Share

Delapan

Author: Dwi Sartika Juni
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

“Katakan sesuatu yang benar-benar setimpal dengan waktuku yang kau buang.” Rhys memandangku, terlihat menikmati caraku mencegahnya pergi.

“Bisakah kita mendiskusikan ini dalam perjalanan?” Aku mengais jari-jari kaki kanan di lantai marmer honed yang anti licin. Sampai kapan aku tidak diizinkan mengenakan alas kaki seperti ini?

“Apa yang ingin kau diskusikan?”

“Tentang ...” Aku menoleh sekilas ke lorong menuju ruang makan, “tentang ucapan konyolku tadi.”

“Kau berubah pikiran?”

“Ya.”

“Bagus.” Dia memutar tubuhnya. “Ikut aku.” Baru dua langkah berjalan, dia berhenti, melihatku melewati bahunya. “Jangan berjalan dibelakangku.”

Menghela napas diam-diam, aku menurut. Berjalan di sisinya dengan kedua kaki telanjang. Tidak bisa kubayangkan bagaimana perihnya kedua kakiku jika digunakan saat menginjak aspal atau lantai yang terkena sinar matahari.

Jelas sekali Rhys ingin membuatku menderita.

Kami tiba di garasi. Sama seperti sebelumnya, a

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • The Ex Brother   Sembilan

    Apel matang yang sudah berdiri di puncak kepalaku sedikit tidak menurut. Sesekali dia hampir merosot, dan aku berhasil menangkapnya.Aneh, Rhys terlihat sabar akan hal itu. Dia diam menunggu, tanpa mengatakan apapun meski pandangan kedua matanya begitu tajam dan menakutkan.Aku mengisyaratkan dengan tanganku bahwa si apel sudah siap, dan aku juga siap untuk mati. Berlebihan memang. Tapi aku hanya siap untuk terluka, bukan mati konyol.Dalam jarak terdekat, bukan seharusnya—tiga puluh meter—sekitar dua puluh meter, mungkin Rhys bisa mengenai apelnya. Berdoa saja, atau paling tidak, aku berharap tidak, jangan sampai kepalaku yang terkena bidikan anak panahnya.Mungkin jika harus memilih, lengan, bahu, atau kaki ya, sebaiknya anggota tubuh yang lain. Oh baiklah, aku sedikit panik! Ini gila!Rhys terlihat sudah menarik string. Dan ayolah, Putri bungsu Oxley, jangan tatap dia! Akan lebih baik jika aku menatap lurus ke arah lain, sambil berharap dia benar-ben

  • The Ex Brother   Sepuluh

    Benar, memang dia yang akan melakukannya. Setelah wajahku kering dengan sendirinya, Rhys mendekati wastafel, untuk mencuci tangannya cukup lama dari yang aku lakukan.“Jangan bergerak. Tenang dan tahanlah.” Rhys sudah selesai mencuci tangan pada akhirnya, duduk di hadapanku. Membuka tutup obat oles berbentuk gel, lalu mengoleskannya sedikit demi sedikit, dengan sangat pelan dan hati-hati di pipiku.Sekarang wajahnya sedekat saat tadi dia mengamati goresan luka di wajahku. Aku tidak paham kenapa dia sama sekali tidak memiliki kemiripan denganku.Alis matanya tidak tebal seperti milikku. Bentuk hidungnya lurus dari pangkal hingga ke ujungnya. Bibirnya tipis. Rhys juga memiliki rambut yang hitam pekat, tidak kecokelatan sepertiku.Walau Adorjan dan Leon memiliki warna rambut yang hampir mirip denganku, tapi cokelat yang lebih gelap, tetap saja aku tidak memiliki kemiripan satu persenpun dengan keenam saudara laki-lakiku, terutama Rhys.Aya

  • The Ex Brother   Sebelas

    Terburu-buru turun dari mobil, aku melihat ada banyak tamu yang datang ke rumah kami. Sebenarnya, aku tidak heran, mereka pasti mendapat undangan makan siang dari Ibu.Begitu mencintai masak memasak, Ibu nyaris mengajak semua pelayan untuk memasak dalam porsi besar setiap kali dia ingin, lalu mengundang tamu atau teman-temannya untuk menikmati hasil eksperimennya di dapur.Lagipula, aku ingin segera terbebas dari Rhys sebentar saja. Aku terlalu dekat dengannya dan itu sangat membuatku tidak nyaman. Dia terus berada di kamar pintu merah tua bersamaku, meski aku sudah terbangun dengan perdarahan di hidung yang sudah berhenti.“ZeeZee? Apa kabarmu, sayang?”Inilah alasan yang membuatku terburu-buru ingin masuk ke kamar selain karena Rhys. Aku berbalik, Bibi Meida sudah merentangkan kedua tangannya untuk memelukku.“Baik, Bi. Aku baik-baik saja.” Walau ucapanku bernada biasa, Bibi Meida tetap melanjutkan kegiatan beramah tamahnya padaku.“Oh, ZeeZee D

