Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan.
"Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh.
"Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda.
"Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--"
"Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa.
"Bukan begitu, Bun. T-tapi--"
"Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun."
"I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak."
"Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana."
"Bikin kopi? Caranya?"
"Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih."
"Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut.
"Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah."
"Ayah udah sarapan, Bun?"
"Udah, dari tadi malah."
"Lho? Sarapan buat Qila nggak dibuatin?"
"Eh ... sekarang 'kan udah jadi istri, jadi kamu harus menyiapkan sendiri sarapan dan minuman untuk kamu dan suamimu. Daaa ... Bunda ke depan dulu, ya."
Bunda berlalu meninggalkanku yang kebingungan sendiri. Ah ... apa susahnya tinggal masukin gula, kopi dan air panas. Lalu, siapkan roti tawar dengan olesan selai coklat. Well, mari kita lakukan.
Beberapa menit kemudian.
"Wah ... benar-benar istri sholeha, ya." Tiba-tiba saja Azka sudah berada di ruang makan dan duduk di kursi.
"Nah ... tepat sekali. Ini kopi dan roti tawar selai coklat untukmu," ucapku dengan tersenyum bangga.
"Baiklah. Aku coba kopi buatanmu."
Azka menyeruput pelan kopi yang kusediakan. Tiba-tiba ....
"Kamu kenapa?" tanyaku kaget saat Azka terlihat sedikir tersedak.
"T-tidak apa-apa. Masih panas sekali kopinya," jawab Azka.
"Makanya, tunggu dingin dulu."
"Qila, aku berencana mengajakmu jalan-jalan."
"Ke mana?" tanyaku heran.
"Terserah, kamu mau ke mana? London, Paris, Turki--"
"Ha? Ke luar negri? Ngapain jauh-jauh ke sana?"
"Honeymoon, Sayang."
"A-apa? H-honey ... moon?" tanyaku terbata.
"Kenapa? Memang begitu 'kan?"
"T-tapi, tidak harus ke luar negri juga."
"Lalu?"
"Terserah. Asal masih tetap di Indonesia."
"Baiklah. Akan kucari referensinya."
"Hmm ...." Aku hanya menjawabnya dengan gumaman.
Honeymoon katanya?Aku benar-benar tidak pernah berpikir sejauh itu.
***
"Bunda ...," rengekku pada bunda saat Azka sedang ke luar rumah.
"Apa, Qila?"
"Azka ngajakin aku jalan-jalan ke luar kota."
"Oh, ya? Bagus, dong."
"Kok bagus, Bun? Bunda sengaja mau jauh-jauh dari Qila?" tanyaku dengan bibir mengerucut.
"Sembarangan kamu. Kamu itu harus nurut sama suami, kalau Azka mau bawa kamu, Bunda sama Ayah bisa apa?"
"Yah, Bunda. Tapi, Qila takut."
"Udah. Kamu ini sudah dewasa. Belajarlah, Nak."
Aku kembali terdiam. Tidak lagi dapat berbicara apa-apa. Kuputar badan dan masuk ke kamar, entah mengapa aku malah merasa menjadi orang asing di sini.
Malamnya, aku berbaring di kasur dan Azka sedang di kamar mandi.
"Kenapa jilbabnya nggak dibuka?" tanya Azka sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Hmm ...."
"Kenapa? Masih belum terbiasa?" katanya lagi. Lalu, duduk di tepian ranjang sambil menatap ke arahku.
Tidak tahan ditatap seperti itu, aku memilih tidur membelakangi Azka. Hatiku sedang tidak mood saat ini.
"Qila."
"Jangan ganggu!" desisku.
"Huft." Azka menghela napas berat. "Qila, berbaliklah."
"Aku--"
"Turuti apa yang kupinta, Qila. Aku suamimu," ucap Azka. Pelan, tapi penuh penekanan.
Aku berbalik dan bangkit. Duduk bersandar di kepala ranjang, persis seperti Azka. Aku hanya menunduk, tidak berani menatapnya. Meski sekarang aku tahu, tatapan mata elang Azka mengarah padaku.
"Ada apa?" lirihku bertanya.
"Aku minta maaf."
"M-maaf?" Spontan kepalaku menoleh padanya.
