"Eugghh!"
Suara itu lenguhan itu terdengar dari bibir mungil Andrea. Kelopak matanya mengerjap pelan membiasakan cahaya yang masuk ke matanya. Saat manik bulat terbuka sempurna, seketika itu pula ia terkejut. Andrea langsung bangun saat mendapati dirinya berada di ranjang yang seharusnya di tempati Dimas. Bagaimana ia bisa tidur di ranjang ini? Apa Dimas yang memindahkannya? Jika itu benar, apa ini artinya ia tidur seranjang dengan Dimas tadi malam?
Menyadari hal itu membuat Andrea langsung menunduk, memeriksa dirinya sendiri. Memastikan pakaiannya masih lengkap atau tidak. Ia bernapas lega saat mengetahui pakaiannya masih utuh. Ini berarti tidak terjadi apa-apa di antara dirinya dengan Dimas. Pun ini membuktikan jika penilaiannya tidak salah, Dimas pria yang baik.
Andrea mengedarkan pandangannya, tapi tidak mendapati Dimas di mana pun. Di Sofa yang biasa ia atau Danu gunakan untuk tidur saat menjaga Dimas dulu pun tidak ada-ada tanda ditiduri oleh siapa pun.
"Kenapa?""..."Pertanyaan itu tidak mampu dijawab oleh Revan. Matanya hanya mampu terpaku menatap gadis yang tiba-tiba datang padanya ini. Terlebih bukan sapaan yang ia dengar pertama kali tetapi sebuah pertanyaan yang tidak mampu ia jawab."Apa menurutmu aku masih remaja yang belum mengerti apa pun sama seperti saat itu? Kenapa hanya diam, Tuan Revandy Atmajaya?" Melupakan sopan santunnya, gadis manis yang baru lulus kuliah di luar negeri itu membentak Revan keras meluapkan emosinya.Ia baru pulang dari luar negeri setelah menyelesaikan studinya di salah satu universitas di Jepang. Bukan sambutan yang ia dapatkan tetapi kabar buruk yang didengarnya. Sepupunya kecelakaan dan belum ditemukan hingga sekarang. Yang lebih membuatnya sakit adalah tidak satu pun dari mereka mengabari hal ini padanya, termasuk pria yang ada di hadapannya ini."Rheyna, tenanglah. Akan kujelaskan! Aku akan menceritakan semuanya padamu," ujar Revan setelah berhasil menguasa
"Apa kau merasa ada yang berbeda pada Dimas belakangan ini?""Berbeda bagaimana?" tanya Danu sembari menghentikan kegiatannya mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar tanaman bawang yang mereka tanam. Netranya yang sudah mulai menua menatap Galang dengan penuh tanya. Apa maksud perkataan sahabatnya ini?"Kau tidak memperhatikannya?"Danu menggeleng dan itu membuat Galang menghepa napasnya dalam. "Tatapan Dimas ke Andrea itu jelas berbeda. Semakin hari aku melihat, semakin aku yakin dugaanku benar.""Dugaan apa? Bukankah selama lima bulan lebih Dimas tinggal bersama dengan kita tidak ada hal mencurigakan hal terjadi? Dimas juga tidak melakukan hal yang aneh-aneh, yang merugikan kita. Justru Dimas mau berbaur dengan kita, bahkan mau membantu kita di ladang."Sekali lagi Galang menghela napasnya, lelah. Danu terlalu berpikiran lurus dan positif. "Bukan itu maksudku, tapi tatapan Dimas ke Andrea itu berbeda, seperti Dimas sudah lama mengenal Andrea
"Bukan yang itu, Kak. Jangan asal memberi pupuk," seru Andrea saat Dimas hendak mengambil pupuk urea dan kompos yang tadi dibawa oleh Yudi."Kenapa? Bukankah kemarin kita menggunakan pupuk ini juga untuk memupuk bawang?"Andrea tersnyum. "Memang benar kita menggunakan pupuk ini pada bawang, tapi ini tidak cukup jika dipakai pada tomat. Apalagi tanamannya sudah mulai berbunga dan akan berbuah sebentar lagi," ujar Andrea menjelaskan.Dimas mengerutkan dahinya. "Apa bedanya?" tanyanya tidak mengerti. Ia kira sama saja. Tinggal memberikan pupuk agar tanaman semakin subur dan berbuah dengan lebat."Tentu saja beda. Setiap fase pertumbuhan tanaman itu berbeda, jadi pemupukannya juga berbeda. Tanaman bawang yang kemarin kita pupuk itu bari memasuki fase vegetatif. Baru mulai tumbuh, jadi yang diperlukan itu pupuk untuk merangsang pertumbuhannya. Sedangkan tanaman tomat yang akan kita pupuk hari ini itu sudah memasuki fase generatifnya, jadi pupuk yang akan
