"Ju, kenapa bengong, sih?" Juda tergagap saat Danis menegurnya serta memegang tangannya yang berada di atas meja. Segala ingatan saat kali pertama ia bertemu dengan Danis langsung buyar dari pikirannya. Dengan canggung Juda menarik tangannya yang berada di genggaman tangan Danis dan meletakkannya di pangkuan. "Kenapa, Ju?" tanya Danis lagi. Juda memaksakan sebuah senyum tipis untuk menepis kecanggungan yang sepertinya hanya ia rasakan seorang diri. Ia masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi hingga pikirannya melayang ke mana-mana. "Aku ngerasa aneh aja. Ini... kayak nggak nyata." Mendengar jawaban itu, Danis mengulas senyum. Senyum yang persis seperti yang pertama kali disuguhkan Danis saat perkenalan mereka bertahun-tahun yang lalu. Senyum yang membuat Juda jatuh hati. Dengan mudahnya menyingkirkan Pandu, idolanya saat masih sekolah dulu, dari hatinya. Juda tidak pernah mengakui hal ini di depan Danis karena ia memiliki gengsi yang cukup tinggi. Setiap kali Danis berta
Danis sepenuhnya sadar bahwa ia tidak seharusnya melakukan ini. Bahwa apa yang ia perbuat dengan setengah memaksa Juda agar mau benar-benar kembali bersamanya adalah sebuah kesalahan besar yang tidak seharusnya ia lakukan. Seharusnya ia mendengarkan apa kata Martin agar tidak melibatkan Juda dalam hidupnya yang sedang kacau balau karena itu hanya akan membuat segalanya semakin rumit jika Juda pada akhirnya tahu tentang dirinya dan tentang statusnya yang pernah—masih menikah. Tetapi, Danis tidak bisa berhenti begitu saja. Berada dalam jarak yang begitu dekat dengan Juda membuatnya menyadari bahwa sejak dulu ia selalu menyimpan Juda di sudut paling dalam di hatinya. Danis ingin egois dengan membawa Juda kembali masuk ke dalam hidupnya."Hidupku juga gini-gini aja," cerita Juda yang menyentak Danis yang pikirannya mulai ke mana-mana. "Ngomong-ngomong, ini mungkin bakal terdengar menyedihkan, tapi aku lagi di fase jenuh banget karena hampir setiap jam diteror Mami karena aku nggak nikah-n
Juda sudah sampai di indekos sejak beberapa saat yang lalu. Namun Juda tidak langsung masuk ke dalam kamar. Wanita itu duduk di kursi teras yang sore itu kosong. Sejak dalam perjalanan pulang tadi, Juda terus memikirkan hubungannya dengan Danis—mendadak balikan tanpa tahu persis perasaan masing-masing. Juda sudah tidak membenci Danis seperti saat ia memutuskan laki-laki itu, yang ternyata hanya buah dari kesalahpahaman sehingga kebencian itu sudah sejak lama meluntur. Namun, Juda juga tidak yakin jika ia masih memiliki perasaan suka terhadap laki-laki itu.Bohong kalau ia tidak merasakan getaran di dadanya saat berdekatan dengan Danis dan menatap matanya. Sentuhan tangan Danis juga menggetarkan hati dan setiap inci dalam tubuhnya. Senyum menawan Danis dengan mudah membuat Juda kembali tertawan. Hanya saja Juda tidak benar-benar yakin apakah itu rasa suka yang sama seperti yang ia rasakan dulu atau rasa yang berbeda. Yang Juda tahu, ia cukup nyaman berdekatan dengan Danis. Namun, ia ra
Juda disemprot habis-habisan oleh Mami yang tampak sangat marah perkara videonya yang viral hingga keluarga besarnya yang sebagian besar tinggal di Bandung itu meneror Mami, menanyakan tentang kebenaran akan video itu. Juda sampai tidak sempat mengatakan apa pun sebagai pembelaan karena membuat Mami berada di posisi yang cukup sulit.Namun, bukan karena diomeli hingga telinga panas, yang membuat Juda terjaga semalaman penuh hingga paginya ia merasa menjadi zombie yang lupa caranya tidur. Tetapi karena Mami memaksa Juda agar membawa tawanannya—sebutan Mami untuk Danis yang kata Mami terlihat sangat pasrah di dalam video yang telah ditonton Mami—ke rumah.Jadi, begini ceritanya. Setelah hampir satu jam Mami mengomeli Juda dengan nada yang tidak mengenakkan, tiba-tiba Mami mengubah nada suaranya menjadi agak lembut. Mulanya Juda mengira bahwa Mami sudah tidak terlalu kesal akan kelakuan anak gadisnya yang membuat pusing kepala karena bertindak gila tanpa berpikir. Namun, ternyata itu han
