Share

The Ex Brother
The Ex Brother
Penulis: Dwi Sartika Juni

Satu

Penulis: Dwi Sartika Juni
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Demi apa pun itu, tidak pernah selama dua puluh tujuh tahun hidupku, aku merasa setakut ini. 

Aku bersumpah, dia terlihat mengerikan jika dilihat dari sudut pandang manapun.

Dia, Rhys Dimitri Oxley. Kakak tertua yang meski aku takut bertatapan dengannya, seumur hidup, aku tak pernah memanggilnya dengan sebutan ‘Kakak’ kecuali, hanya empat huruf depan dari namanya itu.

Sekarang, si pria berumur empat puluh tahun itu, duduk di tepi ranjangku. Menatap lurus padaku yang hanya mengenakan jubah mandi beserta air yang masih menetes-netes dari ujung rambutku. Sial, di mana handuk kecilku?

Aku senang keramas di pagi hari menggunakan air dingin, dan membiarkan Ibu menuduhku sengaja melakukannya, untuk menghindari sarapan bersama para tamu penjilat keluarga Oxley, dengan alasan terserang flu.

Karena gugup, aku tidak berani mengangkat wajahku. Aku bahkan tak bisa menebak seperti apa raut wajah pria menakutkan yang lebih kejam dari Ayah itu, saat kini dia menatapku lekat-lekat.

Dia aneh, saat memiliki ide untuk masuk tanpa izin ke kamarku seperti ini, tanpa penjelasan apapun yang bersedia keluar dari mulutnya.

Lalu dari mana dia mendapatkan kunci kamarku?

“Berpakaianlah, kau harus ikut denganku.” Ucapannya bagai air es yang mengguyurku di pagi hari mendung, di saat tubuhku sudah sepenuhnya basah.

Aku masih diam menunggu. Hei, Kakak tertua, bukankah seharusnya kau pergi ketika Adik perempuanmu yang sudah dewasa ingin berpakaian? Sayang sekali, isi kepalaku itu tidak berguna di saat seperti ini. Aku tidak berani menyuarakan apa yang ada di dalam pikiranku padanya.

Karena aku selalu berhasil menyembunyikan semua itu jauh di dalam pikiranku. Maka diriku, tidak lebih baik dan hebat dari seorang pecundang.

“Apa yang kau tunggu?” Dia menatapku, tidak tajam, tidak menusuk, tapi ekspresinya begitu datar, dan bagiku itu lebih menakutkan.

“Ah, ya baik.” Dengan cepat aku membuka lemari pakaianku, meraih apa saja yang bisa, lalu berencana untuk mengenakan pakaian sambil bersembunyi di kamar mandi, itu akan terasa lebih menyelamatkanku.

“Kenakan ini.” Suaranya yang bagai angin dingin, membuatku beku.

Susah payah aku menoleh dan melihat bahwa ada pakaian yang terlipat rapi di atas ranjangku. Sungguh jangan tanya padaku, sejak kapan pakaian itu ada di sana, karena tentu saja, aku tidak tahu.

Mendekat, aku mengambil pakaian itu dengan pelan dari atas ranjang. Sempat bertatapan mata dengan Kakakku yang setengah gila itu, aku tersentak.

Ryhs, si pria kejam. Dia tidak menikah, tapi memiliki banyak wanita cantik di sekelilingnya. Entah bagaimana, mereka terlihat seperti piala bergilir di mataku.

“Kutunggu kau di luar, sepuluh menit.” Dia sudah berdiri, aroma maskulinnya menyebar dalam kamarku. Bahkan aromanya masih tersisa, ketika dia sudah menutup pintu, keluar tanpa menimbulkan suara lainnya.

Delapan menit, dan aku lega dengan kecepatan gerakku ketika setelan rok pensil dan kemeja putih sebagai dalaman, beserta blazer abu-abu di bagian luar bisa berhasil cepat melekat di tubuhku.

“Ganti sepatumu,” perintah Rhys, itu terasa menyinggung perasaanku.

Dia keberatan dengan pumps cokelat berbahan beledru yang kupakai. Jadi sekarang aku kebingungan dengan pilihan lain.

