"Apa? Dijodohkan? Bunda, sebentar lagi Qila 25 tahun. Apa tidak bisa menunggu sampai Qila benar-benar siap. Lagian, jaman sekarang mana ada jodoh-jodohan."
"Memangnya kenapa? Kamu itu mau dijodohkan Ayah sama anak sahabatnya dulu. Anak itu juga kelihatannya baik." Bunda menerawang langit-langit kamar sambil tersenyum.
"Eh ... tahu dari mana Bunda?" tanyaku dengan bibir tetap mengerucut.
"Bunda pernah ketemu, waktu jenguk ayahnya di rumah sakit. Anaknya ganteng, baik, sopan dan ramah. Kamu kalau ketemu, pasti juga langsung suka."
"Idih ... Bunda apa'an, sih! Main suka-suka aja. Emangnya Qila cewek yang gampang suka apa sama cowok," sungutku. Lalu, berbaring memunggui Bunda.
"Makanya sampai sekarang kamu nggak punya pacar."
Mendengar Bunda menyebut kata pacar, aku kembali duduk dan menatap dengan memasang mimik wajah penuh tanda tanya.
"Kamu kenapa begitu?" tanya Bunda.
"Pacar? Ayah sama Bunda ngelarang Qila pacaran. Sekarang, malah nanyain pacar ke Qila," ujarku.
"Haha ... iya-ya. Makanya, Bunda sama Ayah cari'in jodoh buat kamu. Ta'aruf."
"Qila nggak mau! Qila mau nikah sama cowok pilihan Qila sendiri, Bun," rengekku bak anak kecil.
"Sudah ada?" tanya Bunda.
"Ya ... belum, sih. Cuma, 'kan--"
"Nah, jadi tidak usah banyak mengelak lagi. Nurut aja sama Bunda." Bunda langsung berdiri dan ke luar dari kamarku.
Kenapa bisa bunda berpikiran ingin menikahkan aku secepat ini? Ah ... yang benar saja. Jadi, ini alasan Bunda dan Ayah tidak memperbolehkan aku pacaran.
Kututup wajah dengan bantal. Pasti orang yang mau dijodohkan denganku itu usianya jauh lebih tua dariku. Mungkin karena dia terlihat dewasa, makanya Bunda suka.
***
Senin pagi, aku sudah bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Kusapa Ayah dan Bunda sekedarnya, tidak berniat untuk ikut sarapan bersama. Pasti nanti yang dibahas masalah perjodohan lagi. Aku benar-benar tidak ingin membahasnya.
"Ayah-Bunda. Qila berangkat, ya. Assalammualaikum." Kuciumi punggung tangan keduanya dengan cepat dan langsung berlari ke luar rumah.
Tidak kuhiraukan panggilan Bunda yang mengajak duduk untuk sarapan terlebih dahulu.Kupacu motor scoopy kesayangan dengan kecepatan sedang. Pikiran ini masih memikirkan soal perjodohan. Mereka masih saja menganggapku anak kecil, padahal usiaku sebentar lagi akan masuk 25 tahun.
Sesampainya di kantor, aku bersiul-siul kecil dengan riang. Kebiasaanku setiap pagi, membuat penjaga selalu tersenyum saat melihatku datang.
"Non Ceria pagi sekali datangnya," sapa Pak Rahmat.
"Hehe ... lagi semangat pagi ini, Pak," jawabku.
"Kalau begitu selamat bekerja, Non Ceria."
"Sama-sama, Pak Rahmat."
Aku berlalu masuk, Pak Rahmat selalu memanggilku dengan nama 'ceria'. Itu karena aku selalu datang dengan wajah yang ceria dan penuh semangat. Pekerjaan ini adalah segalanya bagiku, karena dulu sangat sulit sekali melamar pekerjaan di sini.
"Uhuy ... ada yang tumben datang pagi-pagi." Seseorang menyenggol lenganku.
Naya, teman di kantor. Ia sama cerianya denganku, tapi dia terlalu bucin. Setiap bertemu, selalu saja menceritakan tentang kekasihnya yang entah siapa.
"Qil, kamu tahu nggak--"
"Nggak," jawabku cepat memotong kalimatnya.
"Belum selesai tahu!" sungutnya dengan mencubit pelan tanganku.
"Hehe ... apa'an?"
"Kita bakal kedatangan bos baru di kantor."
"Loh, kenapa? Pak Cakra?" Kuputar kursi menghadap Naya.
