Bab.27 Surat Cinta“Bagaimana kalau Zora kangen?” tanya Ryan parau. Bayi perempuannya begitu dekat dengan Lisa. “Reyza juga pasti akan kangen sama Papanya,” sahut Lisa seiring dengan senyuman terbaiknya.“Nanti Papanya Zora kangen loh sama kamu,” sindir Raya ikut menimpali. Geram sedari tadi diam saja. “Aku juga akan kangen sama Mas Ryan.” Lisa tak mau kalah. Dia hanya menyulut api, koreknya Raya yang menyediakan. Jadi, jangan salahkan bila api itu justru balik membakar hati Raya.Ryan menggaruk tengkuk leher. Kehilangan Nisa membuatnya pusing. Menjadi duda muda nan rupawan ternyata tidaklah mudah. Bukan hanya gadis, bahkan wanita yang masih bersuami sekalipun mengejar cintanya. Huh, Ryan geleng-gelang kepala memikirkan masa depannya nanti.“Aku boleh pamitan dulu sama Zora?” Tentu saja boleh. Siapa yang akan melarang seorang ibu bertemu anaknya? Ryan tersenyum kecut membayangkan saat terakhir kali bertemu Nisa. Malam itu dia dengan lantang melarang wanita itu untuk bertemu dengan
Kejutan Paling Mengejutkan“Opa bilang gue punya saudara susu.” Zora memberi tahu satu kejutan yang paling mengejutkan.“Hah?”“Namanya Reyza.”“Hah? Reyza? Reyza Mahendra maksud lu? Teman sekelas kita?” Dengan lantang Lani menyahut omongan Zora. Kali ini dia benar-benar terkejut mendengar pengakuan sahabat baiknya.Zora menyeringai. Entah lah, Reyza yang mana dia tidak tahu. Tinggalnya di mana juga Zora belum tahu. Papa bilang kehilangan jejak mereka.“Sial banget lu kalau beneran si Eza yang jadi saudara susu lu,” kelakar Lani setelah berhasil meredam keterkejutan yang membuat kepalanya berdenyut.“Kenapa begitu?”“Eza ganteng, Zora!”“Memang!”Apa salahnya punya saudara sepersusuan yang ganteng dan juara kelas. Ya, walaupun pembawaan pemuda itu kaku. But, tidak masalah buat Zora. Yang penting enak dipandang. Dan satu lagi...apa sialnya punya saudara ganteng?“Kalian enggak boleh pacaran.”Tunggu! Pacaran Lani bilang? Siapa yang naksir siapa? Zora memang suka dengan Eza, mengakui ke
Mama Masih HidupTak tahan lagi. Sari memukul kepala Ryan dengan keras. Dia membeliak bak kilatan pedang terhunus siap mengoyak siapa pun yang berani melawan. “Jangan bertindak bodoh untuk yang kedua kali.” Setelah mengatakan itu Sari memilih keluar dari ruang kerja Ryan. Kepalanya bertambah pusing menghadapi tingkah konyol anak semata wayangnya yang susah sekali untuk melupakan masa lalu.“Bu,” panggil Ryan saat ibunya membuka pintu. “Ibu dapat salam dari mantan sekaligus calon menantu,” lanjut Ryan kemudian begitu Sari menoleh.Sari hanya menggeleng. Sengaja dia mengabaikan kata-kata Ryan. Dia anggap itu hanya gurauan. Sudahlah, dia ingin istirahat saja di kamar. Belum sampai di kamar, dia bertemu Zora di ruang tengah. Gadis itu berlari menghampiri, memeluk dan mencium pipi Sari. Pasti ada maunya, Sari paham betul jika cucunya sedang merajuk.“Oma, Zora enggak mau punya Mama tiri.”“Siapa bilang kamu mau punya Mama lagi?” Sari mencubit hidung bangir Zora.“Surat itu,” lirih Zora