  • The Ex Brother   Dua Belas

    Hugo meninggalkan nomor kontak si Aktor tampan—Giotto Armstrong—yang memiliki wajah licik dan senyum menawan.Meski dia Aktor terkenal, aku tidak begitu tahu apalagi peduli tentang siapa dia. Tapi kuakui si Aktor ini cukup tampan, meski tidak mampu menandingi ketampanan Hugo.Masih tiga jam sebelum Rhys tiba. Aku akan mencoba cara konyolku mengganggu Giotto, tanpa prasangka apapun. Coba saja dan tidak perlu mempedulikan hasilnya.Hugo memberitahuku bahwa tidak akan menjadi masalah ketika Giotto berhasil melacak keberadaanku, atau berhasil mencari tahu siapa aku, karena tidak akan ada satupun orang di Yellowrin yang mau berurusan dengan keluarga Oxley.Tanpa pikir panjang lagi, aku segera mencobanya. Memberi umpan basi yang menurutku, mungkin, masih berfungsi dengan baik.“Kau di mana?” Pertanyaan langsung yang kuberikan ketika panggilanku segera dijawab, meski dia belum mengatakan ‘halo’ karena menurutku, serangan cepat itu, penting.“Maaf, dengan

  • The Ex Brother   Tiga Belas

    Entah karena kepalaku yang terasa berat dan pusing, atau akibat dari rasa mengantuk yang masih ada, tapi kurasa, lebih tepatnya di karenakan sentuhan Rhys yang menyenangkan, membuat kepalaku terkulai kebelakang tanpa kusadari dengan cepat.Sandaran berupa dada Rhys sepersekian detik kemudian, membuat kedua mataku lebih dulu terbuka, daripada kepalaku yang bergerak maju.Sedikit mendongak, aku bisa melihat jakunnya yang naik turun teratur, sepanjang rahang hingga dagu yang baru selesai dicukur dan ah, ya ampun, hentikanlah!“Menyenangkan tidur dan bersandar di sana?” Dia bertanya, tepat setelah aku melepas diri dari dadanya.“Aku tidak sengaja,” gumamku pelan, menoleh sekilas pada Rhys yang masih bersedia duduk di belakangku. Sepertinya rasa takutku pada Rhys semakin menipis dari hari kemarin ke hari ini.Hening setelahnya dan aku berusaha membuka lebar-lebar kedua mataku dan hampir melotot, agar tidak terjebak kantuk yang luar biasa.“Apa ka

  • The Ex Brother   Empat Belas

    Suasana suram setelah percakapanku senja kemarin bersama Rhys di kamar, menyisakan keenggananku untuk bertemu dengannya lagi dalam waktu dekat.Memilih flowy dress hitam hampir semata kaki, aku menambahkan belt warna gold di pinggang sebagai pemanis. Lalu untuk kedua kaki, aku merasa nyaman dengan ankle boots pagi ini.Berjalan tanpa terburu-buru, aku keluar kamar, menyusuri lorong menuju ruang makan sebelum yang lain duduk mengitari meja makan.Lebih menyenangkan ketika mata mereka tidak mengawasiku yang baru tiba karena terlambat. Apalagi sudah beberapa hari aku melewatkan sarapan pagi di kamar dan pergi bersama Rhys.Masih ada lima belas menit lagi sebelum jam sarapan akan dimulai. Jadi aku merasa tidak perlu terburu-buru.Hampir tiba di ruang makan, aku berhenti berjalan ketika dua telapak tangan yang dingin, menutup kedua mataku.“Leon?” Aku menebak mungkin saja dia berniat untuk bercanda denganku pagi ini.“Kau

