Xue Ling melihat ada begitu banyak macam kain dan merasa bingung. Seorang pelayan menghampiri.
“adakah yang bisa saya bantu, nona?”
Xue Ling menoleh pada pelayan itu. Seorang laki-laki paruh baya yang ramah dan sering ia temui saat makan mie di pasar jalan empatbelas tempat tinggalnya.
Xue Ling tersenyum gugup. “Bisakah membantuku mencari kain yang bagus untuk dijadikan gaun pengantin?”
Wajah pelayan itu menjadi cerah. “Tentu… nona datang ke tempat yang tepat. Mari…mari saya tunjukkan kain yang bagus.”
Xue Ling puas dengan kain yang ditunjukkan oleh pelayan itu. “Apakah toko ini memiliki penjahit?”
“Tentu saja, nona. Kami memiliki penjahit yang sangat mahir dalam menjahit pakaian.”
“Apakah anda mengenal nona Mo Fan Wan? Ketua sekte mantra dari Negara Shen yang saat ini sedang ada di ibukota?”
Pelayan itu mengangguk.
“Bisakah membuat baju pengantin dengan ukuran nona Mo Fan Wan dan Tuan Ketiga belas?”
Pelayan itu memandang Xue Ling dengan heran.
Xue Ling tersipu malu. “Aku adalah pelayan Tuan Ketiga belas. Mereka akan menikah dua hari lagi… sangat mendadak. Karena itu, bisakah penjahitnya membuatkan baju pengantinnya?”
Pelayan itu mengangguk tanda mengerti. “Tapi menjahit baju pengantin dalam waktu sesingkat ini akan dikenakan biaya yang sangat tinggi.” Katanya.
Xue Ling menjawab cepat. “Tidak masalah. Berapa yang harus aku bayar. Langsung aku bayar sekarang. Tapi pastikan dua hari lagi gaun dan baju pengantinya selesai. Lalu kirimkan ke penginapan tempat nona Mo Fan Wan. Bisakah?”
“Tentu saja bisa, nona”.
Xue Ling menarik napas lega.
“ Untuk pembayaran, mari saya bawa menemui bos kami.”
Xue Ling mengangguk, ia mengikuti pelayan itu, menemui pemilik dan melakukan pembayaran secara lunas.
Setelah urusan baju pengantin selesai, bergegas ia menuju restoran kejayaan yang terkenal.
Hari yang besar, makanan tidak boleh sembarangan, harus mewah.
Seperti halnya baju pengantin, Xue Ling meminta makanan di antar ke penginapan nona Mo Fan Wan pada jam yang sama.
Saat kembali ke rumah, hari sudah memasuki waktu senja. Xue Ling membuka pintu dan mendapati rumah itu kosong. Tuan Mudanya pasti sedang bersama dengan nona Mo Fan Wan. Xue Ling menuju ke dapur, membersihkan air bekas mandi Tuan Mudanya, kemudian membuat makanan untuk dirinya sendiri karena sekarang Tuan Muda sudah tidak makan di rumah lagi. Air mata merebak di mata indahnya. Xue Ling mendongak, berusaha mencegah air matanya jatuh. Ia harus kuat dan tidak boleh menyerah. Malam itu, Xue Yao pulang larut malam. Xue Ling sudah tidur namun sayup-sayup antara sadar dan tidak sadar, dia mendengar Tuan Mudanya bersenandung bahagia. Xue Ling mendengar derit tempat tidur di sampingnya, merasakan hawa panas dari Tuan Mudanya, lalu kembali terlelap hingga pagi. Masih terlalu pagi, seperti yang sudah ia lakukan sehari-hari, Xue Ling segera menghidupkan api tungku, memasak air untuk air mandi, menggoreng telur, menyiapkan sarapan, mencuci pakaian Tuan Muda, membersihkan r
