"Bagaimana, Paman?"
"Mau bagaimana lagi? Sepertinya pemuda itu memang harus tinggal lebih lama di sini," ujar Danu menjawab pertanyaan Andrea. Tidak ada pilihan bagi mereka bukan? Tidak mungkin juga untuk membiarkan pemuda itu luntang-lantung tanpa tujuan sementara pemuda itu tidak mengingat apa pun.
Pada akhirnya mereka membawa pemuda itu ke rumah sakit untuk memeriksa dan memastikan kondisinya. Hasilnya pun tidak berbeda dengan yang dikatakan oleh Dokter Dania beberapa hari yang lalu. Pemuda itu benar-benar hilang ingatan. Beruntung kondisi fisiknya sudah membaik. Hanya butuh beberapa hari untuk memulihkan kondisinya seperti sedia kala.
"Kau tidak keberatan bukan? Dia tinggal di sini lebih lama lagi?" tanya Danu. Meski ia tahu Andrea gadis yang baik dan tidak akan tega menolak permintaannya, tapi ia tetap menghargai gadis ini. Tidak mungkin ia memaksa Andrea untuk terus merawat orang asing, terlebih seorang pria.
"Maaf terlambat. Sudah waktunya makan siang," ujar Andrea mengejutkan Dimas yang duduk bersandar di kepala ranjang. "Oh maafkan aku mengejutkanmu! Aku hanya membawakan makan siang untukmu," tukas Andrea sambil meletakkan nampan di atas nakas di samping ranjang. "Ayo makan dulu. Kau harus minum obatmu," ucapnya lagi sambil menyendok sesuap nasi berisi lauk ke arah Dimas yang masih menatapnya dengan lekat. "Aku ... aku bisa sendiri," ujar Dimas dengan tergugu menolak saat Andrea hendak menyuapinya. "Sudah! Jangan menolak, ayo cepat dimakan." Dimas masih menatap ragu dan diam, enggan membuka mulutnya. Tentu saja itu membuat Andrea jengkel. "Mau sembuh atau tidak?" ketus Andrea. "Ayo buka mulutmu dan makan!" lanjutnya. Mendengar nada ketus dari Andrea membuat Dimas mau tidak mau membuka mulutnya. Menerima suapan dari Andrea. Satu suap, dua suap ... Andrea terus men
Tidak ingin percakapan Dimas dan Andrea semakin dalam, akhirnya Danu dan Galang memutuskan masuk. Mengejutkan Andrea dan Dimasyang masih memaku pandangan dengan dehaman. "Ekhm!" "Eh Paman?" seru Andrea kaget menoleh ke arah kedua pamannya. "Sejak kapan kalian berdiri di sana?" "Cukup lama untuk mendengar percakapan seru kalian! Apa kedatangan kami mengganggu kalian?" tanya Galang seraya memberikan tatapan penuh arti pada Dimas dan Andrea. Dengan cepat Andrea menggeleng. "Tentu saja tidak!" jawabnya mengelak. Apanya yang seru? Ia merasa tidak ada yang seru, justru yang ada sebaliknya, percakapan mereka terasa kaku. "Ini tidak seperti yang kalian pikirkan." "Memangnya apa yang kami pikirkan?" "Maafkan aku, tapi yang dikatakan Andrea benar. Tidak ada pembahasan spesial di antara kami seperti yang paman kira," ujar Dimas menimpali perkataan Andrea sekaligus menjawab pertanyaan Galang. Tidak ingin menimbulkan kesalahpahaman di antara
Bagaimana keadaannya?"Danu menghentikan gerakannya, ia mengalihkan pandangannya dari tanah yang ia cangkul ke arah Galang. "Dia baik-baik saja."Galag mendengkus "Bukan pemuda itu yang kumaksud, tapi ..." ia menggantung perkataannya dan itu membuat Danu menampilkan senyum sendu saat melihat tatapan ragu Galang menyebut nama nona muda mereka. "Dia pun baik. Tidak sesedih seperti tahun kemarin saat ia melewati hari ulang tahunnya sendiri."Galang menghela napasnya. Tiga tahun selalu seperti ini. Andrea, nona muda yang sebenarnya majikan mereka akan berubah murung dan sedih saat harus melewati ulang tahunnya sendirian tanpa ditemani sanak keluarga. Itulah mengapa ia menanyakan hal ini. Biasanya ia dan Danu akan menemani Andrea melewati ulang tahun gadis itu. Dirayakan dengan tiup lilin ditemani dengan seloyang kue atau nasi kuning yang mereka buat bersama. Namun sayang, tahun ini tidak bisa ia lakukan. Beberapa hari sebelumnya ia harus menemani istrinya untuk menj
