Saat akan pulang bekerja, rasanya hari ini benar-benar membuatku ingin menangis. Setelah sebelumnya harus menghadapi kenyataan yang sama sekali tidak kusangka sebelumnya, sekarang malah harus dihadapkan dengan ban motor yang tiba-tiba saja kempes.
"Jangan-jangan ada yang ngerjain, nih," gumamku sendiri.
Wajar saja kalau aku berpikiran buruk seperti ini. Ban motor yang hanya terparkir manis di parkiran, kenapa bisa kempes? Benar-benar aneh. Aku hanya berkacak pinggang memandangi motor yang tidak bisa kujalankan.
Hal paling menyebalkan dalam hidupku adalah mendorong motor ke bengkel. Ditambah jam juga sudah hampir menunjukkan waktu maghrib. Kuambil ponsel dari tas dan menghubungi orang di rumah, agar mereka tidak terlalu khawatir akan kepulanganku yang terlambat kali ini.
"Assalammualaikum, Bunda," ucapku saat telpon diangkat.
"Waalaikumsalam. Ada apa, Qila?" tanya Bunda dari seberang telpon.
"Kayaknya hari ini Qila pulang telat, deh. Soalnya ban motor kempes, Bun. Jadi, Qila mau tambal dulu. Jangan khawatir, ya, Bunda," ujarku menjelaskan.
"Oh ... gitu, ya. Dijemput Ayah aja gimana? Tinggal aja motornya dulu di sana, 'kan ada satpam yang jagain."
"Nggak usah, Bun. Besok juga sama repotnya. Udah dulu, ya, Bunda. Nanti kelamaan, malah makin kemalaman pulangnya. Assalammualaikum."
Kusudahi telpon saat Bunda menjawab salam. Hah ... benar-benar merepotkan. Kenapa sih tiba-tiba harus kempes begini.
Akhirnya, dengan malas kudorong motor dengan perlahan ke luar dari area perkantoran. Sudah capek, ditambah malu mendorong motor. Bengkelnya lumayan jauh, cukup menguras tenaga juga. Kalau dinaiki, aku takut malah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Saat sedang mendorong si matic, sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti tepat di samping motor. Aku berhenti sejenak, melihat siapa gerangan orang di dalam mobil. Kaca mobil terbuka perlahan, memperlihatkan orang di dalamnya.
"Pak Azka?"
"Kamu kenapa?" tanyanya.
"Nggak lihat orang lagi dorong motor. Masih juga nanya," lirihku pelan.
"Apa? Nggak kedengeran!" teriaknya masih dari dalam mobil.
"Nggak apa-apa. Bannya kempes, jadi mau saya dorong ke bengkel," ucapku cepat dan kembali mendorong motor kesayanganku ini.
Mobil Azka masih mengikuti dengan ikut berjalan pelan di belakangku yang sedang mendorong motor. Awalnya, aku berusaha mengacuhkan. Namun, lama-lama risih juga. Kuparkirkan motor di tepi jalan dan menghampiri Azka.
"Ngapain ngikutin saya?" ucapku dengan memaksakan sedikit senyum, bagaimanapun juga aku harus tetap bisa mengontrol emosi terhadap bos menyebalkan ini.
"Aku hanya memastikan calon istriku tidak diganggu orang lain saat ini."
"Apa? Jangan yang aneh-aneh, deh. Di sini rame kali, mana ada yang berani ganggu. Lagian, kalau Bapak ngikutin saya terus, yang ada Bapak yang udah ganggu kenyamanan saya."
"Bapak? Apa aku terlihat seperti bapak-bapak olehmu? Wah ... sepertinya setelah ini aku harus membawamu ke Dokter spesialis mata."
"Apa urusannya? Udahlah, sekarang nggak usah ikutin saya lagi. Kalau enggak--"
"Apa?" Ia malah bicara seolah menantangku.
"Aku teriak, nih?" ancamku.
"Pasalnya apa?"
"Ya ... ya ... k-karena, udah gangguin saya!" bentakku lagi.
"Buahahaha ...."
