“Ciye, mikirin mantan suami yang tambah ganteng yah?” goda Ryan.“Tambah norak iya.”“Tambah sayang juga enggak?”“Yan!”Ryan menutup mulut menggunakan telapak tangan kirinya. Sementara tangan kanan diangkat setinggi wajah Nisa. Dua jarinya membentuk huruf V.“Untung sayang,” gumam Nisa lirih sambil membuka pintu. Ryan tersipu senang. Meskipun lirih, dia bisa mendengar gumaman dari mulut Nisa. Ah, semudah inikah merebut hati Nisa? Baiklah, langkah selanjutnya adalah bicara secara jantan pada Salman. Mungkin akan mudah, karena Ryan yakin Nisa akan condong padanya. “Satu langkah lagi untuk bersanding kembali denganmu,” bisik Ryan sambil mencegat tangan Nisa di depan pintu.Nisa tersenyum. Dia menggigit bibirnya, hatinya berdebar tak menentu. Wajahnya mungkin sudah semerah buah tomat matang. Entah, seperti apa pun rona yang tercipta, Nisa tak ingin menoleh. Dia malu jika harus beradu pandang dengan Ryan.Merasakan embusan nafas Ryan di belakang tubuhnya, membuat Nisa semakin gerah. Dia
“Kenapa masih di sini?” ulangnya sekali lagi.Suara Rey membuat jantung Zora berdebar-debar. Zora hendak lari dari sana. Ingin menghilang ke atas langit atau ke dasar bumi. Namun tangannya berhasil dicegah oleh pemuda itu. Zora berbalik badan.“Ambil!” Rey menaruh gagang sapu lidi di tangan Zora.“Heh!”“Apa?” “Enggak mau!” Zora menyodorkan benda itu pada Rey lagi.Rey mengambil sapu itu berbarengan dengan menarik pergelangan tangan Zora. Membawa gadis itu meninggalkan teras ruang BK. Rey menoleh ke belakang, di mana gadis itu berjalan mengikuti tanpa bersuara. Tidak seperti biasanya, Rey bertanya-tanya dalam hati, malaikat mana yang telah merasuk ke dalam tubuh Zora.Mereka sampai di depan ruang kelas Zora. Rey menyuruh gadis itu menaruh tas lalu mengajaknya ke tepi kolam ikan hias di taman belakang. Di sana ada beberapa teman sekelasnya dan teman sekelas Zora juga.“Lu kenapa sih?” tanya Rey, sedari tadi dia ingin bicara. “Heran aja kenapa tiap hari lu muncul di depan gue,” sahut
Jangan Memupus Harapan Orang Lain.“I love You,” bisik Rey tanpa didengar siapa pun.Buat apa membohongi diri sendiri. Rey tidak tahan menyimpan perasaannya lebih lama lagi. Hampir dua tahun dia memendam seorang diri. “Love You too,” balas Zora malu-malu.Demikian pula Zora. Sekuat apa pun dia menyangkal. Bila panah Dewa Asmara sudah menancap apa mau diperbuat lagi? Baru kemarin dia menyadari arti getaran itu. Saat duduk di boncengan sepeda motor Rey, dia merasa sensasi yang berbeda. Iya, sangat beda ketika dibonceng oleh Papanya atau bahkan saat berboncengan dengan Eza. Benar, bersama Eza gadis itu tak merasakan apa-apa. Namun bersama Rey, dia merasa desir yang luar biasa di dalam sana. Inikah jatuh cinta yang pertama?Rhizma semakin meradang. Mereka berdua yang disakiti malah gadis itu yang sakit sendiri. Mereka berdua yang dijatuhkan malah dia sendiri yang jatuh. Mereka yang dipermalukan malah dia sendiri yang malu.“Rey!” Rhizma mengentak kaki. “Cepat naik!”“Zora?” Eza mengulur
Duda Meresahkan“Mama lebih berat dari Zora waktu itu. Tapi Papa kuat gendong Mama.”Nisa menendang kaki Ryan. Tidak tahu malu! Lihatlah, Raya sedang menahan tawa. Dan muka Zora...?“Waktu kapan?” tanya Zora.Nah, loh waktu kapan tanya Zora. Jawab Ryan, jawab!“Di Puncak bukan?” sindir Raya. Kali ini dia tak dapat menahannya. “Nisa meriang sih, jadi enggak bisa main api unggun bareng teman-teman kita.”“Mama meriang kenapa?”Nisa tersenyum kecut. Dia melirik pada Raya dan Ryan bergantian. Di depan Zora lancang benar mereka membicarakan tentang hari itu. Nanti kalau Zora jadi ingin tahu lebih banyak, siapa yang menjawab coba?“Ayo naik ke punggung Papa.”Kesempatan langka. Sudah lama sekali dia tidak digendong Papa. Kalau tidak salah ingat mungkin terakhir kali digendong saat jatuh dari sepeda waktu kelas satu SMP.“Zora sama Mama berat siapa, Pa?”“Ya Papa enggak tahu kalau sekarang. Mama kan gendut sekarang.”“Mama enggak gendut kok.” Zora membela Mamanya. Faktanya begitu. Mama canti