“Zora dengarkan Papa. Mama masih hidup.”Zora mendongak. Dia sudah ingin menjerit lagi, tetapi saat itu juga dia mendengar Mbok Narti ikut bicara.“Akhirnya Mas Ryan berterus terang,” kata Mbok Narti dengan mata berkaca-kaca. “Mbok sudah lama menunggu saat-saat ini.”Ryan menoleh pada Mbok Narti di depan pintu. Di belakang tubuh Mbok Narti, Ryan melihat Sari berdiri melipat tangan di depan dada. Kemudian Ryan melihat Sari tersenyum dan mengangguk.“Mama kamu masih hidup, Ra.” Ryan kembali meyakinkan Zora.Tumpah lagi air mata Zora. Kali ini dia tidak meraung, hanya sedu sedan di antara isak dan sesenggukan. Dia memandang lekat mata Papanya, mencari letak kebohongan di sana.“Mama masih sendiri sama seperti Papa. Mari bekerja sama dengan Papa, Ra. Kita rebut hati Mama lagi.”“Papa...eng...gak bo...ong?”“Enggak. Besok Zora mau ketemu Mama?” tanya Ryan.Tentu saja dia harus membawa Zora sebelum Nisa pulang ke Bali. Siapa tahu ketika bertemu Zora, wanita itu akan berubah pikiran. Nisa s
Nisa tergugu di tempat. Sekuat apa pun dia menahannya, tangis itu pecah juga. Dia meniup udara ke matanya, berharap agar embun di sana kering seketika. Tidak, itu tak semudah yang Nisa bayangkan.Sedangkan di depan sana, Zora masih berjalan mendekat. Gadis berponi itu tersenyum semringah. Namun berkali-kali juga dia mengusap pipinya yang basah. “Sini...,” ujar Nisa sambil merentangkan kedua tangan menyambut Zora. Zora merangsek masuk ke dalam pelukan Nisa. Ini yang pertama, rasanya begitu nyaman dan menenangkan. Zora tak ingin melepaskan pelukannya.“Maafkan Mama, Nak.” Nisa melepaskan Zora dari pelukan. Dia menangkup kedua pipi Zora dengan telapak tangan. Jari-jarinya menghapus air mata yang masih merembes turun dari pelupuk mata Zora.“Zora boleh minta cium?”Nisa tersenyum disela isaknya. Tentu Zora, tentu saja boleh! Nisa menciumi wajah Zora penuh perasaan. Tujuh belas tahun yang lalu Nisa menggendongnya dalam buaian, kini bukan wangi bayi lagi yang melekat pada kulit Zora. Ah,
“Ciye, mikirin mantan suami yang tambah ganteng yah?” goda Ryan.“Tambah norak iya.”“Tambah sayang juga enggak?”“Yan!”Ryan menutup mulut menggunakan telapak tangan kirinya. Sementara tangan kanan diangkat setinggi wajah Nisa. Dua jarinya membentuk huruf V.“Untung sayang,” gumam Nisa lirih sambil membuka pintu. Ryan tersipu senang. Meskipun lirih, dia bisa mendengar gumaman dari mulut Nisa. Ah, semudah inikah merebut hati Nisa? Baiklah, langkah selanjutnya adalah bicara secara jantan pada Salman. Mungkin akan mudah, karena Ryan yakin Nisa akan condong padanya. “Satu langkah lagi untuk bersanding kembali denganmu,” bisik Ryan sambil mencegat tangan Nisa di depan pintu.Nisa tersenyum. Dia menggigit bibirnya, hatinya berdebar tak menentu. Wajahnya mungkin sudah semerah buah tomat matang. Entah, seperti apa pun rona yang tercipta, Nisa tak ingin menoleh. Dia malu jika harus beradu pandang dengan Ryan.Merasakan embusan nafas Ryan di belakang tubuhnya, membuat Nisa semakin gerah. Dia
“Kenapa masih di sini?” ulangnya sekali lagi.Suara Rey membuat jantung Zora berdebar-debar. Zora hendak lari dari sana. Ingin menghilang ke atas langit atau ke dasar bumi. Namun tangannya berhasil dicegah oleh pemuda itu. Zora berbalik badan.“Ambil!” Rey menaruh gagang sapu lidi di tangan Zora.“Heh!”“Apa?” “Enggak mau!” Zora menyodorkan benda itu pada Rey lagi.Rey mengambil sapu itu berbarengan dengan menarik pergelangan tangan Zora. Membawa gadis itu meninggalkan teras ruang BK. Rey menoleh ke belakang, di mana gadis itu berjalan mengikuti tanpa bersuara. Tidak seperti biasanya, Rey bertanya-tanya dalam hati, malaikat mana yang telah merasuk ke dalam tubuh Zora.Mereka sampai di depan ruang kelas Zora. Rey menyuruh gadis itu menaruh tas lalu mengajaknya ke tepi kolam ikan hias di taman belakang. Di sana ada beberapa teman sekelasnya dan teman sekelas Zora juga.“Lu kenapa sih?” tanya Rey, sedari tadi dia ingin bicara. “Heran aja kenapa tiap hari lu muncul di depan gue,” sahut