Azka malah tertawa keras, seolah apa yang baru saja kuancamkan padanya adalah sebuah lelucon. Benar-benar membuat semakin geram, untung saja stok sabarku cukup banyak. Kemudian, ia ke luar dari mobil dan menghampiriku yang sedang berkacak pinggang di samping mobilnya.
"Calon istri ternyata segalak ini?" ucapnya.
"Ya, Allah! Sabarkan aku," lirihku dengan gigi bertautan.
"Sekarang, biar aku antar pulang. Motor kamu biar nanti suruh supirku yang jemput ke bengkel itu." Azka menunjuk sebuah bengkel yang memang sudah tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri.
"Nggak perlu. Dosa tahu berduaan dalam mobil!" tegasku berjalan kembali untuk mendorong motor.
Kulirik Azka dari kaca spion motor. Syukurlah ia tidak lagi mengikuti, hanya saja ia terlihat menyender ke mobilnya dengan melipat kedua tangan di dada sambil terus memperhatikanku.
Kalau memang niat membantu, bantuin dorong kek motornya ke bengkel. Ini malah banyak gaya pake acara suruh supirnya segala. Belum apa-apa sudah banyak ngatur dia. Apalagi kalau ... ah, aku ini ngelantur. Ya, Tuhan! Jangan sampai aku ketularan gila dia!
***
Aku duduk bermain ponsel sambil menunggui motor kesayanganku selesai ditambal. Sejenak aku lupa pada Azka yang tadi mengikuti.
"Nih, minum dulu." Seseorang mengulurkan satu botol air mineral padaku.
"Anda lagi? Mimpi apa saya semalam sampai harus mengalami hal tidak menyenangkan sepanjang hari." Kutepuk jidat.
"Jangan berharap bangun dari mimpi indahmu, Qila. Bukankah banyak wanita yang bermimpi bisa menikah denganku?"
Aku mengendikkan bahu dan memutar kedua bola mata. Tidak ada gunanya berdebat dengan laki-laki yang punya rasa pede setinggi ini. Aku bisa ikut gila juga, 'kan?
"Pulang sana, ngapain duduk di sini?"
"Aku mau nemenin kamu saja," jawabnya.
"Nggak perlu. Nanti kalau ada yang lihat gimana? Aduh ... aneh banget, deh. Pulang aja, saya bisa sendiri, kok."
"Sampai kapan, sih, kamu mau pake saya ngomongnya? Apa kamu sekaku ini sama laki-laki?"
"Saya tidak pernah bicara sama laki-laki."
"Wah ... sepertinya aku orang yang beruntung."
Aku hanya diam, tidak berniat lagi membalas ucapannya yang benar-benar semakin tidak masuk akal.
Setelah ban motor selesai ditambal dan membayar, aku langsung memacu motor matic kesayanganku untuk pulang. Namun, tetap tidak lupa mengucap terima kasih pada Azka yang menemani.Kuakui, Azka itu memang sangat tampan sekali. Dua lesung pipi menghiasi wajahnya saat tersenyum. Ah ... dasar aku ini! Aku memang bukan penggemar drama Korea. Aktor Korea yang kukenal pun terbilang tidak banyak. Lee Min Ho, siapa yang tidak tahu dia? Mungkin, sosok Azka bisa digambarkan menjadi Min Ho KW. Putih, tinggi, senyum menawan dengan lesung pipi.
"Astagfirullah! Apa-apa'an aku ini? Aah ... kenapa aku malah jadi memikirkan dia, sih," rutukku sendiri setelah sampai di depan rumah.
Aku tersenyum geli saat pikiranku berubah sedikit kacau karenanya. Ah ... benar-benar tidak bisa ditebak hati yang dititipkan Allah padaku ini.
***
"Assalammualaikum, Bunda ...!" ucapku setengah berteriak sambil membuka pintu rumah.
"Waalaikumsalam. Syukurlah kamu sudah pulang. Bunda sempat khawatir, loh." Bunda menciumi kedua pipiku.
"Ayah sudah pulang, Bun?"
