Juda tidak ingat kapan pertama dam terakhir kalinya ia menautkan bibirnya dengan bibir seseorang dengan sedalam ini. Cukup sulit baginya untuk mengimbangi ciuman Danis yang menggebu-gebu. Yang jelas, perasaannya membuncah tumpah ruah. Ciuman pertamanya dengan Danis sekaligus ciuman terakhir mereka saat berpacaran dulu hanya berupa kecupan singkat. Juda tidak benar-benar mengingat bagaimana perasaannya kala itu. "We need to stop," ucap Juda dengan susah payah setelah ciuman panjang itu bertahan cukup lama. Dari jarak yang dekat sekali, Juda baru menyadari jika mata Danis yang selama ini terlihat hitam kelam, ternyata tidak begitu. Mata Danis berwarna cokelat, yang hanya bisa terlihat begitu jelas dari dekat. Dari jarak yang tidak lebih dari sepuluh senti meter. Danis membiarkan mereka berdua mengambil napas sejenak, namun setelah itu ia kembali meraih bibir Juda dengan bibirnya. Seolah-olah ia sedang begitu haus dan hanya bibir Juda yang bisa memuaskan dahaganya. Ciuman dalam itu ke
“Sebaiknya aku pulang,” kata Juda setelah ciuman mereka, yang entah ke berapa, berakhir. Ya, entah bagaimana mereka berdua masih bisa menahan diri untuk berhenti di sebatas ciuman saja meski hasrat bergulung-gulung di antara mereka. Danis menahan Juda. Menarik pergelangan tangan wanita itu hingga terduduk kembali di sebelahnya. “Ini apartemen Martin. Aku nggak mau waktu dia pulang langsung ngelihat kita lagi make out di sofanya, terus dia ngambek,” ujar Juda kemudian. Danis tertawa. “Martin nggak akan ngambek. Dia cuma akan langsung buang sofa ini dan beli yang baru.” Kemudian laki-laki itu mengernyit, berpikir sejenak sebelum melanjutkan, “Atau aku bisa beli sofa baru khusus buat kita make out, gimana?” Juda memutar bola mata dengan malas. “Nggak lucu, Danis.” “Aku juga nggak sedang berusaha melucu. Tapi, ngomong-ngomong, hubungan kita berubah jadi terlalu dewasa hanya dalam beberapa hari.” Juda langsung mengerti maksud Danis. Selama kurang dari setengah tahun kenal di masa te
Juda merasakan sebuah keterikatan yang begitu kuat dengan Danis. Seolah ujung-ujung magnet yang berlawanan sedang saling tarik menarik. Padahal, siang tadi, ia nyaris tidak yakin bahwa hubungan rapuhnya dengan Danis masih bisa dipertahankan mengingat ia selalu emosional menghadapi sesuatu hingga menempatkan Danis pada posisi yang tidak begitu menyenangkan. “Boleh aku mengungkapkan satu kejujuran lagi?” Danis menyipitkan mata. “Sebenarnya, ada berapa banyak rahasia yang kamu simpan sendiri?” “Jujur, ada banyak,” jawab Juda yang sudah mulai bisa kembali santai. “Tapi untuk sekarang aku akan menyimpan fantasi-fantasi itu untuk diriku sendiri.” “Wow, jadi kamu sering berfantasi tentang aku?” Danis terlihat cukup bersemangat akan gagasan ini. Juda berdecak. Meski ia cukup malu karena membicarakan ini, ia tetap berkata dengan mengangkat dagu. “Setelah aku sadar kalau kamu udah tumbuh dewasa dan menjadi kamu yang sekarang.” Danis menaikkan alis. “Jelaskan lebih detail tentang 'aku yang
Keseriusan itu tercetak jelas di wajah Danis. Mendengar Juda membahas tentang kegagalan mereka di masa lalu dan betapa wanita itu menginginkan tidak adanya kegagalan yang sama di masa depan, membuat jantung Danis seakan terhempas ke lantai dan terinjak-injak. Danis berani bersumpah dirinya juga tidak ingin merasakan kegagalan itu lagi. Sudah terlalu banyak kegagalan dalam hidupnya. Sejak memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada dirinya sendiri dan kepada Juda, sudah berkali-kali Danis mengatakan ini pada dirinya sendiri. Bahwa ia akan berusaha sekeras yang ia bisa untuk membuktikan kepada Juda bahwa kegagalan itu tidak akan menghampiri mereka. Bahwa mereka akan bisa melalui ini bersama-sama hingga akhir. Akhir yang bahagia. Dan melepaskan Juda, seperti yang diminta oleh Martin berkali-kali sebelum semua menjadi semakin tak terkendali, tidak akan pernah Danis lakukan. Lebih tepatnya, Danis tidak bisa melakukannya. Karena... lihatlah mereka sekarang. Hanya dalam beberapa kali pe