  • The Ex Brother   Lima Belas

    Tapi tetap saja, kursi Rhys yang paling sering kosong. Kutebak, dia lebih senang sarapan di rumahnya sendiri, tanpa Lucas dan gadis norak itu.Ayah duduk di kursi paling ujung meja, kursi kebanggaan Ayah di depan Anak-Anaknya. Di sebelah kanannya ada Ibu yang selalu berada di kursi itu dari waktu ke waktu. Sementara di sebelah kirinya, Hugo belum tampak, mungkin dia terlambat.Mereka bertiga tidak pernah merubah posisi kursi mereka, sejak dulu. Ah, tentu, satu orang lagi juga begitu. Rhys. Dia berada tepat di ujung meja seberang Ayah. Jadi mereka langsung bertatapan lurus satu sama lain.Pagi ini, aku memilih untuk duduk dihadapan Ludwig, dan Leon di sisi kiriku. Aku sibuk dengan serbet, ketika suara Ayah memecah hening dengan wajah yang cerah.“Oh, akhirnya kau datang juga, Giotto Armstrong.”Penyebutan nama itu seketika menghentikan semua kegiatanku. Saat menoleh ke arah si tamu muncul, aku merasa seperti ada yang mengkhianatiku ketika melihat si korb

  • The Ex Brother   Enam Belas

    Apa katanya? Saling tertarik? Apa dia sadar bahwa sekarang dia sedang membual? Sepertinya aku harus menghentikan omong kosong bodoh Giotto, sebelum aku juga akan terseret masalah.Ketika mulutku sudah sedikit terbuka, aku mendengar Hugo mengeluarkan suaranya yang sejak tadi—mungkin—sengaja dia simpan.“Kau tidak menyadari apa kesulitanmu?” Hugo tersenyum saat bertanya. Itu sikap yang sempurna menurutku.Tatapan Giotto beralih pada Hugo, dia tersenyum kaku dan canggung. Bahasa tubuhnya menunjukkan betapa gelisah serta tidak nyaman dirinya saat ini.“Aku tahu. Jelas aku tahu kesulitan apa yang akan aku hadapi ...” Dia berhenti sejenak, seolah menarik ketegangan dalam dirinya, “keenam Kakak laki-laki Nona ZeeZee.” Kedua mata Giotto menyapu seluruh kursi berpenghuni, kecuali satu kursi di sebelahnya. Tempat duduk Rhys.“Tapi Kakak tertuanya tidak ada di sini. Bagaimana kau akan menghadapinya?”

Latest chapter

  • The Ex Brother   Lima Puluh Delapan

    Rajin menghitung hari sebagai pengingat, agar aku yakin tidak melupakan momen-momen penting untuk perubahan hidupku, ini hari ke dua puluh satu setelah kejadian itu.Luigi dan aku tinggal serumah, itu benar. Tapi ketertarikanku padanya masih sama, hampir tidak ada. Walau sesekali dia coba untuk naik ke ranjang yang sama denganku di malam ke lima belas dan delapan belas, aku berpura-pura tidak tahu dan memilih tidur memunggunginya sampai pagi.Ada dua kamar di rumah ini, tapi dua malam itu dia mungkin coba melihat keadaanku, alih-alih berbaring di sisiku.“Lui, sebaiknya kau kembali. Ayah dan Ibu bisa sangat mencurigaimu karena hal ini,” kataku, memberi saran. Dia sedang menatapku, ketika sarapan pagi ala ZeeZee sudah disantap setengah jalan menjadi harapannya padaku setiap pagi.“Kau mengusirku?” Luigi menaikkan kedua alis, tapi tidak tampak marah sama sekali.“Untuk kebaikan bersama,” bantahku.Meneguk ha

  • The Ex Brother   Lima Puluh Tujuh

    “Minggir dari hadapanku, Lui.” Rhys mengeluarkan kalimat sedingin es dan terasa tidak menyenangkan jika aku yang mendengarnya.“Tidak, Rhys. Kita harus bicara.” Luigi menatapku, bukannya Rhys.Kulihat wajah Rhys yang mendadak semakin tidak biasa, tegang, dan penuh amarah.“Kau tidak lihat dia terluka?” Suara Rhys mirip geraman. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak memukul Luigi tanpa batasan, karena ada aku di sini.Luigi melihatku, tatapannya melunak, tapi aku tidak menyukai caranya menatapku. Dia membuat gambaran seolah kami memiliki hubungan yang bisa saling berbagi suka dan duka.“Akan kupercepat, kalau begitu.” Luigi kembali lurus menatap Kakaknya. Si sulung dan si bungsu yang saling menatap dalam tatapan tak suka. “Ini tentang rencana Ayah dan Ibu yang ingin membunuh ZeeZee dengan memasukkan racun ke makanan atau minumannya.”Sungguh, aku tidak terkejut sama sekali. Ak