Tiga menit kemudian, aku kembali ke hadapannya bersama dengan dua pasang sepatu yang kutenteng. Dan dia menunjuk stilleto boots warna hitam daripada memilih sling back heels pink yang lembut.

Tanpa bicara, aku mengenakannya dan melempar sling back heels pink itu ke sudut ruangan. Membiarkannya tetap di luar kamarku tidak akan jadi berpindah kepemilikan, di rumah yang hanya berisi dua wanita, aku dan Ibu.

Pelayan wanita di keluarga kami hanya berkisar tiga atau empat orang, dan mereka tidak akan lancang mengambil sepatuku dengan berbagai pertimbangan.

Lagipula, mereka tidak berkeliaran sembarangan di rumah mewah bak istana ini. Kemunculan mereka bisa dihitung dengan jari, hanya pada saat pagi hari di jam membersihkan seluruh ruangan, menyiapkan sarapan, makan siang, dan malam.

Sisanya, mereka hanya akan datang jika diminta. Dan aku, paling enggan memanggil mereka untuk hal remeh di kamarku. Aku tidak suka siapapun mengacaukan kamarku. Pengecualian untuk Rhys, tentu saja. Pagi ini dia sudah seperti monster salju muncul begitu saja di kamarku.

“Pelajari ini ...” Dia menyodorkan sebuah dokumen padaku, tidak menatapku tapi terdengar bergumam, “jangan ada kesalahan, karena aku yang memilihmu.”

Serasa angin dingin meniup leherku, aku bergidik. Kenapa harus aku? Tapi sejak kapan aku berani melawannya? Aku hanya tidak patuh pada Ayah Ibu dan kelima saudara laki-lakiku yang lain, tapi tidak padanya.

Jangan tanyakan lagi padaku kenapa, aku sungguh tidak tahu. Aku selalu melihatnya seperti seseorang yang muncul dari kegelapan dengan pistol atau pedang berlumuran darah di tangannya.

Itu fantasiku tentangnya. Meski dia Kakak kandungku, aku hampir tidak bisa menganggapnya begitu. Dia berlawanan denganku. Rhys menguasai seluruh orang di rumah ini, siapapun itu, termasuk Ayahku sebagai pemimpin keluarga yang sebenarnya.

Hampir semua perkiraannya benar, dan Ayah tunduk pada apapun yang dikatakan olehnya. Dia si Anak emas. Begitu yang sering kudengar dari pembicaraan lima saudara laki-lakiku yang lain.

“Masuklah.” Dia membukakan pintu mobil mewahnya untukku, dan hebat, dia membuka pintu di samping sopir.

Itu berarti aku akan duduk di sampingnya, untuk pertama kali dalam hidupku, sepanjang usiaku selama ini.

Aku duduk dengan gugup, tidak tenang. Khawatir aku akan mendapat hukuman atas kejadian pagi kemarin.

Tapi kurasa, Ibuku lebih suka menghukumku dengan caranya seperti biasa, daripada mengadu pada Rhys tentang sikap kurang ajarku pada tamu di meja makan kami, saat sarapan pagi kemarin.

“Keringkan rambutmu, tetap biarkan tergerai berantakan.” Ucapan Rhys hadir bersamaan dengan handuk putih kecil yang kini sudah berada di pangkuanku.

Dia mulai mengemudi, dan itu luar biasa. Seingatku, tidak ada anggota keluarga kami yang mengemudikan mobilnya sendiri dan aku tidak pernah melihat hal seperti itu selama ini.

Kami tidak kekurangan sopir, tapi pagi ini dia menyetir sendiri dan berhasil membuatku ketakutan setengah mati.

Bukan tanpa alasan, aku pernah mendengar dari seorang tamu wanita yang hadir di pesta ulang tahun Ibu setahun lalu, bergosip bahwa Rhys pernah melemparkan dirinya keluar dari mobil, sementara kendaraan itu terjun bebas ke jurang bersama satu orang lain masih berada di dalam mobil, yang dia biarkan mati seorang diri jatuh ke dalam jurang.

