Para panitia acara reuni malam itu untung saja langsung cepat tanggap untuk menenangkan massa yang geger karena kehebohan yang lagi-lagi diciptakan oleh Danis dan Juda di momen-momen penting mereka. Terutama Fikri, snag penanggung jawab acara yang susah payah menenangkan massa yang makin heboh setelah Danis membawa Juda keluar. Laki-laki itu naik ke panggung dan meraih mikrofon, lalu dengan suara lantangnya ia mulai bicara. Meminta seluruh massa yang kacau itu untuk mengalihkan perhatiannya kepada dirinya. “Selamat malam, teman-taman. Gue minta waktu sebentar,” ucap Fikri. Menanggalkan bahasa formal yang biasa ia gunakan setiap kali bicara di depan publik. “Gue minta maaf ke kalian semua atas ketidaknyamanan yang terjadi barusan. Atas nama Danis dan Juda, gue mewakili mereka meminta maaf karena menciptakan tontonan di tengah-tengah acara temu kangen kita hari ini. Gue berharap, kalian semua menyikapi kejadian hari ini dengan dewasa. Jadi, gue asumsikan kalau gue dan kalian semua ya
Martin sudah mengomeli Danis hingga mulutnya berbusa sejak ia melihat sahabatnya menyeduh kopi dengan tenang di dapur apartemennya. Itu karena Danis bercerita tentang apa yang telah ia putuskan untuk ia lakukan terkait kehebohan semalam yang tak terkendali.“Lo udah gila,” tukas Martin dengan mata membelalak begitu lebar. “Lo mau ngikutin sandiwara gila Juju?”Danis merenung sejenak sebelum menjawab, “Gue nggak bisa diam aja. Foto sama video gue sama Juda semalam udah nyebar ke mana-mana. Buat gue, ini mungkin nggak terlalu jadi masalah. Karena gue bisa tinggal balik ke Belanda. Tapi gimana sama Juju? Ngebiarin dia nanggung ini sendirian?”“Juju yang bertindak gila. Tentu aja dia yang harus nanggung akibatnya!” geram Martin.“Gue nggak bisa ngebiarin Juju sendirian nanggung masalah ini,” ujar Danis yang kemudian menyeruput kopi hitamnya yang pekat dengan santai.Martin kesal sekali. Tampak tergambar di wajah kuyunya−ia belum sempat cuci muka setelah bangun tidur.“Gue tahu, ini mungki
Juda sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk kembali bertemu dengan Danis setelah kegilaannya semalam. Tidak hanya karena apa yang terjadi saat mereka berada di dalan ballroom hotel, tapi juga saat mereka berdua kabur dari acara reuni dan bicara di luar. Saat di dalam ballroom, Juda bisa paham kenapa Danis tidak terang-terangan menolaknya saja saat ia bertindak seenak jidatnya, itu karena Danis tidak ingin membuat dirinya semakin malu.Yang tidak Juda mengerti adalah kekeraskepalaan dan keseriusan Danis menanggapi tingkahnya. Dan Juda tidak paham kenapa Danis semarah itu kepadanya karena dirinya sangat plin-plan. Juda sama sekali tidak mengerti kenapa Danis kukuh ingin melanjutkan kegilaan Juda yang sudah sepatutnya disudahi setelah mereka keluar dari ballroom hotel semalam. Padahal, jika Danis waras, laki-laki itu seharusnya tahu bahwa Juda hanya sedang gila sesaat—kegilaan pertama yang sampai viral ke mana-mana."Ah, teknologi sialan," rutuk Juda untuk yang ke sekian kalinya.Ia
Juda kembali masuk ke dalam kafe untuk memesan minuman dan makanan terlebih dahulu sebelum kemudian berjalan mendekat ke arah Danis dan duduk di kursi yang berseberangan dengan laki-laki itu tanpa berkata-kata. Danis yang menyadari kedatangan Juda langsung mematikan rokoknya, yang sepertinya baru saja disulut karena terlihat masih cukup panjang. Kemudian mendongak, menatap Juda dengan sorot mata tajam seperti elang. Juda sudah lupa jika Danis pernah memiliki tatapan itu. Karena seingat Juda, dulu Danis memiliki tatapan lembut yang membuat Juda betah memandangi mata laki-laki itu. Membuat Juda tak ingin berpaling. Membuat Juda ingin tenggelam di sana. Tatapan yang juga membuat Juda jatuh hati, hanya barawal dari tatap itu. Cukup lama mereka hanya saling berpandangan. Hingga salah satu dari mereka mulai jengah dan memecah kebisuan di antara mereka. "Kita persingkat aja. Kita berdua nggak ada di kondisi yang harmonis buat melanjutkan apa yang kamu putuskan semalam," ujar Juda tanpa b
