"Ini sudah dua bulan berlalu tapi tidak ada sama sekali titik terang keberadaan Dimas. Apa kau tidak curiga ini hanya akal-akalan Revan saja? Dia mau membohongi kita. Dia membantu Dimas untuk bersembunyi dari kita," ujar Sarah. "Apa papa tidak mau mencari tahu hal ini?"
Adrian meletakkan kembali majalah bisnis yang tadi sempat ia baca lalu menoleh ke arah istrinya yang sedari tadi mengomel. Mencercanya dengan hal yang tidak masuk di akal. Meski kemungkinan itu selalu ada, tetapi bukan berarti ia berpikiran yang sama. Revan tidaklah berbohong. Terlihat jelas dari sikap Revan, pun tatapan sahabat putranya itu menunjukkan keseriusan. Tidak ada kebohongan sedikit pun.
"Apa yang harus papa cari tahu? Tentang Revan yang kemungkinan berbohong?"
Pertanyaan Adrian diangguki dengan antusias oleh Sarah. Namun berbeda dengan Adrian yang mendengkus melihat reaksi Sarah. Ia menghela napasnya dengan berat. Tidakkah Sarah sadar jika ini bukanlah kesalahan Revan? Ini salah merek
"Ini yang terakhir?""Ya direktur, ini yang terakhir."Revan mengembuskan napas pelan setelah membubuhkan tanda tangannya pada dokumen terakhir di depannya sebelum menyerahkannya kembali pada seorang wanita yang merupakan sekretarisnya. Ia memejamkan matanya setelah sekretarisnya itu keluar dari ruangannya. Bayangan Dimas kembali memenuhi pikirannya.Hampir dua bulan sahabatnya itu menghilang entah ke mana dan sampai sekarang keberadaan sahabatnya itu masih menjadi misteri. Ia berharap orang-orangnya mampu menemukan jejak Dimas. Setidaknya ia ingin mengetahui sahabatnya itu baik-baik saja.Ia membuka matanya dan berjalan ke arah jendela ruangannya. Ia memandang pemandangan kota Jakarta yang tersaji di hadapannya. Sesuatu yang sering ia lakukan bersama Dimas saat membicarakan sesuatu hal atau sekadar untuk menghilangkan sedikit saja keletihan karena terlalu lama berkutat dengan kertas dan dokumen.
"Sepertinya kau banyak belajar, Dimas."Dimas terkekeh pelan sebelum kembali memilih dan mencabut bawang di depannya. "Ini menyenangkan, Paman. Aku suka melakukannya."Galang terbahak. Untuk kesekian kalinya, Dimas mampu menghilangkan kekhawatirannya akan identitas Dimas. Pemuda yang sedang sibuk memanen bawang itu nyatanya bisa mengambil hatinya dengan tingkahnya yang tampak polos. Seakan Dimas terlahir lagi dan baru mengenal dunia."Kau persis seperti Andrea saat dia pertama datang ke desa ini," ujar Galang tanpa sadar.Dimas menghentikan aktivitasnya. Dahinya mengernyit saat mendengar perkataan Galang. Jadi Andrea itu pendatang? "Maksud paman, Andrea tidak berasal dari desa ini?"Galang terpaku tiba-tiba. Ia tidak sadar telah mengatakan sesuatu yang harusnya tidak ia katakan. Terlebih pada Dimas yang baru mereka kenal. Meskipun kenyataannya, Dimas tidak mengingat siapa pun tapi harusnya ia tidak ceroboh
"Arghhh!"Dimas mengerang kecil sambil memegang kepalanya, sakit. Ia berusaha mencari pegangan tapi tidak menemukan apa pun. Ia menahan denyutan di kepalanya yang semakin menjadi dan terus melangkahkan kakinya. Sejak tadi ia memang menahan pening yang ia rasakan sejak tadi siang. Tidak ingin membuat Danu dan yang lain mengetahui jika pergi ke ladang dengan kondisi yang kurang sehat. Beruntung ia bisa sampai di rumah Andrea dengan selamat.Tangannya sudah terulur untuk membuka kunci pintu sebelum pintu itu terbuka lebih dulu dari dalam. Menampilkan Andrea dengan wajah terkejutnya mendapati Dimas yang menunjukkan raut kesakitan."Astaga Kak Dimas!"Andrea tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat melihat keadaan Dimas yang baru pulang. Mengabaikan sampah yang hendak dibuangnya, Andrea membantu Dimas. Menuntun pria tampan itu masuk ke dalam kamarnya.Andrea sigap membantu Dimas berbaring di
