Ting ...
[Assalammualaikum, Qila.]
Satu pesan Wa masuk dari nomor baru. Dengan profil buku-buku yang menumpuk. Siapa, ya?
[Waalaikumsalam, ini siapa?] balasku dengan sopan.
[Bos tampan dengan beribu pesona.]
What the? Hah ... ini pasti Azka! Siapa lagi orang yang dengan pede mengatakan dirinya tampan. Tidak kubalas lagi pesan dari Azka. Bukan tidak berniat membalas, tapi tiba-tiba saja wajahku sedikit memerah karenanya dan aku benar-benar kehabisan kata-kata.
Saat masih terpana dengan pesan barusan, tiba-tiba saja ponselku berdering menandakan panggilan masuk.
"Ah ... kenapa malah menelpon, sih."
Kumatikan panggilan darinya. Membalas pesannya saja aku gagu, apalagi bicara secara langsung. Oh ... Tuhan! Ada apa ini. Kenapa tiba-tiba jadi grogi seperti ini.
[Apa aku mengganggu?] Kubaca lagi pesan yang masuk dari Azka.
[Tidak. Aku sedang tidak ingin bicara.] balasku.
[Baiklah. Kuharap kamu sedang tidak malas mengetik.]
Aku tersenyum sendiri membacanya. Jadilah malam itu aku sibuk berbalas pesan Wa dengan Azka. Dia sama sekali tidak sedingin yang kukira, bahkan bagiku ia punya selera humor yang cukup tinggi. Terbukti dengan beberapa kali ia membuatku tertawa sendiri membaca pesan-pesan yang ia kirimkan.
"Tidur, ya. Semoga mimpi indah. Jangan lupa untuk memimpikan aku malam ini," ucapnya dengan pede melalui voice note.
[Kalau kamu masuk dalam mimpiku, itu pasti mimpi buruk.] balasku dengan emoticon tertawa.
[Saat kamu bermimpi buruk dan aku datang, maka mimpi itu akan berubah menjadi indah.]
[Haha ... sudahlah, aku mau tidur dulu. Tidak habis topik kalau mengobrol denganmu. Bye.]
Langsung saja kutaruh ponsel di atas nakas dan berbaring. Tidak kuhiraukan dentingan balasan dari Azka, karena aku tidak yakin tidak akan membalas pesannya lagi. Bisa-bisa tidak tidur malam ini karena chattingan dengannya.
"Semoga mimpi indah, Azka," lirihku sendiri dengan senyum mengembang.
***
"Pagi, Bunda," sapaku pada Bunda yang sedang sibuk menyiapkan sarapan.
"Wah ... tumben anak Bunda bangun pagi, padahal tahu sekarang libur kerja, 'kan." Bunda berucap sambil meletakkan piring berisi roti tawar di depanku.
"Huft ... pengennya Qila tetap berangkat kerja, Bun."
"Eh ... nggak bisa gitu, Sayang. Qila sekarang fokus saja sama pernikahan kalian nanti."
"Ya Allah, rasanya aneh sekali. Belum ada apa-apanya, sekarang Qila tiba-tiba harus menikah? Oh ... mimpikah ini?" Kutepuk-tepuk pipi dengan sengaja.
"Lebay, deh. Salah kamu sendiri, Qil. Kenapa--"
"Bunda bisa jangan panggil aku Qil? Emangnya aku dekil!" sungutku dengan bibir mengerucut.
"Haha ... waktu kecil Ayah sama Bunda juga manggil kamu begitu."
"Itu dulu, Bun. Sekarang Qila udah gede."
"Masa? Kok, Bunda ngerasa kamu masih kecil aja, ya?" ujar Bunda dengan senyum meledek.
"Ya-ya-ya, terserah Bunda sajalah."
Selesai sarapan, aku memilih duduk santai sambil menonton drama Korea. Siapa lagi pemeran prianya kalau bukan Lee Min Ho. Aku bukan penggila drama Korea, tapi beda cerita kalau bintang utama Babang Min Ho.
"Qila! Hp kamu bunyi dari tadi, masa nggak denger, sih!" teriak Bunda dari dapur.
"Siapa, Bun? Pagi-pagi udah gangguin orang nyantai aja."
Dengan sedikit menggerutu aku berjalan ke dapur dan meraih ponsel yang tergelatak di meja makan.