"Kau!""Hah?"Andrea tidak bisa menahan rasa terkejutnya mendengar jawaban Dimas. Niatnya hanya ingin bergurau karena sedari tadi Dimas diam saja, tapi siapa yang menyangka jawaban Dimas justru membuatnya terkejut dan salah tingkah. Ia yakin pipinya sedang merona sekarang. Ia pun dapat mendengar debaran jantungnya yang menggila karena jawaban Dimas. Apa benar Dimas melamun karena sedang memikirkannya? Atau itu hanya jawaban asal Dimas karena terkejut ia menanyakan hal itu? Namun jika memang sedang memikirkannya, apa alasannya? Kenapa dirinya yang justru dipikirkan oleh Dimas bukan keluarganya yang mungkin sedang mengkhawatirkan keadaan Dimas.Dimas tersentak setelah menyadari balasan yang berikan pada Andrea. Ia terlalu sibuk mengenang tentang Andrea yang dulu hingga tidak sadar dengan apa yang ia ucapkan. Ia merutuk pada dirinya sendiri. Apa yang akan ia katakan pada Andrea? Apa ia harus jujur? Ah! Tidak-tidak! Ia tidak mungkin mengatakannya. Jika i
"Andrea tunggu!" "Ada apa, Kak? "Bisa kita bicara sebentar?" Andrea mengernyit. "Bukankah ini kita sedang bicara?" "Maksudku aku ingin bicara sesuatu. Tentang pembicaraan kita tempo hari di ladang." "Memang ada apa dengan pembicaraan kita waktu itu?" Dimas mendesah berat. Sikap tak acuh Andrea inilah yang membuatnya gundah. Ia tidak bisa menebak jalan pikiran Andrea. Selama beberapa hari ini Andrea memang tetap bersikap seperti biasa padanya. Tapi ia dapat merasakan ada sesuatu yang Andrea tahan. Dan itu menyangkut pembicaraan mereka tempo hari yang berakhir menggantung karena sebelum mereka menyelesaikannya, Danu menghampiri mereka. Mengatakan jika mereka harus cepat melakukan pemupukan sebelum hari semakin terik. Jadilah pembicaraan mereka belum tuntas dan menyisakan tanda tanya bagi keduanya. "Kau tahu pembicaraan kita waktu itu belum usai dan aku tidak ingin kau salah paham tentang hal itu. Jadi aku mohon! Mari
"Kenapa aku harus marah? Justru aku yang takut kau yang marah karena tersinggung. Sekarang aku tanya padamu. Kenapa kau menghindariku beberapa hari ini? Apa ini ada kaitannya dengan pembicaraan kita waktu itu?" Andrea memberanikan membalas tatapan Dimas yang sedang menatapnya dengan lekat. Mencoba menyelami manik hitam pria di hadapannya. Semakin ia menatapnya, semakin ia tenggelam di dalamnya. Tatapan itu begitu lembut dan sarat akan cinta. Apa tatapan yang ia lihat sekarang ditujukan untuknya? Tanpa sadar Andrea menggeleng dengan pemikirannya. Tidak mungkin Dimas mencintainya, bukan? Tidak mendapat jawaban dari Andrea membuat Dimas menghela napasnya sebelum melambaikan tangannya di depan wajah cantik di depannya. Menyadarkan Andrea dari lamunannya. "Jadi kenapa kau menghindar dariku, Andrea?" tanya Dimas sekali lagi. Andrea yang tersentak kaget langsung saja menjawab pertanyaan Dimas tanpa berpikir panjang. "Itu karena aku ... aku hanya merasa senang dan ma