  • The Ex Brother   Lima Puluh Enam

    Aku diam. Tidak berniat menanggapi lebih daripada ini. Jelas, aku meragukan ceritanya. Dari mana dia mengetahui semua alur cerita di saat itu, sementara dia sendiri tidak berada di sana?Kemungkinan terbesarnya hanya satu. Seseorang yang berkhianat pada keluarga Oxley menceritakan semua yang terjadi kala itu pada Audrey.Jika kukatakan aku tidak—“Ledakan! Lari, cepat lari!”Terjadi begitu cepat, kulihat dalam keadaan sadar, sisa orang-orang di dalam restoran cepat saji ini berlarian, berteriak dan menjerit histeris.Ada beberapa tubuh tergeletak dengan wajah penuh luka, tak sadarkan diri. Jeritan tangis melengking dari arah tak kuketahui ikut memasuki pendengaranku.Tempat yang kududuki kemudian bergetar. Aku melihat di depanku, kumpulan asap hitam berjarak hampir dua puluh meter terasa lebih dekat dan ingin menelanku.Lenganku sudah ditarik oleh Lucas, serta Audrey Mika yang ikut panik di sisinya. Semua terasa berj

  • The Ex Brother   Lima Puluh Lima

    Sepakat, kami memilih restoran cepat saji di dalam pusat perbelanjaan, dan aku meminta Lucas untuk tidak mengatakan apapun pada Rhys mengenai pertemuanku dengan Audrey.Aku tahu, meski kukatakan tidak, Lucas tentu saja lebih patuh pada yang membayar gajinya setiap bulan. Jadi tidak akan ada antisipasi untuk hal ini. Dan aku juga tidak peduli tentang semua itu. Jika Rhys bertanya, pasti akan kujawab dengan jujur.Lucas memilih meja ketiga dibelakang kami. Aku yakin sekarang dia sedang memberitahu Rhys mengenai Audrey Mika Dawson yang menikmati makan siang semeja denganku. “Kau pasti tahu bahwa dia akan memberitahu Rhys mengenai dirimu yang mengganggu waktu belanjaku.”Audrey Mika tersenyum, tapi kedua matanya terus fokus pada Lucas. Aku tidak melihat ke arah yang sama pada fokus Audrey, tapi tetap melanjutkan apa yang ingin kukatakan. “Jika kau sudah tahu, jangan sampaikan hal yang mungkin mudah ditebak oleh Rhys. Aku tidak pintar berbohong pada

  • The Ex Brother   Lima Puluh Empat

    “Menurutmu, begitu?”Aku menghela napas. “Aku yang bertanya. Tolong jawab saja pertanyaanku.”Rhys merubah posisi berdirinya. Menurunkan kedua tangan dari lipatan di depan dadanya. “Rahasia yang memang sengaja aku simpan jauh darimu. Siapapun yang berniat memberitahumu, meski itu Ayah atau Ibu, aku tidak segan untuk membuat perhitungan dengan mereka.”Bergidik, aku yakin, kata ‘perhitungan’ bukan hanya sekedar itu saja, tapi memiliki arti yang jauh lebih mengerikan jika itu Rhys yang mengucapkannya.Dia tidak pernah bercanda dengan perkataannya. Terutama padaku. Dia membuktikan semuanya, aku tahu itu.“Baiklah, itu artinya, kau akan memberitahuku sebelum ada yang coba mendahuluimu, bukan?” Dengan gugup yang tiba-tiba muncul, aku menyesal karena ingin tahu rahasianya. Tapi ini sudah terlanjur kutanyakan.Jika Rhys memilih untuk tidak memberitahuku, maka sebaiknya aku mencari tahu sen

