Mama Masih HidupTak tahan lagi. Sari memukul kepala Ryan dengan keras. Dia membeliak bak kilatan pedang terhunus siap mengoyak siapa pun yang berani melawan. “Jangan bertindak bodoh untuk yang kedua kali.” Setelah mengatakan itu Sari memilih keluar dari ruang kerja Ryan. Kepalanya bertambah pusing menghadapi tingkah konyol anak semata wayangnya yang susah sekali untuk melupakan masa lalu.“Bu,” panggil Ryan saat ibunya membuka pintu. “Ibu dapat salam dari mantan sekaligus calon menantu,” lanjut Ryan kemudian begitu Sari menoleh.Sari hanya menggeleng. Sengaja dia mengabaikan kata-kata Ryan. Dia anggap itu hanya gurauan. Sudahlah, dia ingin istirahat saja di kamar. Belum sampai di kamar, dia bertemu Zora di ruang tengah. Gadis itu berlari menghampiri, memeluk dan mencium pipi Sari. Pasti ada maunya, Sari paham betul jika cucunya sedang merajuk.“Oma, Zora enggak mau punya Mama tiri.”“Siapa bilang kamu mau punya Mama lagi?” Sari mencubit hidung bangir Zora.“Surat itu,” lirih Zora
“Zora dengarkan Papa. Mama masih hidup.”Zora mendongak. Dia sudah ingin menjerit lagi, tetapi saat itu juga dia mendengar Mbok Narti ikut bicara.“Akhirnya Mas Ryan berterus terang,” kata Mbok Narti dengan mata berkaca-kaca. “Mbok sudah lama menunggu saat-saat ini.”Ryan menoleh pada Mbok Narti di depan pintu. Di belakang tubuh Mbok Narti, Ryan melihat Sari berdiri melipat tangan di depan dada. Kemudian Ryan melihat Sari tersenyum dan mengangguk.“Mama kamu masih hidup, Ra.” Ryan kembali meyakinkan Zora.Tumpah lagi air mata Zora. Kali ini dia tidak meraung, hanya sedu sedan di antara isak dan sesenggukan. Dia memandang lekat mata Papanya, mencari letak kebohongan di sana.“Mama masih sendiri sama seperti Papa. Mari bekerja sama dengan Papa, Ra. Kita rebut hati Mama lagi.”“Papa...eng...gak bo...ong?”“Enggak. Besok Zora mau ketemu Mama?” tanya Ryan.Tentu saja dia harus membawa Zora sebelum Nisa pulang ke Bali. Siapa tahu ketika bertemu Zora, wanita itu akan berubah pikiran. Nisa s
Nisa tergugu di tempat. Sekuat apa pun dia menahannya, tangis itu pecah juga. Dia meniup udara ke matanya, berharap agar embun di sana kering seketika. Tidak, itu tak semudah yang Nisa bayangkan.Sedangkan di depan sana, Zora masih berjalan mendekat. Gadis berponi itu tersenyum semringah. Namun berkali-kali juga dia mengusap pipinya yang basah. “Sini...,” ujar Nisa sambil merentangkan kedua tangan menyambut Zora. Zora merangsek masuk ke dalam pelukan Nisa. Ini yang pertama, rasanya begitu nyaman dan menenangkan. Zora tak ingin melepaskan pelukannya.“Maafkan Mama, Nak.” Nisa melepaskan Zora dari pelukan. Dia menangkup kedua pipi Zora dengan telapak tangan. Jari-jarinya menghapus air mata yang masih merembes turun dari pelupuk mata Zora.“Zora boleh minta cium?”Nisa tersenyum disela isaknya. Tentu Zora, tentu saja boleh! Nisa menciumi wajah Zora penuh perasaan. Tujuh belas tahun yang lalu Nisa menggendongnya dalam buaian, kini bukan wangi bayi lagi yang melekat pada kulit Zora. Ah,
“Ciye, mikirin mantan suami yang tambah ganteng yah?” goda Ryan.“Tambah norak iya.”“Tambah sayang juga enggak?”“Yan!”Ryan menutup mulut menggunakan telapak tangan kirinya. Sementara tangan kanan diangkat setinggi wajah Nisa. Dua jarinya membentuk huruf V.“Untung sayang,” gumam Nisa lirih sambil membuka pintu. Ryan tersipu senang. Meskipun lirih, dia bisa mendengar gumaman dari mulut Nisa. Ah, semudah inikah merebut hati Nisa? Baiklah, langkah selanjutnya adalah bicara secara jantan pada Salman. Mungkin akan mudah, karena Ryan yakin Nisa akan condong padanya. “Satu langkah lagi untuk bersanding kembali denganmu,” bisik Ryan sambil mencegat tangan Nisa di depan pintu.Nisa tersenyum. Dia menggigit bibirnya, hatinya berdebar tak menentu. Wajahnya mungkin sudah semerah buah tomat matang. Entah, seperti apa pun rona yang tercipta, Nisa tak ingin menoleh. Dia malu jika harus beradu pandang dengan Ryan.Merasakan embusan nafas Ryan di belakang tubuhnya, membuat Nisa semakin gerah. Dia