Jangan Memupus Harapan Orang Lain.“I love You,” bisik Rey tanpa didengar siapa pun.Buat apa membohongi diri sendiri. Rey tidak tahan menyimpan perasaannya lebih lama lagi. Hampir dua tahun dia memendam seorang diri. “Love You too,” balas Zora malu-malu.Demikian pula Zora. Sekuat apa pun dia menyangkal. Bila panah Dewa Asmara sudah menancap apa mau diperbuat lagi? Baru kemarin dia menyadari arti getaran itu. Saat duduk di boncengan sepeda motor Rey, dia merasa sensasi yang berbeda. Iya, sangat beda ketika dibonceng oleh Papanya atau bahkan saat berboncengan dengan Eza. Benar, bersama Eza gadis itu tak merasakan apa-apa. Namun bersama Rey, dia merasa desir yang luar biasa di dalam sana. Inikah jatuh cinta yang pertama?Rhizma semakin meradang. Mereka berdua yang disakiti malah gadis itu yang sakit sendiri. Mereka berdua yang dijatuhkan malah dia sendiri yang jatuh. Mereka yang dipermalukan malah dia sendiri yang malu.“Rey!” Rhizma mengentak kaki. “Cepat naik!”“Zora?” Eza mengulur
Akhir Sebuah Awal“Beneran motor Damar. Ngapain dia di sini? Katanya lagi di tempat Zora?“ Rey garuk-garuk kepala setelah melihat nomor polisi sepeda motor tersebut. Bodoh amat! Bukan urusan Rey, dia berlari mengejar Om Salman dan Mamanya. Mereka berdiam diri di depan pintu. Rey melongok ke dalam. Untung dia lebih tinggi dari Om Salman dan Mamanya. Namun sayang, dia tidak bisa melihat jelas sepasang mempelai di depan sana. Kedua mempelai berdiri membelakangi tengah sibuk menyalami para tamu undangan.“Kita telat, Om. Acara akad udah kelar.” Sungguh, Rey berharap semoga mereka langsung pulang.“Kita masuk sekarang?” Salman menepuk punggung Sandra. Kemudian menggamit lengan adiknya itu.Sandra mengangguk saja. Tak bisa membohongi hati, bila dia benar cemburu. Sandra pernah berpikir setelah kepergian Nisa dari hidup Ryan, wanita yang menjadi ibu kandung anak susunya itu tidak akan pernah muncul lagi. Namun kadang kenyataan tak sesuai dengan harapan. “Assalamualaikum,” sapa Salman mem
Pernikahan Kedua“Yan, gimana perasaan kamu ketemu Lisa?”Seketika rasa legit itu menjelma jadi pahit. Ryan tercekat dengan pertanyaan Nisa. Untuk menjabarkan tentang perasaannya tidak akan mudah. Ada senang ada juga kecewa.Senang karena Ryan tak perlu jauh-jauh mencari keberadaan ibu susu Zora. Kecewa karena ternyata selama belasan tahun telah dibohongi oleh wanita bernama asli Sandra A. Hutama.“Entah.”“Harusnya dari dulu aku bilang sama kamu. Tapi setiap ingat kelakuan kalian... aku sedih, Yan. Kamu hampir tergoda.”Ryan mengaku salah. Dia pria normal yang butuh penyaluran hasrat. Ketika ada seorang wanita yang dengan sukarela menawarkan tubuhnya, dia pun tergoda. Beruntung waktu itu dia bisa menguasai diri. Dan lebih mujur karena saat itu Raya datang di waktu yang tepat.“Maafkan aku, Nis.”“Kamu enggak mau minta maaf karena menceraikan aku?”“Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang pernah kulakukan. Aku minta maaf atas semua sakit hati dan kesulitan yang kamu rasakan. Aku mi
