Aku masih duduk di ruang tunggu. Tidak lama, dokter ke luar dari ruangan Ayah. Aku yang spontan berdiri menemui dokter hampir saja terjatuh, kalau saja Azka tidak segera menangkap tubuhku.
"Hati-hati, Qila. Tetaplah tenang," ujarnya khawatir.
Aku mengangguk menatap penuh rasa terima kasih pada laki-laki yang bergelar suamiku itu.
"Bagaimana, Dok? Ayah baik-baik saja, 'kan? Ayah sudah sadar, 'kan?" cecarku pada dokter.
Sejenak kulihat dokter yang kutafsir usianya hampir sama dengan ayahku itu menghela napas berat. Menatapku dengan tatapan yang ... entahlah!
"Ada apa, Dok? Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku lagi.
"Maaf, Nak. Ayahmu tidak bisa diselamatkan. Ia terkena serangan jantung."
"A-apa? A-yah ... t-tidak mungkin!" pekikku tertahan.
Aku langsung saja berlari masuk tanpa peduli gapaian tangan Azka yang berusaha menenangkan aku.
"A-ayah! Ayah kenapa? Bangun, Yah. Apa yang akan Qila katakan pada Bunda. Qila mohon, Yah. Bangun, Ayah!" teriakku sambil terus menangis menggoyang-goyangkan tubuh Ayah cukup keras.
"Qila, tenang. Sabar, Qila." Suara Azka yang sedari tadi terus menenangkanku, tidak lagi terdengar jelas.
Mana bisa aku tenang melihat pahlawan kebanggaanku selama ini telah kaku. Melihat ia akan tidur selamanya.
"Qila, ada apa? Ayah sudah bangun?"
Deg!
Jantungku seakan ingin berhenti berdetak saat kudengar suara Bunda bertanya. Aku menoleh ke depan pintu, tempat Bunda berdiri di sana dengan senyum mengembang.
"B-bunda--"
Bunda menghampiri dan duduk di samping Ayah.
"Yah--" panggil Bunda pelan.
"B-bun ... A-ayah, t-t-tidak akan b-angun la-lagi," lirihku terbata.
Senyum Bunda menipis, lalu hilang. Berganti tatapan marah menatapku. Baru kali ini Bunda menatapku dengan marah seperti ini.
"Jangan bercanda, Qila! Ini bukan lelucon."
"Bunda, tenang, ya. Biarkan Ayah pergi dengan tenang." Azka menimpali.
Aku tidak lagi kuasa menatap wajah Bunda yang mulai memerah. Kupandangi wajah keduanya sebelum pandangan menggelap dan aku tidak tahu apa-apa lagi.
***
"Qila, kamu sudah sadar?"
Pertanyaan itu yang pertama kali kudengar saat membuka mata.
'Apa yang terjadi?'
"Azka ...," lirihku sambil memegangi kepala yang terasa sakit.
"Tenang dulu, kalau kepalamu sakit lebih baik istirahat saja dulu."
"Azka, a-ayah--"
"Qila--"
"A-Ayah, a-aku ... ha-harus bertemu Ayah," ucapku terbata. Aku ingat apa yang kini sedang terjadi.
"Aku akan membawamu ke luar, tapi tenangkan dirimu, ya?"
"Bagaimana bisa?" Kutatap wajah Azka cukup lama.
Namun, wajahnya mulai memudar seiring bulir bening jatuh menerobos ke luar dari mata. Dadaku naik turun menahan sesak di dada. Azka menarikku dalam pelukan, tubuh hangatnya memang membuatku nyaman, tapi itu tidak lama.
"Qila, ayah akan dikebumikan hari ini juga," lirih Bunda dengan mata bengkak.
Bunda menutup kembali pintu kamar.
"A-aku ti-tidak bisa ...," lirihku lagi.
"Antar ayah dengan tenang ke peristirahatan terakhirnya. Kamu harus ikhlas," ucap Azka mencoba menenangkanku.
"Ikhlas bukan perkara mudah bagiku saat ini, Azka," lirihku dengan linangan air mata.