"Pak Cakra udah sakit-sakitan, jadi dia menyerahkan sepenuhnya perusahaan ini pada anak satu-satunya."
"Oh, ya? Hmm ...."
"Penasaran sama bos yang baru."
"Penasaran kenapa? Yang ganti cuma bosnya, 'kan? Peraturan kantor tetap sama, dilarang ngobrol pas lagi kerja!" ucapku dengan penekanan.
"Yee ... dasar! Padahal tadi kamunya juga mau diajak ngobrol."
Aku hanya terkekeh geli melihat Naya yang bersungut-sungut. Tidak lama, aku berdiri lagi untuk ke kamar mandi. Hajat yang satu ini memang susah untuk ditahan.
Aku berlari ke kamar mandi kantor. Setelah selesai dan kembali duduk di kursi kerja. Naya duduk menyamping menghadapku.
"Kasihan, kamu nggak dapet acara perkenalan sama bos ganteng tadi," katanya dengan penuh semangat.
"Bosnya sudah datang? Ah ... pasti waktu aku ke kamar mandi tadi."
"Waaah ... kamu rugi nggak ketemu, orangnya ganteng. Senyumnya juga menawan. Andai aku belum punya pacar--"
"Heh ... ngayal jangan ketinggian jatohnya sakit."
"Aku bilang seandainya. Gimana, sih. Susah kalau ngomongin cowok sama kamu, Qila. Nggak pernah nyambung. Atau jangan-jangan--"
"Jangan-jangan apa?!" sentakku dengan mata melotot padanya. Naya bergidik menatapku.
"Heh! Aku ini masih normal, tahu!" Kugeser kursi lebih masuk ke bawah meja. Enak saja dia berpikir aku tidak normal.
***
Pulang bekerja, saat akan memutar balik motor ke luar parkiran kantor, secara tidak sengaja motorku menyenggol betis seseorang. Spontan ku parkirkan lagi motor dan meminta maaf.
"Maaf, aku tidak sengaja. Maaf, ya. Kamu tidak apa-apa, 'kan?" ucapku dengann kedua tangan menangkup.
"Tidak apa-apa," jawabnya datar sambil membersihkan celananya yang sedikit kotor.
"Bener? Aku nggak sengaja tadi." Aku masih merasa tidak enak, karena sudah membuat celananya kotor.
"Kalau begitu, kenapa tidak kamu bersihkan sekalian?" ucapnya menatapku.
"A-apa? M-maksudnya, aku bersihkan--"
"Cepat, bersihkan." Laki-laki itu meletakkan satu kakinya di pijakan motorku.
"T-tapi--"
"Katanya mau minta maaf."
"I-iya. T-tapi, eh ... tapi nggak gini juga kali! 'Kan, kotornya juga nggak seberapa," protesku.
"Ya, sudah. Maaf tidak bisa diterima," ucapnya.
"Eh ... eh ... sini!" Kuangkat satu kakinya dengan sengaja, hingga membuatnya jatuh terduduk. Untung aku pakai sarung tangan, jadi kulit tanganku tidak langsung menyentuh celananya.
Melihat itu, sontak saja aku tertawa. Meski merasa bersalah, tapi ekspresinya benar-benar membuatku tidak bisa menahan tawa.
"Qila!" teriak Naya, aku menoleh.
Naya berlari mendekat, wajahnya terlihat pucat saat melihat seorang laki-laki yang berdiri dengan raut wajah kesal di depanku.
"K-kamu ngapain, Qil?" bisik Naya gugup di telingaku.
"Nih, mau ngerjain aku. Ya, aku kerjain balik," jawabku santai.
"Qila! Jangan bercanda, deh. Kamu nggak tahu dia siapa," lirih Naya dengan tetap memandang takut sosok di depanku.
"Siapa?" tanyaku dengan melipat kedua tangan di dada.
"D-dia, bos kita yang baru. Anaknya Pak Cakra." Bisikan pelan dari Naya sukses membuat seluruh tubuhku lemas.
"B-bos?" Mataku melotot tak percaya.
"Hmm ...." Laki-laki itu menggumam.
"Pak, s-saya m-minta maaf. Tadi--"
"Siapa nama kamu?" tanyanya.
"Nama saya Qila, Pak." Aku menunduk lesu. Pasrah masuk daftar karyawan berkelakuan buruk.
"Qila? Hmm ... kita akan bertemu lagi nanti."
"Ha?" Aku terkejut.
"Simpan keterkejutanmu untuk nanti, Qila," bisiknya ditelingaku.