"Siapa dia?" tanyanya dengan menahan kekesalan. Matanya terasa panas dan hatinya terbakar melihat pemandangan di depan sana. Di sana gadis pujaan hatinya sedang bersama pria lain, tampak bercanda dan tertawa bersama."Dia Dimas! Dia korban kecelakaan yang hilang ingatan. Si pak tua Danu dan Galang menolongnya. Sejak saat itu Andrea yang merawatnya. Bahkan pria itu tinggal di rumah Andrea.""Apa?" seru pemuda itu. Ia harus melakukan sesuatu jika tidak ingin Andrea jatuh ke pelukan pria asing itu."Kau cemburu?""Apa aku harus menjawabnya?""Tenanglah!""Bagaimana bisa aku tenang jika orang yang aku cintai lebih dekat dengan orang asing itu? Dia bahkan tidak memedulikanku yang sudah kembali ke desa, padahal aku kembali untuk bertemu dengannya lagi." Pemuda itu terus menumpahkan kekesalannya sedangkan kakaknya hanya tersenyum mendengarnya."Kak Erni! Kau harus membantuku mendapatkan Andrea. Aku tidak rela pria asing itu merebut seluruh p
! Maafkan aku! Aku tidak sengaja!""Tidak apa-apa! Aku sendìri yang tidak berhati-hati," balas Andrea tanpa menoleh. Ia sibuk menunduk dan memungut tomat yang terjatuh karena ia bertabrakan dengan seseorang. Beruntung tomat-tomat yang terjatuh tidak banyak yang rusak, meski ada beberapa yang perlu dipilah lagi sebelum dipasarkan."Ini!""Ah ya!" sahut Andrea sembari mendongak dan menerima tomat yang diulurkan oleh orang yang menabraknya tadi. "Terima kasih," ujarnya lagi. Saat ia menatap pemuda yang berdiri di hadapannya ini, keningnya mengernyit. Ia pernah melihat pemuda ini sebelumnya, tapi ia lupa namanya.Andrea berdiri, tapi tatapannya tidak lepas memandang pemuda ini. "Kau ... sepertinya tidak asing. Siapa namamu?" tanyanya."Erlan! Erlan Prasetya. Kau pasti lupa padaku, Andrea."Pemuda yang tidak lain tidak bukan adalah Erlan tersenyum menatap Andrea yang tampak terkejut setelah ia memperkenalkan diri dan menyebut nama ga
"Kalian beristirahatlah! Pasti lelah setelah mengikuti rangkaian prosesi pernikahan.""Benar yang dikatakan oleh pamanmu. Kalian istirahat saja, sisanya biar kami yang mengurusnya," imbuh Ratih menimpali perkataan suaminya.Dimas dan Andrea saling berpandangan sebelum mengiyakan perkataan paman dan bibi mereka. Tidak dipungkiri, mereka lelah setelah seharian mengikuti prosesi pernikahan. Terlebih mereka juga menerima kehadiran warga desa yang datang untuk memberi selamat dan doa untuk mereka. Keduanya beranjak menuju kamar masing-masing tapi baru beberapa langkah, celetukan Ratih menghentikan niat mereka."Kalian sudah menikah, apa kalian sudah lupa?"Baik Dimas dan Andrea berbalik dan menoleh. Keduanya tersenyum malu sembari menggeleng. Tentu saja mereka tidak lupa.Ratih bersedekap sembari menatap geli ke arah pasangan pengantin baru di depannya. Senyumnya mengembang melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan oleh Dimas dan Andrea. "Lantas? Jika begitu kenapa kalian menuju ke kamar y
"Kau sudah siap?"Andrea sempat tertegun sebelum mengangguk. Danu yang bertanya hanya mampu memberikan senyumnya melihat reaksi Andrea. Sekalipun Andrea mengatakan baik-baik saja, tapi ia yakin itu hanya di bibir saja. Jauh dalam hatinya, gadis yang sudah seperti anaknya ini pasti merasa sedih. Siapa pun akan merasakannya saat harus menikah tanpa kehadiran orang-orang terkasih yang mendampingi, terlebih untuk Andrea yang seorang gadis.Danu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Andrea. Keduanya keluar dari ruang tunggu, berjalan perlahan menuju ruangan tempat pernikahan akan dilaksanakan. "Kau cantik, Andrea. Sangat! Andai tuan dan nyonya besar masih ada, mereka pasti akan bahagia melihatmu menikah," ujar Danu pelan diiringi dengan hela napas. "Dan seharusnya bukan paman yang berada di sampingmu kini, tapi tuan Keenan."Andrea menghentikan langkahnya mendengar perkataan Danu. Tidak dipungkiri ada rasa sedi