"Ayo, kita harus ke luar. Kuatkan dirimu," ucap Azka sembari merangkul bahuku dan kami berjalan beriringan ke luar dari kamar.
Namun, tetap saja saat sampai di luar melihat tubuh kaku berselimutkan kain panjang itu membuat kakiku seolah tidak berpijak di tanah. Dadaku nyeri, menyaksikan Bunda yang terlihat menekan dada sambil menunduk. Bahunya berguncang, menyiratkan kalau ia pun tengah menangis di sana.
"Bunda," lirihku sambil memeluk Bunda.
"Qila, ayahmu ... ia su-sudah ti-tiada. Bagaimana ... bi-sa."
Tangis Bunda kembali pecah, sungguh aku tidak sanggup mendengarnya. Tangisan pilu yang sebelumnya tidak pernah kudengar dari Bunda. Demi Bunda, kutelan luruhnya air mata yang berusaha menerobos ke luar.
"Bunda, Qila akan selalu jaga Bunda. Ada Qila di sini, kita harus khlas."
Bunda memelukku, beliau menangis tersedu-sedu. Tangis pilu yang mampu membuat siapa saja bisa merasakan hancurnya hati bundaku saat ini.
***
Hari ini, tepat satu bulan ayah meninggalkan kami. Sejak saat itu juga, tidak pernah lagi kulihat senyum dan tawa ceria Bunda seperti biasanya. Rumahku terasa benar-benar sepi.
"Bun." Kuketuk pintu kamar Bunda dua kali.
"Ya?" jawab Bunda dari dalam tanpa membuka pintu.
"Makan dulu, Bun. Ini Qila bawakan makanan."
"Bunda nggak lapar, Qila makan saja dulu."
"Bunda. Qila mohon, jangan seperti ini. Bunda nggak kasihan sama Qila?"
Lama Bunda tidak menjawab perkataanku. Namun, aku bisa mendengar langkah kaki Bunda mendekat. Knop pintu diputar dari dalam. Mata Bunda sembab, pasti ia menangis lagi.
"Bunda," lirihku.
"Bu-Bunda--"
"Ayo, kita makan. Bunda pasti lapar, kan? Qila udah bikinin ayam kecap kesukaan Bunda."
Kurangkul bahu Bunda berjalan menuju meja makan. Sedang tangan yang satunya memegangi nampan berisi makanan untuk Bunda.
"Duduk, Bunda."
"Biasanya, Bunda menyiapkan makanan untuk ayahmu. Sekarang, ia sudah tidak ada."
"Bunda. Qila mohon, ikhlaskan kepergian ayah meski itu sangat berat. Qila tahu, karena Qila juga sangat kehilangan ayah," ucapku sambil mengusap-usap punggung Bunda.
"Tapi--"
"Qila bawa Bunda jalan-jalan nanti, ya. Bunda mau ke mana?" tanyaku.
"Nggak ingin ke mana-mana."
"Bunda, please." Aku memohon, sembari menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Huft ... kita ke pantai saja."
"Pantai?"
"Iya."
"Baiklah, Bun. Qila telpon Azka dulu, ya."
Aku bergegas ke kamar mengambil ponsel dan langsung menghubungi Azka saat itu juga.
"Baik, aku segera pulang," ucap Azka saat kuberitahu tentang Bunda.
Aku kembali ke dapur. Bunda tampak sedang menyuap makanan ke mulutnya, meski hanya sedikit.
"Abis ini kita ganti baju, ya, Bunda."
"Sekarang saja. Bunda nanti mau makan di restoran dekat pantai." Bunda menggeser kursi yang didudukinya dan langsung beranjak ke kamar.
Aku menghela napas. Biasanya, Bunda yang paling semangat untuk urusan jalan-jalan. Namun, sekarang semuanya hilang seiring dengan perginya sang belahan jiwa Bunda.
"Assalammualaikum."
"Waalaikumsalam."
Kubukakan pintu untuk Azka.
"Siap?"
"Sebentar, aku panggil Bunda dulu."
Bunda ke luar dari kamar sebelum aku sempat memanggil beliau. Kami berangkat saat itu juga, meski jarak yang ditempuh cukup jauh, tapi semua demi Bunda.