Danis tidak menjawab. Ia hanya memandang Juda dengan lekat, membuat Juda jengah. Juda menyugar rambutnya. Kemudian menyelipkan anak rambut yang menjuntai jatuh ke wajah ke belakang telinga. "Aku mungkin memang gila karena bertindak tanpa berpikir, Danis. Tapi aku nggak bisa menggunakan kegilaan aku untuk sesuatu yang seserius ini. Kalau aku memutuskan untuk berhubungan serius dengan seseorang, itu artinya aku memang mau ke arah sana. Bukan hanya karena aku gila," ujar Juda serius. "Kita bisa mulai dengan adaptasi dalam sebulan, seperti yang aku bilang tadi. Kita bisa mulai dengan jalan bareng, ngobrol banyak soal hidup masing-masing selama sepuluh tahun terakhir. Kita bisa putuskan lagi akan berlanjut ke mana setelah itu. Gimana?" "Bukannya lebih gampang kalau kita nggak usah ke mana-mana?" Juda tidak melepaskan tatapan dari Danis meski ia sudah tidak kuat ditatap dengan begitu lekat oleh mata tajam laki-laki itu. "Waktu aku berangkat ke sini, aku udah memutuskan kalau ini akan j
Mendapat pertanyaan itu membuat Juda gentar, tetapi ia tetap harus terlihat teguh agar bisa meyakinkan Danis untuk tidak semakin mendesaknya. "Karena aku nggak mau kegilaan sementara ini menyetir masa depanku ke arah yang nggak bisa aku bayangkan. Bukan ini yang aku inginkan." "Kamu bisa tetap membayangkan apa yang kamu inginkan, dan kita bisa mewujudkannya seperti yang kamu—" Juda mengangkat tangan. Memaksa Danis agar berhenti bicara melantur. "Danis, please. Aku udah cukup stres karena wajah kita sekarang tersebar di mana-mana. Aku bisa semakin gila kalau kita nggak berhenti sekarang." "Kamu yang melibatkan aku begitu aja tanpa persetujuanku, Ju. Dan aku seharusnya juga boleh melakukan apa pun tanpa persetujuan kamu. Iya, kan?" desak Danis. Ia mulai terlihat gusar. "Tapi aku nggak melakukannya. Kenapa? Karena aku nggak mau jadi egois. Aku nggak mau memutuskan apa pun sendirian karena aku tahu hasilnya nggak akan baik. Makanya, ayo kita usahakan ini sama-sama! Kalau bisa jalan ber
10 tahun yang lalu... Dari semua rasa sakit yang Juda rasakan, ia paling benci saat datang bulan. Di hari pertama datang bulan, Juda tidak pernah tidak merasakan nyeri di perut yang membuatnya selalu ingin berguling-guling di lantai untuk sedikit menyamarkan rasa sakitnya. Namun, terkadang waktunya sangat tidak tepat. Seperti hari ini. Juda menahan rasa sakit yang awalnya belum seberapa itu saat berangkat ke sekolah tadi pagi hingga rasa sakitnya naik ke level yang cukup parah saat memasuki jam istirahat kedua. Ia sudah mengomel sejak tadi karena selain rasa sakit yang ia rasakan. Mood-nya yang mudah berubah itu juga berantakan, atau malah bisa dibilang amat sangat parah. Bawaannya ingin marah-marah kepada siapa pun dan kepada apa pun—Juda hampir mematahkan pensil hanya karena benda itu jatuh ke lantai dan ia harus susah payah mengambilnya dengan menahan rasa sakit di perutnya, kemudian yang terjadi berikutnya, kepalanya terantuk pinggiran meja dengan cukup keras hingga berdenyut ny
10 tahun yang lalu..."Astaga, Pandu!" jerit Juda tanpa sadar. Ia mencengkeram pinggiran jendela.Di seberang sana, Pandu tidak langsung berdiri, begitu juga dengan teman mainnya. Mereka berdua langsung dikerubungi teman-temannya. Memblokir area pandang Juda dari Pandu yang tadinya terlihat sedang kesakitan."Minggir woy! Kalian nutupin gue!" kesal Juda yang masih terlihat panik. "Apa gue samperin ke sana aja? Gue harus—""Lo mau jadi pahlawan kesiangan? Mau jadi pusat perhatian lagi? Nggak lihat noh, di seberang sono banyak yang nonton." Ema menunjuk kantin yang berada di sisi yang berseberangan dengan UKS. Lapangan basket berada di tengah-tengahnya. "Gue yakin fans-fansnya Pandu selain elo juga pengen langsung berhamburan kayak zombie buat nerkam si Pandu."Juda mendengus. "Pandu abis jatoh, Em. Gimana kalo cedera parah? Gue harus nolongin dia.""Lo cuma merhatiin Pandu doang? Temennya juga jatoh tuh." Ems menunjuk dengan mengangkat dagu."Ya kan gue kenalnya sama Pandu doang," Juda