“Kemaren aja lo sok-sokan nggak ngebales chat gue. Sekarang lo udah mulai sadar kalau lo masih butuh gue?” cibir Ema saat melihat Juda berdiri lesu di depan pintu apartemennya. Juda masih mengenakan pakaian kerjanya. Riasan tipis di wajahnya sudah luntur. Menampilkan muka kuyu yang membuatnya tampak sangat menyedihkan. “Lo baca deh,” ujar Juda mengabaikan cibiran Ema seraya mengulurkan ponselnya. Kemudian ia masuk ke dalam apartemen Ema bahkan sebelum ditawari untuk masuk. “Kirain lo nyuruh gue baca chat dewasa lo sama Danis,” gumam Ema sambil mengekor di belakang Juda setelah menutup pintu. Matanya terfokus pada layar ponsel Juda yang menyala terang. “Chat dewasa pala lo!” “Gila sih, ternyata tampangnya nggak berbanding lurus sama kelakuan. Ganteng, tapi suka jajan.” Ema bergidik dan menunjukkan raut jijik. “Mana masih ngejar-ngejar lo walaupun udah ketahuan punya bini. Red flag banget.” Juda menjatuhkan tubuh di atas sofa dan berbaring telungkup di atasnya. “Enaknya diapain tu
Meski sudah berpisah sejak beberapa jam yang lalu, Danis masih merasa bersalah karena menanyakan sesuatu yang terlalu dini untuk ia tanyakan kepada Juda. Bisa dibilang malah terdengar seperti pertanyaan yang tidak sopan. Mereka baru saja bertemu kembali setelah bertahun-tahun, meski sudah resmi kembali bersama, sama sekali tidak menempatkan mereka berdua di posisi yang cukup ideal untuk bisa saling bicara tentang siap atau tidak siap menikah.Danis juga semakin disadarkan bahwa mengikat Juda menjadi kekasihnya, sementara berkas perceraiannya dengan Renata saja baru dimasukkan oleh pengacaranya ke pengadilan agama tadi pagi, adalah sesuatu yang sangat salah. Ia membohongi Juda. Membohongi Renata. Dan terutama ia membohongi dirinya sendiri. Tidak akan ada akhir yang baik untuk sesuatu hal yang dimulai dari sebuah kebohongan dan kenekatan. Hal itulah yang membuat pernikahannya dengan Renata berantakan. Bukan tidak mungkin jika hubungannya dengan Juda juga akan gagal suatu hari nanti, unt
Hari keempat setelah Juda dan Danis memutuskan untuk kembali bersama, mereka janjian untuk nonton bareng di bioskop setelah Juda pulang kerja. Juda sedang ingin melepas penat karena pekerjaan menggunung yang tak habis-habis. Karena Juda baru keluar dari kantor saat matahari sudah hampir terbenam di ufuk narat, sementara jadwal tayang film yang dipesan jam enam lebih sedikit, mereka tidak sempat makan terlebih dahulu. “Abis ini makan dulu ya, kasihan cacing-cacing di perutku kalau nggak dikasih asupan gizi,” bisik Juda di tengah-tengah menonton. Meski tidak terlihat jelas karena ruangan bioskop yang gelap, Danis tersenyum sambil menatap Juda. Ini sudah yang ke sekian kalinya Juda mengatakannya. Danis geli sekali melihat Juda yang sama sekali tidak bisa berkonsentrasi penuh pada layar bioskop yang sedang menayangkan film yang berkisah tentang para hero itu karena rasa lapar yang lebih mendominasi. Saat film akhirnya selesai, Juda cepat-cepat mrnarik Danis ke luar gedung bioskop. “Ak
Saat sudah yakin ia tidak akan dihadang lagi, Juda bergegas untuk melangkah kembali. Namun, nasib baik sepertinya sedang tidak menyertainya hari ini. Seseorang yang lain mendadak muncul dan membuat segalanya menjadi semakin tak terkendali.Kejadian terlalu cepat. Sedetik yang lalu Juda sudah akan beranjak pergi, di detik selanjutnya seseorang menyentak pergelangan tangannya, membuat tubuh Juda berputar 180 derajat, lalu pipinya dihantam oleh sebuah tangan. Panas menjalar di pipi kirinya karena tamparan keras itu.“Dasar perempuan murahan! Berani-beraninya lo godain suami gue!” sergah Grita dengan suara melengking. Mengundang perhatian dari setiap mata yang ada di sana.Juda mengepalkan tangan. Menahan gejolak kemarahan yang timbul karena dituduh dengan kata-kata yang sama sekali tidak benar.“Gue nggak godain suami lo,” geram Juda tertahan.Grita tampak tak peduli. Dalam keremangan cahaya di restoran itu, terlihat jelas api kemarahan berkobar di kedua matanya yang bulat. “Jadi, ternya