De Javu“Tante Sandra....” Damar membuka pintu dan langsung menerobos masuk ke dalam rumah besar itu. “Tante di mana?”Dari belakang, Rey menimpuk kepala Damar dengan kantong plastik hitam berisi seragam pramukanya yang basah. “Masuk rumah orang itu pakai salam,” cibir Rey. “Ini mah asal nyelonong aja.”Damar mengelus kepalanya. Nasibnya sial karena punya teman macam Rey. Dia melayangkan tinju ke bahu Rey, tapi meleset. Pemuda itu mundur segesit anak panah.Rey berkelit saat Damar melakukan serangan balasan. Rey tertawa senang karena kepalan tangan Damar tidak mengenai dirinya. Bergegas dia lari ke belakang, tempat laundry tujuannya. Mencari asisten rumah tangga.“Jangan bilang Mama bajunya basah. Tolong langsung dicuci ya, Mbak.” Rey memberikan seragam kotornya pada asisten rumah tangga. Untungnya punya asisten rumah tangga yang umurnya tak terpaut jauh adalah, dia bisa diajak kerja sama. Mbak Asisten justru lebih pro pada Rey, padahal yang memberi upah tiap bulan nyonya rumah.“Si
Rumah Rehabilitasi Jiwa“Tapi bolehkah Kakak buat perhitungan dengan pria ini?” Salman menunjuk muka Ryan dengan sumpit yang dipegang.Ryan menyingkirkan tangan Salman dari depan mukanya. Enak saja main tunjuk-tunjuk. Ayo, kalau mau buat perhitungan, Ryan akan meladeni. Dengan suka hati, demi harga diri dan mantan yang sebentar lagi naik pangkat jadi calon.“Kak Salman?” ratap Nisa memohon. Jangan sampai ada pertumpahan darah di restoran milik Salman. Hal itu akan mengurangi kredibilitas, Nisa tidak ingin itu terjadi. Bisa berkurang jumlah pengunjung kalau terjadi huru-hara di tempat ini.“Pria ini yang sudah membuat kamu terluka?” Tatapan Salman tak lepas dari mata Ryan yang mulai berkobar.“Pria ini yang menelantarkan kamu?”“Pria ini yang membuat kamu jauh dari anak kamu sendiri?”“Hei...pria yang sudah menyakiti Nisa berkali-kali lipat, siap-siap dengan serangan saya.” Cerocos Salman tanpa memberi kesempatan Ryan untuk menyanggah.Ryan menyunggingkan senyum. Satu sudut bibirnya t
Hikmah dari Kepergian Nisa“Kamu yang khilaf. Kalau saya melakukannya dengan sadar.” Nisa sengaja memancing. Nah loh, rasakan itu Ryan.“Kenapa mau melakukan itu bersama saya?”“Terlambat sekali kamu baru menanyakan ini?”“Lebih baik terlambat daripada penasaran seumur hidup.”“Sudahlah, Yan. Aku mau pulang. Capek, ingin istirahat. Ingin tidur.” Nisa bergeser ke kiri, Ryan mengikuti. Nisa bergeser ke kanan, Ryan juga mengikuti. Begitu terus sampai lima kali.“Tolong minggir, aku mau lewat.”“Jawab dulu.”“Minggir.”“Jawab dulu. Kenapa tidak menghindar saat saya memulainya?”“Perlu dijawab, Yan?”“Harus.”“Seharusnya kamu bisa membaca jawabannya dari tatapan mata saya.”Tidak ada tulisan di mata indah itu. Lalu bagaimana Ryan bisa membaca tatapan mata Nisa. Seharusnya bisa. Jika menilik ke belakang, pada tahun-tahun yang telah berlalu. Ryan tidak pernah melihat Nisa menatap pria manapun dengan mata berbinar seperti tatapan wanita itu kepadanya.Ryan mendapat jawabannya. Dia tersenyu
Sandra A. HutamaJakarta, Maret 2022Lani bolak balik dari dalam kelas ke depan pintu. Di tangannya ada selembar kertas bertuliskan beberapa nama. Dia sudah mendapat beberapa kandidat saudara sepersusuan Zora.“Ada apa?” tanya Eza masih dari tempat duduknya di barisan bangku paling belakang.Lani hanya melebarkan kedua bibirnya membentuk senyum. Dia tidak ingin Eza tahu tentang misinya kali ini. Lani sedang main detektif-detektifan bersama Zora. “Enggak ada,” jawab Lani singkat. Dia berbalik lagi ke depan pintu.Melihat sekali lagi kertas di tangannya. Pada nomor tiga terdapat nama Eza. Jadi, tidak mungkin Lani akan membocorkan misi ini pada pemuda bertubuh tinggi itu.Tak jauh dari tempatnya berdiri, dua sosok pemuda yang sangat dia kenal berjalan bersisian. Kedua bersahabat itu memang terkenal solid. Di mana dan ke mana saja selalu bersama. Bukan bak pinang dibelah dua, wajah keduanya tidaklah mirip. “Ayang gue udah dateng?” tanya Damar saat melintas di depan Lani.Tak bersuara, L