"Sudah. Itu lagi mandi. Kamu pasti capek, 'kan? Buruan mandi, abis itu kita makan sama-sama."
"Oke, Bunda. Laksanakan!" tegasku sambil memberi hormat, membuat bunda tertawa karenanya.
Aku bergegas masuk ke kamar. Sore ini benar-benar melelahkan untukku, mendorong motor sendirian. Azka? Sedang apa dia sekarang? Sudah sampai rumah juga belum, ya?
Aku memikirkan Azka yang tadi juga ikut menungguiku menambal ban motor."Ah ... astaga! Kenapa aku mikirin dia, sih? Ya, Tuhan! Gawat sekali, rasanya dia sedang menari-nari di dalam otakku!" pekikku sendiri di kamar.
Tok ... tok ...
"Qila? Sudah selesai mandinya? Ayah sama Bunda tunggu di ruang makan, ya!" teriak bunda dari kamar.
"Oh ... eh ... i-iya, Bunda. Sepuluh menit lagi!" sahutku yang langsung berdiri menyambar handuk dan masuk ke kamar mandi.
***
"Lama banget mandinya," ujar ayah saat aku baru saja duduk bergabung di ruang makan.
"Tadi Qila goleran dulu, Yah. Makanya telat mandinya," jawabku memberi alasan.
"Tadi dorong motor, ya?" tanya ayah lagi.
"Iya, Yah. Capek banget. Mana bengkelnya jauh juga dari kantor."
"Kenapa nggak minta jemput Ayah aja tadi?"
"Nggak, ah. Malah makin ribet ntar," jawabku asal.
"Hallah, kamu ini."
"Tadi Azka yang nemenin di bengkelnya," ucapku santai sambil terus menyuapkan nasi ke mulut.
"Uhuk ... a-apa?" Ayah tampak kaget sampai terbatuk.
"Aduh ... Ayah, makanya jangan ngobrol kalau lagi makan!" seru bunda sambil memberikan air minum pada ayah.
"Kenapa Ayah jadi kaget?" tanyaku.
"Nggak kenapa-napa. Kalian nggak usah ketemu dulu, ya. Dua minggu lagi 'kan kalian akan menikah."
"Ayah, apa tidak terlalu cepat? Rasanya Qila belum siap, deh."
"Qila. Kalau ngomong soal siap atau belum, sejatinya kamu tidak akan pernah siap. Memang itu akan jadi sangat asing, tapi dari segi umur kamu sudah sepantasnya menikah. Lagian, Bunda dan Ayah yakin Azka adalah orang yang pasti bisa menjagamu dengan baik."
"Pasti itu sifat Allah, Bunda," ujarku mengingatkan.
"Astagfirullah. Iya-ya, maksud Bunda insyaallah Azka akan menjadi suami yang baik untuk Qila."
"Insyaallah, mudah-mudahan saja, Bun," lirihku tanpa mau memperpanjang lagi pembicaraan mengenai perjodohanku dengan Azka.