Juda marah sekali. Tuduhan yang dilayangkan oleh Grita memang menyakitkan. Namun, tidak ada apa-apanya ketimbang tatapan penuh menghakimi yang Danis tujukan terhadap dirinya. Sudah dituduh dan dipermalukan di depan muka umum oleh rivalnya saat masa sekolah dulu, sekarang ditambah dengan sikap menegsalkan Danis yang membuat dirinya seakan terpojok. Tidak memiliki sosok pendukung yang berdiri untuknya.“Lo mending enyah dari hadapan gue sebelum gue meledak,” hardik Juda. Kembali mengempaskan tangan Danis dengan kuat saat laki-laki itu berusaha meraih tangannya.Danis mengeraskan rahang. Ia terlihat susah payah menahan segala ucapan yang ingin tumpah karena perkataan sinis Juda yang mulai menggunakan ‘lo-gue’ seperti yang selalu wanita itu gunakan saat sedang benar-benar marah kepada orang yang bersangkutan.“Gue nyesel udah nyamperin lo dan bikin heboh di reuni. Gue nyesel ngeiyain ajakan balikan lo.”Danis menggeleng. “Kamu cuma lagi emosi.”“Gue benci sama lo, Danis. Dari dulu gue ben
Perjalanan menuju indekos Juda dipenuhi kebisuan. Danis duduk di ujung kanan, sementara Juda berada di ujung kiri, seolah-olah jarak yang tidak sampai satu meter itu cukup berguna. Padahal, sesungguhnya Juda menjadi cemas sekali. Perlawanannya terhadap Danis dengan mudah berbalik menjadi bumerang yang terus-menerus menghantamnya. Juda tidak tahu harus bagaimana agar bisa membuat perasaan Danis menjadi lebih baik. Benar. Persetan dengan perasaannya. Karena saat ini perasaan Danis jauh lebih penting untuk ia pikirkan. Butuh waktu sekitar tiga puluh menit untuk sampai di depan indekos Juda yang bangunan tingkat tiga itu terlihat dari luar meski sudah dipasang pagar cukup tinggi. Danis ikut turun dan membiarkan taksi yang mereka tumpangi beranjak pergi. “Kita belum jadi makan,” kata Danis dengan tanpa ekspresi. Seolah-olah momen emosional tiga puluh menit yang lalu tidak pernah ada. “Mau makan nasi goreng?” Juda mengendikkan dagu ke arah tenda yang disinari lampu remang-remang yang be
Keesokan harinya, Juda berangkat ke tempat kerja dengan setengah hati. Penampilannya tidak serapi biasanya, bahkan cenderung berantakan. Membuatnya terlihat sangat menyedihkan. Lebih parah ketimbang saat hari Senin kemarin digoda habis-habisan oleh rekan-rekan kerjanya. Hari ini, Juda benar-benar tidak semangat menjalani hari karena masih teringat akan perseteruannya dengan Grita dan masalahnya dengan Danis semalam yang tak ada penyelesaian. “Lesu banget, Bu. Nggak dapet jatah dari laki lo, ya?” Juda mengerling. “Jatah apaan? Gue nggak pernah minta jatah ke pacar gue kali. Gue bisa cari duit sendiri.” “Maksud gue bukan jatah yang itu.” Seketika Juda mengerti ke mana arah pembicaraan yang dimaksud. Ia berdecak malas. “Gue juga nggak pernah minta atau ngasih jatah begituan. Dosa.” Rekan kerjanya tertawa. “Duh, Juju tuh luarnya aja yang galak, tapi dalemnya masih polos, selembut sutra.” “Apaan sih, nggak jelas lo,” gerutu Juda. “Kenapa sih, Ju? Sini cerita sama gue. Lo ada masalah
Sepulang dari kerja, Juda menghubungi Martin, menanyakan tentang Danis dan keberadaan laki-laki itu. Untung saja, Martin bisa diajak bekerja sama. Martin malah langsung mengirimkan alamat apartemennya agar Juda bisa berkunjung ke sana untuk menemui Danis secara langsung. "Danis lagi agak masuk angin." Begitu kata Martin tadi. Dan di sinilah Juda berada sekarang. Di depan pintu unit apartemen Martin bernomor 702 yang berada di lantai tujuh. Juda baru menekan bel setelah berdiri di sana hampir dua menit. Harap-harap cemas menunggu dibukakan pintu. Juda sudah akan menekan bel sekali lagi saat pintu terdorong keluar dan Danis muncul dengan mengenakan pakaian santai. Tampak raut kebingungan di wajah Danis saat bertanya, "Juju, kok bisa sampai sini?" "Bisa. Aku naik gojek." Juda tahu bahwa sebenarnya maksud Danis bukan soal itu. "Martin bilang kamu masuk angin," sambungnya. Danis tidak berkata apa-apa untuk mengoreksi atau membenarkan cerita Martin dan mempersilahkan Juda masuk. "Kam