"Iya. Maaf sudah membawamu masuk ke dalam sebuah pernikahan yang tidak kamu inginkan. Mungkin, memang aku yang terlalu egois."
"Hmm ... a-aku--"
"Aku tidak menyalahkan sikapmu. Memang butuh waktu untuk menyesuaikan keadaan kita sekarang. Jika kamu belum siap, aku bisa menerima. Tapi, apa salahnya mencoba dan belajar. Semua sudah terjadi, tidak lagi dapat kita ulang lagi ke masa sebelum ini."
Azka berdiri dan mengambil bantal.
"Kamu mau ke mana?" tanyaku heran.
"Tidurlah di sini. Aku tidur di kamar tengah, tidak mungkin kamu tidur mengenakan hijab panjang itu. Pasti akan membuatmu tidak nyaman."
"T-tunggu. A-aku--"
Azka berbalik menatapku
"Di sini saja. A-aku akan buka hijab."
"Tidak bisa jauh dariku, ya?" goda Azka.
"Jangan mulai, deh! Aku cuma nggak mau nanti ayah sama bunda marah sama aku, tahu!" cetusku lagi.
"Oke. Sekarang, silahkan buka hijabmu, Nona." Azka tersenyum simpul dan melipat kedua tangan di dada.
"Ngapain kamu begitu?" tanyaku dengan kedua alis bertaut.
"Kenapa? Aku hanya ingin melihat istriku tanpa hijab."
"Jangan banyak gaya, deh. Kemarin malam aku juga buka hijab, 'kan."
"Tapi, kamu pasang lagi, 'kan?"
Aku terdiam. Memang benar juga yang dikatakan Azka, saat itu aku kembali menggunakan hijab karena memang benar-benar tidak terbiasa.
"Aku buka, nih. Jangan lihat dulu, hadap belakang sana!" perintahku tegas.
"Tidak. Aku berhak atas apa yang akan kulihat."
"I-iya, tapi--"
"Cepatlah, aku sudah mengantuk. Atau, aku bantu buka?"
"Eehh ... stop! Berdiri disitu. Biar kubuka sendiri. Bismillah."
"Seperti mau perang saja," ledek Azka.
Akhirnya, kubuka hijab panjang yang menutupi rambut. Aku tertunduk beberapa saat, ada sedikit rasa malu menyelinap. Namun, aku sadar kalau memang Azka berhak atas apa yang ada padaku.
"Siap?" tanyanya.
"A-apa? Siap apanya?"
"Siap untuk tidur."
"Oh ... i-iya. Kamu tidur duluan."
"Kamu takut?"
"Enggak. T-takut kenapa?"
"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu kalau kamu belum siap."
"Hmm ...." Aku menggumam.
"Oke, baiklah. Selamat malam, Qila." Azka berbaring memunggungiku.
"Hmm ... selamat malam Azka," lirihku pelan.
***
Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan.
"Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh.
"Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda.
"Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--"
"Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa.
"Bukan begitu, Bun. T-tapi--"
"Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun."
"I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak."
"Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana."
"Bikin kopi? Caranya?"
"Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih."
"Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut.
"Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah."
"Ayah udah sarapan, Bun?"
"Udah, dari tadi malah."
"Lho? Sarapan buat Qila nggak dibuatin?"
"Eh ... sekarang 'kan udah jadi istri, jadi kamu harus menyiapkan sendiri sarapan dan minuman untuk kamu dan suamimu. Daaa ... Bunda ke depan dulu, ya."
Bunda berlalu meninggalkanku yang kebingungan sendiri. Ah ... apa susahnya tinggal masukin gula, kopi dan air panas. Lalu, siapkan roti tawar dengan olesan selai coklat. Well, mari kita lakukan.
Beberapa menit kemudian.
"Wah ... benar-benar istri sholeha, ya." Tiba-tiba saja Azka sudah berada di ruang makan dan duduk di kursi.
"Nah ... tepat sekali. Ini kopi dan roti tawar selai coklat untukmu," ucapku dengan tersenyum bangga.
"Baiklah. Aku coba kopi buatanmu."
Azka menyeruput pelan kopi yang kusediakan. Tiba-tiba ....
"Kamu kenapa?" tanyaku kaget saat Azka terlihat sedikir tersedak.
"T-tidak apa-apa. Masih panas sekali kopinya," jawab Azka.
