"Selamat pagi, Aqila. Gimana tidurnya tadi malam?" Azka tidur menyamping menghadapku, sampai embusan napasnya terasa di wajah.
"Jangan dekat-dekat, napasmu bau," ujarku pelan sambil tetap menutup mata.
"Bangun. Kamu tidak ingin jalan-jalan?" tanyanya sambil mengerucutkan bibirku dengan tangannya.
"Azka, jangan ganggu. Aku masih ngantuk," ujarku tetap dengan nada pelan.
"Baiklah. Aku akan segera mandi dan jalan-jalan di pantai sendirian. Bisa saja banyak bule di sini." Azka berucap sambil melangkah turun dari kasur.
"Biarin!" tekanku padanya.
Meskipun masih dengan mata terpejam, tapi aku sama sekali tidak tidur. Hanya sedang malas saja untuk bangkit. Aku bisa mendengar suara gemericik air di kamar mandi, juga saat Azka mengganti pakaian di kamar.
"Kamu bener nggak mau ikut aku jalan-jalan?" tanyanya lagi. Wangi parfum suamiku itu menguar di udara.
"Nggak, ah. Ngantuk," jawabku tanpa membuka mata.
"Apa? Dijodohkan? Bunda, sebentar lagi Qila 25 tahun. Apa tidak bisa menunggu sampai Qila benar-benar siap. Lagian, jaman sekarang mana ada jodoh-jodohan.""Memangnya kenapa? Kamu itu mau dijodohkan Ayah sama anak sahabatnya dulu. Anak itu juga kelihatannya baik." Bunda menerawang langit-langit kamar sambil tersenyum."Eh ... tahu dari mana Bunda?" tanyaku dengan bibir tetap mengerucut."Bunda pernah ketemu, waktu jenguk ayahnya di rumah sakit. Anaknya ganteng, baik, sopan dan ramah. Kamu kalau ketemu, pasti juga langsung suka.""Idih ... Bunda apa'an, sih! Main suka-suka aja. Emangnya Qila cewek yang gampang suka apa sama cowok," sungutku. Lalu, berbaring memunggui Bunda."Makanya sampai sekarang kamu nggak punya pacar."Mendengar Bunda menyebut kata pacar, aku kembali duduk dan menatap dengan memasang mimik wajah penuh tanda tanya."Kamu kenapa begitu?" tanya Bunda."Pacar? Ayah sama Bunda
"Bundaaa ...!" teriakku manja saat baru masuk ke dalam rumah."Eh ... eh, bukannya salam dulu," ujar Bunda berkacak pinggang."Assalammualaikum. Qila lagi bete, Bun. Qila punya bos baru yang nyebelin banget. Sombong, sok cool, pokoknya bikin Qila nggak mood banget, Bun." Kusentakkan bokong ke sofa dengan bibir mengerucut."Ya, Allah. Pulang kerja, ngomel-ngomel sama Bunda? Bunda salah apa, Sayang?" Bunda ikut duduk di sampingku sambil mengelus rambutku dengan sayang."Bukannya ngomelin Bunda, tapi ini Qila lagi curhat, Bunda sayang. Please, deh. Nggak usah baper gitu," sungutku."Haha ... anak gadis Bunda, yang sebentar lagi mau 25 tahun. Kok, gini amat manjanya?" Bunda membawaku dalam pelukannya yang hangat."Abisnya, tadi itu bos Qila bener-bener ngeselin, Bun.""Udah, ah. Jangan cemberut lagi, nanti cantiknya hilang, loh." Bunda mengusap-usap kepalaku lembut, hal yang selalu bisa mengubah moodku kembal
Setelah mereka semua pergi, aku kembali ke luar menemui Bunda dan Ayah. Sebab tadi usai perkenalan, aku diminta Ayah untuk masuk."Bun, jadi itu yang mau dijodohin sama Qila?" tanyaku."Iya. Ganteng, 'kan?" Bunda mengerlingkan sebelah matanya padaku."Idih ... kok, Bunda yang semangat gitu!" protesku."Haha ... akhirnya, anak gadis Bunda nanti akan menikah juga." Bunda berucap sembari menerawang ke langit-langit rumah."Bunda meragukan Qila? Itu artinya Bunda nggak percaya Allah bakal kasih jodoh buat Qila," ucapku lagi."Bunda dan Ayah bersyukur sama Allah sudah diperkenalkan sama anaknya Om Cakra.""Maksud Bunda?""Ya, jadi itu pasti jalan dari Allah untuk mempertemukan kalian ke jenjang pernikahan," jawab bunda enteng."Aduh ... Bunda nggak tahu siapa dia? Dia itu bos baru yang waktu itu Qila ceritain, Bun.""Oh, ya? Wah ... bagus itu," ujar Bunda girang."
