Home / Romansa / The Ex Brother / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of The Ex Brother: Chapter 1 - Chapter 10

58 Chapters

Satu

Demi apa pun itu, tidak pernah selama dua puluh tujuh tahun hidupku, aku merasa setakut ini. Aku bersumpah, dia terlihat mengerikan jika dilihat dari sudut pandang manapun.Dia, Rhys Dimitri Oxley. Kakak tertua yang meski aku takut bertatapan dengannya, seumur hidup, aku tak pernah memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’ kecuali, hanya empat huruf depan dari namanya itu.Sekarang, si pria berumur empat puluh tahun itu, duduk di tepi ranjangku. Menatap lurus padaku yang hanya mengenakan jubah mandi beserta air yang masih menetes-netes dari ujung rambutku. Sial, di mana handuk kecilku?Aku senang keramas di pagi hari menggunakan air dingin, dan membiarkan Ibu menuduhku sengaja melakukannya, untuk menghindari sarapan bersama para tamu penjilat keluarga Oxley, dengan alasan terserang flu.Karena gugup, aku tidak berani mengangkat wajahku. Aku bahkan tak bisa menebak seperti apa raut wajah pria menakutkan yang lebih kejam dari Ayah itu, saat kini dia menat
Read more

Dua

“Ah, baik.” Tanpa perlu berpikir bahwa dia kesal, aku bergegas turun dengan mendorong pintu tanpa bantuannya, tidak seperti saat kami akan berangkat.Seorang wanita tua, mungkin berusia setengah abad lebih sepuluh tahun, menyambut kami dengan senyum yang dipaksakan. Dia mengenakan terusan polkadot hitam dengan warna latar putih bersama rambut yang tersanggul rapi. Dia terlihat modis di usia tuanya.“Tuan Muda Tom ada di kamar utama lantai satu, mari kuantar kalian ke sana.” Dia mengangguk pelan, mungkin isyarat agar kami mengikutinya.Rumah besar bergaya klasik dan terlihat antik. Aku terpesona sejenak, tapi Rhys menarikku ke sebuah lemari besar di dekat sebuah pintu, setelah dia meminta wanita tua itu meninggalkan kami berdua saja.Merasa sesak meski dalam sebuah lemari yang tidak terisi apapun, aku berusaha menjauh sedikit dari si menakutkan ini.Hebatnya, dia tidak membungkuk saat berada di dalam sini. Itu menandakan, lemari kayu tua nan kokoh ini cu
Read more

Tiga

Rok pensil ketat pemberian Rhys, robek pada bagian kirinya. Dan itu membuatku geram, ketika menyadari paha sedikit di atas lututku terlihat dengan sempurna sekarang. Beruntung dia buta, jadi hanya Rhys yang bisa melihat kulit sensitif-ku yang terbuka.Si berengsek Tom Jhon Parera berteriak-teriak kasar dengan bahasa asing. Aku sedikit tahu artinya, dia menginginkanku keluar dari ruangan ini. Meski begitu, dia tetap duduk di kursi berlengannya.“Diam dan tenanglah, Tom.” Aku bangun dalam gerakan cepat dan kembali menghampirinya.“Wanita jalang sialan, keluar kau!” Dia sudah kembali pada bahasa aslinya. Menunjuk-nunjuk menggunakan telunjuknya yang tidak akan pernah tepat ke arahku.“Tidak, tidak. Kau tidak bisa mengusirku dulu. Ada yang harus kau lakukan untukku, sayang,” kataku sambil mengelus wajahnya dan aku mendapatkan tangan besarnya menepis dengan sangat kasar padaku.“Setelah berani menipu, kau mencoba meminta sesuatu dariku?” Wajahnya merah padam,
Read more