"Kuatkan aku untuk menghadapi ini semua, Gia."Wanita cantik yang dipanggil Gia itu menatap sendu suaminya. Ia pun bisa merasakan yang dirasakan pria tampan yang telah menikahinya selama lima tahun ini. Ia mengusap pelan lengan bahu suaminya yang berdiri menatap potret keluarga mereka dengan sendu. Masih tidak habis pikir, kebahagiaan yang terlihat dalam potret itu harus hilang hanya karena sebuah ambisi dan keserakahan saja."Aku akan selalu di sini untukmu, untuk keluarga kita."Keenan menggenggam tangan istrinya yang ada di lengannya. "Terima kasih karena sudah bertahan di sisiku. Aku tidak akan mampu bertahan jika kau tidak di sampingku. Terlebih saat Andrea tidak bersamaku.""Sudah seharusnya!" Gia kembali menatap suaminya dengan sendu. Hela napas lelah mengalun dari bibirnya saat suaminya kembali menyebut nama sang adik. Pasti mereka akan mulai berdebat saat pembicaraan mereka sudah menyangkut hal se
'Senyumnya sangat indah.''Aku jatuh cinta Van.''Dia cinta pertamaku. Kau dengar, Van. Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya. Hahaha ...''Dia sangat cantik.''Aku ingin mengenalnya lebih jauh,''Kau lihat gelang ini? Ini dia yang membuatnya sendiri, Van. Aku berhasil mendapatkan ini darinya. Kau pun harus punya satu untuk membantunya, aku akan membelikan ini untukmu juga.''Aku akan mengungkapkan isi hatiku padanya, Van."'Dia pergi. Aku belum mengatakan apa pun padanya.''Dia pergi, Van. Dia pergi.''Aku akan menyusulnya.'Brakk akkkhh'Dimas!'"Dimas!"Mata Revan masih terpejam tapi teriakannya menggema dalam kamar tidur yang di dominasi warna pu
Sudah tiga bulan berlalu sejak Dimas tersadar di tempat asing baginya ini. Selama itu pula kehidupannya berubah. Tidak lagi terkekang oleh tanggung jawabnya pada perusahaan ataupun orang tuanya. Sedikit rasa bersalah menghinggapi hatinya. Namun ia tidak menyesal karenanya. Ia yang sekarang merasa bebas, merasa lebih hidup. Ia merasa tempat asing inilah rumahnya. Rumah yang sesungguhnya. Benarkah?Jika bisa memilih, ia akan memilih hidup di sini. Hidup tanpa harus memikirkan bursa saham, proyek baru, tender dan perjodohan konyol yang dilakukan orang tuanya. Namun, bolehkah ia memilih? Bolehkah sekali saja ia egois?Dimas memejamkan matanya saat berbagai pertanyaan mulai menghampirinya. Bukan jawaban yang ia peroleh melainkan bayangan yang sering hadir di kepalanya belakangan ini yang muncul. Kembali memenuhi setiap ruang dalam pikirannya. Mengingatkannya pada sesuatu yang ia lupakan tapi masih menjadi tanda tanya untuknya dan selalu membuat
"Kau semakin sibuk saja. Apa kau tidak lelah menjalankan ini semua ini sendiri?" Melihat tidak ada respon dari pria muda yang masih sibuk dengan berkasnya, pria paruh baya itu tersenyum penuh arti sebelum kembali bicara "Atau sebenarnya kau ingin menguasainya sendiri dengan menyingkirkan adikmu sendiri?"Pria muda yang tidak lain, tidak bukan adalah Keenab itu berusaha menahan emosi dengan yang dikatakan seseorang yang begitu dihormatinya dulu ini. Berusaha fokus dengan dokumen-dokumen yang masih menumpuk di mejanya. Ia sudah biasa mendengar kata konfrontasi dari mereka yang berusaha menjatuhkannya. Kali ini pun ia akan berusaha untuk tetap tenang meski hatinya sudah terbakar dengan amarah."Oh ayolah! Jangan berpura-pura. Aku tahu kau ingin menguasai semuanya tanpa harus berbagi!" Setelah mengucapkan kata-kata tersebut priaa paruh baya itu menyeringai saat melihat Keenan yang merupakan keponakannya itu mulai terpancing dengan perkataannya.Keenan meremat bolpoi