"Makanya, tunggu dingin dulu."
"Qila, aku berencana mengajakmu jalan-jalan."
"Ke mana?" tanyaku heran.
"Terserah, kamu mau ke mana? London, Paris, Turki--"
"Ha? Ke luar negri? Ngapain jauh-jauh ke sana?"
"Honeymoon, Sayang."
"A-apa? H-honey ... moon?" tanyaku terbata.
"Kenapa? Memang begitu 'kan?"
"T-tapi, tidak harus ke luar negri juga."
"Lalu?"
"Terserah. Asal masih tetap di Indonesia."
"Baiklah. Akan kucari referensinya."
"Hmm ...." Aku hanya menjawabnya dengan gumaman.
Honeymoon katanya?Aku benar-benar tidak pernah berpikir sejauh itu.
***
"Bunda ...," rengekku pada bunda saat Azka sedang ke luar rumah.
"Apa, Qila?"
"Azka ngajakin aku jalan-jalan ke luar kota."
"Oh, ya? Bagus, dong."
"Kok bagus, Bun? Bunda sengaja mau jauh-jauh dari Qila?" tanyaku dengan bibir mengerucut.
"Sembarangan kamu. Kamu itu harus nurut sama suami, kalau Azka mau bawa kamu, Bunda sama Ayah bisa apa?"
"Yah, Bunda. Tapi, Qila takut."
"Udah. Kamu ini sudah dewasa. Belajarlah, Nak."
Aku kembali terdiam. Tidak lagi dapat berbicara apa-apa. Kuputar badan dan masuk ke kamar, entah mengapa aku malah merasa menjadi orang asing di sini.
Malamnya, aku berbaring di kasur dan Azka sedang di kamar mandi.
"Kenapa jilbabnya nggak dibuka?" tanya Azka sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Hmm ...."
"Kenapa? Masih belum terbiasa?" katanya lagi. Lalu, duduk di tepian ranjang sambil menatap ke arahku.
Tidak tahan ditatap seperti itu, aku memilih tidur membelakangi Azka. Hatiku sedang tidak mood saat ini.
"Qila."
"Jangan ganggu!" desisku.
"Huft." Azka menghela napas berat. "Qila, berbaliklah."
"Aku--"
"Turuti apa yang kupinta, Qila. Aku suamimu," ucap Azka. Pelan, tapi penuh penekanan.
Aku berbalik dan bangkit. Duduk bersandar di kepala ranjang, persis seperti Azka. Aku hanya menunduk, tidak berani menatapnya. Meski sekarang aku tahu, tatapan mata elang Azka mengarah padaku.
"Ada apa?" lirihku bertanya.
"Aku minta maaf."
"M-maaf?" Spontan kepalaku menoleh padanya.
"Iya. Maaf sudah membawamu masuk ke dalam sebuah pernikahan yang tidak kamu inginkan. Mungkin, memang aku yang terlalu egois."
"Hmm ... a-aku--"
"Aku tidak menyalahkan sikapmu. Memang butuh waktu untuk menyesuaikan keadaan kita sekarang. Jika kamu belum siap, aku bisa menerima. Tapi, apa salahnya mencoba dan belajar. Semua sudah terjadi, tidak lagi dapat kita ulang lagi ke masa sebelum ini."
Azka berdiri dan mengambil bantal.
"Kamu mau ke mana?" tanyaku heran.
"Tidurlah di sini. Aku tidur di kamar tengah, tidak mungkin kamu tidur mengenakan hijab panjang itu. Pasti akan membuatmu tidak nyaman."
"T-tunggu. A-aku--"
Azka berbalik menatapku
"Di sini saja. A-aku akan buka hijab."
"Tidak bisa jauh dariku, ya?" goda Azka.
"Jangan mulai, deh! Aku cuma nggak mau nanti ayah sama bunda marah sama aku, tahu!" cetusku lagi.
"Oke. Sekarang, silahkan buka hijabmu, Nona." Azka tersenyum simpul dan melipat kedua tangan di dada.
"Ngapain kamu begitu?" tanyaku dengan kedua alis bertaut.
"Kenapa? Aku hanya ingin melihat istriku tanpa hijab."
"Jangan banyak gaya, deh. Kemarin malam aku juga buka hijab, 'kan."
