Ibunya, memperlakukan Xue Ling seperti seorang putri. Apapun yang Xue Ling inginkan, ibunya selalu berusaha memenuhinya. Seolah-olah ibunya berusaha menebus tahun-tahun yang terlewat. Seperti yang ibunya lakukan saat itu, begitu melihat kedatangan Xue Ling, ibunya langsung memerintah para pelayan untuk memasak makanan kesukaannya, merapikan kamar Xue Ling agar saat Xue Ling lelah ia dapat beristirahat dengan nyaman.
Xue Ling kembali ke rumah menjelang malam. Saat membuka pintu lagi-lagi mendapati rumah kosong. Xue Ling mendesah sedih.
Setelah selesai makan dan membersihkan rumah, Xue Ling sengaja tidak tidur. Ia duduk di kursi menunggu Tuan Mudanya pulang. Sudah bermalam-malam sejak Tuan Mudanya pulang, ia tidak melayaninya dengan baik. Lewat tengah malam saat Tuan Mudanya pulang.
Xue Ling berdiri saat Tuan Mudanya masuk ke dalam rumah. Tuan Muda menatapnya dengan heran sambil mengernyitkan alis. “Kau belum tidur?”
Xue Ling mengangguk. “Iya,” jawab Xue Ling. Xue Ling bergegas ke dapur, mengambil air hangat untuk mencuci kaki Tuan Mudanya. Kemudia Xue Ling bergegas masuk kamar dan mendapati Tuan Mudanya sedang membuka baju luar dan bersiap-siap untuk tidur.
“Cuci kaki dulu, Tuan Muda.” Xue Ling menghampiri Xue Yao, duduk dan meraih kakinya. Kemudian dengan perlahan, ia membasuh kaki Xue Yao satu persatu dan mengeringkannya.
Xue Yao membaringkan tubuhnya, Xue Ling menyelimutinya.
“Sudah malam, tidurlah.” Xue Yao berkata.
Xue Ling mengangguk meski anggukannya tidak dilihat oleh Xue Yao karena Xue Yao sudah tertidur pulas. Entah apa saja yang dilakukan oleh Tuan Mudanya hingga kelelahan setiap hari. Setelah memastikan Xue Yao merasa hangat, Xue Ling keluar dari kamar. Membuang air bekas cuci kaki Xue Yao, mencuci dan menjemur pakaian yang dipakainya. Ia tidak ingin meninggalkan sesuatu yang kotor saat pergi nanti. Xue Ling merasakan gelombang rasa dingin mulai merambat naik di tubuhnya dari kakinya. Segera Xue Ling membuat api unggun, berlari mengambil arak di lemari dapur, kembali dan duduk di depan api unggun sambil menyesap araknya sedikit demi sedikit. Badan Xue Ling bergetar kedinginan, giginya saling gemeretuk. Xue Ling bertahan. Bukankah selama Xue Yao tidak ada, ia bisa bertahan. Lama kemudian, rasa dinginnya berangsur-angsur hilang. Xue Ling mendesah lega. Dan tertidur beberapa saat kemudian di depan api unggun. Langit mulai terang saat Xue Ling terbangun dari tidurnya. Ia men
Xue Ling melipat selimut yang ia gunakan dan meletakkannya di samping botol arak di atas kursi yang ia duduki semalaman. Ia masuk ke dalam dapur, membuat api, memasak air untuk Xue Yao, menggoreng telur meski ia tahu telur itu akan dingin saat Tuan Mudanya makan nanti, merapikan rumah lalu ia melangkah ke depan lemari di ruang depan, membuka dan menarik sebuah buntelan kain yang telah ia siapkan sebelumnya. Di samping pintu keluar golok penebang milik Xue Yao berdampingan dengan payung hitam miliknya, Xue Ling menyentuh golok penebang dan tersenyum menikmati rasa dingin yang merambat dari golok itu. Xue Ling mengambil payung hitam dan menyampirkan tali benda itu di badannya. Golok akan tetap menemani Xue Yao. Payung hitam akan menemaninya. Paling tidak mereka masih memiliki sesuatu untuk menjadi pengingat kebersamaan mereka selama ini. Xue Ling menatap rumah itu sekali lagi. Berusaha mematri dalam ingatannya, lalu dengan perlahan ia membuka dan menutup pintu. Xue Lin
Di gerbang kota, Xue Ling melihat hanya ada empat penjaga. Ia bernapas lega, padahal ia sudah khawatir akan berpapasan dengan kakak Feng, saudara seperguruan master pedang ibu kota yang tak lain adalah sahabat Xue Yao. Dari sudut matanya, Xue Ling melihat kalo kakak Feng baru saja datang, pria itu melangkah pelan di sepanjang jalan surga ke Sembilan belas. Karena tidak ingin membuang kesempatan yang begitu baik, Xue Ling mempercepat langkahnya. Ia bersyukur karena para penjaga sudah mengenalnya jadi tidak ada yang mencegah langkahnya. Xue Ling terus berjalan lurus dengan cepat, tidak menoleh kebelakang. Setelah melewati belokan semak belukar sekitar dua ratus meter dari pintu gerbang, barulah Xue Ling memperlambat langkahnya. Napasnya memburu. Tapi ia merasa lega. Xue Ling menatap jalan di depannya dengan mantap. Mungkin ia masih merasa bingung, akan pergi kemana. Tidak mungkin bagi dirinya untuk kembali ke perbatasan di kota Wei karena Jenderal Ma ataupun teman-teman Xue Ya