Setelah momen yang cukup intens itu, keduanya tidak lagi duduk berhadap-hadapan. Mereka sama-sama menghadap ke depan. Merebahkan punggung di sandaran sofa dengan posisi yang nyaman. Tidak saling bicara kepada satu sama lain, tetapi tidak terasa canggung di tengah-tengah kesunyian itu.Kesunyian itu bertahan sekitar tiga menit sebelum kemudian Juda merenggangkan tubuh dan berkata, “Aku harus pulang sekarang. Please, jangan kamu interupsi lagi dengan hal-hal dewasa. Kasihan sofanya. Kasihan badan dan otakku juga udah capek pengen istirahat.”Danis memutar setengah badan, masih dalam posisi duduknya saat Juda beranjak meraih tas yang tergeletak di sofa yang lain.“Aku antar pulang,” kata laki-laki itu sambil mempelajari punggung Juda. Seketika ada perasaan tidak nyaman yang meremas-remas jantungnya.Apakah suatu hari nanti, punggung itu yang akan kembali Danis lihat saat Juda akhirnya melangkah pergi dari hidupnya selamanya? Sial! Danis kembali tersentak karena pemikiran negatif yang ter
Setelah Juda kembali memastikan tidak ada barangnya yang tertinggal, ia dan Danis pun beranjak menuju pintu keluar. Danis membuka pintu dengan menarik kenopnya, bersamaan dengan dorongan yang berasal dari luar. Martin muncul dengan tampilan sehari-harinya untuk bekerja. Celana jeans dan kaus oblong. Sangat kasual. Sama seperti saat ia nongkrong. Terlihat kelebatan tidak senang di wajah Martin sekilas saat melihat Juda mengintip dari balik bahu Danis. Namun, sepertinya Juda tidak terlalu memperhatikan. Karena di detik selanjutnya, wanita itu menyeruak maju untuk menyapa Martin. “Hai, Martin,” sapa Juda dengan nada ceria yang terdengar akrab. Setidaknya itu yang tertangkap telinga Danis meski wajah Juda menampilkan ekspresi datar. “Hai, Ju. Udah mau balik?” Martin membalas dengan senyum tipis sembari memberikan lirikan tidak suka ke arah Danis. Juda mengangguk. Kemudian mereka menukar posisi. Juda melangkah keluar diikuti Danis, sementara Martin melangkah masuk ke dalam apartemen.
Danis langsung kembali naik ke unit apartemennya—lebih tepatnya apartemen Martin yang ia tumpangi—begitu taksi yang membawa Juda pergi sudah berbelok meninggalkan area gedung apartemen. Danis sebenarnya agak malas berhadapan dengan Martin yang pasti akan langsung menceramahi dirinya. Namun, Danis tidak punya pilihan lain. Saat masuk ke dalam, mata Danis langsung berserobok dengan manik mata Martin yang saat ini tengah duduk di sofa yang langsung tepat menghadap pintu apartemen. Tatapan itu membuat Danis semakin merasakan pahit. Sebesar itu kesalahannya, hingga Marti memandangnya dengan penuh kekecewaan. “Ngelihat kalian berdua tadi, gue bahkan nggak perlu jadi orang cerdas buat tahu udah seberapa jauh hubungan kalian berkembang dalam waktu sesingkat ini.” Martin mendecih. “Lo sama sekali nggak tahu dampak yang bakal lo timbulkan karena ketololan lo ini?” Sahabat Danis itu beranjak dari tempatnya duduk menuju ke dapur. Ia menuang vodka ke dalam gelas dan meminumnya seperti meneguk
Kabar tentang Juda yang 'menikung' suami Grita dengan cepat menyebar dari telinga ke telinga, dari mulut ke mulut, hingga saat sampai kepada Juda, kabar itu sudah dibumbui dengan bermacam-macam tambahan yang membuat Juda terlihat amat sangat buruk di mata teman-teman satu angkatannya yang baru satu minggu yang lalu ia temui di acara reuni.Mereka membicarakan dan menghujat Juda di grup alumni angkatan dengan sengit dan terang-terangan, seolah-olah Juda tidak tergabung di sana. Dan sesungguhnya, ini jauh lebih buruk dan memalukan daripada saat ia dituduh merebut Edgar dari Sonia hingga dilabrak ke sekolah dulu. Dulu, orang-orang dengan cepat lupa karena ada kabar panas yang menggegerkan satu sekolah—seorang siswa kelas dua di sekolah mereka ketahuan membuang bayi yang baru saja ia lahirkan di sebuah bangunan kosong yang berada di dekat sekolah.Dan sekarang, tidak ada berita yang bisa mendistraksi mereka. Seolah perseteruan Grita dan Juda kali ini adalah puncak dari permusuhan mereka b