"Terima kasih.""Kau sudah mengatakan hal itu sejak pertama kau siuman. Apa kau tidak bosan mengatakannya, Kak," tanya Andrea. Ia menghampiri Dimas yang sudah duduk di meja makan. Sejak tiga minggu yang lalu, Andrea memanggil Dimas dengan sebutan kakak. Rasanya tidak etis memanggil Dimas hanya dengan nama saja. Dilihat dari mana pun Dimas tampak lebih tua darinya hingga ia menyematkan panggilan kakak saat memanggil Dimas.Andrea meletakkan sepiring nasi goreng di depan Dimas. "Makanlah!" ujarnya sebelum duduk diseberang Dimas yang masih menampilkan senyumnya. Hari-harinya terasa berbeda kini. Dulu hanya kesunyian yang ia temui saat sarapan bersama orang tuanya. Sekarang ia bisa merasakan hangatnya suasana sarapan yang diselingi obrolan ringan dengan Andrea. Terlebih jika Danu, Galang, dan Alfi serta yang lainnya bergabung, suasana akan lebih terasa hidup dan menyenangkan.Dimas tersenyum saat menerima nasi goreng yang disodor
"Ini sudah dua bulan berlalu tapi tidak ada sama sekali titik terang keberadaan Dimas. Apa kau tidak curiga ini hanya akal-akalan Revan saja? Dia mau membohongi kita. Dia membantu Dimas untuk bersembunyi dari kita," ujar Sarah. "Apa papa tidak mau mencari tahu hal ini?"Adrian meletakkan kembali majalah bisnis yang tadi sempat ia baca lalu menoleh ke arah istrinya yang sedari tadi mengomel. Mencercanya dengan hal yang tidak masuk di akal. Meski kemungkinan itu selalu ada, tetapi bukan berarti ia berpikiran yang sama. Revan tidaklah berbohong. Terlihat jelas dari sikap Revan, pun tatapan sahabat putranya itu menunjukkan keseriusan. Tidak ada kebohongan sedikit pun."Apa yang harus papa cari tahu? Tentang Revan yang kemungkinan berbohong?"Pertanyaan Adrian diangguki dengan antusias oleh Sarah. Namun berbeda dengan Adrian yang mendengkus melihat reaksi Sarah. Ia menghela napasnya dengan berat. Tidakkah Sarah sadar jika ini bukanlah kesalahan Revan? Ini salah merek
"Ini yang terakhir?""Ya direktur, ini yang terakhir."Revan mengembuskan napas pelan setelah membubuhkan tanda tangannya pada dokumen terakhir di depannya sebelum menyerahkannya kembali pada seorang wanita yang merupakan sekretarisnya. Ia memejamkan matanya setelah sekretarisnya itu keluar dari ruangannya. Bayangan Dimas kembali memenuhi pikirannya.Hampir dua bulan sahabatnya itu menghilang entah ke mana dan sampai sekarang keberadaan sahabatnya itu masih menjadi misteri. Ia berharap orang-orangnya mampu menemukan jejak Dimas. Setidaknya ia ingin mengetahui sahabatnya itu baik-baik saja.Ia membuka matanya dan berjalan ke arah jendela ruangannya. Ia memandang pemandangan kota Jakarta yang tersaji di hadapannya. Sesuatu yang sering ia lakukan bersama Dimas saat membicarakan sesuatu hal atau sekadar untuk menghilangkan sedikit saja keletihan karena terlalu lama berkutat dengan kertas dan dokumen.
