Keesokan harinya, Juda berangkat ke tempat kerja dengan setengah hati. Penampilannya tidak serapi biasanya, bahkan cenderung berantakan. Membuatnya terlihat sangat menyedihkan. Lebih parah ketimbang saat hari Senin kemarin digoda habis-habisan oleh rekan-rekan kerjanya. Hari ini, Juda benar-benar tidak semangat menjalani hari karena masih teringat akan perseteruannya dengan Grita dan masalahnya dengan Danis semalam yang tak ada penyelesaian. “Lesu banget, Bu. Nggak dapet jatah dari laki lo, ya?” Juda mengerling. “Jatah apaan? Gue nggak pernah minta jatah ke pacar gue kali. Gue bisa cari duit sendiri.” “Maksud gue bukan jatah yang itu.” Seketika Juda mengerti ke mana arah pembicaraan yang dimaksud. Ia berdecak malas. “Gue juga nggak pernah minta atau ngasih jatah begituan. Dosa.” Rekan kerjanya tertawa. “Duh, Juju tuh luarnya aja yang galak, tapi dalemnya masih polos, selembut sutra.” “Apaan sih, nggak jelas lo,” gerutu Juda. “Kenapa sih, Ju? Sini cerita sama gue. Lo ada masalah
Sepulang dari kerja, Juda menghubungi Martin, menanyakan tentang Danis dan keberadaan laki-laki itu. Untung saja, Martin bisa diajak bekerja sama. Martin malah langsung mengirimkan alamat apartemennya agar Juda bisa berkunjung ke sana untuk menemui Danis secara langsung. "Danis lagi agak masuk angin." Begitu kata Martin tadi. Dan di sinilah Juda berada sekarang. Di depan pintu unit apartemen Martin bernomor 702 yang berada di lantai tujuh. Juda baru menekan bel setelah berdiri di sana hampir dua menit. Harap-harap cemas menunggu dibukakan pintu. Juda sudah akan menekan bel sekali lagi saat pintu terdorong keluar dan Danis muncul dengan mengenakan pakaian santai. Tampak raut kebingungan di wajah Danis saat bertanya, "Juju, kok bisa sampai sini?" "Bisa. Aku naik gojek." Juda tahu bahwa sebenarnya maksud Danis bukan soal itu. "Martin bilang kamu masuk angin," sambungnya. Danis tidak berkata apa-apa untuk mengoreksi atau membenarkan cerita Martin dan mempersilahkan Juda masuk. "Kam
Juda tidak ingat kapan pertama dam terakhir kalinya ia menautkan bibirnya dengan bibir seseorang dengan sedalam ini. Cukup sulit baginya untuk mengimbangi ciuman Danis yang menggebu-gebu. Yang jelas, perasaannya membuncah tumpah ruah. Ciuman pertamanya dengan Danis sekaligus ciuman terakhir mereka saat berpacaran dulu hanya berupa kecupan singkat. Juda tidak benar-benar mengingat bagaimana perasaannya kala itu. "We need to stop," ucap Juda dengan susah payah setelah ciuman panjang itu bertahan cukup lama. Dari jarak yang dekat sekali, Juda baru menyadari jika mata Danis yang selama ini terlihat hitam kelam, ternyata tidak begitu. Mata Danis berwarna cokelat, yang hanya bisa terlihat begitu jelas dari dekat. Dari jarak yang tidak lebih dari sepuluh senti meter. Danis membiarkan mereka berdua mengambil napas sejenak, namun setelah itu ia kembali meraih bibir Juda dengan bibirnya. Seolah-olah ia sedang begitu haus dan hanya bibir Juda yang bisa memuaskan dahaganya. Ciuman dalam itu ke
“Sebaiknya aku pulang,” kata Juda setelah ciuman mereka, yang entah ke berapa, berakhir. Ya, entah bagaimana mereka berdua masih bisa menahan diri untuk berhenti di sebatas ciuman saja meski hasrat bergulung-gulung di antara mereka. Danis menahan Juda. Menarik pergelangan tangan wanita itu hingga terduduk kembali di sebelahnya. “Ini apartemen Martin. Aku nggak mau waktu dia pulang langsung ngelihat kita lagi make out di sofanya, terus dia ngambek,” ujar Juda kemudian. Danis tertawa. “Martin nggak akan ngambek. Dia cuma akan langsung buang sofa ini dan beli yang baru.” Kemudian laki-laki itu mengernyit, berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Atau aku bisa beli sofa baru khusus buat kita make out, gimana?” Juda memutar bola mata dengan malas. “Nggak lucu, Danis.” “Aku juga nggak sedang berusaha melucu. Tapi, ngomong-ngomong, hubungan kita berubah jadi terlalu dewasa hanya dalam beberapa hari.” Juda langsung mengerti maksud Danis. Selama kurang dari setengah tahun kenal di masa te