Empat

Dia bukan melihat pada bagian atas lututku yang terbuka, tapi tatapannya tepat menghujam kedua bola mataku.Aku tahu, selangkah lagi menuju kematian yang bukan makna sebenarnya dari kematian itu sendiri. Cukup tegang, aku melepas rok pensil ketat sialan ini dengan perlahan, dan tentu saja sulit. Beruntungnya kemeja putih polos yang menutupi celana dalamku, benar-benar menjalankan perannya yang baik. Sehingga bagian itu tertutup dari pandangan kedua matanya.“Tidak ada waktu lagi. Buka blazer-mu untuk menutupi bagian depan,” perintah Rhys. Dan kurasa itu hanya perintah konyol untuk mempermalukanku.“Lalu ini untuk bagian belakang,” katanya lagi sambil melempar jas-nya ke arahku. Tepat menutupi kepalaku saat jas itu mendarat. Dia memang tidak akan pernah memiliki secuil pun sopan santun. Tidak akan pernah.Sejujurnya, ini terlihat konyol dan memalukan. Dua bentuk luaran dari pakaian untuk menutupi bokong dan bagian depanku. Aku tahu, Rhys berniat me
Read more

Lima

Kurasakan tarikan halus di sekitar kepalaku. Rhys melakukannya. Dia menyisiri rambut cokelat-ku yang melewati bahu.“Berapa kali kau keramas dalam seminggu?”Aku hampir tertawa. Dia yang jarang bicara jika tidak ada hal penting, kenapa bertanya mengenai hal sepele?“Hampir tiap pagi aku keramas,” sahutku datar, sebisa mungkin begitu.“Ganti waktunya.”“Apa?”“Setiap sore,” katanya tanpa mau mengulangi pertanyaan kebingunganku.“Bisa beritahu aku alasannya?”“Hanya ingin.”Aku benar-benar memimpikan saat-saat di mana aku bisa memukul wajahnya, meski itu tidak akan pernah terwujud dalam kehidupan nyataku.“Hanya ingin?”“Jangan biasakan mengulangi perkataanku.”“Baik.” Aku cukup cepat menjawabnya karena tidak ingin nada mengintimidasi yang lebih dari ini.“Mulai hari ini, setiap pulang dari Oxley Family Wood aku akan singgah. Jangan biarkan siapapun masuk dan berada di kamarmu. Keramaslah satu jam sebelum ak
Read more

Enam

Dengan pelan, aku mengangguk dan menjawab, “Ya.”Rhys melanjutkan percakapannya di telepon. Aku tidak fokus pada apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya itu ada kaitannya dengan Tom Jhon Parera.“Urus semua sisanya. Jangan ada yang terlewat.” Rhys melirikku yang kebetulan, tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arahnya. Cengkeraman eratnya mengendur. Aku tidak paham kenapa itu terjadi. “Sebaiknya kau tidak menghubungiku sampai nanti kuizinkan.” Rhys memberi peringatan di telepon, lalu mengakhiri panggilan.Melepas cengkeraman tangannya, dia kembali naik ke ranjangku. “Ayo mulai lagi. Gangguan sudah lewat.”Semakin lama, semakin terasa bahwa aku hanyalah pecundang yang terlihat mengalami kemajuan.Hampir lima puluh lima menit ketika Rhys memintaku berhenti. Aku benar-benar menghitung dengan tepat waktunya. Detail seperti ini, sewaktu-waktu, aku akan membutuhkannya.“Besok pagi, kenakan pakaian yang akan diantarkan Peony padamu. Kau harus
Read more

Tujuh

Aku bergeming ketika Rhys sudah berdiri di belakangku. Posisi yang sama seperti saat dia mengepang rambutku kemarin sore.Dia membuka tatanan half ponytail-ku, dengan perlahan-lahan. Menyisiri rambutku dengan jari-jarinya. Setelah itu, aku tidak bisa merasakan apa yang dia lakukan di belakang, tepatnya pada rambutku.Diam membeku, aku menahan rasa ingin merosot duduk di lantai. Aku bergetar karena merasakan kedekatan yang mengancam dibalik punggungku.Grapefruit dan pepper dari tubuh kami seakan menyatu, aromanya sangat kuat memenuhi ruang perpustakaan yang ukurannya setengah dari perpustakaan kesatu milik Ayah dan Ibu.Kali pertama aku ke sini, sebentar, aku tidak ingat, dan sepertinya memang aku belum pernah menginjakkan kakiku ke sini. Aku juga tidak yakin kelima Kakakku yang lain pernah dibiarkan masuk oleh Rhys.“Pergilah bercermin.” Rhys berkata dengan nada memerintah, dan itu berhasil mengejutkanku.Rambutku terasa dalam balutan berbeda. Se
Read more

