Beranda / Romansa / Mendadak Menikah / Siap atau Tidak?

Share

Siap atau Tidak?

Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan.

"Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh. 

"Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda.

"Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--"

"Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa. 

"Bukan begitu, Bun. T-tapi--"

"Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun."

"I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak."

"Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana."

"Bikin kopi? Caranya?"

"Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih."

"Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut. 

"Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah."

"Ayah udah sarapan, Bun?"

"Udah, dari tadi malah."

"Lho? Sarapan buat Qila nggak dibuatin?"

"Eh ... sekarang 'kan udah jadi istri, jadi kamu harus menyiapkan sendiri sarapan dan minuman untuk kamu dan suamimu. Daaa ... Bunda ke depan dulu, ya."

Bunda berlalu meninggalkanku yang kebingungan sendiri. Ah ... apa susahnya tinggal masukin gula, kopi dan air panas. Lalu, siapkan roti tawar dengan olesan selai coklat. Well, mari kita lakukan. 

Beberapa menit kemudian. 

"Wah ... benar-benar istri sholeha, ya." Tiba-tiba saja Azka sudah berada di ruang makan dan duduk di kursi. 

"Nah ... tepat sekali. Ini kopi dan roti tawar selai coklat untukmu," ucapku dengan tersenyum bangga. 

"Baiklah. Aku coba kopi buatanmu."

Azka menyeruput pelan kopi yang kusediakan. Tiba-tiba ....

"Kamu kenapa?" tanyaku kaget saat Azka terlihat sedikir tersedak. 

"T-tidak apa-apa. Masih panas sekali kopinya," jawab Azka. 

"Makanya, tunggu dingin dulu."

"Qila, aku berencana mengajakmu jalan-jalan."

"Ke mana?" tanyaku heran. 

"Terserah, kamu mau ke mana? London, Paris, Turki--"

"Ha? Ke luar negri? Ngapain jauh-jauh ke sana?"

"Honeymoon, Sayang."

"A-apa? H-honey ... moon?" tanyaku terbata. 

"Kenapa? Memang begitu 'kan?"

"T-tapi, tidak harus ke luar negri juga."

"Lalu?"

"Terserah. Asal masih tetap di Indonesia."

"Baiklah. Akan kucari referensinya."

"Hmm ...." Aku hanya menjawabnya dengan gumaman. 

Honeymoon katanya?Aku benar-benar tidak pernah berpikir sejauh itu.

***

"Bunda ...," rengekku pada bunda saat Azka sedang ke luar rumah. 

"Apa, Qila?"

"Azka ngajakin aku jalan-jalan ke luar kota."

"Oh, ya? Bagus, dong."

"Kok bagus, Bun? Bunda sengaja mau jauh-jauh dari Qila?" tanyaku dengan bibir mengerucut. 

"Sembarangan kamu. Kamu itu harus nurut sama suami, kalau Azka mau bawa kamu, Bunda sama Ayah bisa apa?"

"Yah, Bunda. Tapi, Qila takut."

"Udah. Kamu ini sudah dewasa. Belajarlah, Nak."

Aku kembali terdiam. Tidak lagi dapat berbicara apa-apa. Kuputar badan dan masuk ke kamar, entah mengapa aku malah merasa menjadi orang asing di sini. 

Malamnya, aku berbaring di kasur dan Azka sedang di kamar mandi. 

"Kenapa jilbabnya nggak dibuka?" tanya Azka sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. 

"Hmm ...."

"Kenapa? Masih belum terbiasa?" katanya lagi. Lalu, duduk di tepian ranjang sambil menatap ke arahku.

Tidak tahan ditatap seperti itu, aku memilih tidur membelakangi Azka. Hatiku sedang tidak mood saat ini.

"Qila."

"Jangan ganggu!" desisku.

"Huft." Azka menghela napas berat. "Qila, berbaliklah."

"Aku--"

"Turuti apa yang kupinta, Qila. Aku suamimu," ucap Azka. Pelan, tapi penuh penekanan. 

Aku berbalik dan bangkit. Duduk bersandar di kepala ranjang, persis seperti Azka. Aku hanya menunduk, tidak berani menatapnya. Meski sekarang aku tahu, tatapan mata elang Azka mengarah padaku. 

"Ada apa?" lirihku bertanya. 

