku tiba-tiba. Ia tidak sadar telah mengatakan sesuatu yang harusnya tidak ia katakan. Terlebih pada Dimas yang baru mereka kenal. Meskipun kenyataannya, Dimas tidak mengingat siapa pun tapi harusnya ia tidak ceroboh
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status