Beberapa hari setelahnya, aku melihat wajah si wanita yang bergosip tentang Rhys itu, terpampang di sebuah majalah dengan tulisan berbelasungkawa di bagian bawah majalah, berisi berita bahwa si wanita ditemukan bunuh diri di kamar mandinya.

Itu memang bukan kebetulan. Rhys melakukan sesuatu pada orang-orang yang terlalu berisik.

Aku tidak berani menatap Rhys yang sedang menyetir. Kuakui, aku takut tanpa sebab padanya.

Seluruh anggota keluargaku gila, aneh, dan perusak. Entah pada Ibuku, aku belum melihat dia merusak sesuatu secara brutal seperti Ayah dan keenam saudaraku yang lain, paling buruk, Ibu hanya mematahkan tangan seorang wanita penggoda yang berniat menipu Ibu, berharap bisa bergabung dengan keluarga Oxley dengan menjadi Ibu tiriku.

“Apa yang kau tunggu? Ayo, turun.”

Bersambung.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Dwi Sartika Juni
Terima kasih, Kak Lafiza. Semoga suka. Bila berkenan, setelah selesai dari sini, singgah ke The Ex Brother 2 ya? ...
goodnovel comment avatar
Lafiza
Baru baca bab pertama. Keren. Lanjut bab berikutnya. Salam kenal, Thor ...
goodnovel comment avatar
Ardell
suka bgt ma crita ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • The Ex Brother   Dua

    “Ah, baik.” Tanpa perlu berpikir bahwa dia kesal, aku bergegas turun dengan mendorong pintu tanpa bantuannya, tidak seperti saat kami akan berangkat.Seorang wanita tua, mungkin berusia setengah abad lebih sepuluh tahun, menyambut kami dengan senyum yang dipaksakan. Dia mengenakan terusan polkadot hitam dengan warna latar putih bersama rambut yang tersanggul rapi. Dia terlihat modis di usia tuanya.“Tuan Muda Tom ada di kamar utama lantai satu, mari kuantar kalian ke sana.” Dia mengangguk pelan, mungkin isyarat agar kami mengikutinya.Rumah besar bergaya klasik dan terlihat antik. Aku terpesona sejenak, tapi Rhys menarikku ke sebuah lemari besar di dekat sebuah pintu, setelah dia meminta wanita tua itu meninggalkan kami berdua saja.Merasa sesak meski dalam sebuah lemari yang tidak terisi apapun, aku berusaha menjauh sedikit dari si menakutkan ini.Hebatnya, dia tidak membungkuk saat berada di dalam sini. Itu menandakan, lemari kayu tua nan kokoh ini cu

  • The Ex Brother   Tiga

    Rok pensil ketat pemberian Rhys, robek pada bagian kirinya. Dan itu membuatku geram, ketika menyadari paha sedikit di atas lututku terlihat dengan sempurna sekarang. Beruntung dia buta, jadi hanya Rhys yang bisa melihat kulit sensitif-ku yang terbuka.Si berengsek Tom Jhon Parera berteriak-teriak kasar dengan bahasa asing. Aku sedikit tahu artinya, dia menginginkanku keluar dari ruangan ini. Meski begitu, dia tetap duduk di kursi berlengannya.“Diam dan tenanglah, Tom.” Aku bangun dalam gerakan cepat dan kembali menghampirinya.“Wanita jalang sialan, keluar kau!” Dia sudah kembali pada bahasa aslinya. Menunjuk-nunjuk menggunakan telunjuknya yang tidak akan pernah tepat ke arahku.“Tidak, tidak. Kau tidak bisa mengusirku dulu. Ada yang harus kau lakukan untukku, sayang,” kataku sambil mengelus wajahnya dan aku mendapatkan tangan besarnya menepis dengan sangat kasar padaku.“Setelah berani menipu, kau mencoba meminta sesuatu dariku?” Wajahnya merah padam,

