Juda sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk kembali bertemu dengan Danis setelah kegilaannya semalam. Tidak hanya karena apa yang terjadi saat mereka berada di dalan ballroom hotel, tapi juga saat mereka berdua kabur dari acara reuni dan bicara di luar. Saat di dalam ballroom, Juda bisa paham kenapa Danis tidak terang-terangan menolaknya saja saat ia bertindak seenak jidatnya, itu karena Danis tidak ingin membuat dirinya semakin malu.Yang tidak Juda mengerti adalah kekeraskepalaan dan keseriusan Danis menanggapi tingkahnya. Dan Juda tidak paham kenapa Danis semarah itu kepadanya karena dirinya sangat plin-plan. Juda sama sekali tidak mengerti kenapa Danis kukuh ingin melanjutkan kegilaan Juda yang sudah sepatutnya disudahi setelah mereka keluar dari ballroom hotel semalam. Padahal, jika Danis waras, laki-laki itu seharusnya tahu bahwa Juda hanya sedang gila sesaat—kegilaan pertama yang sampai viral ke mana-mana."Ah, teknologi sialan," rutuk Juda untuk yang ke sekian kalinya.Ia
Juda kembali masuk ke dalam kafe untuk memesan minuman dan makanan terlebih dahulu sebelum kemudian berjalan mendekat ke arah Danis dan duduk di kursi yang berseberangan dengan laki-laki itu tanpa berkata-kata. Danis yang menyadari kedatangan Juda langsung mematikan rokoknya, yang sepertinya baru saja disulut karena terlihat masih cukup panjang. Kemudian mendongak, menatap Juda dengan sorot mata tajam seperti elang. Juda sudah lupa jika Danis pernah memiliki tatapan itu. Karena seingat Juda, dulu Danis memiliki tatapan lembut yang membuat Juda betah memandangi mata laki-laki itu. Membuat Juda tak ingin berpaling. Membuat Juda ingin tenggelam di sana. Tatapan yang juga membuat Juda jatuh hati, hanya barawal dari tatap itu. Cukup lama mereka hanya saling berpandangan. Hingga salah satu dari mereka mulai jengah dan memecah kebisuan di antara mereka. "Kita persingkat aja. Kita berdua nggak ada di kondisi yang harmonis buat melanjutkan apa yang kamu putuskan semalam," ujar Juda tanpa b
Danis tidak menjawab. Ia hanya memandang Juda dengan lekat, membuat Juda jengah. Juda menyugar rambutnya. Kemudian menyelipkan anak rambut yang menjuntai jatuh ke wajah ke belakang telinga. "Aku mungkin memang gila karena bertindak tanpa berpikir, Danis. Tapi aku nggak bisa menggunakan kegilaan aku untuk sesuatu yang seserius ini. Kalau aku memutuskan untuk berhubungan serius dengan seseorang, itu artinya aku memang mau ke arah sana. Bukan hanya karena aku gila," ujar Juda serius. "Kita bisa mulai dengan adaptasi dalam sebulan, seperti yang aku bilang tadi. Kita bisa mulai dengan jalan bareng, ngobrol banyak soal hidup masing-masing selama sepuluh tahun terakhir. Kita bisa putuskan lagi akan berlanjut ke mana setelah itu. Gimana?" "Bukannya lebih gampang kalau kita nggak usah ke mana-mana?" Juda tidak melepaskan tatapan dari Danis meski ia sudah tidak kuat ditatap dengan begitu lekat oleh mata tajam laki-laki itu. "Waktu aku berangkat ke sini, aku udah memutuskan kalau ini akan j
Mendapat pertanyaan itu membuat Juda gentar, tetapi ia tetap harus terlihat teguh agar bisa meyakinkan Danis untuk tidak semakin mendesaknya. "Karena aku nggak mau kegilaan sementara ini menyetir masa depanku ke arah yang nggak bisa aku bayangkan. Bukan ini yang aku inginkan." "Kamu bisa tetap membayangkan apa yang kamu inginkan, dan kita bisa mewujudkannya seperti yang kamu—" Juda mengangkat tangan. Memaksa Danis agar berhenti bicara melantur. "Danis, please. Aku udah cukup stres karena wajah kita sekarang tersebar di mana-mana. Aku bisa semakin gila kalau kita nggak berhenti sekarang." "Kamu yang melibatkan aku begitu aja tanpa persetujuanku, Ju. Dan aku seharusnya juga boleh melakukan apa pun tanpa persetujuan kamu. Iya, kan?" desak Danis. Ia mulai terlihat gusar. "Tapi aku nggak melakukannya. Kenapa? Karena aku nggak mau jadi egois. Aku nggak mau memutuskan apa pun sendirian karena aku tahu hasilnya nggak akan baik. Makanya, ayo kita usahakan ini sama-sama! Kalau bisa jalan ber