"Kau sudah mendengarnya sendiri bukan? Andrea teguh dengan keputusannya untuk menikahimu. Jadi aku harap kau tidak akan mengecewakan kami, terlebih Andrea," tutur Aruni sembari menatap lekat ke dalam mata Dimas. Awalnya ia ingin meninggalkan suaminya dan Andrea bicara berdua, tapi saat hendak pergi dari ruang keluarga, ia mendapati Dimas masih berdiri di lorong yang menghubungkan ruang makan dan ruang tamu. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niat untuk pergi. Memilih tetap tinggal dan mendengar pembicaraan suaminya dengan Andrea.Dimas yang sedari tadi memperhatikan Andrea dan Danu, mengalihkan pandangannya ke arah Aruni. Membalas tatapan wanita paruh baya di hadapannya. Ia akui ia sempat ragu akan keputusannya, tapi setelah mendengar pembicaraan antara Danu dan Andrea membuatnya lebih yakin. Jika Andrea bisa seyakin itu untuk menghadapi konsekuensi dari pilihannya di masa mendatang, ia pun bisa. Ia tidak boleh goyah lagi, terlebih keputusannya ini menyangkut hidup seseorang.
Aruni menghela napas panjang setelah Dimas pergi. Mengalihkan seluruh atensi pada suaminya dan Andrea. Danu sudah berjalan mendekati gadis yang sebenarnya adalah nona muda mereka. Gadis malang yang sudah tinggal bersama mereka di desa ini lebih dari tiga tahun lalu. Gadis malang yang terpaksa tinggal di desa ini karena keegoisan dan keserakahan beberapa orang. Netranya terus mengamati dua orang yang berdiri menghadap jendela itu.Tidak berniat untuk mendekat ataupun pergi. Memilih menjadi pendengar dengan duduk di tempat yang tadi diduduki Dimas. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan keduanya. Dibandingkan dengan dirinya dan Ratih.Danu dan Galang yang lebih dekat dengan Andrea. Mengingat Danu dan Galang-lah yang tetap bekerja pada keluarga Chandrawijaya dan mengikuti keluarga majikan mereka itu pindah ke Jepang lima belas tahun yang lalu, sedangkan ia dan Ratih memilih kembali ke desa mereka bersama anak-anak. Awalnya ia dan Ratih mengira semua baik-
"Kau yakin dengan keputusanmu ini, Andrea?"Andrea tidak urung berbalik dari depan jendela. Manik bulatnya tetap mengarah ke luar jendela, menatap pemandangan di luar rumahnya seakan pemandangan itu lebih menarik daripada yang lainnya. Pertanyaan dari Dimas pun tidak kunjung membuatnya mengalihkan perhatiannya. "Apa yang bisa kujelaskan lagi, Kak?Aku sudah menjelaskan semuanya di balai desa, tidak ada alasan lainnya lagi," jawab Andrea dengan tidak acuh berusaha mengabaikan kegusaran yang ia rasakan. Tangannya yang berada di kusen jendela terkepal erat berusaha menahan perasaannya yang berkecamuk. 'Aku takut sendiri lagi, Kak. Semua meninggalkanku sendiri. Papa, mama pergi, dan Kak Keenan? Dia meninggalkanku di desa ini sendiri. Bahkan dia tidak pernah sekalipun mengunjungiku. Aku takut sendiri lagi jika kakak pergi. Dan hatiku juga yakin jika Kak Dimas adalah pria yang tepat untukku dan menginginkan kakak selalu ada di sisiku,' batin Andrea sendu