"Sepertinya kau banyak belajar, Dimas."Dimas terkekeh pelan sebelum kembali memilih dan mencabut bawang di depannya. "Ini menyenangkan, Paman. Aku suka melakukannya."Galang terbahak. Untuk kesekian kalinya, Dimas mampu menghilangkan kekhawatirannya akan identitas Dimas. Pemuda yang sedang sibuk memanen bawang itu nyatanya bisa mengambil hatinya dengan tingkahnya yang tampak polos. Seakan Dimas terlahir lagi dan baru mengenal dunia."Kau persis seperti Andrea saat dia pertama datang ke desa ini," ujar Galang tanpa sadar.Dimas menghentikan aktivitasnya. Dahinya mengernyit saat mendengar perkataan Galang. Jadi Andrea itu pendatang? "Maksud paman, Andrea tidak berasal dari desa ini?"Galang terpaku tiba-tiba. Ia tidak sadar telah mengatakan sesuatu yang harusnya tidak ia katakan. Terlebih pada Dimas yang baru mereka kenal. Meskipun kenyataannya, Dimas tidak mengingat siapa pun tapi harusnya ia tidak ceroboh
"Arghhh!"Dimas mengerang kecil sambil memegang kepalanya, sakit. Ia berusaha mencari pegangan tapi tidak menemukan apa pun. Ia menahan denyutan di kepalanya yang semakin menjadi dan terus melangkahkan kakinya. Sejak tadi ia memang menahan pening yang ia rasakan sejak tadi siang. Tidak ingin membuat Danu dan yang lain mengetahui jika pergi ke ladang dengan kondisi yang kurang sehat. Beruntung ia bisa sampai di rumah Andrea dengan selamat.Tangannya sudah terulur untuk membuka kunci pintu sebelum pintu itu terbuka lebih dulu dari dalam. Menampilkan Andrea dengan wajah terkejutnya mendapati Dimas yang menunjukkan raut kesakitan."Astaga Kak Dimas!"Andrea tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat keadaan Dimas yang baru pulang. Mengabaikan sampah yang hendak dibuangnya, Andrea membantu Dimas. Menuntun pria tampan itu masuk ke dalam kamarnya.Andrea sigap membantu Dimas berbaring di
"Kalian beristirahatlah! Pasti lelah setelah mengikuti rangkaian prosesi pernikahan.""Benar yang dikatakan oleh pamanmu. Kalian istirahat saja, sisanya biar kami yang mengurusnya," imbuh Ratih menimpali perkataan suaminya.Dimas dan Andrea saling berpandangan sebelum mengiyakan perkataan paman dan bibi mereka. Tidak dipungkiri, mereka lelah setelah seharian mengikuti prosesi pernikahan. Terlebih mereka juga menerima kehadiran warga desa yang datang untuk memberi selamat dan doa untuk mereka. Keduanya beranjak menuju kamar masing-masing tapi baru beberapa langkah, celetukan Ratih menghentikan niat mereka."Kalian sudah menikah, apa kalian sudah lupa?"Baik Dimas dan Andrea berbalik dan menoleh. Keduanya tersenyum malu sembari menggeleng. Tentu saja mereka tidak lupa.Ratih bersedekap sembari menatap geli ke arah pasangan pengantin baru di depannya. Senyumnya mengembang melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan oleh Dimas dan Andrea. "Lantas? Jika begitu kenapa kalian menuju ke kamar y
"Kau sudah siap?"Andrea sempat tertegun sebelum mengangguk. Danu yang bertanya hanya mampu memberikan senyumnya melihat reaksi Andrea. Sekalipun Andrea mengatakan baik-baik saja, tapi ia yakin itu hanya di bibir saja. Jauh dalam hatinya, gadis yang sudah seperti anaknya ini pasti merasa sedih. Siapa pun akan merasakannya saat harus menikah tanpa kehadiran orang-orang terkasih yang mendampingi, terlebih untuk Andrea yang seorang gadis.Danu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Andrea. Keduanya keluar dari ruang tunggu, berjalan perlahan menuju ruangan tempat pernikahan akan dilaksanakan. "Kau cantik, Andrea. Sangat! Andai tuan dan nyonya besar masih ada, mereka pasti akan bahagia melihatmu menikah," ujar Danu pelan diiringi dengan hela napas. "Dan seharusnya bukan paman yang berada di sampingmu kini, tapi tuan Keenan."Andrea menghentikan langkahnya mendengar perkataan Danu. Tidak dipungkiri ada rasa sedi
"Kau sudah mendengarnya sendiri bukan? Andrea teguh dengan keputusannya untuk menikahimu. Jadi aku harap kau tidak akan mengecewakan kami, terlebih Andrea," tutur Aruni sembari menatap lekat ke dalam mata Dimas. Awalnya ia ingin meninggalkan suaminya dan Andrea bicara berdua, tapi saat hendak pergi dari ruang keluarga, ia mendapati Dimas masih berdiri di lorong yang menghubungkan ruang makan dan ruang tamu. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niat untuk pergi. Memilih tetap tinggal dan mendengar pembicaraan suaminya dengan Andrea.Dimas yang sedari tadi memperhatikan Andrea dan Danu, mengalihkan pandangannya ke arah Aruni. Membalas tatapan wanita paruh baya di hadapannya. Ia akui ia sempat ragu akan keputusannya, tapi setelah mendengar pembicaraan antara Danu dan Andrea membuatnya lebih yakin. Jika Andrea bisa seyakin itu untuk menghadapi konsekuensi dari pilihannya di masa mendatang, ia pun bisa. Ia tidak boleh goyah lagi, terlebih keputusannya ini menyangkut hidup seseorang.