Delapan

“Katakan sesuatu yang benar-benar setimpal dengan waktuku yang kau buang.” Rhys memandangku, terlihat menikmati caraku mencegahnya pergi.“Bisakah kita mendiskusikan ini dalam perjalanan?” Aku mengais jari-jari kaki kanan di lantai marmer honed yang anti licin. Sampai kapan aku tidak diizinkan mengenakan alas kaki seperti ini?“Apa yang ingin kau diskusikan?”“Tentang ...” Aku menoleh sekilas ke lorong menuju ruang makan, “tentang ucapan konyolku tadi.”“Kau berubah pikiran?”“Ya.”“Bagus.” Dia memutar tubuhnya. “Ikut aku.” Baru dua langkah berjalan, dia berhenti, melihatku melewati bahunya. “Jangan berjalan dibelakangku.”Menghela napas diam-diam, aku menurut. Berjalan di sisinya dengan kedua kaki telanjang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana perihnya kedua kakiku jika digunakan saat menginjak aspal atau lantai yang terkena sinar matahari.Jelas sekali Rhys ingin membuatku menderita.Kami tiba di garasi. Sama seperti sebelumnya, a
Read more

Sembilan

Apel matang yang sudah berdiri di puncak kepalaku sedikit tidak menurut. Sesekali dia hampir merosot, dan aku berhasil menangkapnya.Aneh, Rhys terlihat sabar akan hal itu. Dia diam menunggu, tanpa mengatakan apapun meski pandangan kedua matanya begitu tajam dan menakutkan.Aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa si apel sudah siap, dan aku juga siap untuk mati. Berlebihan memang. Tapi aku hanya siap untuk terluka, bukan mati konyol.Dalam jarak terdekat, bukan seharusnya—tiga puluh meter—sekitar dua puluh meter, mungkin Rhys bisa mengenai apelnya. Berdoa saja, atau paling tidak, aku berharap tidak, jangan sampai kepalaku yang terkena bidikan anak panahnya.Mungkin jika harus memilih, lengan, bahu, atau kaki ya, sebaiknya anggota tubuh yang lain. Oh baiklah, aku sedikit panik! Ini gila!Rhys terlihat sudah menarik string. Dan ayolah, Putri bungsu Oxley, jangan tatap dia! Akan lebih baik jika aku menatap lurus ke arah lain, sambil berharap dia benar-ben
Read more

Sepuluh

Benar, memang dia yang akan melakukannya. Setelah wajahku kering dengan sendirinya, Rhys mendekati wastafel, untuk mencuci tangannya cukup lama dari yang aku lakukan.“Jangan bergerak. Tenang dan tahanlah.” Rhys sudah selesai mencuci tangan pada akhirnya, duduk di hadapanku. Membuka tutup obat oles berbentuk gel, lalu mengoleskannya sedikit demi sedikit, dengan sangat pelan dan hati-hati di pipiku.Sekarang wajahnya sedekat saat tadi dia mengamati goresan luka di wajahku. Aku tidak paham kenapa dia sama sekali tidak memiliki kemiripan denganku.Alis matanya tidak tebal seperti milikku. Bentuk hidungnya lurus dari pangkal hingga ke ujungnya. Bibirnya tipis. Rhys juga memiliki rambut yang hitam pekat, tidak kecokelatan sepertiku.Walau Adorjan dan Leon memiliki warna rambut yang hampir mirip denganku, tapi cokelat yang lebih gelap, tetap saja aku tidak memiliki kemiripan satu persenpun dengan keenam saudara laki-lakiku, terutama Rhys.Aya
Read more
PREV
123456
DMCA.com Protection Status