Saat akan pulang bekerja, rasanya hari ini benar-benar membuatku ingin menangis. Setelah sebelumnya harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak kusangka sebelumnya, sekarang malah harus dihadapkan dengan ban motor yang tiba-tiba saja kempes."Jangan-jangan ada yang ngerjain, nih," gumamku sendiri.Wajar saja kalau aku berpikiran buruk seperti ini. Ban motor yang hanya terparkir manis di parkiran, kenapa bisa kempes? Benar-benar aneh. Aku hanya berkacak pinggang memandangi motor yang tidak bisa kujalankan.Hal paling menyebalkan dalam hidupku adalah mendorong motor ke bengkel. Ditambah jam juga sudah hampir menunjukkan waktu maghrib. Kuambil ponsel dari tas dan menghubungi orang di rumah, agar mereka tidak terlalu khawatir akan kepulanganku yang terlambat kali ini."Assalammualaikum, Bunda," ucapku saat telpon diangkat."Waalaikumsalam. Ada apa, Qila?" tanya Bunda dari seberang telpon."Kayaknya hari ini Qi
Ting ...[Assalammualaikum, Qila.]Satu pesan Wa masuk dari nomor baru. Dengan profil buku-buku yang menumpuk. Siapa, ya?[Waalaikumsalam, ini siapa?] balasku dengan sopan.[Bos tampan dengan beribu pesona.]What the? Hah ... ini pasti Azka! Siapa lagi orang yang dengan pede mengatakan dirinya tampan. Tidak kubalas lagi pesan dari Azka. Bukan tidak berniat membalas, tapi tiba-tiba saja wajahku sedikit memerah karenanya dan aku benar-benar kehabisan kata-kata.Saat masih terpana dengan pesan barusan, tiba-tiba saja ponselku berdering menandakan panggilan masuk."Ah ... kenapa malah menelpon, sih."Kumatikan panggilan darinya. Membalas pesannya saja aku gagu, apalagi bicara secara langsung. Oh ... Tuhan! Ada apa ini. Kenapa tiba-tiba jadi grogi seperti ini.[Apa aku mengganggu?] Kubaca lagi pesan yang masuk dari Azka.[Tidak. Aku sedang tidak ingin bicara.] balasku.[Baiklah. Kuharap
"Sudah siap, Sayang? Masyaallah, anak Bunda cantik sekali," puji Bunda saat masuk ke kamar.Aku hanya termangu menatap Bunda yang berdiri di ambang pintu, menatap dengan mata penuh takjub. Rasanya baru kemarin aku bercerita pada Bunda soal kegugupan ini, tapi ternyata hari di mana aku akan berganti status menjadi seorang istri datang juga."Hey ... malah melamun."Kurasakan tangan Bunda menepuk pelan pundak ini. Ah ... aku tidak sedang bermimpi, kupandangi lagi wajah yang ada di balik kaca."Bunda, i-ini waktunya?" tanyaku gugup sambil terus menatap cermin."Iya, Sayang. Semua orang sedang menunggu.""T-tapi--""Sayang, Bunda tahu kamu pasti sangat gugup. Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja. Bismillah, ya," ucap Bunda menenangkan, ada sedikit air di sudut mata beliau."Bunda, nangis?""Tidak. Mana mungkin Bunda nangis di hari bahagia kamu ini? Ayo, kita ke luar."Akhirnya, dengan kaki ya
Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan."Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh."Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda."Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--""Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa."Bukan begitu, Bun. T-tapi--""Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun.""I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak.""Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana.""Bikin kopi? Caranya?""Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih.""Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut."Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah.""Ayah udah sarapan, Bun?""Udah, dari tadi mal
"Aqila, aku hanya memintamu melayaniku untuk mengambilkan aku makanan di dapur. Aku lapar, Qila,""A-apa? Makanan?""Hahaha ... jadi, kamu berpikir apa?""A-aku pikir--""Sudah. Ayo, aku temani ke dapur." Azka berdiri, menaruh peci dan melipat sajadah.Ia ke luar lebih dulu, sedang aku masih menetralkan hati yang benar-benar merasa sangat malu."Hah ... memalukan sekali. Ya Tuhan, aku benci pikiranku. Aach ... malu-malu-malu!" pekikku tertahan pada diri sendiri."Hei ... apa masih lama?" Azka kembali muncul."Eh ... iya, sebentar," ucapku, cepat-cepat membuka mukena dan mengikuti Azka ke dapur."Kamu mau makan apa?" tanyaku saat sudah di dapur."Terserah. Adanya apa?""Nggak tahu. Di kulkas ada ayam, ikan, telur dan--""Apa saja," ujarnya memotong kalimatku.Aku terpana beberapa saat, menatap satu persatu bahan makanan yang sama sekali tidak kumengerti bisa dijadikan apa.