  • The Ex Brother   Empat

    Dia bukan melihat pada bagian atas lututku yang terbuka, tapi tatapannya tepat menghujam kedua bola mataku.Aku tahu, selangkah lagi menuju kematian yang bukan makna sebenarnya dari kematian itu sendiri.Cukup tegang, aku melepas rok pensil ketat sialan ini dengan perlahan, dan tentu saja sulit. Beruntungnya kemeja putih polos yang menutupi celana dalamku, benar-benar menjalankan perannya yang baik. Sehingga bagian itu tertutup dari pandangan kedua matanya.“Tidak ada waktu lagi. Buka blazer-mu untuk menutupi bagian depan,” perintah Rhys. Dan kurasa itu hanya perintah konyol untuk mempermalukanku.“Lalu ini untuk bagian belakang,” katanya lagi sambil melempar jas-nya ke arahku. Tepat menutupi kepalaku saat jas itu mendarat. Dia memang tidak akan pernah memiliki secuil pun sopan santun. Tidak akan pernah.Sejujurnya, ini terlihat konyol dan memalukan. Dua bentuk luaran dari pakaian untuk menutupi bokong dan bagian depanku. Aku tahu, Rhys berniat me

  • The Ex Brother   Lima

    Kurasakan tarikan halus di sekitar kepalaku. Rhys melakukannya. Dia menyisiri rambut cokelat-ku yang melewati bahu.“Berapa kali kau keramas dalam seminggu?”Aku hampir tertawa. Dia yang jarang bicara jika tidak ada hal penting, kenapa bertanya mengenai hal sepele?“Hampir tiap pagi aku keramas,” sahutku datar, sebisa mungkin begitu.“Ganti waktunya.”“Apa?”“Setiap sore,” katanya tanpa mau mengulangi pertanyaan kebingunganku.“Bisa beritahu aku alasannya?”“Hanya ingin.”Aku benar-benar memimpikan saat-saat di mana aku bisa memukul wajahnya, meski itu tidak akan pernah terwujud dalam kehidupan nyataku.“Hanya ingin?”“Jangan biasakan mengulangi perkataanku.”“Baik.” Aku cukup cepat menjawabnya karena tidak ingin nada mengintimidasi yang lebih dari ini.“Mulai hari ini, setiap pulang dari Oxley Family Wood aku akan singgah. Jangan biarkan siapapun masuk dan berada di kamarmu. Keramaslah satu jam sebelum ak

  • The Ex Brother   Enam

    Dengan pelan, aku mengangguk dan menjawab, “Ya.”Rhys melanjutkan percakapannya di telepon. Aku tidak fokus pada apa yang dia bicarakan, tapi sepertinya itu ada kaitannya dengan Tom Jhon Parera.“Urus semua sisanya. Jangan ada yang terlewat.” Rhys melirikku yang kebetulan, tertangkap basah sedang mencuri pandang ke arahnya. Cengkeraman eratnya mengendur. Aku tidak paham kenapa itu terjadi. “Sebaiknya kau tidak menghubungiku sampai nanti kuizinkan.” Rhys memberi peringatan di telepon, lalu mengakhiri panggilan.Melepas cengkeraman tangannya, dia kembali naik ke ranjangku. “Ayo mulai lagi. Gangguan sudah lewat.”Semakin lama, semakin terasa bahwa aku hanyalah pecundang yang terlihat mengalami kemajuan.Hampir lima puluh lima menit ketika Rhys memintaku berhenti. Aku benar-benar menghitung dengan tepat waktunya. Detail seperti ini, sewaktu-waktu, aku akan membutuhkannya.“Besok pagi, kenakan pakaian yang akan diantarkan Peony padamu. Kau harus

  • The Ex Brother   Tujuh

    Aku bergeming ketika Rhys sudah berdiri di belakangku. Posisi yang sama seperti saat dia mengepang rambutku kemarin sore.Dia membuka tatanan half ponytail-ku, dengan perlahan-lahan. Menyisiri rambutku dengan jari-jarinya. Setelah itu, aku tidak bisa merasakan apa yang dia lakukan di belakang, tepatnya pada rambutku.Diam membeku, aku menahan rasa ingin merosot duduk di lantai. Aku bergetar karena merasakan kedekatan yang mengancam dibalik punggungku.Grapefruit dan pepper dari tubuh kami seakan menyatu, aromanya sangat kuat memenuhi ruang perpustakaan yang ukurannya setengah dari perpustakaan kesatu milik Ayah dan Ibu.Kali pertama aku ke sini, sebentar, aku tidak ingat, dan sepertinya memang aku belum pernah menginjakkan kakiku ke sini. Aku juga tidak yakin kelima Kakakku yang lain pernah dibiarkan masuk oleh Rhys.“Pergilah bercermin.” Rhys berkata dengan nada memerintah, dan itu berhasil mengejutkanku.Rambutku terasa dalam balutan berbeda. Se