  • The Ex Brother   Lima Puluh Tiga

    “Tidak! Aku tidak ingin bicara denganmu!” Entah mirip bentakan atau teriakan, aku bergegas berdiri dan bangkit untuk berlari lagi.“Kau sudah jelas tahu tidak akan bisa lari dariku. Kenapa tetap coba melarikan diri, huh?” Luigi sudah menarik, lalu mencengkeram kedua lengan dibalik punggungku. Mendekatkan bibirnya pada telingaku.Meronta, aku berusah menginjak salah satu kaki Luigi, tapi gagal. Dia sudah menduga lebih dulu gerakanku. “Dasar kau, berengsek!” Melompat, aku menyundul dagunya menggunakan puncak kepalaku.Terjatuh, aku menimpa tubuh Luigi. Berada di atasnya, lalu dia memelukku dengan erat. Aku tahu dia marah dan sedang menahan rasa sakitnya akibat ulahku.“Lepas, Lui!” Membentak dan berontak, aku coba berguling, tapi pelukan Luigi terlalu kuat hingga kami sama-sama berguling ke kiri.“Tidak bisakah kita bicara baik-baik?” Luigi balas membentak. “Atau kau mau aku meraba sem

  • The Ex Brother   Lima Puluh Dua

    “Aku tidak berpikir begitu, Ed.”“Wajah dan gerak tubuhmu mengatakan sebaliknya,” kata Adorjan, tersenyum.“Sudah, lupakanlah. Ayo, bicarakan hal apa yang ingin kau bicarakan padaku tadi.” Mengibaskan tangan di depan wajahku, kusembunyikan pembenaran itu di hatiku.Adorjan tertawa pelan, dia kini sedang mengedarkan pandangan ke sekeliling restoran. “Apakah aman jika kuceritakan di sini?” bisik Adorjan, memajukan sedikit wajahnya, hampir tanpa berjarak denganku.“Aman, Ed. Tenang saja.” Terkejut, aku memundurkan wajahku secepat mungkin.“Begini, ini tentang kau dan Rhys ....” Tubuh Adorjan menegak seketika, dia menunda bicaranya dan malah melihat ke arah lain, melewati kepalaku.Refleks, aku melakukan hal yang sama. Melihat ke arah pandangan Adorjan, dibelakangku.Kedua alisku terangkat, ini penanda bukan hanya aku terkejut karena kemunculannya yang selalu tiba-tib

  • The Ex Brother   Lima Puluh Satu

    Tidak ada yang lebih baik dari tidur bersama Rhys di kamarnya. Bahkan kini aku merasa kamarku tidak lagi aman, apalagi nyaman.“Kau harus segera pindah ke rumahku. Kenapa masih bersikeras tinggal di sini? Peperangan sudah dimulai, ZeeZee. Keadaan tidak lagi sama.” Itu ucapan Rhys saat semalam memelukku menjelang tidurnya.Rhys baru saja pergi. Dan aku juga ingin pergi. Setidaknya keluar rumah saat tidak ada hal yang perlu kukerjakan selain mengacau seperti perintah Ibu atau Ayah di waktu-waktu sebelumnya.“Kita harus bicara, ZeeZee.” Suara serak Adorjan di garasi mengejutkanku. Aku berbalik untuk melihatnya berjalan mendekatiku. Kutunggu dia dengan perasaan tidak aman. Apa lagi kali ini?“Ada apa, Ed?”“Tidak di sini.” Adorjan membuka pintu mobilku, dia menjadi pemimpin di depanku. Mengemudikan si merah mencolok tanpa inisiatif siapapun.Aku mengikutinya, duduk dengan perasaan ditenang-tenangka

  • The Ex Brother   Lima Puluh

    Mulut senapan laras panjang milik David Oxley sudah menempel di pelipisku. Terbiasa, walau dalam tindakan yang berbeda, aku bergeming di tempat. Aku baru saja menunda percakapan dengan selingkuhan Ayah yang bukan Ayahku ini, karena saat wajah Martiana Neil memucat akibat pertanyaanku, kaki kami sudah tiba di depan pintu ruang kerja David.“Ini sambutan seorang Ayah untuk Putri bungsunya yang senang memberontak, suka ikut campur, dan selalu mau tahu.”Menelan kekecewaan yang entah untuk apa, aku tersenyum miring. Keberanianku setingkat lebih maju. “Terima kasih. Sambutan yang luar biasa, Ayah.”“Senang sekali rasanya saat tahu kau memenuhi undanganku, Nak.”“Aku Anak yang berbakti, Ayah.”Tawa David Oxley menggema di ruangannya. Bagiku, tawanya mirip Leon. Dia juga licik sama seperti keenam Putranya.“Hubunganmu dengan Rhys sudah terlalu dalam, padahal aku dan Tessa susah payah membuat jar

DMCA.com Protection Status