"Siapa?" tanya Bunda.
"Ih ... Bunda kepo, deh," jawabku berlalu meninggalkan Bunda.
"Jangan-jangan bos kamu yang galak itu, ya?"
"Astagfirullah! Sejak kapan Bunda ngikutin Qila?" Aku benar-benar kaget saat Bunda ternyata sudah berdiri di belakangku.
"Kamu nggak jawab pertanyaan Bunda tadi, jadi penasaran."
"Nih, Bunda liat siapa yang nelpon barusan?" Kuperlihatkan layar ponsel pada bunda.
"Oh ... Naya. Kirain siapa," ucap Bunda santai dan melengos pergi.
"Ckckck ... Bunda bener-bener, deh."
Kuhubungi kembali Naya, karena panggilan darinya tadi tidak sempat kuangkat. Tidak lama, sudah terdengar jawaban dari seberang telpon.
"Kamu di mana? Kok, nggak masuk kerja?" Naya langsung memberondongku dengan pertanyaan.
"Assalammualaikum!" seruku dengan sedikit penekanan.
"Eh ... iya-iya. Waalaikumsalam. Kamu di mana, Qil?" tanyanya lagi.
"QILA!" tegasku keras.
"Huahaha ... iya, maap Qilaaa."
"Aku di rumah, nggak masuk kerja hari ini."
"Loh? Kenapa? Sakit, ya?" tanya Naya.
"Enggak sakit, kok. Cuti dua minggu."
"Cuti? Eh ... mohon maaf, kamu cuti dalam rangka apa? Enak banget bisa ngambil cuti begitu, dua minggu lagi."
"Yah, begitulah calon istri bos."
"Apa?!"
"Hah? Apa? Eh ... aku ngomong apa tadi? Ya, ampun. Haha ... ng-nggak, becanda akunya."
Aduh ... ya, ampun! Ngomong apa sih barusan? Bisa mati aku kalau Naya tahu, pasti bakalan heboh ini sekantor.
"Qila, kamu nggak lagi tidur, 'kan?"
"Eh ... haha, ng-nggak lagi, Nay. Becanda doang, jangan ditanggepin serius. Sesekali becanda nggak apa-apa kali, Nay."
"Iya, sih. Tapi, kamu kok jadi gugup begitu?"
"Hah? S-siapa yang gugup? Aku? Haha ... enggaklah. Oya, udahan dulu, ya, aku mau mandi. Assalammualaikum."
Kumatikan panggilan telpon sebelum mendengar jawaban dari Naya. Hampir saja aku keceplosan, gawat urusannya kalau orang-orang di kantor tahu.
Namun, satu hal lagi yang membuat bingung. Bagaimana nanti saat pernikahanku dengan Azka? Tidak mungkin mereka tidak tahu, 'kan. Apa Azka bisa diajak bernegosiasi soal ini?
***
Tidak terasa, dua hari lagi adalah hari di mana statusku akan berganti menjadi istri. Entah kenapa, jantungku benar-benar terasa seperti berdetak lebih cepat dari biasanya. Anehnya lagi, sekarang aku lebih banyak mengurung diri di kamar. Beberapa panggilan telpon dari teman-teman kantor, tidak ada satupun yang kuangkat.
Mereka pasti bertanya-tanya perihal alasan cuti yang kuberikan. Ah ... bagaimana ini? Bukannya apa-apa, semua ini jelas sangat mendadak sekali. Mereka semua tahu aku tidak pernah dekat atau menjalin hubungan apa pun dengan laki-laki. Apalagi kalau mereka tahu, laki-laki yang akan menikahiku adalah presdir yang selama ini mereka idolakan?
Huaa ... aku membayangkan dikejar-kejar banyak wanita dengan luapan kemarahan mereka.
"Qila, Sayang. Makan dulu, yuk." Suara Bunda menyelamatkanku dari khayalan bodoh yang terajut sendiri.
"Iya, Bun. Qila ke luar."
Lekas aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke luar. Ayah sudah duduk menunggu di meja makan, beliau tersenyum melihatku yang sedikit terlihat berantakan.
"Kamu kenapa? Kurang tidur, ya?" tanya Ayah.
"Begitulah," jawabku tidak semangat.
"Qila, dua hari lagi adalah hari besar dan istimewa untuk kamu, untuk Ayah dan Bunda. Kamu bahagia, 'kan?" tanya Ayah lagi.