Di tempat kerja, seperti yang sudah Juda perkirakan, rekan-rekan kerjanya pun tidak membiarkan Juda melewati hari Senin dengan tenang. Mereka langsung menodong Juda tentang kelanjutan lamaran dadakannya begitu wanita itu muncul di ruang kerja mereka tadi pagi."Lamaran lo nggak ditolak, kan?""Kalian bentar lagi nikah, dong?""Akhirnya Juju nggak perlu lagi dengan terpaksa ketemu laki-laki random yang dipilihin nyokapnya.""Gila, gue salut banget sama lo, Ju. Gede banget nyali lo sampe berani nembak cowok di depan banyak orang.""Pokoknya kita semua ikut seneng kalau lo akhirnya bisa ketemu sama cowok yang beneran lo mau.""Kita-kita dapet traktiran nggak nih? Buat ngerayain status Juju yang udah nggak jomlo lagi setelah dua tahun!""Semoga yang ini nggak gagal di tengah jalan, Ju. Good luck!"Dan masih banyak lagi yang dilontarkan rekan-rekan kerjanya sepanjang pagi hingga waktu makan siang tiba. Juda tidak bisa berkonsentrasi bekerja karena rekan-rekan kerjanya tidak bisa diam. Bena
Pertanyaan Danis awalnya hanya menggema di telinga Juda, lalu perlahan berangsur-angsur masuk memenuhi pikirannya. Juda bisa saja menjawab dengan lantang bahwa dirinya tidak siap. Itu sudah jelas. Dan Juda pun cukup yakin bahwa Danis sesungguhnya tahu akan hal itu. Mereka bicara tentang pernikahan. Sesuatu yang jelas-jelas berhubungan dengan masa depan hidup mereka berdua. Juda tidak perlu ditanya dua kali. Memangnya siapa yang akan langsung siap dan mau menikahi orang asing dengan tiba-tiba? Tidak ada. Kecuali orang itu sudah gila.Ya, meski sudah saling mengenal sejak bertahun-tahun lamanya, tetap saja mereka hanya dua orang asing yang sudah lama tidak berjumpa. Mereka menghabiskan sisa remaja dan melangkah menuju hidup yang lebih dewasa tanpa melibatkan satu sama lain. Hidup mereka, lingkungan mereka, sepenuhnya berbeda. Butuh waktu untuk menyatukan dua orang asing yang memiliki kehidupan yang sama sekali berbeda, bukan?“Danis, kamu tuh sadar nggak sih? Kita baru ketemu lagi hari
“Kemaren aja lo sok-sokan nggak ngebales chat gue. Sekarang lo udah mulai sadar kalau lo masih butuh gue?” cibir Ema saat melihat Juda berdiri lesu di depan pintu apartemennya. Juda masih mengenakan pakaian kerjanya. Riasan tipis di wajahnya sudah luntur. Menampilkan muka kuyu yang membuatnya tampak sangat menyedihkan. “Lo baca deh,” ujar Juda mengabaikan cibiran Ema seraya mengulurkan ponselnya. Kemudian ia masuk ke dalam apartemen Ema bahkan sebelum ditawari untuk masuk. “Kirain lo nyuruh gue baca chat dewasa lo sama Danis,” gumam Ema sambil mengekor di belakang Juda setelah menutup pintu. Matanya terfokus pada layar ponsel Juda yang menyala terang. “Chat dewasa pala lo!” “Gila sih, ternyata tampangnya nggak berbanding lurus sama kelakuan. Ganteng, tapi suka jajan.” Ema bergidik dan menunjukkan raut jijik. “Mana masih ngejar-ngejar lo walaupun udah ketahuan punya bini. Red flag banget.” Juda menjatuhkan tubuh di atas sofa dan berbaring telungkup di atasnya. “Enaknya diapain tu
Meski sudah berpisah sejak beberapa jam yang lalu, Danis masih merasa bersalah karena menanyakan sesuatu yang terlalu dini untuk ia tanyakan kepada Juda. Bisa dibilang malah terdengar seperti pertanyaan yang tidak sopan. Mereka baru saja bertemu kembali setelah bertahun-tahun, meski sudah resmi kembali bersama, sama sekali tidak menempatkan mereka berdua di posisi yang cukup ideal untuk bisa saling bicara tentang siap atau tidak siap menikah.Danis juga semakin disadarkan bahwa mengikat Juda menjadi kekasihnya, sementara berkas perceraiannya dengan Renata saja baru dimasukkan oleh pengacaranya ke pengadilan agama tadi pagi, adalah sesuatu yang sangat salah. Ia membohongi Juda. Membohongi Renata. Dan terutama ia membohongi dirinya sendiri. Tidak akan ada akhir yang baik untuk sesuatu hal yang dimulai dari sebuah kebohongan dan kenekatan. Hal itulah yang membuat pernikahannya dengan Renata berantakan. Bukan tidak mungkin jika hubungannya dengan Juda juga akan gagal suatu hari nanti, unt