"Aku minta maaf."

"M-maaf?" Spontan kepalaku menoleh padanya. 

"Iya. Maaf sudah membawamu masuk ke dalam sebuah pernikahan yang tidak kamu inginkan. Mungkin, memang aku yang terlalu egois."

"Hmm ... a-aku--"

"Aku tidak menyalahkan sikapmu. Memang butuh waktu untuk menyesuaikan keadaan kita sekarang. Jika kamu belum siap, aku bisa menerima. Tapi, apa salahnya mencoba dan belajar. Semua sudah terjadi, tidak lagi dapat kita ulang lagi ke masa sebelum ini."

Azka berdiri dan mengambil bantal. 

"Kamu mau ke mana?" tanyaku heran.

"Tidurlah di sini. Aku tidur di kamar tengah, tidak mungkin kamu tidur mengenakan hijab panjang itu. Pasti akan membuatmu tidak nyaman."

"T-tunggu. A-aku--" 

Azka berbalik menatapku

"Di sini saja. A-aku akan buka hijab."

"Tidak bisa jauh dariku, ya?" goda Azka. 

"Jangan mulai, deh! Aku cuma nggak mau nanti ayah sama bunda marah sama aku, tahu!" cetusku lagi. 

"Oke. Sekarang, silahkan buka hijabmu, Nona." Azka tersenyum simpul dan melipat kedua tangan di dada. 

"Ngapain kamu begitu?" tanyaku dengan kedua alis bertaut. 

"Kenapa? Aku hanya ingin melihat istriku tanpa hijab."

"Jangan banyak gaya, deh. Kemarin malam aku juga buka hijab, 'kan."

"Tapi, kamu pasang lagi, 'kan?"

Aku terdiam. Memang benar juga yang dikatakan Azka, saat itu aku kembali menggunakan hijab karena memang benar-benar tidak terbiasa. 

"Aku buka, nih. Jangan lihat dulu, hadap belakang sana!" perintahku tegas. 

"Tidak. Aku berhak atas apa yang akan kulihat."

"I-iya, tapi--"

"Cepatlah, aku sudah mengantuk. Atau, aku bantu buka?"

"Eehh ... stop! Berdiri disitu. Biar kubuka sendiri. Bismillah."

"Seperti mau perang saja," ledek Azka.

Akhirnya, kubuka hijab panjang yang menutupi rambut. Aku tertunduk beberapa saat, ada sedikit rasa malu menyelinap. Namun, aku sadar kalau memang Azka berhak atas apa yang ada padaku. 

"Siap?" tanyanya. 

"A-apa? Siap apanya?"

"Siap untuk tidur."

"Oh ... i-iya. Kamu tidur duluan."

"Kamu takut?"

"Enggak. T-takut kenapa?" 

"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu kalau kamu belum siap."

"Hmm ...." Aku menggumam. 

"Oke, baiklah. Selamat malam, Qila." Azka berbaring memunggungiku. 

"Hmm ... selamat malam Azka," lirihku pelan. 

***

Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan.

"Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh. 

"Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda.

"Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--"

"Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa. 

"Bukan begitu, Bun. T-tapi--"

"Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun."

"I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak."

"Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana."

"Bikin kopi? Caranya?"

"Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih."

"Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut. 

"Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah."

"Ayah udah sarapan, Bun?"

"Udah, dari tadi malah."

"Lho? Sarapan buat Qila nggak dibuatin?"

"Eh ... sekarang 'kan udah jadi istri, jadi kamu harus menyiapkan sendiri sarapan dan minuman untuk kamu dan suamimu. Daaa ... Bunda ke depan dulu, ya."

Bunda berlalu meninggalkanku yang kebingungan sendiri. Ah ... apa susahnya tinggal masukin gula, kopi dan air panas. Lalu, siapkan roti tawar dengan olesan selai coklat. Well, mari kita lakukan. 

Beberapa menit kemudian. 

"Wah ... benar-benar istri sholeha, ya." Tiba-tiba saja Azka sudah berada di ruang makan dan duduk di kursi. 

"Nah ... tepat sekali. Ini kopi dan roti tawar selai coklat untukmu," ucapku dengan tersenyum bangga. 

"Baiklah. Aku coba kopi buatanmu."