10 tahun yang lalu... Dari semua rasa sakit yang Juda rasakan, ia paling benci saat datang bulan. Di hari pertama datang bulan, Juda tidak pernah tidak merasakan nyeri di perut yang membuatnya selalu ingin berguling-guling di lantai untuk sedikit menyamarkan rasa sakitnya. Namun, terkadang waktunya sangat tidak tepat. Seperti hari ini. Juda menahan rasa sakit yang awalnya belum seberapa itu saat berangkat ke sekolah tadi pagi hingga rasa sakitnya naik ke level yang cukup parah saat memasuki jam istirahat kedua. Ia sudah mengomel sejak tadi karena selain rasa sakit yang ia rasakan. Mood-nya yang mudah berubah itu juga berantakan, atau malah bisa dibilang amat sangat parah. Bawaannya ingin marah-marah kepada siapa pun dan kepada apa pun—Juda hampir mematahkan pensil hanya karena benda itu jatuh ke lantai dan ia harus susah payah mengambilnya dengan menahan rasa sakit di perutnya, kemudian yang terjadi berikutnya, kepalanya terantuk pinggiran meja dengan cukup keras hingga berdenyut ny
10 tahun yang lalu..."Astaga, Pandu!" jerit Juda tanpa sadar. Ia mencengkeram pinggiran jendela.Di seberang sana, Pandu tidak langsung berdiri, begitu juga dengan teman mainnya. Mereka berdua langsung dikerubungi teman-temannya. Memblokir area pandang Juda dari Pandu yang tadinya terlihat sedang kesakitan."Minggir woy! Kalian nutupin gue!" kesal Juda yang masih terlihat panik. "Apa gue samperin ke sana aja? Gue harus—""Lo mau jadi pahlawan kesiangan? Mau jadi pusat perhatian lagi? Nggak lihat noh, di seberang sono banyak yang nonton." Ema menunjuk kantin yang berada di sisi yang berseberangan dengan UKS. Lapangan basket berada di tengah-tengahnya. "Gue yakin fans-fansnya Pandu selain elo juga pengen langsung berhamburan kayak zombie buat nerkam si Pandu."Juda mendengus. "Pandu abis jatoh, Em. Gimana kalo cedera parah? Gue harus nolongin dia.""Lo cuma merhatiin Pandu doang? Temennya juga jatoh tuh." Ems menunjuk dengan mengangkat dagu."Ya kan gue kenalnya sama Pandu doang," Juda
"Ju, kenapa bengong, sih?" Juda tergagap saat Danis menegurnya serta memegang tangannya yang berada di atas meja. Segala ingatan saat kali pertama ia bertemu dengan Danis langsung buyar dari pikirannya. Dengan canggung Juda menarik tangannya yang berada di genggaman tangan Danis dan meletakkannya di pangkuan. "Kenapa, Ju?" tanya Danis lagi. Juda memaksakan sebuah senyum tipis untuk menepis kecanggungan yang sepertinya hanya ia rasakan seorang diri. Ia masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi hingga pikirannya melayang ke mana-mana. "Aku ngerasa aneh aja. Ini... kayak nggak nyata." Mendengar jawaban itu, Danis mengulas senyum. Senyum yang persis seperti yang pertama kali disuguhkan Danis saat perkenalan mereka bertahun-tahun yang lalu. Senyum yang membuat Juda jatuh hati. Dengan mudahnya menyingkirkan Pandu, idolanya saat masih sekolah dulu, dari hatinya. Juda tidak pernah mengakui hal ini di depan Danis karena ia memiliki gengsi yang cukup tinggi. Setiap kali Danis berta
Danis sepenuhnya sadar bahwa ia tidak seharusnya melakukan ini. Bahwa apa yang ia perbuat dengan setengah memaksa Juda agar mau benar-benar kembali bersamanya adalah sebuah kesalahan besar yang tidak seharusnya ia lakukan. Seharusnya ia mendengarkan apa kata Martin agar tidak melibatkan Juda dalam hidupnya yang sedang kacau balau karena itu hanya akan membuat segalanya semakin rumit jika Juda pada akhirnya tahu tentang dirinya dan tentang statusnya yang pernah—masih menikah. Tetapi, Danis tidak bisa berhenti begitu saja. Berada dalam jarak yang begitu dekat dengan Juda membuatnya menyadari bahwa sejak dulu ia selalu menyimpan Juda di sudut paling dalam di hatinya. Danis ingin egois dengan membawa Juda kembali masuk ke dalam hidupnya."Hidupku juga gini-gini aja," cerita Juda yang menyentak Danis yang pikirannya mulai ke mana-mana. "Ngomong-ngomong, ini mungkin bakal terdengar menyedihkan, tapi aku lagi di fase jenuh banget karena hampir setiap jam diteror Mami karena aku nggak nikah-n