Xue Ling masih tetap berada di dapur menjaga api tetap hidup sehingga air panas yang dibutuhkan untuk mandi Tuan Mudanya tidak menjadi dingin. Karena sejak saat Tuan Mudanya mengantar nona Mo Fan Wan ke penginapan baru berjam-jam kemudian kembali. Segera setelah mendengar langkah kaki Tuan Mudanya, Xue Ling menuangkan air panas ke dalam bak mandi.
Xue Yao melangkah masuk ke dalam dapur sambil bersiul gembira. Ia tidak memperhatikan Xue Ling yang bersikap tidak seperti biasanya. Xue Ling menjadi pendiam, padahal biasanya ia sangat cerewet. Selalu ada yang dapat ia jadikan bahan obrolan dengan Tuan Mudanya.
“Air mandiku sudah siap?”. Xue Yao mengangguk puas saat melihat bak mandinya sudah siap. “Pergilah,” katanya pada Xue Ling. “tidak perlu membantu menggosok punggungku, aku bisa melakukannya sendiri.” Ucap Xue Yao pada Xue Ling saat ia melihat Xue Ling sedang membuka tali baju luarnya, hal yang selalu dilakukan oleh Xue Ling saat membantunya mandi agar bajunya tidak basah.
Gerakan tangan Xue Ling langsung berhenti. Tuan Mudanya sudah berubah. Xue Ling tidak mengatakan apa-apa. Ia bergegas keluar dari dapur. Menyibukkan diri dengan membersihkan seluruh rumah untuk menghibur dirinya.
Selama beberapa hari sejak Tuan Mudanya kembali dari gurun pasir, waktunya dihabiskan dengan menemani nona Mo Fan Wan. Berjalan-jalan mengelilingi kota, berlatih kaligrafi, menulis mantra atau hanya sekadar bercengkrama. Setiap hari Tuan Mudanya selalu bersama dengan nona Mo Fan Wan dari pagi hingga malam, malah terkadang baru kembali ke rumah dini hari. Xue Ling merasa tersisih.
Padahal ada begitu banyak hal yang ingin dia ceritakan pada Tuan Mudanya. Dari betapa sedih dirinya saat pertama kali harus berpisah begitu lama dengan Tuan Mudanya, tentang guru master cahayanya, dan bahwa ia sudah menemukan orang tua kandungnya.
Namun, Xue Ling tidak pernah menemukan waktu untuk mengatakan semua itu pada Xue Yao. Suatu malam yang cerah, Xue Yao kembali dengan wajah penuh senyum. “Bagaimana pendapatmu tentang nona Mo Fan Wan?”. Tanya Xue Yao pada Xue Ling saat hendak tidur. Xue Ling terdiam beberapa saat sebelum menjawab. “Baik. Sangat baik.” Senyum Xue Yao semakin lebar. Ia tidak dapat melihat wajah Xue Ling yang sedih saat berkata. “Ya…kau benar. Ia sangat baik. Cocok sekali menjadi Nyonyamu, bukan?” “Ya –“ Xue Ling tidak mungkin mengatakan yang sebaliknya karena kenyataannya memang nona Mo Fan Wan sangat baik. Apalagi kakak pertama sangat menyukai nona Mo Fan Wan. Malam itu, Xue Ling tidak dapat tidur dengan nyenyak. Ia merasa bahwa dirinya jahat karena tidak menginginkan Tuan Mudanya menyukai wanita lain selain dirinya. Bagaimanapun dirinya tidak bisa dibandingkan dengan wanita secantik dan seanggun nona Mo Fan Wan. Dini hari ia terbangun karena merasa sang