Aruni menghela napas panjang setelah Dimas pergi. Mengalihkan seluruh atensi pada suaminya dan Andrea. Danu sudah berjalan mendekati gadis yang sebenarnya adalah nona muda mereka. Gadis malang yang sudah tinggal bersama mereka di desa ini lebih dari tiga tahun lalu. Gadis malang yang terpaksa tinggal di desa ini karena keegoisan dan keserakahan beberapa orang. Netranya terus mengamati dua orang yang berdiri menghadap jendela itu.Tidak berniat untuk mendekat ataupun pergi. Memilih menjadi pendengar dengan duduk di tempat yang tadi diduduki Dimas. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan keduanya. Dibandingkan dengan dirinya dan Ratih.Danu dan Galang yang lebih dekat dengan Andrea. Mengingat Danu dan Galang-lah yang tetap bekerja pada keluarga Chandrawijaya dan mengikuti keluarga majikan mereka itu pindah ke Jepang lima belas tahun yang lalu, sedangkan ia dan Ratih memilih kembali ke desa mereka bersama anak-anak. Awalnya ia dan Ratih mengira semua baik-
"Kau yakin dengan keputusanmu ini, Andrea?"Andrea tidak urung berbalik dari depan jendela. Manik bulatnya tetap mengarah ke luar jendela, menatap pemandangan di luar rumahnya seakan pemandangan itu lebih menarik daripada yang lainnya. Pertanyaan dari Dimas pun tidak kunjung membuatnya mengalihkan perhatiannya. "Apa yang bisa kujelaskan lagi, Kak?Aku sudah menjelaskan semuanya di balai desa, tidak ada alasan lainnya lagi," jawab Andrea dengan tidak acuh berusaha mengabaikan kegusaran yang ia rasakan. Tangannya yang berada di kusen jendela terkepal erat berusaha menahan perasaannya yang berkecamuk. 'Aku takut sendiri lagi, Kak. Semua meninggalkanku sendiri. Papa, mama pergi, dan Kak Keenan? Dia meninggalkanku di desa ini sendiri. Bahkan dia tidak pernah sekalipun mengunjungiku. Aku takut sendiri lagi jika kakak pergi. Dan hatiku juga yakin jika Kak Dimas adalah pria yang tepat untukku dan menginginkan kakak selalu ada di sisiku,' batin Andrea sendu
Semua orang bebas untuk memilih. Begitupun dengan Andrea dan inilah pilihannya. Menikah dengan Dimas bukan pilihan mudah yang bisa ia putuskan dalam sekejap. Namun jika dihadapkan pada pilihan tersebut, maka ia yakin ini keputusan yang tepat. Terlepas dari ia yang tidak ingin pergi dari desa ini dan tidak tahu harus ke mana jika pergi dari desa ini, ia memutuskan ini karena hatinya memang menginginkan Dimas dan menyakini pria itu memang yang terbaik untuknya."Kau yakin dengan keputusanmu itu, Andrea?"Pertanyaan dari Pak Wira menyadarkan Andrea, ia menegakkan tubuhnya dan kembali menoleh ke arah Dimas yang masih menatapnya. Wajah pria itu masih tampak syok dan Andrea mengerti hal itu. Siapa yang tidak terkejut dengan jawaban yang ia berikan tadi? Tidak ada, bahkan dirinya sendiri pun terkejut, tapi ia tidak menyesal dengan pilihannya."Aku yakin Paman," jawabnya sekali lagi lalu kembali menghadapkan ke arah depan. Menatap para perangkat desa yang menunggu jawab