Cinta Pertama Rey“Eza, boleh kita ikut belajar bareng lu?” tanya Zora pada sang juara kelas. Mimpi apa Eza tadi malam, pagi-pagi sudah mendapati Zora dan Lani di depan pintu. Dia saja baru sampai, belum duduk belum ambil nafas. Ambil nafas sih jelas sudah, ada-asa saja Eza!“Boleh, ayo!” Eza sengaja menarik tangan Lani. Mau menarik tangan Zora, dia belum berani. Zora masih sedingin bongkahan gunung es. Sulit untuk menaklukkan hati Zora. Setidaknya begitulah pendapat Eza. “Bukan sekarang.” Zora masih berdiri di depan pintu. Baik Eza maupun Lani menoleh ke belakang. Lani bahkan sudah geregetan menghadapi tingkah Zora. “Kapan?” tanya Eza. “Maksudnya, kapan saja terserah kamu,” ralat pemuda itu cepat. Zora tersenyum canggung. Tujuan utama belajar bersama Eza bukanlah untuk memperbaiki nilai ulangan. Ada satu misi khusus yakni menyelidiki tentang kehidupan pribadi pemuda itu dan Mamanya yang bernama Elisa.Meski kemungkinannya sangat kecil, tapi Zora sangat berharap bahwa Eza adala
Menuang Rindu“Sandra Aurelisa Hutama. Apa kabar kamu, sudah lama kita tidak berjumpa?”“Lisa?” tanya Ryan tak kalah kaget. “Kamu benar Lisa?”“Lisa?” Salman lebih kaget. Kejutan yang diberikan Nisa berkali lipat dari dugaannya. “Kalian mengenal adik saya?”Sandra menggigit bibir. Tak menyangka bahwa dia akan bertemu lagi dengan Nisa dan Ryan. Orang-orang yang ingin dia hindari justru datang tepat di hadapannya. Kebohongan yang dia rangkai dengan mulus untuk menutupi jati diri, bisa terkuak saat ini juga. Dia tidak mau terlihat buruk di mata Ryan.“Lisa, dia ini....” Penjelasan Ryan belum selesai.“Mitra bisnis Ryan,” potong Nisa cepat. “Sama seperti kita, Kak.”“Ya ampun, rupanya berkenalan dengan Anda membuka jalan untuk bertemu kembali dengan adik saya yang hilang.” Salman menjabat erat tangan Ryan. “Terima kasih....”Bila itu keinginan Nisa, maka Ryan akan ikuti permainan calon istrinya. Salman tidak boleh tahu bila adiknya ternyata seorang penipu. Paling tidak, begitulah yang ada
Sandra A. HutamaJakarta, Maret 2022Lani bolak balik dari dalam kelas ke depan pintu. Di tangannya ada selembar kertas bertuliskan beberapa nama. Dia sudah mendapat beberapa kandidat saudara sepersusuan Zora.“Ada apa?” tanya Eza masih dari tempat duduknya di barisan bangku paling belakang.Lani hanya melebarkan kedua bibirnya membentuk senyum. Dia tidak ingin Eza tahu tentang misinya kali ini. Lani sedang main detektif-detektifan bersama Zora. “Enggak ada,” jawab Lani singkat. Dia berbalik lagi ke depan pintu.Melihat sekali lagi kertas di tangannya. Pada nomor tiga terdapat nama Eza. Jadi, tidak mungkin Lani akan membocorkan misi ini pada pemuda bertubuh tinggi itu.Tak jauh dari tempatnya berdiri, dua sosok pemuda yang sangat dia kenal berjalan bersisian. Kedua bersahabat itu memang terkenal solid. Di mana dan ke mana saja selalu bersama. Bukan bak pinang dibelah dua, wajah keduanya tidaklah mirip. “Ayang gue udah dateng?” tanya Damar saat melintas di depan Lani.Tak bersuara, L
Hikmah dari Kepergian Nisa“Kamu yang khilaf. Kalau saya melakukannya dengan sadar.” Nisa sengaja memancing. Nah loh, rasakan itu Ryan.“Kenapa mau melakukan itu bersama saya?”“Terlambat sekali kamu baru menanyakan ini?”“Lebih baik terlambat daripada penasaran seumur hidup.”“Sudahlah, Yan. Aku mau pulang. Capek, ingin istirahat. Ingin tidur.” Nisa bergeser ke kiri, Ryan mengikuti. Nisa bergeser ke kanan, Ryan juga mengikuti. Begitu terus sampai lima kali.“Tolong minggir, aku mau lewat.”“Jawab dulu.”“Minggir.”“Jawab dulu. Kenapa tidak menghindar saat saya memulainya?”“Perlu dijawab, Yan?”“Harus.”“Seharusnya kamu bisa membaca jawabannya dari tatapan mata saya.”Tidak ada tulisan di mata indah itu. Lalu bagaimana Ryan bisa membaca tatapan mata Nisa. Seharusnya bisa. Jika menilik ke belakang, pada tahun-tahun yang telah berlalu. Ryan tidak pernah melihat Nisa menatap pria manapun dengan mata berbinar seperti tatapan wanita itu kepadanya.Ryan mendapat jawabannya. Dia tersenyu