"Eugghh!" Suara itu lenguhan itu terdengar dari bibir mungil Andrea. Kelopak matanya mengerjap pelan membiasakan cahaya yang masuk ke matanya. Saat manik bulat terbuka sempurna, seketika itu pula ia terkejut. Andrea langsung bangun saat mendapati dirinya berada di ranjang yang seharusnya di tempati Dimas. Bagaimana ia bisa tidur di ranjang ini? Apa Dimas yang memindahkannya? Jika itu benar, apa ini artinya ia tidur seranjang dengan Dimas tadi malam? Menyadari hal itu membuat Andrea langsung menunduk, memeriksa dirinya sendiri. Memastikan pakaiannya masih lengkap atau tidak. Ia bernapas lega saat mengetahui pakaiannya masih utuh. Ini berarti tidak terjadi apa-apa di antara dirinya dengan Dimas. Pun ini membuktikan jika penilaiannya tidak salah, Dimas pria yang baik. Andrea mengedarkan pandangannya, tapi tidak mendapati Dimas di mana pun. Di Sofa yang biasa ia atau Danu gunakan untuk tidur saat menjaga Dimas dulu pun tidak ada-ada tanda ditiduri oleh siapa pun.
"Kalian beristirahatlah! Pasti lelah setelah mengikuti rangkaian prosesi pernikahan.""Benar yang dikatakan oleh pamanmu. Kalian istirahat saja, sisanya biar kami yang mengurusnya," imbuh Ratih menimpali perkataan suaminya.Dimas dan Andrea saling berpandangan sebelum mengiyakan perkataan paman dan bibi mereka. Tidak dipungkiri, mereka lelah setelah seharian mengikuti prosesi pernikahan. Terlebih mereka juga menerima kehadiran warga desa yang datang untuk memberi selamat dan doa untuk mereka. Keduanya beranjak menuju kamar masing-masing tapi baru beberapa langkah, celetukan Ratih menghentikan niat mereka."Kalian sudah menikah, apa kalian sudah lupa?"Baik Dimas dan Andrea berbalik dan menoleh. Keduanya tersenyum malu sembari menggeleng. Tentu saja mereka tidak lupa.Ratih bersedekap sembari menatap geli ke arah pasangan pengantin baru di depannya. Senyumnya mengembang melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan oleh Dimas dan Andrea. "Lantas? Jika begitu kenapa kalian menuju ke kamar y
"Kau sudah siap?"Andrea sempat tertegun sebelum mengangguk. Danu yang bertanya hanya mampu memberikan senyumnya melihat reaksi Andrea. Sekalipun Andrea mengatakan baik-baik saja, tapi ia yakin itu hanya di bibir saja. Jauh dalam hatinya, gadis yang sudah seperti anaknya ini pasti merasa sedih. Siapa pun akan merasakannya saat harus menikah tanpa kehadiran orang-orang terkasih yang mendampingi, terlebih untuk Andrea yang seorang gadis.Danu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Andrea. Keduanya keluar dari ruang tunggu, berjalan perlahan menuju ruangan tempat pernikahan akan dilaksanakan. "Kau cantik, Andrea. Sangat! Andai tuan dan nyonya besar masih ada, mereka pasti akan bahagia melihatmu menikah," ujar Danu pelan diiringi dengan hela napas. "Dan seharusnya bukan paman yang berada di sampingmu kini, tapi tuan Keenan."Andrea menghentikan langkahnya mendengar perkataan Danu. Tidak dipungkiri ada rasa sedi
"Kau sudah mendengarnya sendiri bukan? Andrea teguh dengan keputusannya untuk menikahimu. Jadi aku harap kau tidak akan mengecewakan kami, terlebih Andrea," tutur Aruni sembari menatap lekat ke dalam mata Dimas. Awalnya ia ingin meninggalkan suaminya dan Andrea bicara berdua, tapi saat hendak pergi dari ruang keluarga, ia mendapati Dimas masih berdiri di lorong yang menghubungkan ruang makan dan ruang tamu. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niat untuk pergi. Memilih tetap tinggal dan mendengar pembicaraan suaminya dengan Andrea.Dimas yang sedari tadi memperhatikan Andrea dan Danu, mengalihkan pandangannya ke arah Aruni. Membalas tatapan wanita paruh baya di hadapannya. Ia akui ia sempat ragu akan keputusannya, tapi setelah mendengar pembicaraan antara Danu dan Andrea membuatnya lebih yakin. Jika Andrea bisa seyakin itu untuk menghadapi konsekuensi dari pilihannya di masa mendatang, ia pun bisa. Ia tidak boleh goyah lagi, terlebih keputusannya ini menyangkut hidup seseorang.