Ia berlalu meninggalkanku dan Naya yang masih terpana akan kejadian barusan. Ya, Tuhan! Apa yang sudah kulakukan.
"Sekarang apa?" bisik Naya.
"Entah, Nay. A-aku ... tidak tahu kalau--"
"Kamu, sih! Asal marahin orang nggaj jelas. Nggak tahu orangnya siapa, main seruduk aja." Naya meninggalkanku yang berdiri mematung memperhatikan langkahnya yang semakin menjauh.
'Ah ... dasar aku! Bisa-bisanya memarahi seorang bos di depan perusahaannya sendiri'
***
"Bundaaa ...!" teriakku manja saat baru masuk ke dalam rumah."Eh ... eh, bukannya salam dulu," ujar Bunda berkacak pinggang."Assalammualaikum. Qila lagi bete, Bun. Qila punya bos baru yang nyebelin banget. Sombong, sok cool, pokoknya bikin Qila nggak mood banget, Bun." Kusentakkan bokong ke sofa dengan bibir mengerucut."Ya, Allah. Pulang kerja, ngomel-ngomel sama Bunda? Bunda salah apa, Sayang?" Bunda ikut duduk di sampingku sambil mengelus rambutku dengan sayang."Bukannya ngomelin Bunda, tapi ini Qila lagi curhat, Bunda sayang. Please, deh. Nggak usah baper gitu," sungutku."Haha ... anak gadis Bunda, yang sebentar lagi mau 25 tahun. Kok, gini amat manjanya?" Bunda membawaku dalam pelukannya yang hangat."Abisnya, tadi itu bos Qila bener-bener ngeselin, Bun.""Udah, ah. Jangan cemberut lagi, nanti cantiknya hilang, loh." Bunda mengusap-usap kepalaku lembut, hal yang selalu bisa mengubah moodku kembal
Setelah mereka semua pergi, aku kembali ke luar menemui Bunda dan Ayah. Sebab tadi usai perkenalan, aku diminta Ayah untuk masuk."Bun, jadi itu yang mau dijodohin sama Qila?" tanyaku."Iya. Ganteng, 'kan?" Bunda mengerlingkan sebelah matanya padaku."Idih ... kok, Bunda yang semangat gitu!" protesku."Haha ... akhirnya, anak gadis Bunda nanti akan menikah juga." Bunda berucap sembari menerawang ke langit-langit rumah."Bunda meragukan Qila? Itu artinya Bunda nggak percaya Allah bakal kasih jodoh buat Qila," ucapku lagi."Bunda dan Ayah bersyukur sama Allah sudah diperkenalkan sama anaknya Om Cakra.""Maksud Bunda?""Ya, jadi itu pasti jalan dari Allah untuk mempertemukan kalian ke jenjang pernikahan," jawab bunda enteng."Aduh ... Bunda nggak tahu siapa dia? Dia itu bos baru yang waktu itu Qila ceritain, Bun.""Oh, ya? Wah ... bagus itu," ujar Bunda girang."
Saat akan pulang bekerja, rasanya hari ini benar-benar membuatku ingin menangis. Setelah sebelumnya harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak kusangka sebelumnya, sekarang malah harus dihadapkan dengan ban motor yang tiba-tiba saja kempes."Jangan-jangan ada yang ngerjain, nih," gumamku sendiri.Wajar saja kalau aku berpikiran buruk seperti ini. Ban motor yang hanya terparkir manis di parkiran, kenapa bisa kempes? Benar-benar aneh. Aku hanya berkacak pinggang memandangi motor yang tidak bisa kujalankan.Hal paling menyebalkan dalam hidupku adalah mendorong motor ke bengkel. Ditambah jam juga sudah hampir menunjukkan waktu maghrib. Kuambil ponsel dari tas dan menghubungi orang di rumah, agar mereka tidak terlalu khawatir akan kepulanganku yang terlambat kali ini."Assalammualaikum, Bunda," ucapku saat telpon diangkat."Waalaikumsalam. Ada apa, Qila?" tanya Bunda dari seberang telpon."Kayaknya hari ini Qi
Ting ...[Assalammualaikum, Qila.]Satu pesan Wa masuk dari nomor baru. Dengan profil buku-buku yang menumpuk. Siapa, ya?[Waalaikumsalam, ini siapa?] balasku dengan sopan.[Bos tampan dengan beribu pesona.]What the? Hah ... ini pasti Azka! Siapa lagi orang yang dengan pede mengatakan dirinya tampan. Tidak kubalas lagi pesan dari Azka. Bukan tidak berniat membalas, tapi tiba-tiba saja wajahku sedikit memerah karenanya dan aku benar-benar kehabisan kata-kata.Saat masih terpana dengan pesan barusan, tiba-tiba saja ponselku berdering menandakan panggilan masuk."Ah ... kenapa malah menelpon, sih."Kumatikan panggilan darinya. Membalas pesannya saja aku gagu, apalagi bicara secara langsung. Oh ... Tuhan! Ada apa ini. Kenapa tiba-tiba jadi grogi seperti ini.[Apa aku mengganggu?] Kubaca lagi pesan yang masuk dari Azka.[Tidak. Aku sedang tidak ingin bicara.] balasku.[Baiklah. Kuharap