Azka menyeruput pelan kopi yang kusediakan. Tiba-tiba ....

"Kamu kenapa?" tanyaku kaget saat Azka terlihat sedikir tersedak. 

"T-tidak apa-apa. Masih panas sekali kopinya," jawab Azka. 

"Makanya, tunggu dingin dulu."

"Qila, aku berencana mengajakmu jalan-jalan."

"Ke mana?" tanyaku heran. 

"Terserah, kamu mau ke mana? London, Paris, Turki--"

"Ha? Ke luar negri? Ngapain jauh-jauh ke sana?"

"Honeymoon, Sayang."

"A-apa? H-honey ... moon?" tanyaku terbata. 

"Kenapa? Memang begitu 'kan?"

"T-tapi, tidak harus ke luar negri juga."

"Lalu?"

"Terserah. Asal masih tetap di Indonesia."

"Baiklah. Akan kucari referensinya."

"Hmm ...." Aku hanya menjawabnya dengan gumaman. 

Honeymoon katanya?Aku benar-benar tidak pernah berpikir sejauh itu.

***

"Bunda ...," rengekku pada bunda saat Azka sedang ke luar rumah. 

"Apa, Qila?"

"Azka ngajakin aku jalan-jalan ke luar kota."

"Oh, ya? Bagus, dong."

"Kok bagus, Bun? Bunda sengaja mau jauh-jauh dari Qila?" tanyaku dengan bibir mengerucut. 

"Sembarangan kamu. Kamu itu harus nurut sama suami, kalau Azka mau bawa kamu, Bunda sama Ayah bisa apa?"

"Yah, Bunda. Tapi, Qila takut."

"Udah. Kamu ini sudah dewasa. Belajarlah, Nak."

Aku kembali terdiam. Tidak lagi dapat berbicara apa-apa. Kuputar badan dan masuk ke kamar, entah mengapa aku malah merasa menjadi orang asing di sini. 

Malamnya, aku berbaring di kasur dan Azka sedang di kamar mandi. 

"Kenapa jilbabnya nggak dibuka?" tanya Azka sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. 

"Hmm ...."

"Kenapa? Masih belum terbiasa?" katanya lagi. Lalu, duduk di tepian ranjang sambil menatap ke arahku.

Tidak tahan ditatap seperti itu, aku memilih tidur membelakangi Azka. Hatiku sedang tidak mood saat ini.

"Qila."

"Jangan ganggu!" desisku.

"Huft." Azka menghela napas berat. "Qila, berbaliklah."

"Aku--"

"Turuti apa yang kupinta, Qila. Aku suamimu," ucap Azka. Pelan, tapi penuh penekanan. 

Aku berbalik dan bangkit. Duduk bersandar di kepala ranjang, persis seperti Azka. Aku hanya menunduk, tidak berani menatapnya. Meski sekarang aku tahu, tatapan mata elang Azka mengarah padaku. 

"Ada apa?" lirihku bertanya. 

"Aku minta maaf."

"M-maaf?" Spontan kepalaku menoleh padanya. 

"Iya. Maaf sudah membawamu masuk ke dalam sebuah pernikahan yang tidak kamu inginkan. Mungkin, memang aku yang terlalu egois."

"Hmm ... a-aku--"

"Aku tidak menyalahkan sikapmu. Memang butuh waktu untuk menyesuaikan keadaan kita sekarang. Jika kamu belum siap, aku bisa menerima. Tapi, apa salahnya mencoba dan belajar. Semua sudah terjadi, tidak lagi dapat kita ulang lagi ke masa sebelum ini."

Azka berdiri dan mengambil bantal. 

"Kamu mau ke mana?" tanyaku heran.

"Tidurlah di sini. Aku tidur di kamar tengah, tidak mungkin kamu tidur mengenakan hijab panjang itu. Pasti akan membuatmu tidak nyaman."

"T-tunggu. A-aku--" 

Azka berbalik menatapku

"Di sini saja. A-aku akan buka hijab."

"Tidak bisa jauh dariku, ya?" goda Azka. 

"Jangan mulai, deh! Aku cuma nggak mau nanti ayah sama bunda marah sama aku, tahu!" cetusku lagi. 

"Oke. Sekarang, silahkan buka hijabmu, Nona." Azka tersenyum simpul dan melipat kedua tangan di dada. 