Aruni menghela napas panjang setelah Dimas pergi. Mengalihkan seluruh atensi pada suaminya dan Andrea. Danu sudah berjalan mendekati gadis yang sebenarnya adalah nona muda mereka. Gadis malang yang sudah tinggal bersama mereka di desa ini lebih dari tiga tahun lalu. Gadis malang yang terpaksa tinggal di desa ini karena keegoisan dan keserakahan beberapa orang. Netranya terus mengamati dua orang yang berdiri menghadap jendela itu.Tidak berniat untuk mendekat ataupun pergi. Memilih menjadi pendengar dengan duduk di tempat yang tadi diduduki Dimas. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan keduanya. Dibandingkan dengan dirinya dan Ratih.Danu dan Galang yang lebih dekat dengan Andrea. Mengingat Danu dan Galang-lah yang tetap bekerja pada keluarga Chandrawijaya dan mengikuti keluarga majikan mereka itu pindah ke Jepang lima belas tahun yang lalu, sedangkan ia dan Ratih memilih kembali ke desa mereka bersama anak-anak. Awalnya ia dan Ratih mengira semua baik-
"Kau yakin dengan keputusanmu ini, Andrea?"Andrea tidak urung berbalik dari depan jendela. Manik bulatnya tetap mengarah ke luar jendela, menatap pemandangan di luar rumahnya seakan pemandangan itu lebih menarik daripada yang lainnya. Pertanyaan dari Dimas pun tidak kunjung membuatnya mengalihkan perhatiannya. "Apa yang bisa kujelaskan lagi, Kak?Aku sudah menjelaskan semuanya di balai desa, tidak ada alasan lainnya lagi," jawab Andrea dengan tidak acuh berusaha mengabaikan kegusaran yang ia rasakan. Tangannya yang berada di kusen jendela terkepal erat berusaha menahan perasaannya yang berkecamuk. 'Aku takut sendiri lagi, Kak. Semua meninggalkanku sendiri. Papa, mama pergi, dan Kak Keenan? Dia meninggalkanku di desa ini sendiri. Bahkan dia tidak pernah sekalipun mengunjungiku. Aku takut sendiri lagi jika kakak pergi. Dan hatiku juga yakin jika Kak Dimas adalah pria yang tepat untukku dan menginginkan kakak selalu ada di sisiku,' batin Andrea sendu
Semua orang bebas untuk memilih. Begitupun dengan Andrea dan inilah pilihannya. Menikah dengan Dimas bukan pilihan mudah yang bisa ia putuskan dalam sekejap. Namun jika dihadapkan pada pilihan tersebut, maka ia yakin ini keputusan yang tepat. Terlepas dari ia yang tidak ingin pergi dari desa ini dan tidak tahu harus ke mana jika pergi dari desa ini, ia memutuskan ini karena hatinya memang menginginkan Dimas dan menyakini pria itu memang yang terbaik untuknya."Kau yakin dengan keputusanmu itu, Andrea?"Pertanyaan dari Pak Wira menyadarkan Andrea, ia menegakkan tubuhnya dan kembali menoleh ke arah Dimas yang masih menatapnya. Wajah pria itu masih tampak syok dan Andrea mengerti hal itu. Siapa yang tidak terkejut dengan jawaban yang ia berikan tadi? Tidak ada, bahkan dirinya sendiri pun terkejut, tapi ia tidak menyesal dengan pilihannya."Aku yakin Paman," jawabnya sekali lagi lalu kembali menghadapkan ke arah depan. Menatap para perangkat desa yang menunggu jawab
