Beranda / Romansa / Mendadak Menikah / Bab 1 - Bab 10

Semua Bab Mendadak Menikah: Bab 1 - Bab 10

17 Bab

Pertemuan Tak Terduga

"Apa? Dijodohkan? Bunda, sebentar lagi Qila 25 tahun. Apa tidak bisa menunggu sampai Qila benar-benar siap. Lagian, jaman sekarang mana ada jodoh-jodohan." "Memangnya kenapa? Kamu itu mau dijodohkan Ayah sama anak sahabatnya dulu. Anak itu juga kelihatannya baik." Bunda menerawang langit-langit kamar sambil tersenyum. "Eh ... tahu dari mana Bunda?" tanyaku dengan bibir tetap mengerucut. "Bunda pernah ketemu, waktu jenguk ayahnya di rumah sakit. Anaknya ganteng, baik, sopan dan ramah. Kamu kalau ketemu, pasti juga langsung suka.""Idih ... Bunda apa'an, sih! Main suka-suka aja. Emangnya Qila cewek yang gampang suka apa sama cowok," sungutku. Lalu, berbaring memunggui Bunda. "Makanya sampai sekarang kamu nggak punya pacar."Mendengar Bunda menyebut kata pacar, aku kembali duduk dan menatap dengan memasang mimik wajah penuh tanda tanya. "Kamu kenapa begitu?" tanya Bunda. "Pacar? Ayah sama Bunda
Baca selengkapnya

Jodoh Dengan CEO

"Bundaaa ...!" teriakku manja saat baru masuk ke dalam rumah. "Eh ... eh, bukannya salam dulu," ujar Bunda berkacak pinggang. "Assalammualaikum. Qila lagi bete, Bun. Qila punya bos baru yang nyebelin banget. Sombong, sok cool, pokoknya bikin Qila nggak mood banget, Bun." Kusentakkan bokong ke sofa dengan bibir mengerucut. "Ya, Allah. Pulang kerja, ngomel-ngomel sama Bunda? Bunda salah apa, Sayang?" Bunda ikut duduk di sampingku sambil mengelus rambutku dengan sayang. "Bukannya ngomelin Bunda, tapi ini Qila lagi curhat, Bunda sayang. Please, deh. Nggak usah baper gitu," sungutku."Haha ... anak gadis Bunda, yang sebentar lagi mau 25 tahun. Kok, gini amat manjanya?" Bunda membawaku dalam pelukannya yang hangat. "Abisnya, tadi itu bos Qila bener-bener ngeselin, Bun.""Udah, ah. Jangan cemberut lagi, nanti cantiknya hilang, loh." Bunda mengusap-usap kepalaku lembut, hal yang selalu bisa mengubah moodku kembal
Baca selengkapnya

Seperti Sebuah Mimpi

Setelah mereka semua pergi, aku kembali ke luar menemui Bunda dan Ayah. Sebab tadi usai perkenalan, aku diminta Ayah untuk masuk. "Bun, jadi itu yang mau dijodohin sama Qila?" tanyaku. "Iya. Ganteng, 'kan?" Bunda mengerlingkan sebelah matanya padaku. "Idih ... kok, Bunda yang semangat gitu!" protesku. "Haha ... akhirnya, anak gadis Bunda nanti akan menikah juga." Bunda berucap sembari menerawang ke langit-langit rumah. "Bunda meragukan Qila? Itu artinya Bunda nggak percaya Allah bakal kasih jodoh buat Qila," ucapku lagi. "Bunda dan Ayah bersyukur sama Allah sudah diperkenalkan sama anaknya Om Cakra.""Maksud Bunda?""Ya, jadi itu pasti jalan dari Allah untuk mempertemukan kalian ke jenjang pernikahan," jawab bunda enteng. "Aduh ... Bunda nggak tahu siapa dia? Dia itu bos baru yang waktu itu Qila ceritain, Bun.""Oh, ya? Wah ... bagus itu," ujar Bunda girang. "
Baca selengkapnya

Mencoba Menerima

Saat akan pulang bekerja, rasanya hari ini benar-benar membuatku ingin menangis. Setelah sebelumnya harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak kusangka sebelumnya, sekarang malah harus dihadapkan dengan ban motor yang tiba-tiba saja kempes. "Jangan-jangan ada yang ngerjain, nih," gumamku sendiri. Wajar saja kalau aku berpikiran buruk seperti ini. Ban motor yang hanya terparkir manis di parkiran, kenapa bisa kempes? Benar-benar aneh. Aku hanya berkacak pinggang memandangi motor yang tidak bisa kujalankan. Hal paling menyebalkan dalam hidupku adalah mendorong motor ke bengkel. Ditambah jam juga sudah hampir menunjukkan waktu maghrib. Kuambil ponsel dari tas dan menghubungi orang di rumah, agar mereka tidak terlalu khawatir akan kepulanganku yang terlambat kali ini. "Assalammualaikum, Bunda," ucapku saat telpon diangkat. "Waalaikumsalam. Ada apa, Qila?" tanya Bunda dari seberang telpon. "Kayaknya hari ini Qi
Baca selengkapnya

Mendekati Hari Pernikahan

Ting ...[Assalammualaikum, Qila.]Satu pesan Wa masuk dari nomor baru. Dengan profil buku-buku yang menumpuk. Siapa, ya? [Waalaikumsalam, ini siapa?] balasku dengan sopan. [Bos tampan dengan beribu pesona.]What the? Hah ... ini pasti Azka! Siapa lagi orang yang dengan pede mengatakan dirinya tampan. Tidak kubalas lagi pesan dari Azka. Bukan tidak berniat membalas, tapi tiba-tiba saja wajahku sedikit memerah karenanya dan aku benar-benar kehabisan kata-kata. Saat masih terpana dengan pesan barusan, tiba-tiba saja ponselku berdering menandakan panggilan masuk. "Ah ... kenapa malah menelpon, sih."Kumatikan panggilan darinya. Membalas pesannya saja aku gagu, apalagi bicara secara langsung. Oh ... Tuhan! Ada apa ini. Kenapa tiba-tiba jadi grogi seperti ini. [Apa aku mengganggu?] Kubaca lagi pesan yang masuk dari Azka. [Tidak. Aku sedang tidak ingin bicara.] balasku.[Baiklah. Kuharap
Baca selengkapnya