"Ngapain kamu begitu?" tanyaku dengan kedua alis bertaut. 

"Kenapa? Aku hanya ingin melihat istriku tanpa hijab."

"Jangan banyak gaya, deh. Kemarin malam aku juga buka hijab, 'kan."

"Tapi, kamu pasang lagi, 'kan?"

Aku terdiam. Memang benar juga yang dikatakan Azka, saat itu aku kembali menggunakan hijab karena memang benar-benar tidak terbiasa. 

"Aku buka, nih. Jangan lihat dulu, hadap belakang sana!" perintahku tegas. 

"Tidak. Aku berhak atas apa yang akan kulihat."

"I-iya, tapi--"

"Cepatlah, aku sudah mengantuk. Atau, aku bantu buka?"

"Eehh ... stop! Berdiri disitu. Biar kubuka sendiri. Bismillah."

"Seperti mau perang saja," ledek Azka.

Akhirnya, kubuka hijab panjang yang menutupi rambut. Aku tertunduk beberapa saat, ada sedikit rasa malu menyelinap. Namun, aku sadar kalau memang Azka berhak atas apa yang ada padaku. 

"Siap?" tanyanya. 

"A-apa? Siap apanya?"

"Siap untuk tidur."

"Oh ... i-iya. Kamu tidur duluan."

"Kamu takut?"

"Enggak. T-takut kenapa?" 

"Tenang saja, aku tidak akan menyentuhmu kalau kamu belum siap."

"Hmm ...." Aku menggumam. 

"Oke, baiklah. Selamat malam, Qila." Azka berbaring memunggungiku. 

"Hmm ... selamat malam Azka," lirihku pelan. 

***

Aku mengerjap-ngerjapkan mata, melirik ke jam dinding. Masih jam tiga pagi, Azka mana? Tak kutemui lelaki itu di kasur. 

"Apa di kamar mandi, ya?" gumamku bertanya-tanya sendiri. 

Benar saja, tidak berapa lama Azka ke luar dari kamar mandi dengan wajah yang basah. 

"Kamu bangun?" tanyanya mendapati aku yang tanpa sadar terus menatapnya. 

"Eh ... i-iya," jawabku gugup. 

"Ayo, sholat bareng," ajaknya. 

"A-apa?"

"Tahajud bareng."

"Ha?"

"Ha-ha-ha ... sampai kapan planga-plongo begitu? Cuci muka sana, ambil wudhu. Aku tungguin."

"Hehe ... sorry. Bentar, ya."

"Buka dulu jilbabnya." 

"Oh, iya. Lupa." Aku hanya terkekeh sendiri mendapati diri ketahuan kembali menggunakan jilbab lagi saat Azka tertidur. 

Akhirnya, malam itu aku melaksanan sholat tahajud pertamaku. Pertama bersama imamku maksudnya, haha. Nggak lucu! 

Tanganku bergetar saat Azka mengulurkan tangannya untuk kuciumi seusai sholat dan berdoa. 

"Kamu cantik," ucapnya tiba-tiba.

"Hmm ..." Aku menggumam dan menunduk malu. 

"Sini, lihat." Tiba-tiba Azka mengangkat daguku dengan jari-jarinya. 

"Kenapa?" tanyaku.

"Kamu mau melayani aku?" tanyanya dengan tatapan mata serius. 

"A-apa? S-sekarang?" 

"Tentu saja. Lalu, kapan lagi. Aku inginnya sekarang," jawabnya pasti. 

"T-tapi, sebentar lagi shubuh. Apa tidak--"

"Bagaimana bisa aku menunggu besok. Bisa-bisa aku mati."

"Apa? Apa itu sesuatu yang sangat penting bagimu, sampai-sampai akan mati kalau tidak mendapatkannya?"

"Tentu saja penting, Aqila. Dasar polos," ucapnya sambil mengacak-acak kepalaku yang ditutupi mukenah. 

"Tapi, aku belum siap," ujarku lirih dan kembali menunduk. 

"Hei ... apa untuk hal semacam ini kamu juga butuh kesiapan? Ya Tuhan!" Azka menepuk jidatnya sendiri. 

"Apa maksudmu? Ya, jelaslah! Memangnya kamu pikir semua itu gampang. Dasar!" omelku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status