"Tapi, kamu pasang lagi, 'kan?"
Aku terdiam. Memang benar juga yang dikatakan Azka, saat itu aku kembali menggunakan hijab karena memang benar-benar tidak terbiasa.
"Aku buka, nih. Jangan lihat dulu, hadap belakang sana!" perintahku tegas.
"Tidak. Aku berhak atas apa yang akan kulihat."
"I-iya, tapi--"
"Cepatlah, aku sudah mengantuk. Atau, aku bantu buka?"
"Eehh ... stop! Berdiri disitu. Biar kubuka sendiri. Bismillah."
"Seperti mau perang saja," ledek Azka.
Akhirnya, kubuka hijab panjang yang menutupi rambut. Aku tertunduk beberapa saat, ada sedikit rasa malu menyelinap. Namun, aku sadar kalau memang Azka berhak atas apa yang ada padaku.
"Siap?" tanyanya.
"A-apa? Siap apanya?"
"Siap untuk tidur."
"Oh ... i-iya. Kamu tidur duluan."
"Kamu takut?"
"Enggak. T-takut kenapa?"
"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu kalau kamu belum siap."
"Hmm ...." Aku menggumam.
"Oke, baiklah. Selamat malam, Qila." Azka berbaring memunggungiku.
"Hmm ... selamat malam Azka," lirihku pelan.
***
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, melirik ke jam dinding. Masih jam tiga pagi, Azka mana? Tak kutemui lelaki itu di kasur.
"Apa di kamar mandi, ya?" gumamku bertanya-tanya sendiri.
Benar saja, tidak berapa lama Azka ke luar dari kamar mandi dengan wajah yang basah.
"Kamu bangun?" tanyanya mendapati aku yang tanpa sadar terus menatapnya.
"Eh ... i-iya," jawabku gugup.
"Ayo, sholat bareng," ajaknya.
"A-apa?"
"Tahajud bareng."
"Ha?"
"Ha-ha-ha ... sampai kapan planga-plongo begitu? Cuci muka sana, ambil wudhu. Aku tungguin."
"Hehe ... sorry. Bentar, ya."
"Buka dulu jilbabnya."
"Oh, iya. Lupa." Aku hanya terkekeh sendiri mendapati diri ketahuan kembali menggunakan jilbab lagi saat Azka tertidur.
Akhirnya, malam itu aku melaksanan sholat tahajud pertamaku. Pertama bersama imamku maksudnya, haha. Nggak lucu!
Tanganku bergetar saat Azka mengulurkan tangannya untuk kuciumi seusai sholat dan berdoa.
"Kamu cantik," ucapnya tiba-tiba.
"Hmm ..." Aku menggumam dan menunduk malu.
"Sini, lihat." Tiba-tiba Azka mengangkat daguku dengan jari-jarinya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Kamu mau melayani aku?" tanyanya dengan tatapan mata serius.
"A-apa? S-sekarang?"
"Tentu saja. Lalu, kapan lagi. Aku inginnya sekarang," jawabnya pasti.
"T-tapi, sebentar lagi shubuh. Apa tidak--"
"Bagaimana bisa aku menunggu besok. Bisa-bisa aku mati."
"Apa? Apa itu sesuatu yang sangat penting bagimu, sampai-sampai akan mati kalau tidak mendapatkannya?"
"Tentu saja penting, Aqila. Dasar polos," ucapnya sambil mengacak-acak kepalaku yang ditutupi mukenah.
"Tapi, aku belum siap," ujarku lirih dan kembali menunduk.
"Hei ... apa untuk hal semacam ini kamu juga butuh kesiapan? Ya Tuhan!" Azka menepuk jidatnya sendiri.
"Apa maksudmu? Ya, jelaslah! Memangnya kamu pikir semua itu gampang. Dasar!" omelku.