Aku hanya mengangguk. Entahlah, aku sendiri tidak tahu apakah diri ini bahagia atau tidak. Namun, demi melihat senyum bahagia terkembang di wajah Ayah dan Bunda, aku pasti akan bahagia.
Rasanya masih seperti mimpi. Aku yang selama ini tidak pernah memikirkan soal pernikahan, sekarang hal itu ada di depan mata. Apa boleh buat, siap atau tidak itu tidak lagi penting, karena aku tahu tidak akan ada pilihan selain dari menyetujui permintaan orang tua.
***
"Sudah siap, Sayang? Masyaallah, anak Bunda cantik sekali," puji Bunda saat masuk ke kamar.Aku hanya termangu menatap Bunda yang berdiri di ambang pintu, menatap dengan mata penuh takjub. Rasanya baru kemarin aku bercerita pada Bunda soal kegugupan ini, tapi ternyata hari di mana aku akan berganti status menjadi seorang istri datang juga."Hey ... malah melamun."Kurasakan tangan Bunda menepuk pelan pundak ini. Ah ... aku tidak sedang bermimpi, kupandangi lagi wajah yang ada di balik kaca."Bunda, i-ini waktunya?" tanyaku gugup sambil terus menatap cermin."Iya, Sayang. Semua orang sedang menunggu.""T-tapi--""Sayang, Bunda tahu kamu pasti sangat gugup. Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja. Bismillah, ya," ucap Bunda menenangkan, ada sedikit air di sudut mata beliau."Bunda, nangis?""Tidak. Mana mungkin Bunda nangis di hari bahagia kamu ini? Ayo, kita ke luar."Akhirnya, dengan kaki ya
Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan."Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh."Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda."Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--""Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa."Bukan begitu, Bun. T-tapi--""Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun.""I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak.""Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana.""Bikin kopi? Caranya?""Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih.""Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut."Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah.""Ayah udah sarapan, Bun?""Udah, dari tadi mal
"Aqila, aku hanya memintamu melayaniku untuk mengambilkan aku makanan di dapur. Aku lapar, Qila,""A-apa? Makanan?""Hahaha ... jadi, kamu berpikir apa?""A-aku pikir--""Sudah. Ayo, aku temani ke dapur." Azka berdiri, menaruh peci dan melipat sajadah.Ia ke luar lebih dulu, sedang aku masih menetralkan hati yang benar-benar merasa sangat malu."Hah ... memalukan sekali. Ya Tuhan, aku benci pikiranku. Aach ... malu-malu-malu!" pekikku tertahan pada diri sendiri."Hei ... apa masih lama?" Azka kembali muncul."Eh ... iya, sebentar," ucapku, cepat-cepat membuka mukena dan mengikuti Azka ke dapur."Kamu mau makan apa?" tanyaku saat sudah di dapur."Terserah. Adanya apa?""Nggak tahu. Di kulkas ada ayam, ikan, telur dan--""Apa saja," ujarnya memotong kalimatku.Aku terpana beberapa saat, menatap satu persatu bahan makanan yang sama sekali tidak kumengerti bisa dijadikan apa.
Aku masih duduk di ruang tunggu. Tidak lama, dokter ke luar dari ruangan Ayah. Aku yang spontan berdiri menemui dokter hampir saja terjatuh, kalau saja Azka tidak segera menangkap tubuhku."Hati-hati, Qila. Tetaplah tenang," ujarnya khawatir.Aku mengangguk menatap penuh rasa terima kasih pada laki-laki yang bergelar suamiku itu."Bagaimana, Dok? Ayah baik-baik saja, 'kan? Ayah sudah sadar, 'kan?" cecarku pada dokter.Sejenak kulihat dokter yang kutafsir usianya hampir sama dengan ayahku itu menghela napas berat. Menatapku dengan tatapan yang ... entahlah!"Ada apa, Dok? Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku lagi."Maaf, Nak. Ayahmu tidak bisa diselamatkan. Ia terkena serangan jantung.""A-apa? A-yah ... t-tidak mungkin!" pekikku tertahan.Aku langsung saja berlari masuk tanpa peduli gapaian tangan Azka yang berusaha menenangkan aku."A-ayah! Ayah kenapa? Bangun, Yah. Apa yang akan Qila kata
Satu bulan kemudian."Siap, Sayang?" tanya Azka."Hu'um."Aku mengangguk. Kemudian, mengikuti langkah Azka menuju mobil. Sebelum masuk ke mobil, kupandangi lagi rumah yang selama ini menyimpan banyak kenanganku bersama ayah dan bunda.Aku tidak bisa tinggal di sini. Bayang-bayang kenangan bersama ayah dan bunda terus terngiang. Bahkan, aku bisa terduduk lunglai saat sedang mencuci piring hanya karena ingat saat-saat bersama bunda di dapur rumah ini. Tidak terasa air mataku mengalir."Qila, masuklah."Ucapan Azka membuatku tersadar dari lamunan."Qila pergi dulu Ayah, Bunda. Selamat tinggal," lirihku.Mobil Azka bergerak membelah jalanan yang padat dengan kendaraan. Aku tidak pindah ke luar kota, hanya saja mencari tempat yang lebih jauh dari rumahku yang dulu.Azka yang meminta untuk pindah. Ia tidak tega melihatku terus saja menangisi kepergian ayah dan bunda.