Ibunya, memperlakukan Xue Ling seperti seorang putri. Apapun yang Xue Ling inginkan, ibunya selalu berusaha memenuhinya. Seolah-olah ibunya berusaha menebus tahun-tahun yang terlewat. Seperti yang ibunya lakukan saat itu, begitu melihat kedatangan Xue Ling, ibunya langsung memerintah para pelayan untuk memasak makanan kesukaannya, merapikan kamar Xue Ling agar saat Xue Ling lelah ia dapat beristirahat dengan nyaman. Xue Ling kembali ke rumah menjelang malam. Saat membuka pintu lagi-lagi mendapati rumah kosong. Xue Ling mendesah sedih. Setelah selesai makan dan membersihkan rumah, Xue Ling sengaja tidak tidur. Ia duduk di kursi menunggu Tuan Mudanya pulang. Sudah bermalam-malam sejak Tuan Mudanya pulang, ia tidak melayaninya dengan baik. Lewat tengah malam saat Tuan Mudanya pulang. Xue Ling berdiri saat Tuan Mudanya masuk ke dalam rumah. Tuan Muda menatapnya dengan heran sambil mengernyitkan alis. “Kau belum tidur?” Xue Ling mengangguk. “Iya,” jawab Xu
Xue Ling mengangguk meski anggukannya tidak dilihat oleh Xue Yao karena Xue Yao sudah tertidur pulas. Entah apa saja yang dilakukan oleh Tuan Mudanya hingga kelelahan setiap hari. Setelah memastikan Xue Yao merasa hangat, Xue Ling keluar dari kamar. Membuang air bekas cuci kaki Xue Yao, mencuci dan menjemur pakaian yang dipakainya. Ia tidak ingin meninggalkan sesuatu yang kotor saat pergi nanti. Xue Ling merasakan gelombang rasa dingin mulai merambat naik di tubuhnya dari kakinya. Segera Xue Ling membuat api unggun, berlari mengambil arak di lemari dapur, kembali dan duduk di depan api unggun sambil menyesap araknya sedikit demi sedikit. Badan Xue Ling bergetar kedinginan, giginya saling gemeretuk. Xue Ling bertahan. Bukankah selama Xue Yao tidak ada, ia bisa bertahan. Lama kemudian, rasa dinginnya berangsur-angsur hilang. Xue Ling mendesah lega. Dan tertidur beberapa saat kemudian di depan api unggun. Langit mulai terang saat Xue Ling terbangun dari tidurnya. Ia men
Xue Ling melipat selimut yang ia gunakan dan meletakkannya di samping botol arak di atas kursi yang ia duduki semalaman. Ia masuk ke dalam dapur, membuat api, memasak air untuk Xue Yao, menggoreng telur meski ia tahu telur itu akan dingin saat Tuan Mudanya makan nanti, merapikan rumah lalu ia melangkah ke depan lemari di ruang depan, membuka dan menarik sebuah buntelan kain yang telah ia siapkan sebelumnya. Di samping pintu keluar golok penebang milik Xue Yao berdampingan dengan payung hitam miliknya, Xue Ling menyentuh golok penebang dan tersenyum menikmati rasa dingin yang merambat dari golok itu. Xue Ling mengambil payung hitam dan menyampirkan tali benda itu di badannya. Golok akan tetap menemani Xue Yao. Payung hitam akan menemaninya. Paling tidak mereka masih memiliki sesuatu untuk menjadi pengingat kebersamaan mereka selama ini. Xue Ling menatap rumah itu sekali lagi. Berusaha mematri dalam ingatannya, lalu dengan perlahan ia membuka dan menutup pintu. Xue Lin
Di gerbang kota, Xue Ling melihat hanya ada empat penjaga. Ia bernapas lega, padahal ia sudah khawatir akan berpapasan dengan kakak Feng, saudara seperguruan master pedang ibu kota yang tak lain adalah sahabat Xue Yao. Dari sudut matanya, Xue Ling melihat kalo kakak Feng baru saja datang, pria itu melangkah pelan di sepanjang jalan surga ke Sembilan belas. Karena tidak ingin membuang kesempatan yang begitu baik, Xue Ling mempercepat langkahnya. Ia bersyukur karena para penjaga sudah mengenalnya jadi tidak ada yang mencegah langkahnya. Xue Ling terus berjalan lurus dengan cepat, tidak menoleh kebelakang. Setelah melewati belokan semak belukar sekitar dua ratus meter dari pintu gerbang, barulah Xue Ling memperlambat langkahnya. Napasnya memburu. Tapi ia merasa lega. Xue Ling menatap jalan di depannya dengan mantap. Mungkin ia masih merasa bingung, akan pergi kemana. Tidak mungkin bagi dirinya untuk kembali ke perbatasan di kota Wei karena Jenderal Ma ataupun teman-teman Xue Ya