  • The Ex Brother   Delapan

    “Katakan sesuatu yang benar-benar setimpal dengan waktuku yang kau buang.” Rhys memandangku, terlihat menikmati caraku mencegahnya pergi.“Bisakah kita mendiskusikan ini dalam perjalanan?” Aku mengais jari-jari kaki kanan di lantai marmer honed yang anti licin. Sampai kapan aku tidak diizinkan mengenakan alas kaki seperti ini?“Apa yang ingin kau diskusikan?”“Tentang ...” Aku menoleh sekilas ke lorong menuju ruang makan, “tentang ucapan konyolku tadi.”“Kau berubah pikiran?”“Ya.”“Bagus.” Dia memutar tubuhnya. “Ikut aku.” Baru dua langkah berjalan, dia berhenti, melihatku melewati bahunya. “Jangan berjalan dibelakangku.”Menghela napas diam-diam, aku menurut. Berjalan di sisinya dengan kedua kaki telanjang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana perihnya kedua kakiku jika digunakan saat menginjak aspal atau lantai yang terkena sinar matahari.Jelas sekali Rhys ingin membuatku menderita.Kami tiba di garasi. Sama seperti sebelumnya, a

  • The Ex Brother   Sembilan

    Apel matang yang sudah berdiri di puncak kepalaku sedikit tidak menurut. Sesekali dia hampir merosot, dan aku berhasil menangkapnya.Aneh, Rhys terlihat sabar akan hal itu. Dia diam menunggu, tanpa mengatakan apapun meski pandangan kedua matanya begitu tajam dan menakutkan.Aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa si apel sudah siap, dan aku juga siap untuk mati. Berlebihan memang. Tapi aku hanya siap untuk terluka, bukan mati konyol.Dalam jarak terdekat, bukan seharusnya—tiga puluh meter—sekitar dua puluh meter, mungkin Rhys bisa mengenai apelnya. Berdoa saja, atau paling tidak, aku berharap tidak, jangan sampai kepalaku yang terkena bidikan anak panahnya.Mungkin jika harus memilih, lengan, bahu, atau kaki ya, sebaiknya anggota tubuh yang lain. Oh baiklah, aku sedikit panik! Ini gila!Rhys terlihat sudah menarik string. Dan ayolah, Putri bungsu Oxley, jangan tatap dia! Akan lebih baik jika aku menatap lurus ke arah lain, sambil berharap dia benar-ben

Bab terbaru

  • The Ex Brother   Lima Puluh Delapan

    Rajin menghitung hari sebagai pengingat, agar aku yakin tidak melupakan momen-momen penting untuk perubahan hidupku, ini hari ke dua puluh satu setelah kejadian itu.Luigi dan aku tinggal serumah, itu benar. Tapi ketertarikanku padanya masih sama, hampir tidak ada. Walau sesekali dia coba untuk naik ke ranjang yang sama denganku di malam ke lima belas dan delapan belas, aku berpura-pura tidak tahu dan memilih tidur memunggunginya sampai pagi.Ada dua kamar di rumah ini, tapi dua malam itu dia mungkin coba melihat keadaanku, alih-alih berbaring di sisiku.“Lui, sebaiknya kau kembali. Ayah dan Ibu bisa sangat mencurigaimu karena hal ini,” kataku, memberi saran. Dia sedang menatapku, ketika sarapan pagi ala ZeeZee sudah disantap setengah jalan menjadi harapannya padaku setiap pagi.“Kau mengusirku?” Luigi menaikkan kedua alis, tapi tidak tampak marah sama sekali.“Untuk kebaikan bersama,” bantahku.Meneguk ha