***
Ting ...[Assalammualaikum, Qila.]Satu pesan Wa masuk dari nomor baru. Dengan profil buku-buku yang menumpuk. Siapa, ya?[Waalaikumsalam, ini siapa?] balasku dengan sopan.[Bos tampan dengan beribu pesona.]What the? Hah ... ini pasti Azka! Siapa lagi orang yang dengan pede mengatakan dirinya tampan. Tidak kubalas lagi pesan dari Azka. Bukan tidak berniat membalas, tapi tiba-tiba saja wajahku sedikit memerah karenanya dan aku benar-benar kehabisan kata-kata.Saat masih terpana dengan pesan barusan, tiba-tiba saja ponselku berdering menandakan panggilan masuk."Ah ... kenapa malah menelpon, sih."Kumatikan panggilan darinya. Membalas pesannya saja aku gagu, apalagi bicara secara langsung. Oh ... Tuhan! Ada apa ini. Kenapa tiba-tiba jadi grogi seperti ini.[Apa aku mengganggu?] Kubaca lagi pesan yang masuk dari Azka.[Tidak. Aku sedang tidak ingin bicara.] balasku.[Baiklah. Kuharap
"Sudah siap, Sayang? Masyaallah, anak Bunda cantik sekali," puji Bunda saat masuk ke kamar.Aku hanya termangu menatap Bunda yang berdiri di ambang pintu, menatap dengan mata penuh takjub. Rasanya baru kemarin aku bercerita pada Bunda soal kegugupan ini, tapi ternyata hari di mana aku akan berganti status menjadi seorang istri datang juga."Hey ... malah melamun."Kurasakan tangan Bunda menepuk pelan pundak ini. Ah ... aku tidak sedang bermimpi, kupandangi lagi wajah yang ada di balik kaca."Bunda, i-ini waktunya?" tanyaku gugup sambil terus menatap cermin."Iya, Sayang. Semua orang sedang menunggu.""T-tapi--""Sayang, Bunda tahu kamu pasti sangat gugup. Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja. Bismillah, ya," ucap Bunda menenangkan, ada sedikit air di sudut mata beliau."Bunda, nangis?""Tidak. Mana mungkin Bunda nangis di hari bahagia kamu ini? Ayo, kita ke luar."Akhirnya, dengan kaki ya
Paginya, aku bangun terlambat. Memang selalu begitu kalau malamnya tidur telalu larut malam. Selepas mandi dan berpakaian, aku ke luar dan berencana ikut membantu bunda menyiapkan sarapan."Pagi, Bunda," sapaku saat melihat bunda tengah membuat teh."Pagi, Sayang. Nyenyak tidurnya?" tanya bunda."Begitulah. Tadi malam Qila sama Azka--""Ssttt ... masa kamu omongin itu sama Bunda." Bunda terlihat menahan tawa."Bukan begitu, Bun. T-tapi--""Udah. Siapin sarapan, nanti suamimu bangun.""I-iya, Bun. Tapi, Qila mau bikin apa? Qila 'kan belum bisa masak.""Roti, Sayang. Itu di sana, sama kopi juga di sana.""Bikin kopi? Caranya?""Ya, ampun. Kamu tinggal kasih gula sama kopi di dalam cangkir, terus dikasih air panas. Gimana, sih.""Iya, iya. Bunda kenapa sewot gitu," ucapku cemberut."Bunda ke depan dulu, ya. Ngantar teh ayah.""Ayah udah sarapan, Bun?""Udah, dari tadi mal
"Aqila, aku hanya memintamu melayaniku untuk mengambilkan aku makanan di dapur. Aku lapar, Qila,""A-apa? Makanan?""Hahaha ... jadi, kamu berpikir apa?""A-aku pikir--""Sudah. Ayo, aku temani ke dapur." Azka berdiri, menaruh peci dan melipat sajadah.Ia ke luar lebih dulu, sedang aku masih menetralkan hati yang benar-benar merasa sangat malu."Hah ... memalukan sekali. Ya Tuhan, aku benci pikiranku. Aach ... malu-malu-malu!" pekikku tertahan pada diri sendiri."Hei ... apa masih lama?" Azka kembali muncul."Eh ... iya, sebentar," ucapku, cepat-cepat membuka mukena dan mengikuti Azka ke dapur."Kamu mau makan apa?" tanyaku saat sudah di dapur."Terserah. Adanya apa?""Nggak tahu. Di kulkas ada ayam, ikan, telur dan--""Apa saja," ujarnya memotong kalimatku.Aku terpana beberapa saat, menatap satu persatu bahan makanan yang sama sekali tidak kumengerti bisa dijadikan apa.