[Azka, aku lapar. Lupa bawa dompet. Pinjam ke teman-teman nggak enak.]Kukirim pesan via Wa pada Azka. Entah kenapa dompet yang sangat penting untuk dibawa itu malah ketinggalan di rumah.Kenapa Azka belum juga membalas pesanku? Padahal sudah centang dua meski abu-abu. Azka memang mematikan mode baca di Wanya. Sok sibuk sekali CEO tampan itu."Makanlah."Sebuah kotak makanan kini ada di atas meja kerja. Aku kaget saat melihat Azka berdiri di samping. Tentu saja dengan semua mata dan pandangan anak-anak kantor mengarah pada kami.'Tuhan. Apa-apaan ini!'"Te-terima kasih, Az ...eh, Pak Azka," ucapku kemudian."Cepatlah makan. Jangan sampai terlambat, aku tidak ingin kamu sakit, Qila," ujarnya lagi.'Azkaaaa ...!' teriakku dalam hati.Ia berjalan santai meninggalkanku yang ditatap penuh tanda tanya oleh para karyawan kantor."Apa liat-liat?!" seruku sambil memelototi me
Aku tiba di rumah lebih dulu, setelah sebelumnya menghubungi Azka untuk meminta ijinnya. Karena Azka masih sibuk di luar."Gara-gara udah lama nggak kerja, badanku jadi capek semua," lirihku sambil merebahkan diri di kasur.Sambil memejamkan mata, aku membayangkan wajah Azka. Kenapa mereka segitunya hanya karena ingin menarik perhatian laki-laki itu.Huh ... Azka itu 'kan, suamiku. Dasar centil! Mereka itu apa tidak bisa, ya, cari laki-laki lain. Kenapa malah harus memperebutkan suami orang.Azka pasti juga nanti malah sok-sokan kalau aku bilang mereka semua tergila-gila padanya."Ngelamunin apanya, sih?"Hah ... sekarang suara Azka malah seperti jelas di telingaku."Azka, Azka. Kenapa mereka--""Kenapa apanya?"Aku terlonjak dan langsung membuka mata."Azka? Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku kaget."Sejak tadi. Suami pulang, bukannya disambut malah dilamunin. Ngel
Paginya, aku bangun dengan mata yang masih sembab. Setelahnya aku langsung mandi dan mengenakan pakaian yang bagus. Azka yang melihat itu tampak menghela napas berat. Ia mungkin berpikir aku akan kembali masuk kerja."Azka, aku boleh ikut ke kantor?" tanyaku."Jadi, kamu tidak mengindahkan apa yang kukatakan?" Azka kembali bertanya."Ijinkan aku pergi."Azka menarik napas dan mengembuskannya pelan. Ia tampak sedang mengatur perasaan yang mungkin ingin marah. Namun, aku punya suatu rencana."Baiklah. Terserah padamu."Azka menggeser kursi dan beranjak pergi. Kuikuti langkahnya menuju mobil dan ikut masuk ke dalam mobil itu. Azka tampak kaget, tapi aku hanya diam meski tahu apa yang membuatnya begitu heran.Azka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya keheningan. Bahkan, suara AC saja bisa terdengar. Musik tidak pernah dinyalakan saat ada aku di dalam mobil, kar