Semua orang bebas untuk memilih. Begitupun dengan Andrea dan inilah pilihannya. Menikah dengan Dimas bukan pilihan mudah yang bisa ia putuskan dalam sekejap. Namun jika dihadapkan pada pilihan tersebut, maka ia yakin ini keputusan yang tepat. Terlepas dari ia yang tidak ingin pergi dari desa ini dan tidak tahu harus ke mana jika pergi dari desa ini, ia memutuskan ini karena hatinya memang menginginkan Dimas dan menyakini pria itu memang yang terbaik untuknya."Kau yakin dengan keputusanmu itu, Andrea?"Pertanyaan dari Pak Wira menyadarkan Andrea, ia menegakkan tubuhnya dan kembali menoleh ke arah Dimas yang masih menatapnya. Wajah pria itu masih tampak syok dan Andrea mengerti hal itu. Siapa yang tidak terkejut dengan jawaban yang ia berikan tadi? Tidak ada, bahkan dirinya sendiri pun terkejut, tapi ia tidak menyesal dengan pilihannya."Aku yakin Paman," jawabnya sekali lagi lalu kembali menghadapkan ke arah depan. Menatap para perangkat desa yang menunggu jawab
Jawaban yang diberikan Andrea tak pelak membuat semua orang yang ada di balai desa itu terkejut. Mereka kira Andrea akan menolak atau tidaknya bernegosiasi lagi dengan mereka mengenai keputusan yang telah mereka jatuhkan padanya dan Dimas. Namun tidak, Andrea tanpa ragu menjawab mau menikah dengan Dimas. Lebih terkejut lagi dengan perkataan Andrea setelahnya."Aku setuju bukan karena aku mengakui perbuatan yang dituduhkan padaku dan Kak Dimas. Aku menyetujuinya karena tidak memiliki pilihan lain. Aku tidak memiliki tempat untuk pergi, tidak memiliki tempat tinggal selain di desa ini. Aku tidak memiliki tujuan untuk pulang," ujarnya.Tidak bisa dipungkiri Dimas merasa hatinya sakit dan kecewa mendengar perkataan gadis yang duduk di sampingnya ini. Andrea mau menikah dengannya hanya karena tidak memiliki pilihan lain. Apa tidak ada sedikit saja rasa yang tumbuh di hati Andrea untuknya? Namun perasaan sedih itu langsung hilang digantikan oleh rasa iba setelah mendengar ke
Tubuh keduanya membeku di kursi yang mereka duduki mendengar perkataan Pak Wira. Menikah? Mereka harus menikah? Kata-kata itu berputar dalam kepala mereka. Bagaimana mereka bisa menikah? Mereka tidak saling mencintai, bagaimana mereka bisa menikah? Memang tidak dipungkiri ada rasa nyaman saat mereka bersama. Pun ada getaran dalam hati mereka yang mereka rasakan saat dekat satu sama lainnya. Namun apa itu cukup disebut cinta? Bahkan dalam sebuah pernikahan cinta pun tidaklah cukup, ada komitmen, kepercayaan dan kesiapan diri di dalamnya. Sementara hubungan mereka selama ini tidaklah lebih dari pertemanan semata. Tidak ada komitmen apa pun dalam hubungan mereka. Lantas bagaimana mereka bisa menikah?Dalam diam mereka menyimak perdebatan antara Pak Wira dengan Erlan. Meski telinga mereka terbuka lebar untuk mendengar perdebatan itu, tapi tidak satu pun yang bisa ditangkap oleh mereka. Pikiran mereka masih dipenuhi dengan perkataan Pak Wira sebelumnya sampai pertanyaan dari Pak I
"Bagaimana itu mungkin?""Aku tidak menerima itu!"Seruan itu datang dari Erlan dan Erni. Senyum yang tadi menghiasi bibir keduanya saat mendengar Dimas dan Andrea harus pergi dari desa ini sirna sudah. Erlan bahkan sudah berdiri dengan raut kesalnya. "Kenapa mereka harus menikah? Andrea tidaklah salah dalam hal ini. Bagaimana kalian bisa memutuskan hal yang memberatkan Andrea? Ini tidak adil. Lagi pula aku sudah memberikan bukti jika Andrea korban dari kebrengsekan pria itu."Pak Wira tersenyum sinis mendengar seruan kedua kerabatnya itu. Sekarang ia yakin dugaannya mengenai Erlan dan Erni yang menjebak Dimas dan Andrea. "Kenapa tidak mungkin?"tanyanya dengan sinis. "Ya! Kau memang memberikan kesaksianmu, tapi itu tidaklah cukup untuk memutuskan Dimas adalah tersangka sedangkan Andrea adalah korban. Bahkan Andrea sendiri menyanggah kesaksianmu itu dan menyatakan kalau Dimas yang menolongnya di saat dia sedang dalam keadaan tidak berdaya tadi malam. Jadi t