Kulirik Bunda yang duduk di jok belakang. Beliau hanya termenung menatap jalanan. Azka menggenggam jemariku sebentar, membuatku menoleh padanya.
"Sabar," lirihnya, tapi bisa kudengar jelas.
Aku mengangguk, Azka adalah orang yang terus saja menguatkanku semenjak kepergian ayah. Jika bukan karenanya, mungkin aku sudah sama terpuruknya dengan Bunda.
"Kita berhenti dulu untuk shalat zuhur," ucap Bunda pelan.
"Baik, Bunda," jawab Azka.
Mobil hitam Azka berbelok ke sebuah masjid besar di pinggir jalan. Setelah mobil berhenti, Bunda langsung ke luar menenteng tas berisi mukenah. Tanpa menghiraukan aku yang memanggil minta ditunggu, Bunda terus saja berjalan menuju tempat wudhu wanita.
Gegas kususul Bunda dengan langkah besar. Ternyata, kehilangan ayah adalah pukulan paling berat dalam hidup. Karena, sejak kehilangan ayah jugalah aku turut kehilangan bundaku.
"Bunda, kenapa nggak nungguin Qila, sih," gerutuku saat melihat Bunda tengah membasuh mukanya dengan air kran.
Bunda diam saja, mungkin karena ia sedang mengambil wudhu. Namun, sampai selesai shalat pun Bunda tetap saja diam. Aku gelisah dibuatnya. Azka yang menangkap kekhawatiran diwajahku berulang kali menoleh sambil tersenyum.
"Fokus aja bawa mobilnya!" seruku padanya.
Bukannya marah, hanya saja aku takut dengan mood yang kurang bagus membuat Azka juga tidak fokus.
"Qila, Bunda tidur sebentar. Kalau sudah sampai, bangunkan, ya," ucap Bunda lirih dengan mata terpejam.
Aku yang menoleh ke belakang, merasa sangat iba dan tidak tega.
"Azka, aku pindah ke belakang, ya. Mau nemenin Bunda."
Azka menepikan mobilnya, aku ke luar untuk duduk di jok belakang di samping Bunda.
Kugenggam jemari Bunda saat mobil sudah mulai berjalan lagi. Namun, ada yang aneh, tangan Bunda terasa sangat dingin."Bunda?" Kupanggil Bunda dengan nada pelan.
"Bun."
Kugoyangkan bahu wanita yang kusayangi itu berulang kali.
"Azka, Bunda!" pekikku pada Azka.
Spontan Azka langsung menghentikan mobilnya. Ia pun tampak khawatir dengan keadaan Bunda.
"Kita ke rumah sakit sekarang!"
Azka kembali melajukan mobilnya. Kali ini bukan lagi ke pantai, melainkan ke rumah sakit.
Aku sesegukan di samping Bunda. Merutuki diri yang tidak peka dengan kesehatan beliau. Bunda masih saja diam tidak bergerak. Dengan takut-takut, kudekatkan dua jari ke hidungnya.
Deg!
Jantungku seolah berhenti berdetak. Tidak ada embusan napas di sana. Dada Bunda juga tidak terlihat naik turun menandakan ia masih menarik dan membuang napas."Bunda. Please, Qila mohon," lirihku seraya memeluk Bunda dengan erat.
"Azka, aku mohon cepatlah," lirihku lagi dengan air mata yang berderai.
Ya Allah, aku mohon. Jangan ambil bundaku.
***
Satu bulan kemudian."Siap, Sayang?" tanya Azka."Hu'um."Aku mengangguk. Kemudian, mengikuti langkah Azka menuju mobil. Sebelum masuk ke mobil, kupandangi lagi rumah yang selama ini menyimpan banyak kenanganku bersama ayah dan bunda.Aku tidak bisa tinggal di sini. Bayang-bayang kenangan bersama ayah dan bunda terus terngiang. Bahkan, aku bisa terduduk lunglai saat sedang mencuci piring hanya karena ingat saat-saat bersama bunda di dapur rumah ini. Tidak terasa air mataku mengalir."Qila, masuklah."Ucapan Azka membuatku tersadar dari lamunan."Qila pergi dulu Ayah, Bunda. Selamat tinggal," lirihku.Mobil Azka bergerak membelah jalanan yang padat dengan kendaraan. Aku tidak pindah ke luar kota, hanya saja mencari tempat yang lebih jauh dari rumahku yang dulu.Azka yang meminta untuk pindah. Ia tidak tega melihatku terus saja menangisi kepergian ayah dan bunda.