"Sudah siap, Sayang? Masyaallah, anak Bunda cantik sekali," puji Bunda saat masuk ke kamar.Aku hanya termangu menatap Bunda yang berdiri di ambang pintu, menatap dengan mata penuh takjub. Rasanya baru kemarin aku bercerita pada Bunda soal kegugupan ini, tapi ternyata hari di mana aku akan berganti status menjadi seorang istri datang juga."Hey ... malah melamun."Kurasakan tangan Bunda menepuk pelan pundak ini. Ah ... aku tidak sedang bermimpi, kupandangi lagi wajah yang ada di balik kaca."Bunda, i-ini waktunya?" tanyaku gugup sambil terus menatap cermin."Iya, Sayang. Semua orang sedang menunggu.""T-tapi--""Sayang, Bunda tahu kamu pasti sangat gugup. Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja. Bismillah, ya," ucap Bunda menenangkan, ada sedikit air di sudut mata beliau."Bunda, nangis?""Tidak. Mana mungkin Bunda nangis di hari bahagia kamu ini? Ayo, kita ke luar."Akhirnya, dengan kaki ya
Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan."Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh."Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda."Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--""Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa."Bukan begitu, Bun. T-tapi--""Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun.""I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak.""Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana.""Bikin kopi? Caranya?""Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih.""Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut."Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah.""Ayah udah sarapan, Bun?""Udah, dari tadi mal
"Aqila, aku hanya memintamu melayaniku untuk mengambilkan aku makanan di dapur. Aku lapar, Qila,""A-apa? Makanan?""Hahaha ... jadi, kamu berpikir apa?""A-aku pikir--""Sudah. Ayo, aku temani ke dapur." Azka berdiri, menaruh peci dan melipat sajadah.Ia ke luar lebih dulu, sedang aku masih menetralkan hati yang benar-benar merasa sangat malu."Hah ... memalukan sekali. Ya Tuhan, aku benci pikiranku. Aach ... malu-malu-malu!" pekikku tertahan pada diri sendiri."Hei ... apa masih lama?" Azka kembali muncul."Eh ... iya, sebentar," ucapku, cepat-cepat membuka mukena dan mengikuti Azka ke dapur."Kamu mau makan apa?" tanyaku saat sudah di dapur."Terserah. Adanya apa?""Nggak tahu. Di kulkas ada ayam, ikan, telur dan--""Apa saja," ujarnya memotong kalimatku.Aku terpana beberapa saat, menatap satu persatu bahan makanan yang sama sekali tidak kumengerti bisa dijadikan apa.
Aku masih duduk di ruang tunggu. Tidak lama, dokter ke luar dari ruangan Ayah. Aku yang spontan berdiri menemui dokter hampir saja terjatuh, kalau saja Azka tidak segera menangkap tubuhku."Hati-hati, Qila. Tetaplah tenang," ujarnya khawatir.Aku mengangguk menatap penuh rasa terima kasih pada laki-laki yang bergelar suamiku itu."Bagaimana, Dok? Ayah baik-baik saja, 'kan? Ayah sudah sadar, 'kan?" cecarku pada dokter.Sejenak kulihat dokter yang kutafsir usianya hampir sama dengan ayahku itu menghela napas berat. Menatapku dengan tatapan yang ... entahlah!"Ada apa, Dok? Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku lagi."Maaf, Nak. Ayahmu tidak bisa diselamatkan. Ia terkena serangan jantung.""A-apa? A-yah ... t-tidak mungkin!" pekikku tertahan.Aku langsung saja berlari masuk tanpa peduli gapaian tangan Azka yang berusaha menenangkan aku."A-ayah! Ayah kenapa? Bangun, Yah. Apa yang akan Qila kata