Juda merasakan sebuah keterikatan yang begitu kuat dengan Danis. Seolah ujung-ujung magnet yang berlawanan sedang saling tarik menarik. Padahal, siang tadi, ia nyaris tidak yakin bahwa hubungan rapuhnya dengan Danis masih bisa dipertahankan mengingat ia selalu emosional menghadapi sesuatu hingga menempatkan Danis pada posisi yang tidak begitu menyenangkan. “Boleh aku mengungkapkan satu kejujuran lagi?” Danis menyipitkan mata. “Sebenarnya, ada berapa banyak rahasia yang kamu simpan sendiri?” “Jujur, ada banyak,” jawab Juda yang sudah mulai bisa kembali santai. “Tapi untuk sekarang aku akan menyimpan fantasi-fantasi itu untuk diriku sendiri.” “Wow, jadi kamu sering berfantasi tentang aku?” Danis terlihat cukup bersemangat akan gagasan ini. Juda berdecak. Meski ia cukup malu karena membicarakan ini, ia tetap berkata dengan mengangkat dagu. “Setelah aku sadar kalau kamu udah tumbuh dewasa dan menjadi kamu yang sekarang.” Danis menaikkan alis. “Jelaskan lebih detail tentang 'aku yang
Keseriusan itu tercetak jelas di wajah Danis. Mendengar Juda membahas tentang kegagalan mereka di masa lalu dan betapa wanita itu menginginkan tidak adanya kegagalan yang sama di masa depan, membuat jantung Danis seakan terhempas ke lantai dan terinjak-injak. Danis berani bersumpah dirinya juga tidak ingin merasakan kegagalan itu lagi. Sudah terlalu banyak kegagalan dalam hidupnya. Sejak memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri dan kepada Juda, sudah berkali-kali Danis mengatakan ini pada dirinya sendiri. Bahwa ia akan berusaha sekeras yang ia bisa untuk membuktikan kepada Juda bahwa kegagalan itu tidak akan menghampiri mereka. Bahwa mereka akan bisa melalui ini bersama-sama hingga akhir. Akhir yang bahagia. Dan melepaskan Juda, seperti yang diminta oleh Martin berkali-kali sebelum semua menjadi semakin tak terkendali, tidak akan pernah Danis lakukan. Lebih tepatnya, Danis tidak bisa melakukannya. Karena... lihatlah mereka sekarang. Hanya dalam beberapa kali pe
Setelah momen yang cukup intens itu, keduanya tidak lagi duduk berhadap-hadapan. Mereka sama-sama menghadap ke depan. Merebahkan punggung di sandaran sofa dengan posisi yang nyaman. Tidak saling bicara kepada satu sama lain, tetapi tidak terasa canggung di tengah-tengah kesunyian itu.Kesunyian itu bertahan sekitar tiga menit sebelum kemudian Juda merenggangkan tubuh dan berkata, “Aku harus pulang sekarang. Please, jangan kamu interupsi lagi dengan hal-hal dewasa. Kasihan sofanya. Kasihan badan dan otakku juga udah capek pengen istirahat.”Danis memutar setengah badan, masih dalam posisi duduknya saat Juda beranjak meraih tas yang tergeletak di sofa yang lain.“Aku antar pulang,” kata laki-laki itu sambil mempelajari punggung Juda. Seketika ada perasaan tidak nyaman yang meremas-remas jantungnya.Apakah suatu hari nanti, punggung itu yang akan kembali Danis lihat saat Juda akhirnya melangkah pergi dari hidupnya selamanya? Sial! Danis kembali tersentak karena pemikiran negatif yang ter
Setelah Juda kembali memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal, ia dan Danis pun beranjak menuju pintu keluar. Danis membuka pintu dengan menarik kenopnya, bersamaan dengan dorongan yang berasal dari luar. Martin muncul dengan tampilan sehari-harinya untuk bekerja. Celana jeans dan kaus oblong. Sangat kasual. Sama seperti saat ia nongkrong. Terlihat kelebatan tidak senang di wajah Martin sekilas saat melihat Juda mengintip dari balik bahu Danis. Namun, sepertinya Juda tidak terlalu memperhatikan. Karena di detik selanjutnya, wanita itu menyeruak maju untuk menyapa Martin. “Hai, Martin,” sapa Juda dengan nada ceria yang terdengar akrab. Setidaknya itu yang tertangkap telinga Danis meski wajah Juda menampilkan ekspresi datar. “Hai, Ju. Udah mau balik?” Martin membalas dengan senyum tipis sembari memberikan lirikan tidak suka ke arah Danis. Juda mengangguk. Kemudian mereka menukar posisi. Juda melangkah keluar diikuti Danis, sementara Martin melangkah masuk ke dalam apartemen.