“Kenapa masih di sini?” ulangnya sekali lagi.Suara Rey membuat jantung Zora berdebar-debar. Zora hendak lari dari sana. Ingin menghilang ke atas langit atau ke dasar bumi. Namun tangannya berhasil dicegah oleh pemuda itu. Zora berbalik badan.“Ambil!” Rey menaruh gagang sapu lidi di tangan Zora.“Heh!”“Apa?” “Enggak mau!” Zora menyodorkan benda itu pada Rey lagi.Rey mengambil sapu itu berbarengan dengan menarik pergelangan tangan Zora. Membawa gadis itu meninggalkan teras ruang BK. Rey menoleh ke belakang, di mana gadis itu berjalan mengikuti tanpa bersuara. Tidak seperti biasanya, Rey bertanya-tanya dalam hati, malaikat mana yang telah merasuk ke dalam tubuh Zora.Mereka sampai di depan ruang kelas Zora. Rey menyuruh gadis itu menaruh tas lalu mengajaknya ke tepi kolam ikan hias di taman belakang. Di sana ada beberapa teman sekelasnya dan teman sekelas Zora juga.“Lu kenapa sih?” tanya Rey, sedari tadi dia ingin bicara. “Heran aja kenapa tiap hari lu muncul di depan gue,” sahut
Jangan Memupus Harapan Orang Lain.“I love You,” bisik Rey tanpa didengar siapa pun.Buat apa membohongi diri sendiri. Rey tidak tahan menyimpan perasaannya lebih lama lagi. Hampir dua tahun dia memendam seorang diri. “Love You too,” balas Zora malu-malu.Demikian pula Zora. Sekuat apa pun dia menyangkal. Bila panah Dewa Asmara sudah menancap apa mau diperbuat lagi? Baru kemarin dia menyadari arti getaran itu. Saat duduk di boncengan sepeda motor Rey, dia merasa sensasi yang berbeda. Iya, sangat beda ketika dibonceng oleh Papanya atau bahkan saat berboncengan dengan Eza. Benar, bersama Eza gadis itu tak merasakan apa-apa. Namun bersama Rey, dia merasa desir yang luar biasa di dalam sana. Inikah jatuh cinta yang pertama?Rhizma semakin meradang. Mereka berdua yang disakiti malah gadis itu yang sakit sendiri. Mereka berdua yang dijatuhkan malah dia sendiri yang jatuh. Mereka yang dipermalukan malah dia sendiri yang malu.“Rey!” Rhizma mengentak kaki. “Cepat naik!”“Zora?” Eza mengulur
Duda Meresahkan“Mama lebih berat dari Zora waktu itu. Tapi Papa kuat gendong Mama.”Nisa menendang kaki Ryan. Tidak tahu malu! Lihatlah, Raya sedang menahan tawa. Dan muka Zora...?“Waktu kapan?” tanya Zora.Nah, loh waktu kapan tanya Zora. Jawab Ryan, jawab!“Di Puncak bukan?” sindir Raya. Kali ini dia tak dapat menahannya. “Nisa meriang sih, jadi enggak bisa main api unggun bareng teman-teman kita.”“Mama meriang kenapa?”Nisa tersenyum kecut. Dia melirik pada Raya dan Ryan bergantian. Di depan Zora lancang benar mereka membicarakan tentang hari itu. Nanti kalau Zora jadi ingin tahu lebih banyak, siapa yang menjawab coba?“Ayo naik ke punggung Papa.”Kesempatan langka. Sudah lama sekali dia tidak digendong Papa. Kalau tidak salah ingat mungkin terakhir kali digendong saat jatuh dari sepeda waktu kelas satu SMP.“Zora sama Mama berat siapa, Pa?”“Ya Papa enggak tahu kalau sekarang. Mama kan gendut sekarang.”“Mama enggak gendut kok.” Zora membela Mamanya. Faktanya begitu. Mama canti
De Javu“Tante Sandra....” Damar membuka pintu dan langsung menerobos masuk ke dalam rumah besar itu. “Tante di mana?”Dari belakang, Rey menimpuk kepala Damar dengan kantong plastik hitam berisi seragam pramukanya yang basah. “Masuk rumah orang itu pakai salam,” cibir Rey. “Ini mah asal nyelonong aja.”Damar mengelus kepalanya. Nasibnya sial karena punya teman macam Rey. Dia melayangkan tinju ke bahu Rey, tapi meleset. Pemuda itu mundur segesit anak panah.Rey berkelit saat Damar melakukan serangan balasan. Rey tertawa senang karena kepalan tangan Damar tidak mengenai dirinya. Bergegas dia lari ke belakang, tempat laundry tujuannya. Mencari asisten rumah tangga.“Jangan bilang Mama bajunya basah. Tolong langsung dicuci ya, Mbak.” Rey memberikan seragam kotornya pada asisten rumah tangga. Untungnya punya asisten rumah tangga yang umurnya tak terpaut jauh adalah, dia bisa diajak kerja sama. Mbak Asisten justru lebih pro pada Rey, padahal yang memberi upah tiap bulan nyonya rumah.“Si