Rumah Rehabilitasi Jiwa“Tapi bolehkah Kakak buat perhitungan dengan pria ini?” Salman menunjuk muka Ryan dengan sumpit yang dipegang.Ryan menyingkirkan tangan Salman dari depan mukanya. Enak saja main tunjuk-tunjuk. Ayo, kalau mau buat perhitungan, Ryan akan meladeni. Dengan suka hati, demi harga diri dan mantan yang sebentar lagi naik pangkat jadi calon.“Kak Salman?” ratap Nisa memohon. Jangan sampai ada pertumpahan darah di restoran milik Salman. Hal itu akan mengurangi kredibilitas, Nisa tidak ingin itu terjadi. Bisa berkurang jumlah pengunjung kalau terjadi huru-hara di tempat ini.“Pria ini yang sudah membuat kamu terluka?” Tatapan Salman tak lepas dari mata Ryan yang mulai berkobar.“Pria ini yang menelantarkan kamu?”“Pria ini yang membuat kamu jauh dari anak kamu sendiri?”“Hei...pria yang sudah menyakiti Nisa berkali-kali lipat, siap-siap dengan serangan saya.” Cerocos Salman tanpa memberi kesempatan Ryan untuk menyanggah.Ryan menyunggingkan senyum. Satu sudut bibirnya t
De Javu“Tante Sandra....” Damar membuka pintu dan langsung menerobos masuk ke dalam rumah besar itu. “Tante di mana?”Dari belakang, Rey menimpuk kepala Damar dengan kantong plastik hitam berisi seragam pramukanya yang basah. “Masuk rumah orang itu pakai salam,” cibir Rey. “Ini mah asal nyelonong aja.”Damar mengelus kepalanya. Nasibnya sial karena punya teman macam Rey. Dia melayangkan tinju ke bahu Rey, tapi meleset. Pemuda itu mundur segesit anak panah.Rey berkelit saat Damar melakukan serangan balasan. Rey tertawa senang karena kepalan tangan Damar tidak mengenai dirinya. Bergegas dia lari ke belakang, tempat laundry tujuannya. Mencari asisten rumah tangga.“Jangan bilang Mama bajunya basah. Tolong langsung dicuci ya, Mbak.” Rey memberikan seragam kotornya pada asisten rumah tangga. Untungnya punya asisten rumah tangga yang umurnya tak terpaut jauh adalah, dia bisa diajak kerja sama. Mbak Asisten justru lebih pro pada Rey, padahal yang memberi upah tiap bulan nyonya rumah.“Si
Duda Meresahkan“Mama lebih berat dari Zora waktu itu. Tapi Papa kuat gendong Mama.”Nisa menendang kaki Ryan. Tidak tahu malu! Lihatlah, Raya sedang menahan tawa. Dan muka Zora...?“Waktu kapan?” tanya Zora.Nah, loh waktu kapan tanya Zora. Jawab Ryan, jawab!“Di Puncak bukan?” sindir Raya. Kali ini dia tak dapat menahannya. “Nisa meriang sih, jadi enggak bisa main api unggun bareng teman-teman kita.”“Mama meriang kenapa?”Nisa tersenyum kecut. Dia melirik pada Raya dan Ryan bergantian. Di depan Zora lancang benar mereka membicarakan tentang hari itu. Nanti kalau Zora jadi ingin tahu lebih banyak, siapa yang menjawab coba?“Ayo naik ke punggung Papa.”Kesempatan langka. Sudah lama sekali dia tidak digendong Papa. Kalau tidak salah ingat mungkin terakhir kali digendong saat jatuh dari sepeda waktu kelas satu SMP.“Zora sama Mama berat siapa, Pa?”“Ya Papa enggak tahu kalau sekarang. Mama kan gendut sekarang.”“Mama enggak gendut kok.” Zora membela Mamanya. Faktanya begitu. Mama canti