Jawaban yang diberikan Andrea tak pelak membuat semua orang yang ada di balai desa itu terkejut. Mereka kira Andrea akan menolak atau tidaknya bernegosiasi lagi dengan mereka mengenai keputusan yang telah mereka jatuhkan padanya dan Dimas. Namun tidak, Andrea tanpa ragu menjawab mau menikah dengan Dimas. Lebih terkejut lagi dengan perkataan Andrea setelahnya."Aku setuju bukan karena aku mengakui perbuatan yang dituduhkan padaku dan Kak Dimas. Aku menyetujuinya karena tidak memiliki pilihan lain. Aku tidak memiliki tempat untuk pergi, tidak memiliki tempat tinggal selain di desa ini. Aku tidak memiliki tujuan untuk pulang," ujarnya.Tidak bisa dipungkiri Dimas merasa hatinya sakit dan kecewa mendengar perkataan gadis yang duduk di sampingnya ini. Andrea mau menikah dengannya hanya karena tidak memiliki pilihan lain. Apa tidak ada sedikit saja rasa yang tumbuh di hati Andrea untuknya? Namun perasaan sedih itu langsung hilang digantikan oleh rasa iba setelah mendengar ke
Tubuh keduanya membeku di kursi yang mereka duduki mendengar perkataan Pak Wira. Menikah? Mereka harus menikah? Kata-kata itu berputar dalam kepala mereka. Bagaimana mereka bisa menikah? Mereka tidak saling mencintai, bagaimana mereka bisa menikah? Memang tidak dipungkiri ada rasa nyaman saat mereka bersama. Pun ada getaran dalam hati mereka yang mereka rasakan saat dekat satu sama lainnya. Namun apa itu cukup disebut cinta? Bahkan dalam sebuah pernikahan cinta pun tidaklah cukup, ada komitmen, kepercayaan dan kesiapan diri di dalamnya. Sementara hubungan mereka selama ini tidaklah lebih dari pertemanan semata. Tidak ada komitmen apa pun dalam hubungan mereka. Lantas bagaimana mereka bisa menikah?Dalam diam mereka menyimak perdebatan antara Pak Wira dengan Erlan. Meski telinga mereka terbuka lebar untuk mendengar perdebatan itu, tapi tidak satu pun yang bisa ditangkap oleh mereka. Pikiran mereka masih dipenuhi dengan perkataan Pak Wira sebelumnya sampai pertanyaan dari Pak I
"Bagaimana itu mungkin?""Aku tidak menerima itu!"Seruan itu datang dari Erlan dan Erni. Senyum yang tadi menghiasi bibir keduanya saat mendengar Dimas dan Andrea harus pergi dari desa ini sirna sudah. Erlan bahkan sudah berdiri dengan raut kesalnya. "Kenapa mereka harus menikah? Andrea tidaklah salah dalam hal ini. Bagaimana kalian bisa memutuskan hal yang memberatkan Andrea? Ini tidak adil. Lagi pula aku sudah memberikan bukti jika Andrea korban dari kebrengsekan pria itu."Pak Wira tersenyum sinis mendengar seruan kedua kerabatnya itu. Sekarang ia yakin dugaannya mengenai Erlan dan Erni yang menjebak Dimas dan Andrea. "Kenapa tidak mungkin?"tanyanya dengan sinis. "Ya! Kau memang memberikan kesaksianmu, tapi itu tidaklah cukup untuk memutuskan Dimas adalah tersangka sedangkan Andrea adalah korban. Bahkan Andrea sendiri menyanggah kesaksianmu itu dan menyatakan kalau Dimas yang menolongnya di saat dia sedang dalam keadaan tidak berdaya tadi malam. Jadi t