Sekarang, sendirian, Xue Ling hanya bisa mengandalkan keberuntungan yang sebenarnya sangat tidak masuk akal. Karena Xue Ling yakin bahwa keberuntungan yang ia miliki satu-satunya di dunia ini hanyalah Xue Yao. Xue Ling terus melangkah. Sesekali memperhatikan sekelilingnya dengan penuh pertimbangan. Bagaimanapun, ia harus tidak dapat ditemukan. Karena Xue Ling yakin, begitu Xue Yao mengetahui kepergiannya, maka pria itu akan langsung mencarinya. Tentu saja, Xue Ling percaya bahwa yang akan dilakukan pertama kali oleh Xue Yao adalah pria itu akan mencarinya ke segala penjuru dalam ibu kota. Mungkin akan butuh berhari-hari bagi Xue Yao untuk menyadari bahwa dirinya tidak berada di dalam ibu kota. Dan dalam berhari-hari itu, Xue Ling harus sudah berada di tempat yang sangat jauh. Xue Ling sadar, jika dia tidak dapat menemukan cara untuk segera berada di tempat yang jauh, hanya butuh hitungan jam saja ia akan segera ditemukan. Karena sangat tidak mungkin dengan kaki-kaki
Matahari sudah merangkak naik dan panasnya menerpa punggung Xue Ling. Xue Ling menghentikan langkah, sayup-sayup ia mendengar derap langkah kuda. Xue Ling bergegas keluar dari jalan, bersembunyi di balik pepohonan sambil mengintip para penunggang kuda yang ia dengar suaranya. Ternyata rombongan prajurit, di salah satu kuda terdapat satu kantong berwarna merah dan meneteskan cairan kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium oleh Xue Ling. Meski berlalu dengan cepat, Xue Ling masih dapat mendengarkan percakapan para prajurit itu…“Menurutmu apakah malam ini kita akan minum-minum untuk merayakan keberhasilan kita?” Tanya seorang prajurit yang berada di barisan paling belakang.Terdengar tawa dari prajurit lainnya sambil menjawab lantang bahwa bisa jadi mereka akan minum-minum nanti malam…Xue Ling masih tetap berada di balik pohon sampai ia benar-benar yakin bahwa rombongan prajurit itu telah benar-benar menghilang dari jalan. Setelah
Xue Yao membuka mata dan langsung duduk di sisi tempat tidurnya. Ia menoleh pada tempat tidur di sampingnya, kosong. Selimut terlipat rapi dan disusun di atas bantal. Xue Ling sudah bangun, batin Xue Yao. Xue Yao meregangkan tubuhnya, sambil tersenyum ia bangkit dari tempat tidur, membuka pintu kamar, turun langsung menuju ke dapur.Air mandinya sudah disiapkan oleh Xue Ling, begitu pula sarapan. Bajunya juga sudah diletakkan di meja di samping bak mandinya. Xue Yao tersenyum puas.“Xiao Ling!”, panggil Xue Yao. Tidak ada jawaban. Mungkin dia sudah berangkat ke pasar, pikir Xue Yao.Xue Yao menutup tirai yang ia pasang agar saat Xue Ling kembali dari pasar tidak akan melihatnya yang sedang mandi. Xue Yao menyadari bahwa Xue Ling sudah semakin dewasa. Ada rasa tidak nyaman yang aneh ia rasakan saat berdua dengan Xue Ling, karena itu Xue Yao membuat sekat tipis dari kain tirai agar ia tidak merasa risih saat sedang mandi.Xue Yao selesai mandi,
Setelah menyelesaikan makan, Xue Yao melangkah ke pintu, sedikit bingung melihat golok penebangnya sendirian tanpa payung hitam di sampingnya. Xue Yao memiringkan wajahnya sambil berpikir, ia ingat, tadi malam payung hitam masih berada di tempatnya, tergantung di sisi golok penebang.Mungkin Xiao Ling membawa payung itu, pikirnya. Entah apa yang dipikirkan Xue Ling hingga ia harus membawa payung hitam, apalagi jika hanya pergi ke pasar. Xue Yao menggelengkan kepalanya merasa heran. Ia membuka pintu.Pagi sudah beranjak siang. Xue Yao menikmati suasana jalan yang ia lewati. Ia ingat, dulu tempat ini sepi. Namun sejak kakak kedua paviliun angin selatan berteman dengannya, jalan itu mulai ramai.Semua berkat Xue Ling, pikirnya. Jika saja Xue Ling tidak berkeras menggunakan uang terakhir yang mereka miliki untuk membuka usaha dan menyewa toko sekaligus rumah yang sekarang mereka tempati, mungkin sampai sekarang ia dan Xue Ling masih berkeliaran dan melakukan kerja s
Jantungnya berdebar. Wanita itu begitu anggun. Kecantikannya mampu membuat hari yang suram menjadi cerah hanya dengan melihatnya tersenyum.Apalagi saat wanita itu menatapnya dan tersenyum seperti saat ini, mendadak Xue Yao merasa menjadi begitu tak berdaya. Xue Yao berlari kecil menghampiri Mo Fan Wan.Mo Fan Wan memberi salam pada Xue Yao dengan mengangkat tangan kanan meletakkannya di dada seraya menekuk lututnya, Xue Yao menghentikan langkah dan tersenyum lebar, ia membungkukkan badannya, menjawab salam Mo Fan Wan.“Sepertinya hari ini akan terik, bagaimana jika kita melakukannya di penginapan saja?” Tanya Xue Yao. Entah mengapa, hari ini Xue Yao merasa enggan untuk berada jauh dari rumah. Seakan-akan ia dapat merasakan ada yang tidak pada tempatnya, tapi pria itu tidak tau apa itu. Dan untuk berjaga-jaga, maka ia tidak akan pergi kemana-mana. Ia tidak dapat mengenyahkan sapaan riang dari Tuan Chou, pemilik toko kain kejayaan itu.“B