Pernikahan dan Malam Pertama

"Sudah siap, Sayang? Masyaallah, anak Bunda cantik sekali," puji Bunda saat masuk ke kamar. Aku hanya termangu menatap Bunda yang berdiri di ambang pintu, menatap dengan mata penuh takjub. Rasanya baru kemarin aku bercerita pada Bunda soal kegugupan ini, tapi ternyata hari di mana aku akan berganti status menjadi seorang istri datang juga. "Hey ... malah melamun."Kurasakan tangan Bunda menepuk pelan pundak ini. Ah ... aku tidak sedang bermimpi, kupandangi lagi wajah yang ada di balik kaca. "Bunda, i-ini waktunya?" tanyaku gugup sambil terus menatap cermin. "Iya, Sayang. Semua orang sedang menunggu.""T-tapi--""Sayang, Bunda tahu kamu pasti sangat gugup. Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja. Bismillah, ya," ucap Bunda menenangkan, ada sedikit air di sudut mata beliau."Bunda, nangis?" "Tidak. Mana mungkin Bunda nangis di hari bahagia kamu ini? Ayo, kita ke luar."Akhirnya, dengan kaki ya
Baca selengkapnya

Siap atau Tidak?

Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan."Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh. "Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda."Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--""Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa. "Bukan begitu, Bun. T-tapi--""Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun.""I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak.""Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana.""Bikin kopi? Caranya?""Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih.""Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut. "Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah.""Ayah udah sarapan, Bun?""Udah, dari tadi mal
Baca selengkapnya

Ada Apa Dengan Ayah?

"Aqila, aku hanya memintamu melayaniku untuk mengambilkan aku makanan di dapur. Aku lapar, Qila,""A-apa? Makanan?""Hahaha ... jadi, kamu berpikir apa?""A-aku pikir--""Sudah. Ayo, aku temani ke dapur." Azka berdiri, menaruh peci dan melipat sajadah.Ia ke luar lebih dulu, sedang aku masih menetralkan hati yang benar-benar merasa sangat malu. "Hah ... memalukan sekali. Ya Tuhan, aku benci pikiranku. Aach ... malu-malu-malu!" pekikku tertahan pada diri sendiri. "Hei ... apa masih lama?" Azka kembali muncul."Eh ... iya, sebentar," ucapku, cepat-cepat membuka mukena dan mengikuti Azka ke dapur. "Kamu mau makan apa?" tanyaku saat sudah di dapur. "Terserah. Adanya apa?""Nggak tahu. Di kulkas ada ayam, ikan, telur dan--""Apa saja," ujarnya memotong kalimatku. Aku terpana beberapa saat, menatap satu persatu bahan makanan yang sama sekali tidak kumengerti bisa dijadikan apa. 
Baca selengkapnya

Jangan Bundaku!

Aku masih duduk di ruang tunggu. Tidak lama, dokter ke luar dari ruangan Ayah. Aku yang spontan berdiri menemui dokter hampir saja terjatuh, kalau saja Azka tidak segera menangkap tubuhku. "Hati-hati, Qila. Tetaplah tenang," ujarnya khawatir. Aku mengangguk menatap penuh rasa terima kasih pada laki-laki yang bergelar suamiku itu. "Bagaimana, Dok? Ayah baik-baik saja, 'kan? Ayah sudah sadar, 'kan?" cecarku pada dokter.Sejenak kulihat dokter yang kutafsir usianya hampir sama dengan ayahku itu menghela napas berat. Menatapku dengan tatapan yang ... entahlah! "Ada apa, Dok? Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku lagi."Maaf, Nak. Ayahmu tidak bisa diselamatkan. Ia terkena serangan jantung.""A-apa? A-yah ... t-tidak mungkin!" pekikku tertahan. Aku langsung saja berlari masuk tanpa peduli gapaian tangan Azka yang berusaha menenangkan aku. "A-ayah! Ayah kenapa? Bangun, Yah. Apa yang akan Qila kata
Baca selengkapnya

Aku Cemburu!

Satu bulan kemudian. "Siap, Sayang?" tanya Azka. "Hu'um." Aku mengangguk. Kemudian, mengikuti langkah Azka menuju mobil. Sebelum masuk ke mobil, kupandangi lagi rumah yang selama ini menyimpan banyak kenanganku bersama ayah dan bunda. Aku tidak bisa tinggal di sini. Bayang-bayang kenangan bersama ayah dan bunda terus terngiang. Bahkan, aku bisa terduduk lunglai saat sedang mencuci piring hanya karena ingat saat-saat bersama bunda di dapur rumah ini.  Tidak terasa air mataku mengalir."Qila, masuklah."Ucapan Azka membuatku tersadar dari lamunan. "Qila pergi dulu Ayah, Bunda. Selamat tinggal," lirihku. Mobil Azka bergerak membelah jalanan yang padat dengan kendaraan. Aku tidak pindah ke luar kota, hanya saja mencari tempat yang lebih jauh dari rumahku yang dulu. Azka yang meminta untuk pindah. Ia tidak tega melihatku terus saja menangisi kepergian ayah dan bunda. 
Baca selengkapnya
Sebelumnya
12
DMCA.com Protection Status