"Aqila, aku hanya memintamu melayaniku untuk mengambilkan aku makanan di dapur. Aku lapar, Qila,""A-apa? Makanan?""Hahaha ... jadi, kamu berpikir apa?""A-aku pikir--""Sudah. Ayo, aku temani ke dapur." Azka berdiri, menaruh peci dan melipat sajadah.Ia ke luar lebih dulu, sedang aku masih menetralkan hati yang benar-benar merasa sangat malu."Hah ... memalukan sekali. Ya Tuhan, aku benci pikiranku. Aach ... malu-malu-malu!" pekikku tertahan pada diri sendiri."Hei ... apa masih lama?" Azka kembali muncul."Eh ... iya, sebentar," ucapku, cepat-cepat membuka mukena dan mengikuti Azka ke dapur."Kamu mau makan apa?" tanyaku saat sudah di dapur."Terserah. Adanya apa?""Nggak tahu. Di kulkas ada ayam, ikan, telur dan--""Apa saja," ujarnya memotong kalimatku.Aku terpana beberapa saat, menatap satu persatu bahan makanan yang sama sekali tidak kumengerti bisa dijadikan apa.
Aku masih duduk di ruang tunggu. Tidak lama, dokter ke luar dari ruangan Ayah. Aku yang spontan berdiri menemui dokter hampir saja terjatuh, kalau saja Azka tidak segera menangkap tubuhku."Hati-hati, Qila. Tetaplah tenang," ujarnya khawatir.Aku mengangguk menatap penuh rasa terima kasih pada laki-laki yang bergelar suamiku itu."Bagaimana, Dok? Ayah baik-baik saja, 'kan? Ayah sudah sadar, 'kan?" cecarku pada dokter.Sejenak kulihat dokter yang kutafsir usianya hampir sama dengan ayahku itu menghela napas berat. Menatapku dengan tatapan yang ... entahlah!"Ada apa, Dok? Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku lagi."Maaf, Nak. Ayahmu tidak bisa diselamatkan. Ia terkena serangan jantung.""A-apa? A-yah ... t-tidak mungkin!" pekikku tertahan.Aku langsung saja berlari masuk tanpa peduli gapaian tangan Azka yang berusaha menenangkan aku."A-ayah! Ayah kenapa? Bangun, Yah. Apa yang akan Qila kata
Satu bulan kemudian."Siap, Sayang?" tanya Azka."Hu'um."Aku mengangguk. Kemudian, mengikuti langkah Azka menuju mobil. Sebelum masuk ke mobil, kupandangi lagi rumah yang selama ini menyimpan banyak kenanganku bersama ayah dan bunda.Aku tidak bisa tinggal di sini. Bayang-bayang kenangan bersama ayah dan bunda terus terngiang. Bahkan, aku bisa terduduk lunglai saat sedang mencuci piring hanya karena ingat saat-saat bersama bunda di dapur rumah ini. Tidak terasa air mataku mengalir."Qila, masuklah."Ucapan Azka membuatku tersadar dari lamunan."Qila pergi dulu Ayah, Bunda. Selamat tinggal," lirihku.Mobil Azka bergerak membelah jalanan yang padat dengan kendaraan. Aku tidak pindah ke luar kota, hanya saja mencari tempat yang lebih jauh dari rumahku yang dulu.Azka yang meminta untuk pindah. Ia tidak tega melihatku terus saja menangisi kepergian ayah dan bunda.