Sambil menatap kayu yang dilahap oleh api dengan penuh kegembiraan, ia berpikir tentang Tuan Muda. Setelah semua yang mereka alami dan semua kerja keras hingga seperti saat ini, Tuan Muda berhak untuk bahagia meski tidak bersama dengannya. Ia tidak mau bersikap egois, memaksakan dirinya dan membuat Tuan Muda tidak bahagia. Memikirkannya saja sudah membuatnya sedih. Xue Ling mengangguk saat sebuah ide muncul di kepala kecilnya. Jika Tuan Muda ingin menikahi nona Mo Fan Wan, maka ia akan berusaha untuk mewujudkannya. Xue Ling menengadah ke atas langit, menyaksikan langit malam yang kelam berangsur-angsur di penuhi cahaya jingga. Pagi telah datang, pikirnya. Dan ada begitu banyak hal yang harus ia lakukan. Xue Ling bangkit dari duduknya, menuju ke dapur, rasa dingin telah berkurang dari tubuhnya. Ia mengambil kayu bakar, membuat api, memasak air mandi untuk Tuan Muda, menyiapkan sarapan dan menggoreng telur. Sayup-sayup ia mendengar pergerakan di kamar t
Xue Ling melihat ada begitu banyak macam kain dan merasa bingung. Seorang pelayan menghampiri. “adakah yang bisa saya bantu, nona?” Xue Ling menoleh pada pelayan itu. Seorang laki-laki paruh baya yang ramah dan sering ia temui saat makan mie di pasar jalan empatbelas tempat tinggalnya. Xue Ling tersenyum gugup. “Bisakah membantuku mencari kain yang bagus untuk dijadikan gaun pengantin?” Wajah pelayan itu menjadi cerah. “Tentu… nona datang ke tempat yang tepat. Mari…mari saya tunjukkan kain yang bagus.” Xue Ling puas dengan kain yang ditunjukkan oleh pelayan itu. “Apakah toko ini memiliki penjahit?” “Tentu saja, nona. Kami memiliki penjahit yang sangat mahir dalam menjahit pakaian.” “Apakah anda mengenal nona Mo Fan Wan? Ketua sekte mantra dari Negara Shen yang saat ini sedang ada di ibukota?” Pelayan itu mengangguk. “Bisakah membuat baju pengantin dengan ukuran nona Mo Fan Wan dan Tuan Ketiga belas?” Pel
Saat kembali ke rumah, hari sudah memasuki waktu senja. Xue Ling membuka pintu dan mendapati rumah itu kosong. Tuan Mudanya pasti sedang bersama dengan nona Mo Fan Wan. Xue Ling menuju ke dapur, membersihkan air bekas mandi Tuan Mudanya, kemudian membuat makanan untuk dirinya sendiri karena sekarang Tuan Muda sudah tidak makan di rumah lagi. Air mata merebak di mata indahnya. Xue Ling mendongak, berusaha mencegah air matanya jatuh. Ia harus kuat dan tidak boleh menyerah. Malam itu, Xue Yao pulang larut malam. Xue Ling sudah tidur namun sayup-sayup antara sadar dan tidak sadar, dia mendengar Tuan Mudanya bersenandung bahagia. Xue Ling mendengar derit tempat tidur di sampingnya, merasakan hawa panas dari Tuan Mudanya, lalu kembali terlelap hingga pagi. Masih terlalu pagi, seperti yang sudah ia lakukan sehari-hari, Xue Ling segera menghidupkan api tungku, memasak air untuk air mandi, menggoreng telur, menyiapkan sarapan, mencuci pakaian Tuan Muda, membersihkan r
Ibunya, memperlakukan Xue Ling seperti seorang putri. Apapun yang Xue Ling inginkan, ibunya selalu berusaha memenuhinya. Seolah-olah ibunya berusaha menebus tahun-tahun yang terlewat. Seperti yang ibunya lakukan saat itu, begitu melihat kedatangan Xue Ling, ibunya langsung memerintah para pelayan untuk memasak makanan kesukaannya, merapikan kamar Xue Ling agar saat Xue Ling lelah ia dapat beristirahat dengan nyaman. Xue Ling kembali ke rumah menjelang malam. Saat membuka pintu lagi-lagi mendapati rumah kosong. Xue Ling mendesah sedih. Setelah selesai makan dan membersihkan rumah, Xue Ling sengaja tidak tidur. Ia duduk di kursi menunggu Tuan Mudanya pulang. Sudah bermalam-malam sejak Tuan Mudanya pulang, ia tidak melayaninya dengan baik. Lewat tengah malam saat Tuan Mudanya pulang. Xue Ling berdiri saat Tuan Mudanya masuk ke dalam rumah. Tuan Muda menatapnya dengan heran sambil mengernyitkan alis. “Kau belum tidur?” Xue Ling mengangguk. “Iya,” jawab Xu