Aku masih duduk di ruang tunggu. Tidak lama, dokter ke luar dari ruangan Ayah. Aku yang spontan berdiri menemui dokter hampir saja terjatuh, kalau saja Azka tidak segera menangkap tubuhku."Hati-hati, Qila. Tetaplah tenang," ujarnya khawatir.Aku mengangguk menatap penuh rasa terima kasih pada laki-laki yang bergelar suamiku itu."Bagaimana, Dok? Ayah baik-baik saja, 'kan? Ayah sudah sadar, 'kan?" cecarku pada dokter.Sejenak kulihat dokter yang kutafsir usianya hampir sama dengan ayahku itu menghela napas berat. Menatapku dengan tatapan yang ... entahlah!"Ada apa, Dok? Bagaimana dengan Ayah?" tanyaku lagi."Maaf, Nak. Ayahmu tidak bisa diselamatkan. Ia terkena serangan jantung.""A-apa? A-yah ... t-tidak mungkin!" pekikku tertahan.Aku langsung saja berlari masuk tanpa peduli gapaian tangan Azka yang berusaha menenangkan aku."A-ayah! Ayah kenapa? Bangun, Yah. Apa yang akan Qila kata
Satu bulan kemudian."Siap, Sayang?" tanya Azka."Hu'um."Aku mengangguk. Kemudian, mengikuti langkah Azka menuju mobil. Sebelum masuk ke mobil, kupandangi lagi rumah yang selama ini menyimpan banyak kenanganku bersama ayah dan bunda.Aku tidak bisa tinggal di sini. Bayang-bayang kenangan bersama ayah dan bunda terus terngiang. Bahkan, aku bisa terduduk lunglai saat sedang mencuci piring hanya karena ingat saat-saat bersama bunda di dapur rumah ini. Tidak terasa air mataku mengalir."Qila, masuklah."Ucapan Azka membuatku tersadar dari lamunan."Qila pergi dulu Ayah, Bunda. Selamat tinggal," lirihku.Mobil Azka bergerak membelah jalanan yang padat dengan kendaraan. Aku tidak pindah ke luar kota, hanya saja mencari tempat yang lebih jauh dari rumahku yang dulu.Azka yang meminta untuk pindah. Ia tidak tega melihatku terus saja menangisi kepergian ayah dan bunda.
[Azka, aku lapar. Lupa bawa dompet. Pinjam ke teman-teman nggak enak.]Kukirim pesan via Wa pada Azka. Entah kenapa dompet yang sangat penting untuk dibawa itu malah ketinggalan di rumah.Kenapa Azka belum juga membalas pesanku? Padahal sudah centang dua meski abu-abu. Azka memang mematikan mode baca di Wanya. Sok sibuk sekali CEO tampan itu."Makanlah."Sebuah kotak makanan kini ada di atas meja kerja. Aku kaget saat melihat Azka berdiri di samping. Tentu saja dengan semua mata dan pandangan anak-anak kantor mengarah pada kami.'Tuhan. Apa-apaan ini!'"Te-terima kasih, Az ...eh, Pak Azka," ucapku kemudian."Cepatlah makan. Jangan sampai terlambat, aku tidak ingin kamu sakit, Qila," ujarnya lagi.'Azkaaaa ...!' teriakku dalam hati.Ia berjalan santai meninggalkanku yang ditatap penuh tanda tanya oleh para karyawan kantor."Apa liat-liat?!" seruku sambil memelototi me
Aku tiba di rumah lebih dulu, setelah sebelumnya menghubungi Azka untuk meminta ijinnya. Karena Azka masih sibuk di luar."Gara-gara udah lama nggak kerja, badanku jadi capek semua," lirihku sambil merebahkan diri di kasur.Sambil memejamkan mata, aku membayangkan wajah Azka. Kenapa mereka segitunya hanya karena ingin menarik perhatian laki-laki itu.Huh ... Azka itu 'kan, suamiku. Dasar centil! Mereka itu apa tidak bisa, ya, cari laki-laki lain. Kenapa malah harus memperebutkan suami orang.Azka pasti juga nanti malah sok-sokan kalau aku bilang mereka semua tergila-gila padanya."Ngelamunin apanya, sih?"Hah ... sekarang suara Azka malah seperti jelas di telingaku."Azka, Azka. Kenapa mereka--""Kenapa apanya?"Aku terlonjak dan langsung membuka mata."Azka? Sejak kapan kamu di sini?" tanyaku kaget."Sejak tadi. Suami pulang, bukannya disambut malah dilamunin. Ngel