Jawaban yang diberikan Andrea tak pelak membuat semua orang yang ada di balai desa itu terkejut. Mereka kira Andrea akan menolak atau tidaknya bernegosiasi lagi dengan mereka mengenai keputusan yang telah mereka jatuhkan padanya dan Dimas. Namun tidak, Andrea tanpa ragu menjawab mau menikah dengan Dimas. Lebih terkejut lagi dengan perkataan Andrea setelahnya."Aku setuju bukan karena aku mengakui perbuatan yang dituduhkan padaku dan Kak Dimas. Aku menyetujuinya karena tidak memiliki pilihan lain. Aku tidak memiliki tempat untuk pergi, tidak memiliki tempat tinggal selain di desa ini. Aku tidak memiliki tujuan untuk pulang," ujarnya.Tidak bisa dipungkiri Dimas merasa hatinya sakit dan kecewa mendengar perkataan gadis yang duduk di sampingnya ini. Andrea mau menikah dengannya hanya karena tidak memiliki pilihan lain. Apa tidak ada sedikit saja rasa yang tumbuh di hati Andrea untuknya? Namun perasaan sedih itu langsung hilang digantikan oleh rasa iba setelah mendengar ke
Tubuh keduanya membeku di kursi yang mereka duduki mendengar perkataan Pak Wira. Menikah? Mereka harus menikah? Kata-kata itu berputar dalam kepala mereka. Bagaimana mereka bisa menikah? Mereka tidak saling mencintai, bagaimana mereka bisa menikah? Memang tidak dipungkiri ada rasa nyaman saat mereka bersama. Pun ada getaran dalam hati mereka yang mereka rasakan saat dekat satu sama lainnya. Namun apa itu cukup disebut cinta? Bahkan dalam sebuah pernikahan cinta pun tidaklah cukup, ada komitmen, kepercayaan dan kesiapan diri di dalamnya. Sementara hubungan mereka selama ini tidaklah lebih dari pertemanan semata. Tidak ada komitmen apa pun dalam hubungan mereka. Lantas bagaimana mereka bisa menikah?Dalam diam mereka menyimak perdebatan antara Pak Wira dengan Erlan. Meski telinga mereka terbuka lebar untuk mendengar perdebatan itu, tapi tidak satu pun yang bisa ditangkap oleh mereka. Pikiran mereka masih dipenuhi dengan perkataan Pak Wira sebelumnya sampai pertanyaan dari Pak I
"Bagaimana itu mungkin?""Aku tidak menerima itu!"Seruan itu datang dari Erlan dan Erni. Senyum yang tadi menghiasi bibir keduanya saat mendengar Dimas dan Andrea harus pergi dari desa ini sirna sudah. Erlan bahkan sudah berdiri dengan raut kesalnya. "Kenapa mereka harus menikah? Andrea tidaklah salah dalam hal ini. Bagaimana kalian bisa memutuskan hal yang memberatkan Andrea? Ini tidak adil. Lagi pula aku sudah memberikan bukti jika Andrea korban dari kebrengsekan pria itu."Pak Wira tersenyum sinis mendengar seruan kedua kerabatnya itu. Sekarang ia yakin dugaannya mengenai Erlan dan Erni yang menjebak Dimas dan Andrea. "Kenapa tidak mungkin?"tanyanya dengan sinis. "Ya! Kau memang memberikan kesaksianmu, tapi itu tidaklah cukup untuk memutuskan Dimas adalah tersangka sedangkan Andrea adalah korban. Bahkan Andrea sendiri menyanggah kesaksianmu itu dan menyatakan kalau Dimas yang menolongnya di saat dia sedang dalam keadaan tidak berdaya tadi malam. Jadi t