[Azka, aku lapar. Lupa bawa dompet. Pinjam ke teman-teman nggak enak.]Kukirim pesan via Wa pada Azka. Entah kenapa dompet yang sangat penting untuk dibawa itu malah ketinggalan di rumah.Kenapa Azka belum juga membalas pesanku? Padahal sudah centang dua meski abu-abu. Azka memang mematikan mode baca di Wanya. Sok sibuk sekali CEO tampan itu."Makanlah."Sebuah kotak makanan kini ada di atas meja kerja. Aku kaget saat melihat Azka berdiri di samping. Tentu saja dengan semua mata dan pandangan anak-anak kantor mengarah pada kami.'Tuhan. Apa-apaan ini!'"Te-terima kasih, Az ...eh, Pak Azka," ucapku kemudian."Cepatlah makan. Jangan sampai terlambat, aku tidak ingin kamu sakit, Qila," ujarnya lagi.'Azkaaaa ...!' teriakku dalam hati.Ia berjalan santai meninggalkanku yang ditatap penuh tanda tanya oleh para karyawan kantor."Apa liat-liat?!" seruku sambil memelototi me
Aku tiba di rumah lebih dulu, setelah sebelumnya menghubungi Azka untuk meminta ijinnya. Karena Azka masih sibuk di luar."Gara-gara udah lama nggak kerja, badanku jadi capek semua," lirihku sambil merebahkan diri di kasur.Sambil memejamkan mata, aku membayangkan wajah Azka. Kenapa mereka segitunya hanya karena ingin menarik perhatian laki-laki itu.Huh ... Azka itu 'kan, suamiku. Dasar centil! Mereka itu apa tidak bisa, ya, cari laki-laki lain. Kenapa malah harus memperebutkan suami orang.Azka pasti juga nanti malah sok-sokan kalau aku bilang mereka semua tergila-gila padanya."Ngelamunin apanya, sih?"Hah ... sekarang suara Azka malah seperti jelas di telingaku."Azka, Azka. Kenapa mereka--""Kenapa apanya?"Aku terlonjak dan langsung membuka mata."Azka? Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku kaget."Sejak tadi. Suami pulang, bukannya disambut malah dilamunin. Ngel
Paginya, aku bangun dengan mata yang masih sembab. Setelahnya aku langsung mandi dan mengenakan pakaian yang bagus. Azka yang melihat itu tampak menghela napas berat. Ia mungkin berpikir aku akan kembali masuk kerja."Azka, aku boleh ikut ke kantor?" tanyaku."Jadi, kamu tidak mengindahkan apa yang kukatakan?" Azka kembali bertanya."Ijinkan aku pergi."Azka menarik napas dan mengembuskannya pelan. Ia tampak sedang mengatur perasaan yang mungkin ingin marah. Namun, aku punya suatu rencana."Baiklah. Terserah padamu."Azka menggeser kursi dan beranjak pergi. Kuikuti langkahnya menuju mobil dan ikut masuk ke dalam mobil itu. Azka tampak kaget, tapi aku hanya diam meski tahu apa yang membuatnya begitu heran.Azka melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak ada percakapan diantara kami, hanya keheningan. Bahkan, suara AC saja bisa terdengar. Musik tidak pernah dinyalakan saat ada aku di dalam mobil, kar