  • The Ex Brother   Lima Puluh Tujuh

    “Minggir dari hadapanku, Lui.” Rhys mengeluarkan kalimat sedingin es dan terasa tidak menyenangkan jika aku yang mendengarnya.“Tidak, Rhys. Kita harus bicara.” Luigi menatapku, bukannya Rhys.Kulihat wajah Rhys yang mendadak semakin tidak biasa, tegang, dan penuh amarah.“Kau tidak lihat dia terluka?” Suara Rhys mirip geraman. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak memukul Luigi tanpa batasan, karena ada aku di sini.Luigi melihatku, tatapannya melunak, tapi aku tidak menyukai caranya menatapku. Dia membuat gambaran seolah kami memiliki hubungan yang bisa saling berbagi suka dan duka.“Akan kupercepat, kalau begitu.” Luigi kembali lurus menatap Kakaknya. Si sulung dan si bungsu yang saling menatap dalam tatapan tak suka. “Ini tentang rencana Ayah dan Ibu yang ingin membunuh ZeeZee dengan memasukkan racun ke makanan atau minumannya.”Sungguh, aku tidak terkejut sama sekali. Ak

  • The Ex Brother   Lima Puluh Enam

    Aku diam. Tidak berniat menanggapi lebih daripada ini. Jelas, aku meragukan ceritanya. Dari mana dia mengetahui semua alur cerita di saat itu, sementara dia sendiri tidak berada di sana?Kemungkinan terbesarnya hanya satu. Seseorang yang berkhianat pada keluarga Oxley menceritakan semua yang terjadi kala itu pada Audrey.Jika kukatakan aku tidak—“Ledakan! Lari, cepat lari!”Terjadi begitu cepat, kulihat dalam keadaan sadar, sisa orang-orang di dalam restoran cepat saji ini berlarian, berteriak dan menjerit histeris.Ada beberapa tubuh tergeletak dengan wajah penuh luka, tak sadarkan diri. Jeritan tangis melengking dari arah tak kuketahui ikut memasuki pendengaranku.Tempat yang kududuki kemudian bergetar. Aku melihat di depanku, kumpulan asap hitam berjarak hampir dua puluh meter terasa lebih dekat dan ingin menelanku.Lenganku sudah ditarik oleh Lucas, serta Audrey Mika yang ikut panik di sisinya. Semua terasa berj

  • The Ex Brother   Lima Puluh Lima

    Sepakat, kami memilih restoran cepat saji di dalam pusat perbelanjaan, dan aku meminta Lucas untuk tidak mengatakan apapun pada Rhys mengenai pertemuanku dengan Audrey.Aku tahu, meski kukatakan tidak, Lucas tentu saja lebih patuh pada yang membayar gajinya setiap bulan. Jadi tidak akan ada antisipasi untuk hal ini. Dan aku juga tidak peduli tentang semua itu. Jika Rhys bertanya, pasti akan kujawab dengan jujur.Lucas memilih meja ketiga dibelakang kami. Aku yakin sekarang dia sedang memberitahu Rhys mengenai Audrey Mika Dawson yang menikmati makan siang semeja denganku. “Kau pasti tahu bahwa dia akan memberitahu Rhys mengenai dirimu yang mengganggu waktu belanjaku.”Audrey Mika tersenyum, tapi kedua matanya terus fokus pada Lucas. Aku tidak melihat ke arah yang sama pada fokus Audrey, tapi tetap melanjutkan apa yang ingin kukatakan. “Jika kau sudah tahu, jangan sampaikan hal yang mungkin mudah ditebak oleh Rhys. Aku tidak pintar berbohong pada

  • The Ex Brother   Lima Puluh Empat

    “Menurutmu, begitu?”Aku menghela napas. “Aku yang bertanya. Tolong jawab saja pertanyaanku.”Rhys merubah posisi berdirinya. Menurunkan kedua tangan dari lipatan di depan dadanya. “Rahasia yang memang sengaja aku simpan jauh darimu. Siapapun yang berniat memberitahumu, meski itu Ayah atau Ibu, aku tidak segan untuk membuat perhitungan dengan mereka.”Bergidik, aku yakin, kata ‘perhitungan’ bukan hanya sekedar itu saja, tapi memiliki arti yang jauh lebih mengerikan jika itu Rhys yang mengucapkannya.Dia tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Terutama padaku. Dia membuktikan semuanya, aku tahu itu.“Baiklah, itu artinya, kau akan memberitahuku sebelum ada yang coba mendahuluimu, bukan?” Dengan gugup yang tiba-tiba muncul, aku menyesal karena ingin tahu rahasianya. Tapi ini sudah terlanjur kutanyakan.Jika Rhys memilih untuk tidak memberitahuku, maka sebaiknya aku mencari tahu sen