Sekarang, sendirian, Xue Ling hanya bisa mengandalkan keberuntungan yang sebenarnya sangat tidak masuk akal. Karena Xue Ling yakin bahwa keberuntungan yang ia miliki satu-satunya di dunia ini hanyalah Xue Yao. Xue Ling terus melangkah. Sesekali memperhatikan sekelilingnya dengan penuh pertimbangan. Bagaimanapun, ia harus tidak dapat ditemukan. Karena Xue Ling yakin, begitu Xue Yao mengetahui kepergiannya, maka pria itu akan langsung mencarinya. Tentu saja, Xue Ling percaya bahwa yang akan dilakukan pertama kali oleh Xue Yao adalah pria itu akan mencarinya ke segala penjuru dalam ibu kota. Mungkin akan butuh berhari-hari bagi Xue Yao untuk menyadari bahwa dirinya tidak berada di dalam ibu kota. Dan dalam berhari-hari itu, Xue Ling harus sudah berada di tempat yang sangat jauh. Xue Ling sadar, jika dia tidak dapat menemukan cara untuk segera berada di tempat yang jauh, hanya butuh hitungan jam saja ia akan segera ditemukan. Karena sangat tidak mungkin dengan kaki-kaki
Matahari sudah merangkak naik dan panasnya menerpa punggung Xue Ling. Xue Ling menghentikan langkah, sayup-sayup ia mendengar derap langkah kuda. Xue Ling bergegas keluar dari jalan, bersembunyi di balik pepohonan sambil mengintip para penunggang kuda yang ia dengar suaranya. Ternyata rombongan prajurit, di salah satu kuda terdapat satu kantong berwarna merah dan meneteskan cairan kental berwarna merah. Bau anyir darah tercium oleh Xue Ling. Meski berlalu dengan cepat, Xue Ling masih dapat mendengarkan percakapan para prajurit itu…“Menurutmu apakah malam ini kita akan minum-minum untuk merayakan keberhasilan kita?” Tanya seorang prajurit yang berada di barisan paling belakang.Terdengar tawa dari prajurit lainnya sambil menjawab lantang bahwa bisa jadi mereka akan minum-minum nanti malam…Xue Ling masih tetap berada di balik pohon sampai ia benar-benar yakin bahwa rombongan prajurit itu telah benar-benar menghilang dari jalan. Setelah
Xue Yao membuka mata dan langsung duduk di sisi tempat tidurnya. Ia menoleh pada tempat tidur di sampingnya, kosong. Selimut terlipat rapi dan disusun di atas bantal. Xue Ling sudah bangun, batin Xue Yao. Xue Yao meregangkan tubuhnya, sambil tersenyum ia bangkit dari tempat tidur, membuka pintu kamar, turun langsung menuju ke dapur.Air mandinya sudah disiapkan oleh Xue Ling, begitu pula sarapan. Bajunya juga sudah diletakkan di meja di samping bak mandinya. Xue Yao tersenyum puas.“Xiao Ling!”, panggil Xue Yao. Tidak ada jawaban. Mungkin dia sudah berangkat ke pasar, pikir Xue Yao.Xue Yao menutup tirai yang ia pasang agar saat Xue Ling kembali dari pasar tidak akan melihatnya yang sedang mandi. Xue Yao menyadari bahwa Xue Ling sudah semakin dewasa. Ada rasa tidak nyaman yang aneh ia rasakan saat berdua dengan Xue Ling, karena itu Xue Yao membuat sekat tipis dari kain tirai agar ia tidak merasa risih saat sedang mandi.Xue Yao selesai mandi,