Xue Ling mengangguk meski anggukannya tidak dilihat oleh Xue Yao karena Xue Yao sudah tertidur pulas. Entah apa saja yang dilakukan oleh Tuan Mudanya hingga kelelahan setiap hari. Setelah memastikan Xue Yao merasa hangat, Xue Ling keluar dari kamar. Membuang air bekas cuci kaki Xue Yao, mencuci dan menjemur pakaian yang dipakainya. Ia tidak ingin meninggalkan sesuatu yang kotor saat pergi nanti. Xue Ling merasakan gelombang rasa dingin mulai merambat naik di tubuhnya dari kakinya. Segera Xue Ling membuat api unggun, berlari mengambil arak di lemari dapur, kembali dan duduk di depan api unggun sambil menyesap araknya sedikit demi sedikit. Badan Xue Ling bergetar kedinginan, giginya saling gemeretuk. Xue Ling bertahan. Bukankah selama Xue Yao tidak ada, ia bisa bertahan. Lama kemudian, rasa dinginnya berangsur-angsur hilang. Xue Ling mendesah lega. Dan tertidur beberapa saat kemudian di depan api unggun. Langit mulai terang saat Xue Ling terbangun dari tidurnya. Ia men
Xue Ling melipat selimut yang ia gunakan dan meletakkannya di samping botol arak di atas kursi yang ia duduki semalaman. Ia masuk ke dalam dapur, membuat api, memasak air untuk Xue Yao, menggoreng telur meski ia tahu telur itu akan dingin saat Tuan Mudanya makan nanti, merapikan rumah lalu ia melangkah ke depan lemari di ruang depan, membuka dan menarik sebuah buntelan kain yang telah ia siapkan sebelumnya. Di samping pintu keluar golok penebang milik Xue Yao berdampingan dengan payung hitam miliknya, Xue Ling menyentuh golok penebang dan tersenyum menikmati rasa dingin yang merambat dari golok itu. Xue Ling mengambil payung hitam dan menyampirkan tali benda itu di badannya. Golok akan tetap menemani Xue Yao. Payung hitam akan menemaninya. Paling tidak mereka masih memiliki sesuatu untuk menjadi pengingat kebersamaan mereka selama ini. Xue Ling menatap rumah itu sekali lagi. Berusaha mematri dalam ingatannya, lalu dengan perlahan ia membuka dan menutup pintu. Xue Lin
Di gerbang kota, Xue Ling melihat hanya ada empat penjaga. Ia bernapas lega, padahal ia sudah khawatir akan berpapasan dengan kakak Feng, saudara seperguruan master pedang ibu kota yang tak lain adalah sahabat Xue Yao. Dari sudut matanya, Xue Ling melihat kalo kakak Feng baru saja datang, pria itu melangkah pelan di sepanjang jalan surga ke Sembilan belas. Karena tidak ingin membuang kesempatan yang begitu baik, Xue Ling mempercepat langkahnya. Ia bersyukur karena para penjaga sudah mengenalnya jadi tidak ada yang mencegah langkahnya. Xue Ling terus berjalan lurus dengan cepat, tidak menoleh kebelakang. Setelah melewati belokan semak belukar sekitar dua ratus meter dari pintu gerbang, barulah Xue Ling memperlambat langkahnya. Napasnya memburu. Tapi ia merasa lega. Xue Ling menatap jalan di depannya dengan mantap. Mungkin ia masih merasa bingung, akan pergi kemana. Tidak mungkin bagi dirinya untuk kembali ke perbatasan di kota Wei karena Jenderal Ma ataupun teman-teman Xue Ya