[Azka, aku lapar. Lupa bawa dompet. Pinjam ke teman-teman nggak enak.]Kukirim pesan via Wa pada Azka. Entah kenapa dompet yang sangat penting untuk dibawa itu malah ketinggalan di rumah.Kenapa Azka belum juga membalas pesanku? Padahal sudah centang dua meski abu-abu. Azka memang mematikan mode baca di Wanya. Sok sibuk sekali CEO tampan itu."Makanlah."Sebuah kotak makanan kini ada di atas meja kerja. Aku kaget saat melihat Azka berdiri di samping. Tentu saja dengan semua mata dan pandangan anak-anak kantor mengarah pada kami.'Tuhan. Apa-apaan ini!'"Te-terima kasih, Az ...eh, Pak Azka," ucapku kemudian."Cepatlah makan. Jangan sampai terlambat, aku tidak ingin kamu sakit, Qila," ujarnya lagi.'Azkaaaa ...!' teriakku dalam hati.Ia berjalan santai meninggalkanku yang ditatap penuh tanda tanya oleh para karyawan kantor."Apa liat-liat?!" seruku sambil memelototi me
Aku tiba di rumah lebih dulu, setelah sebelumnya menghubungi Azka untuk meminta ijinnya. Karena Azka masih sibuk di luar."Gara-gara udah lama nggak kerja, badanku jadi capek semua," lirihku sambil merebahkan diri di kasur.Sambil memejamkan mata, aku membayangkan wajah Azka. Kenapa mereka segitunya hanya karena ingin menarik perhatian laki-laki itu.Huh ... Azka itu 'kan, suamiku. Dasar centil! Mereka itu apa tidak bisa, ya, cari laki-laki lain. Kenapa malah harus memperebutkan suami orang.Azka pasti juga nanti malah sok-sokan kalau aku bilang mereka semua tergila-gila padanya."Ngelamunin apanya, sih?"Hah ... sekarang suara Azka malah seperti jelas di telingaku."Azka, Azka. Kenapa mereka--""Kenapa apanya?"Aku terlonjak dan langsung membuka mata."Azka? Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku kaget."Sejak tadi. Suami pulang, bukannya disambut malah dilamunin. Ngel
Paginya, aku bangun dengan mata yang masih sembab. Setelahnya aku langsung mandi dan mengenakan pakaian yang bagus. Azka yang melihat itu tampak menghela napas berat. Ia mungkin berpikir aku akan kembali masuk kerja."Azka, aku boleh ikut ke kantor?" tanyaku."Jadi, kamu tidak mengindahkan apa yang kukatakan?" Azka kembali bertanya."Ijinkan aku pergi."Azka menarik napas dan mengembuskannya pelan. Ia tampak sedang mengatur perasaan yang mungkin ingin marah. Namun, aku punya suatu rencana."Baiklah. Terserah padamu."Azka menggeser kursi dan beranjak pergi. Kuikuti langkahnya menuju mobil dan ikut masuk ke dalam mobil itu. Azka tampak kaget, tapi aku hanya diam meski tahu apa yang membuatnya begitu heran.Azka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya keheningan. Bahkan, suara AC saja bisa terdengar. Musik tidak pernah dinyalakan saat ada aku di dalam mobil, kar
"Bunda, Qila kangen Bunda," lirihku sambil terus mengusap air mata yang mengalir di pipi.Bagaimana caranya aku mengatakan pada Azka tentang trauma masa laluku itu? Aku takut Azka berpikir, ini semua hanya karena aku ingin menghindar darinya.Ya Allah, tolong bantu Qila.Aku terus saja terisak, hingga tanpa sadar sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut."Bunda!" seruku dan berbalik."Azka? Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku lagi saat melihat Azka sudah duduk di tepi ranjang."Sejak tadi. Aqila, ada apa denganmu? Maafkan aku sudah terlalu memaksamu untuk keinginanku.""Tidak apa-apa. Bukankah wajar seorang suami meminta haknya pada istrinya? Tapi, a-aku bukan ha-hanya tidak siap. Melainkan ...," ucapku terjeda."Melainkan apa?""Azka, maukah kamu mendengar ceritaku? Tapi, aku mohon jangan membenciku setelah ini.""Tidak mungkin aku membencimu, Qila. Ceritakan saja, aku siap
"Semoga kamu tidak akan mengingat masa lalumu lagi saat di Bali nanti. Tapi, maaf kalau harus ditunda dua hari lagi. Ada keperluan mendadak di perusahaan.""Tidak apa-apa. Aku mengerti. Maaf, Azka. Sebenarnya aku malu menceritakan ini. Tapi, percayalah kalau kehormatanku sebagai wanita masih kujaga sampai saat ini."Tanpa diduga, Azka malah memelukku dengan erat. Ia menciumi pucuk kepalaku dengan lembut berulang kali. Berulang kali pula kata maaf terucap dari bibirnya."Aku sudah berusaha, bahkan mempelajari semuanya. Tapi, bayangan saat orang itu memaksaku membuat aku ketakutan.""Maafkan aku yang selalu memaksakan kehendak. Aku tidak tahu masalahmu sangat berat. Aku tidak tahu dengan trauma yang kamu rasakan selama ini, Qila.""Tidak apa-apa. Ke depannya, aku akan semakin berusaha. Aku akan mencoba menjadi istri yang baik dan sempurna untukmu.""Jangan memaksakan diri. Aku mencintaimu dan menikahimu bukan hanya karena itu. Meski tida