"Bunda, Qila kangen Bunda," lirihku sambil terus mengusap air mata yang mengalir di pipi.Bagaimana caranya aku mengatakan pada Azka tentang trauma masa laluku itu? Aku takut Azka berpikir, ini semua hanya karena aku ingin menghindar darinya.Ya Allah, tolong bantu Qila.Aku terus saja terisak, hingga tanpa sadar sebuah tangan membelai rambutku dengan lembut."Bunda!" seruku dan berbalik."Azka? Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku lagi saat melihat Azka sudah duduk di tepi ranjang."Sejak tadi. Aqila, ada apa denganmu? Maafkan aku sudah terlalu memaksamu untuk keinginanku.""Tidak apa-apa. Bukankah wajar seorang suami meminta haknya pada istrinya? Tapi, a-aku bukan ha-hanya tidak siap. Melainkan ...," ucapku terjeda."Melainkan apa?""Azka, maukah kamu mendengar ceritaku? Tapi, aku mohon jangan membenciku setelah ini.""Tidak mungkin aku membencimu, Qila. Ceritakan saja, aku siap
"Semoga kamu tidak akan mengingat masa lalumu lagi saat di Bali nanti. Tapi, maaf kalau harus ditunda dua hari lagi. Ada keperluan mendadak di perusahaan.""Tidak apa-apa. Aku mengerti. Maaf, Azka. Sebenarnya aku malu menceritakan ini. Tapi, percayalah kalau kehormatanku sebagai wanita masih kujaga sampai saat ini."Tanpa diduga, Azka malah memelukku dengan erat. Ia menciumi pucuk kepalaku dengan lembut berulang kali. Berulang kali pula kata maaf terucap dari bibirnya."Aku sudah berusaha, bahkan mempelajari semuanya. Tapi, bayangan saat orang itu memaksaku membuat aku ketakutan.""Maafkan aku yang selalu memaksakan kehendak. Aku tidak tahu masalahmu sangat berat. Aku tidak tahu dengan trauma yang kamu rasakan selama ini, Qila.""Tidak apa-apa. Ke depannya, aku akan semakin berusaha. Aku akan mencoba menjadi istri yang baik dan sempurna untukmu.""Jangan memaksakan diri. Aku mencintaimu dan menikahimu bukan hanya karena itu. Meski tida
"Azka, kita beneran mau ke Bali?""Menurutmu?""Mana kutahu. Kan, kamu yang bilang sendiri mau ngajakin ke Bali. Gimana sih kamu.""Ciiee ... berharap banget honeymoon ke Bali.""Ck ... ya, udah. Nggak usah ke sana. Aku nggak jadi ikut!""Wah, ngambekan nih?" Azka mencubit gemas hidungku."Sakit, Azka!""Siap-siap sekarang, kita berangkat.""Ke Bali?""Enggak. Ke Bandara.""Iya, tapi mau ke Bali, kan?""Nggak tahu, deh. Liat ntar aja.""Ih, Azka! Suka banget, deh. Sehari aja nggak jahil gimana?""Ntar kamu kangen.""Kepedean!""Emangnya enggak?""Kangen.""Nah? Udahlah, mau ke Bali nggak?""Mau dong.""Aku tunggu di mobil."Akhirnya, hanya dengan sebuah kata ingin ke Bali saja, Azka langsung membawaku ke sana. Keinginan yang selalu aku impikan sedari kecil, baru hari ini tercapai.Benar saja, kami ke Bali menggunak
"Selamat pagi, Aqila. Gimana tidurnya tadi malam?" Azka tidur menyamping menghadapku, sampai embusan napasnya terasa di wajah."Jangan dekat-dekat, napasmu bau," ujarku pelan sambil tetap menutup mata."Bangun. Kamu tidak ingin jalan-jalan?" tanyanya sambil mengerucutkan bibirku dengan tangannya."Azka, jangan ganggu. Aku masih ngantuk," ujarku tetap dengan nada pelan."Baiklah. Aku akan segera mandi dan jalan-jalan di pantai sendirian. Bisa saja banyak bule di sini." Azka berucap sambil melangkah turun dari kasur."Biarin!" tekanku padanya.Meskipun masih dengan mata terpejam, tapi aku sama sekali tidak tidur. Hanya sedang malas saja untuk bangkit. Aku bisa mendengar suara gemericik air di kamar mandi, juga saat Azka mengganti pakaian di kamar."Kamu bener nggak mau ikut aku jalan-jalan?" tanyanya lagi. Wangi parfum suamiku itu menguar di udara."Nggak, ah. Ngantuk," jawabku tanpa membuka mata.