  • The Ex Brother   Lima Puluh Tiga

    “Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem

  • The Ex Brother   Lima Puluh Dua

    “Aku tidak berpikir begitu, Ed.”“Wajah dan gerak tubuhmu mengatakan sebaliknya,” kata Adorjan, tersenyum.“Sudah, lupakanlah. Ayo, bicarakan hal apa yang ingin kau bicarakan padaku tadi.” Mengibaskan tangan di depan wajahku, kusembunyikan pembenaran itu di hatiku.Adorjan tertawa pelan, dia kini sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. “Apakah aman jika kuceritakan di sini?” bisik Adorjan, memajukan sedikit wajahnya, hampir tanpa berjarak denganku.“Aman, Ed. Tenang saja.” Terkejut, aku memundurkan wajahku secepat mungkin.“Begini, ini tentang kau dan Rhys ....” Tubuh Adorjan menegak seketika, dia menunda bicaranya dan malah melihat ke arah lain, melewati kepalaku.Refleks, aku melakukan hal yang sama. Melihat ke arah pandangan Adorjan, dibelakangku.Kedua alisku terangkat, ini penanda bukan hanya aku terkejut karena kemunculannya yang selalu tiba-tib

  • The Ex Brother   Lima Puluh Satu

    Tidak ada yang lebih baik dari tidur bersama Rhys di kamarnya. Bahkan kini aku merasa kamarku tidak lagi aman, apalagi nyaman.“Kau harus segera pindah ke rumahku. Kenapa masih bersikeras tinggal di sini? Peperangan sudah dimulai, ZeeZee. Keadaan tidak lagi sama.” Itu ucapan Rhys saat semalam memelukku menjelang tidurnya.Rhys baru saja pergi. Dan aku juga ingin pergi. Setidaknya keluar rumah saat tidak ada hal yang perlu kukerjakan selain mengacau seperti perintah Ibu atau Ayah di waktu-waktu sebelumnya.“Kita harus bicara, ZeeZee.” Suara serak Adorjan di garasi mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihatnya berjalan mendekatiku. Kutunggu dia dengan perasaan tidak aman. Apa lagi kali ini?“Ada apa, Ed?”“Tidak di sini.” Adorjan membuka pintu mobilku, dia menjadi pemimpin di depanku. Mengemudikan si merah mencolok tanpa inisiatif siapapun.Aku mengikutinya, duduk dengan perasaan ditenang-tenangka

  • The Ex Brother   Lima Puluh

    Mulut senapan laras panjang milik David Oxley sudah menempel di pelipisku. Terbiasa, walau dalam tindakan yang berbeda, aku bergeming di tempat. Aku baru saja menunda percakapan dengan selingkuhan Ayah yang bukan Ayahku ini, karena saat wajah Martiana Neil memucat akibat pertanyaanku, kaki kami sudah tiba di depan pintu ruang kerja David.“Ini sambutan seorang Ayah untuk Putri bungsunya yang senang memberontak, suka ikut campur, dan selalu mau tahu.”Menelan kekecewaan yang entah untuk apa, aku tersenyum miring. Keberanianku setingkat lebih maju. “Terima kasih. Sambutan yang luar biasa, Ayah.”“Senang sekali rasanya saat tahu kau memenuhi undanganku, Nak.”“Aku Anak yang berbakti, Ayah.”Tawa David Oxley menggema di ruangannya. Bagiku, tawanya mirip Leon. Dia juga licik sama seperti keenam Putranya.“Hubunganmu dengan Rhys sudah terlalu dalam, padahal aku dan Tessa susah payah membuat jar

DMCA.com Protection Status